Post Polio Syndrome
Post Polio Syndrome
Post Polio Syndrome
BAB I.......................................................................................................................4
Pendahuluan.............................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
Sindrom Pasca Polio................................................................................................5
2.1 Definisi...............................................................................................................5
2.2 Penyebab...................................................................................................7
2.3 Efek Neuromuskular........................................................................................8
BAB III..................................................................................................................13
Rehabilitasi Sindrom Pasca Polio..........................................................................13
3.1 Anamnesis....................................................................................................13
3.2 Pemeriksaan.............................................................................................14
3.2.1 Manajemen terapi fisik..........................................................................19
3.2.2 Manajemen kardiorespi.........................................................................22
3.2.3 Terapi Okupasi..........................................................................................23
3.2.3.1 Energi konservasi...............................................................................24
3.2.4 Teknologi bantu.....................................................................................25
3.2.5 Vokasional.............................................................................................26
3.2.6 Perubahan gaya hidup...........................................................................26
3.2.7 TerapiWicara.............................................................................................26
BAB IV..................................................................................................................30
PENUTUP..............................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................31
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I
Pendahuluan
Poliomyelitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dan
sering dikenal dengan nama Akut flasid paralisis (AFP). Infeksi virus polio terjadi
didalam saluran pencernaan yang menyebar ke kelenjar limfe regional dan
sebagian kecil menyebar ke sistem saraf dengan predileksi pada sel anterior di
sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak sehingga akibat kerusakan
bagian susunan saraf pusat tersebut akan terjadi kelumpuhan dan atrofi otot. Sejak
Februari 2012 hanya tiga negara yang masih endemis polio yaitu Afghanistan,
Nigeria dan Pakistan. Jumlah tersebut berkurang dari 125 negara endemis polio
pada tahun 1988 sejak program eradikasi polio digulirkan diseluruh dunia.1
Sekitar 25% individu yang pernah mengalami polio timbul gejala tambahan
15-40 tahun setelah sembuh dari infeksi akut, Gejala utamanya berupa kelemahan
otot, kelelahan yang ekstrem, paralysis rekuren atau paralysis baru dan nyeri otot
yang luar biasa. Kondisi ini disebut sindrom pasca polio. Gejalanya timbul diduga
akibat kegagalan pembentukan motor unit pada tahap penyembuhan dari fase
paralitiknya.
Faktor yang meningkatkan resiko sindrom pasca polio antara lain kerusakan
residual permanen setelah penyembuhan dari fase akut dan kerja neuron yang
berlebihan.3
Adapun tujuan dari pembuatan tinjauan kepustakaan ini adalah untuk
mengetahui segala hal yang berkaitan dengan Rehabilitasi Sindrom Pasca Polio.
Mulai dari hal yang umum seperti definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi
klinis dan prognosis serta membahas mengenai rehabilitasi pasca polio.
BAB II
2.1 Definisi
Sindrom Post Polio adalah suatu kondisi timbulnya gejala baru pada pasien
yang memiliki riwayat polio sebelumnya namun dengan kondisi fungsional dan
neurologis yang stabil selama 15 tahun.
Saat ini diketahui bahwa pada beberapa pasien polio dapat timbul gejala baru
setelah serangan akut. Kelemahan otot pada pasien post polio dapat timbul
beberapa tahun setelah penyakit awal, hal ini pertama kali dipublikasikan oleh ahli
saraf dari Perancis Charcot pada tahun 1875. 3 Namun, baru pada tahun 1980-an
bahwa sindrom post polio diakui secara luas. Nama sindrom post polio (PPS)
pertama kali digunakan secara luas pada Konfrensi Post-Polio yang pertama di
Warm Springs Georgia pada tahun 1984.
2.2 Penyebab
Tidak ada penjelasan yang pasti mengenai penyebab sindrom post polio namun
beberapa teori menyebutkan bahwa penyebabnya akibat kelelahan saraf. teori ini
menjelaskan bahwa saraf-saraf motorik rusak saat terjadinya proses infeksi akut
dan meninggalkan sejumlah kecil saraf untuk mempersarafi serat otot yang
banyak. Dengan waktu dan kerja yang berlebihan, saraf-saraf ini akan menjadi
lelah sehingga akan menimbulkan denervasi pada otot 7
Saat ini belum ada terapi farmakologis untuk mengobati sindrom post polio.
