Post Polio Syndrome

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 35

DAFTAR ISI

BAB I.......................................................................................................................4
Pendahuluan.............................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
Sindrom Pasca Polio................................................................................................5
2.1 Definisi...............................................................................................................5
2.2 Penyebab...................................................................................................7
2.3 Efek Neuromuskular........................................................................................8
BAB III..................................................................................................................13
Rehabilitasi Sindrom Pasca Polio..........................................................................13
3.1 Anamnesis....................................................................................................13
3.2 Pemeriksaan.............................................................................................14
3.2.1 Manajemen terapi fisik..........................................................................19
3.2.2 Manajemen kardiorespi.........................................................................22
3.2.3 Terapi Okupasi..........................................................................................23
3.2.3.1 Energi konservasi...............................................................................24
3.2.4 Teknologi bantu.....................................................................................25
3.2.5 Vokasional.............................................................................................26
3.2.6 Perubahan gaya hidup...........................................................................26
3.2.7 TerapiWicara.............................................................................................26
BAB IV..................................................................................................................30
PENUTUP..............................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................31

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Struktur Anatomi Sel Saraf.....................................................................7


Gambar 2 Efek Neuromuscular Pada Sindrom Post Polio.......................................9

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pertanyaan-pertanyaan pada anamnesis....................................................14


Tabel 2 Pemeriksaan Neurologis............................................................................15
Tabel 3 Faktor Resiko Nyeri..................................................................................16
Tabel 4 Latihan Pada Pasien Polio.........................................................................18
Tabel 5 Gangguan Biomekanik Pada Pasien Polio................................................18
Tabel 6 Panduan Latihan Penguatan Otot..............................................................20
Tabel 7 Intervensi Fisioterapi Pada Nyeri..............................................................21

BAB I
Pendahuluan

Poliomyelitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dan
sering dikenal dengan nama Akut flasid paralisis (AFP). Infeksi virus polio terjadi
didalam saluran pencernaan yang menyebar ke kelenjar limfe regional dan
sebagian kecil menyebar ke sistem saraf dengan predileksi pada sel anterior di
sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak sehingga akibat kerusakan
bagian susunan saraf pusat tersebut akan terjadi kelumpuhan dan atrofi otot. Sejak
Februari 2012 hanya tiga negara yang masih endemis polio yaitu Afghanistan,
Nigeria dan Pakistan. Jumlah tersebut berkurang dari 125 negara endemis polio
pada tahun 1988 sejak program eradikasi polio digulirkan diseluruh dunia.1
Sekitar 25% individu yang pernah mengalami polio timbul gejala tambahan
15-40 tahun setelah sembuh dari infeksi akut, Gejala utamanya berupa kelemahan
otot, kelelahan yang ekstrem, paralysis rekuren atau paralysis baru dan nyeri otot
yang luar biasa. Kondisi ini disebut sindrom pasca polio. Gejalanya timbul diduga
akibat kegagalan pembentukan motor unit pada tahap penyembuhan dari fase
paralitiknya.
Faktor yang meningkatkan resiko sindrom pasca polio antara lain kerusakan
residual permanen setelah penyembuhan dari fase akut dan kerja neuron yang
berlebihan.3
Adapun tujuan dari pembuatan tinjauan kepustakaan ini adalah untuk
mengetahui segala hal yang berkaitan dengan Rehabilitasi Sindrom Pasca Polio.
Mulai dari hal yang umum seperti definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi
klinis dan prognosis serta membahas mengenai rehabilitasi pasca polio.

