TUBERKULOSIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Penemuan kuman Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis) pada tahun
1882 oleh Robert Koch merupakan momen yang sangat penting dalam penemuan dan
pengembangan obat untuk mengendalikan penyakit tuberkulosis (TB), walaupun
penyakit ini sudah dikenal sejak tahun 8000 sebelum Masehi.1 Tahun 1940an para
ahli menemukan obat yang mampu membunuh basil M.tuberkulosis yang terus
dilanjutkan dengan penemuan obat-obatan lainnya, sehingga di tahun 1970an kita
sudah mendapat paduan obat yang ampuh untuk menyembuhkan TB jika dimakan
dengan teratur dalam jangka waktu tertentu.2
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO)
memperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh M.tuberkulosis. Pada
tahun 1993, WHO menyatakan TB menjadi keadaan darurat kesehatan masyarakat
global, dimana diperkirakan 7-8 juta kasus TB dan 1.3 - 1.600.000 kematian akibat
TB terjadi setiap tahun. TB merupakan penyebab kematian utama kedua dari penyakit
infeksi setelah HIV di seluruh dunia. Dalam laporan WHO, kasus TB paru terbanyak
dijumpai di Afrika (30%) dan Asia (55%), dengan India dan Cina mencakup 35%
dari semua kasus dunia. Dan dalam laporan WHO tahun 2012, pada tahun 2011
Indonesia berada pada ranking keempat negara dengan insidensi TB tertinggi di
dunia, setelah India (22,5 juta kasus), China (0,91,1 juta kasus) dan Afrika Selatan
(0,40,6 juta kasus).3-4
BAB II
TUBERKULOSIS
2.1. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit
Mycobacterium tuberculosis complex yang dapat menyerang paru dan organ tubuh
lainnya.9
2.2.ETIOLOGI
Bakteri penyebab tuberkulosis termasuk ordo Actinomycetalis,familia
Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki
beberap spesies diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi
pada manusia. Bakteri M. tuberculosis berbentuk batang, ukurannya 1 4 m x 0,3
0,6 m sehingga dapat dengan mudah masuk ke saluran pernapasan bawah.
Komponen dinding selnya sangat kompleks, hampir 60% terdiri dari asam lemak
mikolat, wax D, fosfatida, sulfatida dan trehalosa dimikolat menyebabkan bakteri ini
lebih tahan terhadap proses fagositosis dibandingkan bakteri lain. Kandungan lipid
yang tinggi pada dinding sel menyebabkan kuman ini sangat tahan terhadap asam dan
basa dan juga tahan terhadap kerja bakterisidal. Fosfatida pada dinding kuman ini
diduga bertanggung jawab terhadap nekrosis dan kaseosa jaringan. Wax D bukan
suatu lilin sejati (true wax) tetapi mengandung asam mikolat dan glikopeptida. Wax
D ini berperan dalam immunogenitas.10-12
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu
komponen lipid, polisakarida dan protein. Saat ini telah dikenal purified antigens
dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang
memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi dalam mendiagnosis TB.
Ada juga yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam kelompok antigen
yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya
dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan
lain lain.10
2.3. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1993, WHO menyatakan TB menjadi keadaan darurat kesehatan
masyarakat global, dimana diperkirakan 7-8 juta kasus TB dan 1.3 - 1.600.000
kematian akibat TB terjadi setiap tahun. TB adalah penyebab kematian utama kedua
dari penyakit infeksi setelah HIV di seluruh dunia. Laporan WHO dalam Global
Tuberculosis Report 2012, pada tahun 2011 diperkirakan lebih dari 9 juta TB kasus
baru dan kematian akibat TB sebanyak 1,4 juta jiwa (990.000 kasus pada TB dengan
HIV negatif dan 430.000 kasus TB dengan HIV positif). Laporan WHO Regional
Asia Tenggara tahun 2012, Asia Tenggara menyumbangkan 40% dari seluruh kasus
TB tersebut. Dan dalam laporan WHO tahun 2012, pada tahun 2011 Indonesia berada
pada ranking keempat negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia. Berikut 5
negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia yaitu India (2 2,5 juta kasus), China
(0,9 1,1 juta kasus), Afrika Selatan (0,40,6 juta kasus), Indonesia dan Pakistan
(0,3-0,5 juta kasus). Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 242 juta jiwa,
pada tahun 2011 di estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 680,000 kasus
atau rata-rata kejadian 281 kasus per 100.000 penduduk (termasuk kasus TB dengan
HIV) dan estimasi insidensi berjumlah 450,000 kasus baru per tahun atau rata rata
187 kasus per 100.000 penduduk (termasuk kasus TB dengan HIV). Sedangkan kasus
TB dengan HIV saja estimasi insidensinya 15.000 kasus atau 6,2 kasus per 100.000
penduduk. Dan pencapaian Indonesia dalam penemuan kasus dalam semua bentuk
kasus TB mencapai 70 % (59-85%).3-4
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan
negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East
Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan
pengobatan pada tahun 2006.13 Profil tentang penyakit tuberkulosis di Indonesia
tahun 2011 tampak pada tabel dibawah ini.