Pyridostigmine merupakan salah satu obat yang pernah diteliti untuk mengobati
penyakit ini. Pyridostigmine pada dasarnya adalah obat yang digunakan untuk
mengobati kelelahan otot pada myasthenia gravis. Pyridostigmine menghambat
pemecahan
acethylcholine
oleh
enzim
cholinesterase
sehingga
akan
Saraf motorik autonom merupakan salah satu komponen sistem saraf autonom
yang mengendalikan otot polos, otot jantung dan kelenjar. Sistem saraf autonom
pada dasarnya melaksanakan kegiatan secara independen dan tidak langsung
dikendalikan oleh kesadaran. Sistem saraf autonom terutama mengendalikan
berbagai fungsi organ viseral yang sangat penting untuk mempertahankan
kehidupan, antara lain fungsi jantung dalam mengatur volume curah jantung
(cardiac ouput), fungsi pembuluh darah dalam mengatur aliran darah keberbagai
organ, dan fungsi pencernaan.
Saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun dari
sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini
terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis yang
kompleks dan juga membentuk ganglion. Serabut saraf yang terdapat pada
pangkal ganglion disebut serabut saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung
ganglion disebut serabut saraf post ganglion.
Sistem saraf autonom terdiri dari sistem saraf simpatik dan saraf parasimpatik.
Organ yang dilayani oleh saraf autonom bekerja secara autonom. Sistem ini
biasanya disebut sistem motor dan serabut aferen yang kembali dari organ interna
bukan merupakan bagian dari sistem ini. Sebagian besar organ menerima
seperangkat serabut ganda, satu perangkat melalui saraf simpatik dan yang lain
melalui parasimpatik. Ujung akson pada saraf tersebut mengeluarkan suatu zat
transmitter yang berbeda pada efektor. Serabut-serabut sistem simpatik
mengeluarkan
norepinefrin
dan
serabut-
serabut
sistem
parasimpatik
mengeluarkan asetilkolin.
Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik terletak pada posisi
ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di sepanjang tulang
belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga mempunyai serabut
pra ganglion pendek, sedangkan saraf parasimpatik mempunyai serabut pra
ganglion yang panjang karena ganglion menempel pada organ yang dibantu. Ada
tiga ganglion simpatis yang tidak tergabung dalam ganglion paravertebralis yaitu
1.
Unit motorik yang normal menunjukkan motorneurons, akson dan serabut otot
yang sehat.
2.
Virus polio awal dengan berbagai jumlah kematian motorneuron dan denervasi
3.
Pemulihan dari polio. Akson motorneurons yang masih hidup tumbuh serat baru
Awal sindrom post-polio. Terjadi lagi denervasi serabut saraf dan otot.
5.
Akhir Sindrom post-polio dengan denervasi lebih lanjut dari serat saraf dan
serabut otot.
10
BAB III
3.1 Anamnesis
Sebuah penilaian secara komprehensif dan menyeluruh diperlukan pada saat
pasien pertama kali datang untuk konsultasi sehingga dapat dijadikan dasar untuk
mengevaluasi hasil terapi pada pasien dan rencana pengobatan yang akan
diberikan kepada pasien. Penilaian pada pasien sindrom post polio terdiri dari tiga
komponen :9
1. neurologis ,
2. muskuloskeletal , dan
3. kardiorespirasi.
Aspek utama dan penting adalah penilaian pasien adalah riwayat subjektif
pasien yang harus diketahui secara rinci. Riwayat subjektif ditampilkan dalam
Tabel 1. 9
11
sindrom post polio memiliki kelemahan otot yang signifikan sebagai akibat dari
proses penyakit akut . Kelemahan yang terjadi biasanya sehingga dapat
mempengaruhi kelompok otot yang berbeda dengan berbagai macam derajat
kelemahan.