BAB II

Sindrom Pasca Polio

2.1 Definisi
Sindrom Post Polio adalah suatu kondisi timbulnya gejala baru pada pasien
yang memiliki riwayat polio sebelumnya namun dengan kondisi fungsional dan
neurologis yang stabil selama 15 tahun.
Saat ini diketahui bahwa pada beberapa pasien polio dapat timbul gejala baru
setelah serangan akut. Kelemahan otot pada pasien post polio dapat timbul
beberapa tahun setelah penyakit awal, hal ini pertama kali dipublikasikan oleh ahli
saraf dari Perancis Charcot pada tahun 1875. 3 Namun, baru pada tahun 1980-an
bahwa sindrom post polio diakui secara luas. Nama sindrom post polio (PPS)
pertama kali digunakan secara luas pada Konfrensi Post-Polio yang pertama di
Warm Springs Georgia pada tahun 1984.
2.2 Penyebab
Tidak ada penjelasan yang pasti mengenai penyebab sindrom post polio namun
beberapa teori menyebutkan bahwa penyebabnya akibat kelelahan saraf. teori ini
menjelaskan bahwa saraf-saraf motorik rusak saat terjadinya proses infeksi akut
dan meninggalkan sejumlah kecil saraf untuk mempersarafi serat otot yang
banyak. Dengan waktu dan kerja yang berlebihan, saraf-saraf ini akan menjadi
lelah sehingga akan menimbulkan denervasi pada otot 7
Saat ini belum ada terapi farmakologis untuk mengobati sindrom post polio.
Pyridostigmine merupakan salah satu obat yang pernah diteliti untuk mengobati

penyakit ini. Pyridostigmine pada dasarnya adalah obat yang digunakan untuk
mengobati kelelahan otot pada myasthenia gravis. Pyridostigmine menghambat
pemecahan

acethylcholine

oleh

enzim

cholinesterase

sehingga

akan

memperpanjang efek acethylcholine pada neuromuscular junction. Pyridostigmine


diduga secara langsung dapat mengurangi kelelahan sekaligus meningkatkan
kekuatan otot dengan mengembalikan transmisi pada neuromuscular junction
yang rusak. Hasil penelitian tersebut pyridostigmine tidak terbukti efektif. Obat
ini tidak dapat mengurangi kelelahan meskipun dapat meningkatkan sedikit
performa fisik pada pasien post polio.
Terdapat banyak cara untuk mengelola penyakit ini yang melibatkan tim dari
berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya spesialis rehabilitasi, spesialis saraf,
spesialis paru, fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, podiatri, psikolog, gizi,
pekerja sosial, perawat, orthosis dan prosthesis.
2.3 Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Motorik
Sel saraf motorik merupakan bagian dari struktur dan fungsi sistem saraf yang
berfungsi mengirim implus dari sistem saraf pusat ke otot atau kelenjar yang
hasilnya berupa tanggapan tubuh terhadap rangsangan. Badan sel saraf motorik
berada di sistem saraf pusat. Dendritnya sangat pendek berhubungan dengan
akson saraf asosiasi, sedangkan aksonnya dapat sangat panjang. Bisa dilihat dalam
gambar berikut.

Gambar 1 Struktur Anatomi Sel Saraf


Mekanisme penghantaran informasi antara reseptor dengan sistem saraf pusat
terjadi melalui proses penghantaran impuls dengan kode irama dan frekuensi
tertentu. saraf eferen disebut sebagai saraf motorik terdiri dari dua bagian yaitu
saraf motorik somatik dan saraf somatik autonom
1. Saraf motorik somatik
Saraf motorik somatik membawa implus dari pusat ke otot rangka sebagai
organ efektor melalui proses komunikasi secara biolistrik di saraf dan proses
komunikasi melalui neurotransmiter di hubungkan saraf-otot sehingga dapat
timbul kontraksi otot. Kekuatan maupun jenis kontraksi otot rangka dapat
dikendalikan oleh sistem saraf pusat maupun sistem saraf tepi. Sistem saraf
somatik turut berperan dalam proses pengendalian kinerja otot rangka yang
diperlukan untuk menyelengarakan berbagai sikap dan gerakan tubuh.
2. Saraf motorik autonom

Saraf motorik autonom merupakan salah satu komponen sistem saraf autonom
yang mengendalikan otot polos, otot jantung dan kelenjar. Sistem saraf autonom
pada dasarnya melaksanakan kegiatan secara independen dan tidak langsung
dikendalikan oleh kesadaran. Sistem saraf autonom terutama mengendalikan
berbagai fungsi organ viseral yang sangat penting untuk mempertahankan
kehidupan, antara lain fungsi jantung dalam mengatur volume curah jantung
(cardiac ouput), fungsi pembuluh darah dalam mengatur aliran darah keberbagai
organ, dan fungsi pencernaan.
Saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun dari
sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini
terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis yang
kompleks dan juga membentuk ganglion. Serabut saraf yang terdapat pada
pangkal ganglion disebut serabut saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung
ganglion disebut serabut saraf post ganglion.
Sistem saraf autonom terdiri dari sistem saraf simpatik dan saraf parasimpatik.
Organ yang dilayani oleh saraf autonom bekerja secara autonom. Sistem ini
biasanya disebut sistem motor dan serabut aferen yang kembali dari organ interna
bukan merupakan bagian dari sistem ini. Sebagian besar organ menerima
seperangkat serabut ganda, satu perangkat melalui saraf simpatik dan yang lain
melalui parasimpatik. Ujung akson pada saraf tersebut mengeluarkan suatu zat
transmitter yang berbeda pada efektor. Serabut-serabut sistem simpatik
mengeluarkan