Jumlah/100.000 penduduk
65 (29-120)
27 (12-48)
680 (310-1200)
281 (130-489)
450 (370-540)
187 (155-222)
Insidensi (HIV+TB)
15 (11-20)
6,2 (4,4-8,3)
70 (59-85)
2.4. PATOGENESIS
Secara patogenesis, perjalanan tuberkulosis ada dua yaitu tuberkulosis primer
dan tuberkulosis post primer.10
2.4.1.Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer
atau afek primer. Sarang primer mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti
oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer
bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh tanpa meninggalkan bekas
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus atau kompleks Ghon
3. Meluas dan menyebar secara perkontinuitatum, limfogen, bronkogen
maupun hematogen.
2.4.2. Tuberkulosis Post-Primer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah infeksi
primer, yang biasanya muncul di usia 15-40 tahun. Bentuk tuberkulosis inilah yang
10
11
12
Gejala Klinis.
Gejala klinis TB dibagi atas 2 golongan, yaitu gejala respiratorius berupa
batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratoris ini sangat
bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari
luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus
belum terlibat dalam proses penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak keluar. Sedangkan gejala sistemik berupa demam,
malaise, keringat malam, anoreksia dan penurunan berat badan.16-17
Pada awal perkembangan penyakit sulit menemukan kelainan pada
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan fisis dapat dijumpai antara lain suara napas
13
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diapragma dan mediastinum.10,17
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi :
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat
memberikan gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologis
yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : adanya bayangan berawan/ nodular di segmen
apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah; kaviti,
terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular;
bayangan bercak milier; efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif berupa : fibrosis, kalsifikasi,
Schwarte atau penebalan pleura. Luluh paru apabila terjadi kerusakan jaringan paru
yang berat, sulit untuk menilai lesi hanya berdasarkan gambaran radiologis sehingga
perlu pemeriksaan bakteriologis untuk memastikan akifitas penyakit.9
Menurut American Thoracic Society (ATS) dan National Tuberculosis
Association, luasnya proses akibat TB yang tampak pada foto toraks dapat dibagi
atas:16
a. Minimal lession (lesi minimal):
Bila proses TB paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction
dari dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau
korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.
b. Moderatly advanced lesion (lesi sedang)
Bila proses TB lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan
densitas sedang, tetapi luas proses tidak boleh lebih luas dari satu paru, atau
jumlah dari seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru atau bila
14
proses TB mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses tersebut
tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat / tidak
disertai kavitas. Bila diserta kavitas maka luas (diameter) semua kavitas tidak
boleh lebih dari 4 cm.
c. Far advanced lesion (lesi luas)
Kelainan lebih luas dari lesi sedang.
Berkaitan dengan luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan
pengobatan (terutama pada kasus BTA negatif), menurut panduan yang dibuat oleh
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dibagi atas 2 kategori, yaitu lesi minimal
( defenisi sama dengan defenisi oleh ATS dan National TB Association) dan lesi luas
(bila proses lebih luas dari lesi minimal).9
Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor
cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan
biopsi. Selain pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosis, juga menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-PagiSewaktu (SPS),
1. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
15
2. P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di sarana
pelayanan kesehatan.
3. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di sarana pelayanan kesehatan pada hari
kedua, saat menyerahkan dahak pagi.15
Untuk seseorang yang dicurigai suatu tuberkulosis, pemeriksaan dahak harus
dilakukan 3 kali ( sewaktu/pagi/sewaktu ) dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen.
Diagnosis TB Paru ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada
hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dikatakan positif jika 2 dari 3
spesimen dahak ditemukan BTA (+).
Ada
beberapa
tipe
interpretasi
pemeriksaan
mikroskopis,
WHO
Pemeriksaan Biakan
Peran
biakan
dan
identifikasi
Mycobacterium
tuberculosis
pada
16
Pemeriksaan Khusus
Ada beberapa tehnik baru yang dapat mendeteksi kuman TB, seperti : BACTEC :
dengan metode radiometrik, dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam
lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya. Polymerase chain reaction (PCR) :
dengan cara mendeteksi DNA dari M.tuberculosis. pemeriksaan serologis : ELISA,
ICT, Mycodot, dan PAP.9
17
18
serta
mencegah
penularan
dengan
cara
menyembuhkan
pasien.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
SIFAT
Isoniazid (H)
Bakterisid
Rifampicin (R)
Bakterisid
Pyrazinamide (Z)
Bakterisid
Streptomycin (S)
Bakterisid
Ethambutol (E)
Bakteriostatik
19
2HRZE/4H3R3
2HRZE/4HR
2HRZE/6HE
Kategori 2 :
-
2HRZES/HRZE/5H3R3E3
2HRZES/HRZE/5HRE
Kategori 3 :
-
2HRZ/4H3R3
2HRZ/4HR
2HRZ/6HE
20
Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: pasien baru TB paru BTA
positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, pasien TB ekstra paru
Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
21
22
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang
lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan
pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah : sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang, sindrom
perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare,
sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah : hepatitis imbas obat atau
ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus, purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan
gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan
dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang.
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata,
air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu
khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan
kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi
reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
23
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan
okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya
15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu.
Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko
tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala
efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau
dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi
hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang
terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi
segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi
0,25gr. Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan
pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
24
Evaluasi klinik
1. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama penggobatan
selanjutnya tiap 1 bulan
2. Evaluasi : respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit.
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0-2-4-6-5-6/ 7-8-9)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi sputum
2. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopik
1. Sebelum pengobatan dimulai
2. Setelah 2 bulan pengobatan/ setelah fase intensif
3. 2 bulan sebelum akhir pengobatan
4. Pada akhir pengobatan.
-
25
26
27