Tabel 2 Pemeriksaan Neurologis
Menurut kriteria Halstead, gejala utama dari sindrom post polio adalah
kelemahan otot secara bertahap. Hal ini diduga hasil dari degenerasi unit motorik
yang terisolasi. (lihat Gambar 1 di bawah). Namun, pada kasus imobilisasi lama,
trauma dan nyeri kronis dapat terjadi kelemahan otot. Dari hasil penelitian,
Kelemahan otot dapat ditemukan pada 38% sampai 71% pasien dengan sindrom
post polio. Kelemahan ini bersifat progresif dengan tingkat progresifitas sebesar
1% sampai 2% per tahun.5 kelemahan baru bermanifestasi secara klinis jika terjadi
atrofi otot, penurunan mobilitas, daya tahan dan fungsi. Kelemahan otot
ekstremitas bawah dapat menyebabkan Gangguan pola jalan sehingga dapat
menimbulkam masalah berupa meningkatnya resiko jatuh.10
Kapasitas otot yang berkurang pada pasien post polio menyebabkan
peningkatan usaha dan kebutuhan energi yang lebih tinggi selama melakukan
kegiatan sehari-hari.9 Kebutuhan energi selama berjalan telah terbukti secara
signifikan lebih tinggi pada subyek dengan sindrom post polio dibandingkan
dengan subyek sehat dan sangat terkait dengan tingkat kelemahan otot pada
ekstremitas bawah. Subyek sindrom post polio membutuhkan energi 40% lebih
banyak energi daripada kontrol sehat.10
13
14
13
15
16
Pemeriksaan penunjang seperti foto radiologis sendi atau MRI sumsum tulang
belakang hanya bermanfaat untuk menyingkirkan diferensial diagnosa.6
Konsultasi dengan spesialis saraf penting dalam melakukan pemeriksaan EMG,
konfirmasi diagnosis dan menyingkirkan gangguan neurologis dan otot lainnya.
Hasil pemeriksaan EMG menunjukan tanda-tanda reinervasi serupa dengan tandatanda denervasi meskipun tidak terlalu luas dan tidak terdapat gejala
polineuropati.
3.4 Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk sindrom post polio adalah
1. Riwayat polio paralisis sebelumnya
2. Sembuh sebagian sampai total dari gangguan neurologis dan fungsional
3. Lama periode stabil selama 15 tahun
4. Gejala utama berupa :
a. Kelelahan
b. Nyeri otot dan/atau sendi
c. Kelemahan baru pada otot
d. Kehilangan kemampuan fungsional
e. Tidak tahan terhadap dingin
f. Atropi baru pada otot
5. Tidak ditemukan diagnosis medis lain untuk menyingkirkan diagnosis ini
Kriteria terakhir sangat penting dalam menegakkan diagnosis, gejala lainnya
seperti
1.
Gangguan tidur.
17
2.
Kesulitan Bicara.
3.
Disfagia.
4.
Gangguan pernapasan
Gejala utama sindrom post polio adalah kelemahan otot baru. 5 Tidak ada
pemeriksaan laboratorium untuk penyakit ini dan penegakkan diagnosis hanya
mengandalkan gejala-gejala yang tampak pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksa
harus hati-hati dalam mengevaluasi dan mengobservasi riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan gejala-gejala akibat penyakit lainnya
seperti
1. Gangguan neurologis
a. Atropi otot spinal yang progresif
b. Amyotrophic Lateral Sclerosis
c. Myositis
d. Neuropati kompresi
e. Radikulopati dan spinal stenosis
2.