norepinefrin

dan

serabut-

serabut

sistem

parasimpatik

mengeluarkan asetilkolin.
Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik terletak pada posisi
ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di sepanjang tulang
belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga mempunyai serabut
pra ganglion pendek, sedangkan saraf parasimpatik mempunyai serabut pra
ganglion yang panjang karena ganglion menempel pada organ yang dibantu. Ada
tiga ganglion simpatis yang tidak tergabung dalam ganglion paravertebralis yaitu

ganglion kolateral yang terdiri dari ganglion seliaka, ganglion mesenterikus


superior dan ganglion mesenterikus inferior. Ganglion parasimpatis terletak relatif
dekat kepada organ yang disarafinya bahkan ada yang terletak didalam organ yang
dipersarafi. Semua serabut preganglion baik parasimpatis maupun simpatis serta
semua serabut postganglion parasimpatis, menghasilkan asetilkolin sebagai zat
kimia perantara. Neuron yang menghasilkan asetilkolin sebagai zat kimia
perantara dinamakan neuron kolinergik sedangkan neuron yang menghasilkan
nor-adrenalin dinamakan neuron adrenergik. Sistem saraf parasimpatis dengan
demikian dinamakan juga sistem saraf kolinergik, sistem saraf simpatis sebagian
besar merupakan sistem saraf adrenergik dimana postganglionnya menghasilkan
nor-adrenalin dan sebagian kecil berupa sistem saraf kolinergik dimana
postganglionnya menghasilkan asetilkolin. Distribusi anatomik sistem saraf
otonom ke organ-organ visera, memperlihatkan bahwa terdapat keseimbangan
pengaruh simpatis dan parasimpatis pada satu organ. Umumnya tiap organ visera
dipersarafi oleh keduanya. Bila sistem simpatis yang sedang meningkat, maka
pengaruh parasimpatis terhadap organ tersebut kurang tampak, dan sebaliknya.
Dapat dikatakan pengaruh simpatis terhadap satu organ berlawanan dengan
pengaruh parasimpatisnya.
2.4 Efek Neuromuskular Pada Sindrom Post Polio

Gambar 2 Efek Neuromuscular Pada Sindrom Post Polio

1.

Unit motorik yang normal menunjukkan motorneurons, akson dan serabut otot

yang sehat.
2.

Virus polio awal dengan berbagai jumlah kematian motorneuron dan denervasi

serabut otot (garis putus-putus).

3.

Pemulihan dari polio. Akson motorneurons yang masih hidup tumbuh serat baru

untuk menginervasi serabut otot.


4.

Awal sindrom post-polio. Terjadi lagi denervasi serabut saraf dan otot.

5.

Akhir Sindrom post-polio dengan denervasi lebih lanjut dari serat saraf dan

serabut otot.

Gambar 2 Efek Neuromuscular Pada Sindrom Post Polio (diambil dari


kepustakaan no 10 )

10

BAB III

Rehabilitasi Sindrom Post Polio

3.1 Anamnesis
Sebuah penilaian secara komprehensif dan menyeluruh diperlukan pada saat
pasien pertama kali datang untuk konsultasi sehingga dapat dijadikan dasar untuk
mengevaluasi hasil terapi pada pasien dan rencana pengobatan yang akan
diberikan kepada pasien. Penilaian pada pasien sindrom post polio terdiri dari tiga
komponen :9
1. neurologis ,
2. muskuloskeletal , dan
3. kardiorespirasi.
Aspek utama dan penting adalah penilaian pasien adalah riwayat subjektif
pasien yang harus diketahui secara rinci. Riwayat subjektif ditampilkan dalam
Tabel 1. 9