Gangguan muskuloskeletal
a. Penyakit sendi degeneratif
3. Gangguan Umum
a. Anemia
b. Gangguan fungsi tiroid
3.2. Latihan
18
19
2. Meningkatkan fleksibilitas
3. Mengurangi resiko osteoporosis
4. Mengurangi resiko jatuh
21
badan yang sehat dianjurkan pada pasien. Edukasi tentang postur dapat membantu
untuk mengurangi faktor yang memberatkan nyeri.21
3.2.1.2.2 Penggunaan alat bantu
Tujuan penggunaan Alat bantu adalah untuk meningkatkan mekanika pada
tubuh yang abnormal, mengoreksi dan meminimalkan kelainan postural. orthosis
yang tepat telah terbukti secara signifikan mengurangi rasa nyeri secara
keseluruhan.22
3.2.1.2.3 Elektroterapi
Terapi Panas dan TENS telah terbukti dalam menurunkan nyeri. Peregangan
juga dapat membantu menurunkan nyeri tetapi harus digunakan dengan hati-hati.14
3.2.1.2.4 Hidroterapi
Hidroterapi direkomendasikan untuk manajemen nyeri pada pasien post
polio.Air memberikan efek tahanan tetapi minimal dalam memberikan stres pada
otot dan sendi. Sifat air memungkinkan pasien untuk melakukan latihan assitif,
resistif dan supportif. Pasien post polio sebelumnya yang melukukan hidroteraopi
hingga 8 bulan menunjukkan dampak positif fungsional, rasa sakit berkurang, dan
detak jantung yang lebih rendah pada tingkat kerja submaksimal dalam uji coba
terkontrol.hidroterapi juga dapat mengakibatkan peningkatan kekuatan tanpa
memperburuk kelelahan atau nyeri. penting untuk melakukan penilaian kondisi
fisik pasien secara menyeluruh sebelum memulai program hidroterapi.23
3.2.2 Manajemen kardiorespi
Tujuan perawatan respirasi adalah untuk mencegah pasien dirawat inap,
intubasi trakea, dan infeksi saluran pernapasan, meskipun harus ditekankan bahwa
22
ini jarang terjadi. chest Fisioterapi diberikan untuk membantu pengeluaran sekret
dan mengajarkan manual teknik batuk. 24
3.2.3 Terapi Okupasi
Terapi okupasi membantu pasien dengan sindrom post polio untuk
memodifikasi gaya hidupnya sehingga dapat terus melakukan kegiatan sehari-hari.
fungsi optimal yang terbaik dapat dicapai melalui pembelajaran, menggunakan
keterampilan baru dan memodifikasi keterampilan hidup yang ada untuk
mengakomodasi efek sisa dari penyakit polio.25
Penelitian menunjukkan bahwa sindrom post polio telah mempengaruhi
berbagai macam aktivitas pasien termasuk aktivitas sehari-hari, aktivitas kerja dan
kegiatan rekreasi yang pada gilirannya mempengaruhi kualitas hidup.Perawatan
pribadi dan mobilisasi dianggap komponen utama dari aktivitas sehari-hari.26
Gejala fisik umum pada pasien dengan sindrom post polio meliputi:
1. kelelahan,
2. kelemahan,
3. atrofi otot
4. nyeri sendi atau nyeri otot
Pasien dengan sindrom post polio juga dapat menunjukkan sejumlah masalah
psikologis dan sosial dalam kaitannya dengan hidup. Terapi okupasi
bertujuanuntuk mengatasi semua komponen kinerja termasuk efek fisik,
psikologis dan sosial.27
Komponen fisik ditangani pada terapi okupasi meliputi:
1. lingkup gerak sendi
23
24
25
4. bangku,
5. pegangan tangan,
6. perangkat pembersih perawatan pribadi,
7. perangkat makan seperti adaptasi pembuka botol dan kaleng, pisau
listrik dan talenan modifikasi.
Di Irlandia, terdapat Technical Services dari Remedial Klinik Central, Dublin
yang berperan dalam menyediakan teknologi bantu penilaian kebutuhan bagi
orang-orang dengan berbagai tingkat kecacatan. Layanan ini merupakan layanan
kesehatan masyarakat.
3.2.5 Vokasional
Banyak pasien dengan sindrom post polio masih dapat bekerja sehingga
modifikasi tempat kerja adalah aspek penting dari rehabilitasi. Aspek fisik dan
emosional selama bekerja memiliki dampak besar dan pasien membutuhkan
perubahan lingkungan kerja. Dengan terapi Okupasi, pasien dapat memperoleh
bantuan berupa saran akses, ergonomi, teknologi bantu dan teknik adaptif yang
tepat untuk pekerjaanya atau pekerjaan alternatif yang memungkinkan.33
3.2.6 Perubahan gaya hidup
Pasien dengan sindrom post polio dapat mengalami sejumlah gangguan
psikologis sehingga pasien dapat mengubah persepsi diri dalam menghadapi
perubahan kemampuannya. Gordan & Feldman menunjukkan bahwa terdapat
sejumlah strategi untuk membantu orang yang hidup dengan sindrom post polio
untuk
menjaga
kemampuan
fungsionalnya
atau
mencari
cara
untuk
26
27
Jika terdapat satu atau lebih dari gejala-gejala tersebut. Pasien harus dirujuk
untuk pemeriksaan menelan yang lebih lengkap misalnya videofluoroskopi
(VFSS), pemeriksaan fiberoptik fleksibel menelan (FEES). Gangguan menelan
pada pasien polio: 37
1. kelemahan unilateral dan bilateral dinding faring,
2. mengurangi dasar lidah retraksi, dan
3. mengurangi elevasi laring mengakibatkan berkurangnya penutupan dari
vestibulum laring.
Semua gangguan ini dapat menyebabkan residu makanan pada daerah faring
sehingga menyebabkan risiko aspirasi setelah menelan. Seringkali, perubahan
postural yang dipilih untuk akan memfasilitasi menelan yang lebih baik dengan
penurunan risiko aspirasi.
Pemeriksaan klinis menelan (Clinical Swallowing Examination) dan VFSS
(Videofluoroscopic Swallowing Study) adalah dua teknik yang paling sering
digunakan untuk mengevaluasi menelan. Pemeriksaan klinis biasanya melibatkan
riwayat penyakit, penilaian klinis dan observasi waktu makan. Pemeriksaan
dengan videofluoroskopi ini adalah salah satu dari beberapa prosedur penting
yang dirancang untuk menilai keamanan untuk makan dan untuk menentukan
apakah ada strategi menelan yang dapat mengurangi risiko aspirasi. Tujuan dari
teknik ini adalah untuk memeriksa fisiologi menelan selama fase orofaringeal.
Pemeriksaan videofluoroskopi memungkinkan visualisasi struktur utama dalam
satu gambar, dapat mengikuti pergerakkan bolus dari mulut ke perut. 38
Tujuan pemeriksaan VFSS adalah : 37
1. Untuk menentukan kelainan pada anatomi dan fisiologi menelan
2. Untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi strategi pengobatan yang
memungkinkan pasien untuk makan dengan aman.
28
Secara umum, strategi terapi dimulai dengan teknik postural, diikuti oleh
manuver menelan, dan perubahan diet jika diperlukan. Teknik postural mudah
digunakan, bahkan bagi pasien dengan beberapa tingkat mobilisasi yang terbatas
dan telah terbukti efektif dalam mengurangi aspirasi pada cairan dan makanan
lain. Teknik postural akan melancarkan dan mengubah dimensi faring. Manuver
menelan memerlukan kemampuan pasien secara aktif dalam mengikuti petunjuk
dan memanipulasi menelan pada fase orofaringeal.
Prosedur instrumentasi lain yang memberikan informasi mengenai fisiologi
menelan adalah FEES. Pemeriksa mengamati makanan dan cairan saat proses
menelan sehingga dapat menerapkan intervensi terapi. Pasien diperiksa dalam
postur di mana mereka biasanya makan. Hal ini penting karena postur memiliki
dampak yang signifikan terhadap kemampuan menelan. Kemampuan pemeriksa
dalam menyimpulkan temuan dari pemeriksaan menelan akan mengarahkan
pemilihan teknik terapi.39
Pengelolaan masalah pada setiap kasus yang terkait dengan makan, minum dan
menelan ditentukan oleh hasil temuan dari semua prosedur pemeriksaan.
Sepanjang perjalanan penyakit, pasien polio harus diberikan konseling mengenai
hasil pemeriksaan dan prognosis untuk menentukan kemajuan terapi. Komplikasi
seperti aspirasi, nutrisi yang tidak memadai, dan dehidrasi harus segera diatasi.