11

Tabel 1 Pertanyaan-pertanyaan pada anamnesis

3.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan neurologis standar harus dilakukan terutama untuk menilai


kekuatan otot rangka meskipun kekuatan otot merupakan bagian dari pemeriksaan
muskuloskeletal. Pemeriksaan lainnya dapat dilihat di tabel 2. Pasien dengan
12

sindrom post polio memiliki kelemahan otot yang signifikan sebagai akibat dari
proses penyakit akut . Kelemahan yang terjadi biasanya sehingga dapat
mempengaruhi kelompok otot yang berbeda dengan berbagai macam derajat
kelemahan.
Tabel 2 Pemeriksaan Neurologis

Menurut kriteria Halstead, gejala utama dari sindrom post polio adalah
kelemahan otot secara bertahap. Hal ini diduga hasil dari degenerasi unit motorik
yang terisolasi. (lihat Gambar 1 di bawah). Namun, pada kasus imobilisasi lama,
trauma dan nyeri kronis dapat terjadi kelemahan otot. Dari hasil penelitian,
Kelemahan otot dapat ditemukan pada 38% sampai 71% pasien dengan sindrom
post polio. Kelemahan ini bersifat progresif dengan tingkat progresifitas sebesar
1% sampai 2% per tahun.5 kelemahan baru bermanifestasi secara klinis jika terjadi
atrofi otot, penurunan mobilitas, daya tahan dan fungsi. Kelemahan otot
ekstremitas bawah dapat menyebabkan Gangguan pola jalan sehingga dapat
menimbulkam masalah berupa meningkatnya resiko jatuh.10
Kapasitas otot yang berkurang pada pasien post polio menyebabkan
peningkatan usaha dan kebutuhan energi yang lebih tinggi selama melakukan
kegiatan sehari-hari.9 Kebutuhan energi selama berjalan telah terbukti secara
signifikan lebih tinggi pada subyek dengan sindrom post polio dibandingkan
dengan subyek sehat dan sangat terkait dengan tingkat kelemahan otot pada
ekstremitas bawah. Subyek sindrom post polio membutuhkan energi 40% lebih
banyak energi daripada kontrol sehat.10

13

Pengujian kekuatan otot menggunakan MRC (Oxford) grading harus dilakukan


secara rutin.Untuk mendapatkan hasil yang lebih obyektif dapat menggunakan
dinnamometer atau perangkat lain yg serupa. Hal ini dapat memberikan lebih
banyak informasi dan memungkinkan deteksi lebih dini otot yang lemah
dibanding pengujian secara manual.Pengujian harus dilakukan hati-hati agar tidak
menimbulkan kelelahan dan kram otot pada pasien. Pemeriksa juga harus
memperhatikan gerakan-gerakan yang timbul sebagai kompensasi akibat
kelemahan otot dan riwayat pembedahan seperti tendon transfer yang dapat
mempengaruhi pengujian kekuatan otot.11
Pemeriksaan muskuloskeletal standar harus dilakukan secara subyektif pada
daerah yang nyeri. Rentang pergerakan sendi harus dicatat secara objektif dan
pemeriksaan postural dilakukan secara rinci untuk mengevaluasi deformitas.12
Nyeri adalah salah satu gejala yang paling umum ditemukan pada pasien post
polio dengan 38% sampai 86% adalah nyeri otot dan 42% sampai 80% adalah
nyeri sendi. Faktor risiko untuk nyeri dirangkum dalam Tabel 312
Tabel 3 Faktor Resiko Nyeri

Nyeri sendi dapat disebabkan akibat sendi terlalu sering digunakan,


penggunaan alat bantu gerak dan biomekanika yang tidak normal. Nyeri pada kaki
dan punggung bawah lebih sering terjadi pada pasien yang berjalan secara
independen, sedangkan nyeri ekstremitas atas lebih sering terjadi pada pasien
yang menggunakan tongkat atau kursi roda. Nyeri sering terjadi pada Bahu, lutut,
punggung bawah, dan pergelangan kaki / kaki. Nyeri lebih sering terjadi pada
pasien dengan tingkat aktivitas dengan intensitas yang lebih tinggi menunjukkan
bahwa pasien polio yang yang lebih aktif akan lebih banyak mengeluhkan nyeri.

14

13

Pasien juga akan mengeluhkan intoleransi terhadap dingin, pasien akan

mengeluhkan bahwa Banyak juga mengalami signifikan ketidaknyamanan akibat


intoleransi dingin. Pasien akan mengeluh bahwa anggota tubuh mereka terasa
dingin, dan akibat dari paparan akibat dingin menyebabkan kelemahan.13
Virus polio dapat mempengaruhi pusat pernafasan dan otot-otot pernafasan
sehingga akan mengurangi fungsi kardiopulmonal. 42% pasien post polio
mengeluhkan masalah pernafasan. 14
Pasien yang membutuhkan dukungan ventilator selama menderita polio dan
menderita polio diatas usia 10 tahun beresiko tinggi mengalami gangguan
pernafasan dan kelelahan. Status kardiorespi tampak normal saat istirahat, namun
akan tampak saat pasien dilakukan uji latih.14
Pemeriksaan kardiorespi dilakukan dengan menilai riwayat penyakit pasien,
peak flow, saturasi oksigen, dan hasil dari uji fungsi paru.14
Pasien yang mengeluhkan kelelahan, sakit kepala di pagi hari, gangguan tidur,
tidak bergairah, gangguan konsentrasi dan memori, hipoventilasi alveolar kronis,
dan sleep apneu harus dicurigai bahwa pasien memiliki gangguan kardiopulmonal
dan dirujuk ke spesialis jantung/paru.15
Teknik ekspirasi paksa seperti teknik batuk digunakan untuk menilai
kemampuan pasien dalam mengeluarkan ekspektoran secara efektif. Pasien-pasien
dengan dukungan alat ventilasi membutuhkan keterlibatan rehabilitasi medik
dalam mengelola pasien seperti terapi oksigen.15
Daya tahan kardiorespirasi dapat dinilai secara subyektif dengan meminta
pasien seberapa jauh pasien dapat berjalan tanpa sesak napas, The American
College of Sports Medicine's merekomendasi untuk pengujian pasien dengan
sindrom post polio ditampilkan dalam Tabel 4.16

15

Tabel 4 Pengujian Pada Pasien Polio

Penilaian mobilisasi termasuk analisis gait harus dilakukan karena sebagian


besar pasien post polio mengeluh gangguan mobilisasi. Kecepatan berjalan akan
lebih lambat. Beberapa kelainan biomekanik yang lebih sering terjadi pada pasien
post polio lebih rinci dapat dilihat dalam Tabel 5 14
Tabel 5 Gangguan Biomekanik Pada Pasien Polio

Analisis gait juga harus mencakup evaluasi penggunaan orthosis untuk


memastikan ukurannya fit, pasien mengami perbaikan dan kesesuaian pemakaian
orthosis. Orthoses yang lama mungkin tidak cocok lagi untuk pasien sehingga
membutuhkan orthoses baru, pergantian ini dapat meningkatkan gait, mengurangi
konsumsi energi saat berjalan dan meningkatkan kemampuan berjalan.17

3.3 Pemeriksaan Penunjang

16

Pemeriksaan penunjang seperti foto radiologis sendi atau MRI sumsum tulang
belakang hanya bermanfaat untuk menyingkirkan diferensial diagnosa.6
Konsultasi dengan spesialis saraf penting dalam melakukan pemeriksaan EMG,
konfirmasi diagnosis dan menyingkirkan gangguan neurologis dan otot lainnya.
Hasil pemeriksaan EMG menunjukan tanda-tanda reinervasi serupa dengan tandatanda denervasi meskipun tidak terlalu luas dan tidak terdapat gejala
polineuropati.
3.4 Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk sindrom post polio adalah
1. Riwayat polio paralisis sebelumnya
2. Sembuh sebagian sampai total dari gangguan neurologis dan fungsional
3. Lama periode stabil selama 15 tahun
4. Gejala utama berupa :
a. Kelelahan
b. Nyeri otot dan/atau sendi
c. Kelemahan baru pada otot
d. Kehilangan kemampuan fungsional
e. Tidak tahan terhadap dingin
f. Atropi baru pada otot
5. Tidak ditemukan diagnosis medis lain untuk menyingkirkan diagnosis ini
Kriteria terakhir sangat penting dalam menegakkan diagnosis, gejala lainnya
seperti
1.