Manajemen multidisiplin pada kasus disfagia memastikan bahwa pasien
menerima perhatian penuh dalam program rehabilitasi gangguan menelannya.
Anggota tim terdiri dari: dokter spesialis rehabilitasi medik, terapis wicara, ahli
radiologi, otolaryngologist, ahli saraf, perawat, apoteker, ahli gizi, ahli terapi
okupasi, dan fisioterapis. Komunikasi yang baik antara anggota tim sangat penting
untuk menentukan keberhasilan program terapi.
29
BAB IV
PENUTUP
Pasien dengan sindrom post polio memiliki masalah fisik yang kompleks.
Terapi fisik yang diberikan kepada pasien memiliki efek menguntungkan jangka
panjang dalam mempertahankan pasien pada kinerja fisik optimal.
Peran tim rehabilitasi medik dalam edukasi pasien sangat penting. Meskipun
tidak ada obat, pasien dan keluarganya memerlukan informasi untuk membuat
30
keputusan yang tepat tentang perawatan post polio. Pasien juga membutuhkan
tahapan intervensi yang tepat sehingga masalah saat ini dan masalah yang akan
datang dapat segera diantisipasi. Tahapan intervensi ini harus didasarkan pada
pengetahuan tentang perkembangan penyakit dan penyediaan informasi kepada
pasien post polio dan keluarga mereka secara tepat waktu. intervensi tidak
diberikan terlalu dini sebelum pasien siap menjalani terapi atau tidak juga
diberikan terlambat ketika komplikasi sekunder muncul.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ranuh,
N,
dkk.
InfeksiVirus
Poliomyelitis.2008.
Dalam
:Buku
Ajar
InfeksidanPediatriTropis.
31
5.
World Health Organization. The Disease and The Virus. Dalam :Global
Post-Polio
Syndrome;
32
33
polio patients with and without post polio syndrome. Archives of Physical
& Medical Rehabilitation, 80(2), 136-143.
27. Westbrook M, McIIwain D. (1996). Living with the late effects of
disability: a five year follow-up study of coping among post-polio
survivors. Australian Occupational Therapy Journal, 43, 60-71.
28. Klein MG, Whyte J, Keenan MA et al. (2000). The relationship
with lower extremity strength and shoulder overuse symptoms: a model
based on polio survivors. Archives of Physical and Medical Rehabilitation,
81, 789-795.
29. Wenneberg S, Ahlstrom G. (2000). Illness narratives of persons
with post polio syndrome. Journal of Advanced Nursing, 31, 354-361.
30. Kowall B. (2004). The role of occupational therapy in the
management of polio survivors. In KJ Silver & AC Gawne (eds.), Post
polio syndrome. Philadelphia: Hanley &Brefus.
31. Rodstein B, Kim D. (1999). Orthoses and adaptive equipment in
neuromuscular disorders. In DS Younger (ed), Motor disorders.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
32. Mann WC, Lane JP. (1995). Assistive technology for persons with
disabilities. Bethesda MD: American Occupational Therapy Association.
33. Gordon PA, Feldman D. (2002). Post-polio syndrome: issues and
strategies for rehabilitation counselors. Journal of Rehabilitation, 68(2),
28-32.
34. Hollingsworth L, Didelot MJ, Levington C. (2002). Post-polio
syndrome: psychological adjustment to disability. Issues in Mental Health
Nursing, 23(2), 135-156
35. C Sonies, Speech and Swallowing in Postpolio Syndromein JK
Silver & AC Gawne, (Eds), Postpolio Syndrome (2004, Philadelphia:
Hanley &Belfus), pp.105-116.
36. CA McHorney, J Robbins, K Lomax, JC Rosenbek, K Chignell, AE
Kramer & DE Bricker, The SWAL-QOL and SWAL-CARE Outcomes
Tool for Oropharyngeal Dysphagia in Adults: III. Documentation of
Reliability and Validity(2002) Dysphagia,17: 97-114.
37. J Logemann, Evaluation and Treatment
Disorders(2ed., 1998, Texas: PRO ED).
34
of
Swallowing
in
Postpoliomyelitis
Syndrome,
35