Gangguan tidur.

17

2.

Kesulitan Bicara.

3.

Disfagia.

4.

Gangguan pernapasan

Gejala utama sindrom post polio adalah kelemahan otot baru. 5 Tidak ada
pemeriksaan laboratorium untuk penyakit ini dan penegakkan diagnosis hanya
mengandalkan gejala-gejala yang tampak pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksa
harus hati-hati dalam mengevaluasi dan mengobservasi riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan gejala-gejala akibat penyakit lainnya
seperti
1. Gangguan neurologis
a. Atropi otot spinal yang progresif
b. Amyotrophic Lateral Sclerosis
c. Myositis
d. Neuropati kompresi
e. Radikulopati dan spinal stenosis
2.

Gangguan muskuloskeletal
a. Penyakit sendi degeneratif

3. Gangguan Umum
a. Anemia
b. Gangguan fungsi tiroid

3.2. Latihan

18

3.2.1 Manajemen terapi fisik


Terapi fisik merupakan landasan manajemen pada sindrom post polio. Terdapat
bukti mengenai efektivitas terapi fisik dalam mengurangi masalah pasien terkait
sindrom post polio. Pasien dengan sindrom post polio harus memiliki akses ke
pelayanan fisioterapi , dan pengobatan harus tersedia sesuai dengan kebutuhan
pasien. Kebutuhan ini cenderung berubah dengan waktu , sehingga pasien
dianjurkan untuk mengikuti terapi fisik seumur hidupnya.9
Manajemen kelemahan pada pasien post polio dengan latihan masih
kontroversial. Beberapa laporan kasus (1915-1957) mencatat bahwa latihan
mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada unit motor untuk yang sudah rentan
dan mengakibatkan peningkatan kelemahan. Tetapi laporan lainnya (1948-1966)
mencatat bahwa latihan menghasilkan perbaikan kekuatan otot.18
Penelitian terbaru menemukan bahwa program latihan dapat bermanfaat bagi
pasien namun harus dipantau secara hati-hati. Selain itu, ditemukan bahwa
pelatihan tidak berdampak pada kelangsungan hidup neuron motorik otot-otot
yang sudah dilatih. Penelitian lain telah meneliti efek latihan intensitas sedang,
dan menemukan peningkatan kekuatan otot secara keseluruhan, tetapi beberapa
penelitian menunjukan bahwa terjadi pengurangan kekuatan otot dan peningkatan
nyeri pada sebagian kecil pasien.19
Disarankan bahwa pasien harus belajar untuk memantau dan mengelola
kelemahan dan kelelahan sebelum memulai program latihan dan latihan tambahan
harus benar-benar dihindari pada pasien yang terlalu lemah, lelah dan
menghabiskan sebagian besar energinya hanya untuk melakukan kegiatan seharihari. Disamping itu, rasa nyeri saat aktivitas harus dihindari dan dianggap sebagai
tanda peringatan. Rekomendasi latihan penguatan otot dirangkum di bawah ini di
Tabel 6 19

19

Tabel 6 Panduan Latihan Penguatan Otot

3.2.1.1 Latihan aerobik


Latihan aerobik pada pasien post polio diperlukan untuk memenuhi
pengeluaran energi yang lebih besar dalam kegiatan sehari-hari seperti berjalan.
Latihan aerobik diharapkan tidak menyebabkan kelelahan otot, kelelahan umum
dan nyeri.
1. Durasi : Dean dan Ross melaporkan telah terjadi peningkatan energi
setelah dilakukan latihan aerobik intensitas rendah pada treadmill
selama 30-40 menit, 3 kali seminggu selama 6 minggu.20
2. Tipe latihan :

a. Berjalan pada lantai atau treadmill disarankan pada pasien yang


tidak memiliki kelemahan pada ekstremitas bawah
b. Ergometer direkomendasikan untuk pasien yang memiliki

kelemahan ekstremitas bawah


3.2.1.2 Latihan peregangan
Latihan peregangan penting untuk meningkatkan panjang otot dan ROM
untuk aktifitas sehari-hari seperti meraih dan berjalan, latihan peregangan dapat
membantu :
1. Mengontrol nyeri
20

2. Meningkatkan fleksibilitas
3. Mengurangi resiko osteoporosis
4. Mengurangi resiko jatuh

3.2.1.2 Manajemen nyeri


Manajemen nyeri tergantung kepada penyebab dan faktor-faktor yang
memberatkan nyeri pada masing-masing individu. Hal ini penting untuk
mengidentifikasi jenis nyeri dan pemberian pengobatan yang tepat. Intervensi
yang dapat mengurangi rasa nyeri dirangkum dalam Tabel 7
Tabel 7 Intervensi Fisioterapi Pada Nyeri

3.2.1.2.1 Modifikasi level aktivitas


Nyeri dan kram otot terjadi akibat dari aktivitas berlebihan pada otot.
Pengurangan aktivitas, waktu istirahat yang teratur, penurunan berat badan dan
penggunaan alat-alat bantu yang dapat membantu mengurangi nyeri otot.21
Tingkat aktivitas telah terbukti dapat menyebabkan nyeri sehingga perlu
dilakukan pengurangan aktifitas. penelitian lain menunjukkan bahwa BMI yang
lebih tinggi berisiko lebih tinggi terhadap nyeri sendi, sehingga menjaga berat

21

badan yang sehat dianjurkan pada pasien. Edukasi tentang postur dapat membantu
untuk mengurangi faktor yang memberatkan nyeri.21
3.2.1.2.2 Penggunaan alat bantu
Tujuan penggunaan Alat bantu adalah untuk meningkatkan mekanika pada
tubuh yang abnormal, mengoreksi dan meminimalkan kelainan postural. orthosis
yang tepat telah terbukti secara signifikan mengurangi rasa nyeri secara
keseluruhan.22
3.2.1.2.3 Elektroterapi
Terapi Panas dan TENS telah terbukti dalam menurunkan nyeri. Peregangan
juga dapat membantu menurunkan nyeri tetapi harus digunakan dengan hati-hati.14
3.2.1.2.4 Hidroterapi
Hidroterapi direkomendasikan untuk manajemen nyeri pada pasien post
polio.Air memberikan efek tahanan tetapi minimal dalam memberikan stres pada
otot dan sendi. Sifat air memungkinkan pasien untuk melakukan latihan assitif,
resistif dan supportif. Pasien post polio sebelumnya yang melukukan hidroteraopi
hingga 8 bulan menunjukkan dampak positif fungsional, rasa sakit berkurang, dan
detak jantung yang lebih rendah pada tingkat kerja submaksimal dalam uji coba
terkontrol.hidroterapi juga dapat mengakibatkan peningkatan kekuatan tanpa
memperburuk kelelahan atau nyeri. penting untuk melakukan penilaian kondisi
fisik pasien secara menyeluruh sebelum memulai program hidroterapi.23
3.2.2 Manajemen kardiorespi
Tujuan perawatan respirasi adalah untuk mencegah pasien dirawat inap,
intubasi trakea, dan infeksi saluran pernapasan, meskipun harus ditekankan bahwa

22

ini jarang terjadi. chest Fisioterapi diberikan untuk membantu pengeluaran sekret
dan mengajarkan manual teknik batuk. 24
3.2.3 Terapi Okupasi
Terapi okupasi membantu pasien dengan sindrom post polio untuk
memodifikasi gaya hidupnya sehingga dapat terus melakukan kegiatan sehari-hari.
fungsi optimal yang terbaik dapat dicapai melalui pembelajaran, menggunakan
keterampilan baru dan memodifikasi keterampilan hidup yang ada untuk
mengakomodasi efek sisa dari penyakit polio.25
Penelitian menunjukkan bahwa sindrom post polio telah mempengaruhi
berbagai macam aktivitas pasien termasuk aktivitas sehari-hari, aktivitas kerja dan
kegiatan rekreasi yang pada gilirannya mempengaruhi kualitas hidup.Perawatan
pribadi dan mobilisasi dianggap komponen utama dari aktivitas sehari-hari.26
Gejala fisik umum pada pasien dengan sindrom post polio meliputi:
1. kelelahan,
2. kelemahan,
3. atrofi otot
4. nyeri sendi atau nyeri otot
Pasien dengan sindrom post polio juga dapat menunjukkan sejumlah masalah
psikologis dan sosial dalam kaitannya dengan hidup. Terapi okupasi
bertujuanuntuk mengatasi semua komponen kinerja termasuk efek fisik,
psikologis dan sosial.27
Komponen fisik ditangani pada terapi okupasi meliputi:
1. lingkup gerak sendi

23

2. kekuatan otot, dan


3. daya tahan
Keterbatasan dalam komponen fisik dapat mengindikasikan perlunya
penyediaan alat bantu khusus, teknik adaptif dan / atau pelaksanaan pedoman
konservasi energi untuk mengoptimalkan kinerja dalam aktivitas sehari-hari.
Terapi okupasi fokus pada fungsi ekstremitas atas untuk mempromosikan
kemandirian pasien dalam kegiatan sehari-harinya. Fungsi ekstremitas atas sering
terganggu pada sindrom post polio. Selain itu, penelitian telah menunjukkan
bahwa pasien post polio dengan kelemahan ekstremitas bawah beresiko
berkembang menjadi gangguan ekstremitas atas seperti arthritis dan aktivitas
berlebihan pada bahu sebagai akibat penggunaan jangka panjang kursi roda
manual dan crutches. Oleh karena itu, dengan mengevaluasi bagaimana seseorang
dengan post polio bergerak dan menggunakan alat-alat bantu menentukan jenis
dan penggunaan alat bantu yang tepat. 28
Respon sosial dan psikologis pasien dengan sindrom post polio juga ditangani
pada terapi okupasi. Wenneberg & Ahlstrom menemukan bahwa pasien dengan
sindrom post polio menunjukkan kecemasan akibat peningkatan ketergantungan
pada orang lain. Oleh karena itu, sangat penting pada terapi okupasi untuk
mengevaluasi bagaimana respon psikososial terhadap status kesehatan pasien
sehingga dapat mempengaruhi partisipasi pasien dalam semua bidang kerja.29
Intervensi umum pada okupasi terapi :
3.2.3.1 Energi konservasi
Program konservasi energi dikembangkan dengan meliputi:
1. Neuropsikologi kelelahan pada sindrom post polio,
2. Penyebab kelelahan yang berlebihan dan,

24

3. Teknik konservasi energi


4. Splint dan orthosis ekstremitas atas
Pemberian splint dan orthosis ekstremitas atas yang tepat merupakan fokus dari
terapi okupasi. splints dan orthoses ini digunakan untuk mendukung: 30
1. Sendi yang lemah
2. Konservasi kesatuan sendi
3. Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh posisi ekstremitas yang salah
dan regangan berlebihan
Arm support yang dinamis sering digunakan untuk penderita polio dengan
kelemahan ekstremitas atas bagian proksimal yang parah. Alat ini melekat pada
kursi atau kursi roda dan memiliki engsel pada siku dengan lengan
gutter.Pemberian splints dan orthosis ekstremitas atas disesuaikan dengan posisi
dan postur tubuh yang benar beserta penggunaanya dengan menyesuaikan waktu
istirahat dan bekerja. 31
3.2.4 Teknologi bantu
Teknologi bantu didefinisikan sebagai setiap peralatan atau produk yang
dimodifikasi atau disesuaikan untuk mempertahankan atau meningkatkan
kemampuan fungsional penyandang kecacatan.32
Alat Bantu standar untuk kegiatan sehari-hari umumnya meliputi:
1. Alat bantu mandi / shower
2. kursi malas
3. tempat tidur

25

4. bangku,
5. pegangan tangan,
6. perangkat pembersih perawatan pribadi,
7. perangkat makan seperti adaptasi pembuka botol dan kaleng, pisau
listrik dan talenan modifikasi.
Di Irlandia, terdapat Technical Services dari Remedial Klinik Central, Dublin
yang berperan dalam menyediakan teknologi bantu penilaian kebutuhan bagi
orang-orang dengan berbagai tingkat kecacatan. Layanan ini merupakan layanan
kesehatan masyarakat.
3.2.5 Vokasional
Banyak pasien dengan sindrom post polio masih dapat bekerja sehingga
modifikasi tempat kerja adalah aspek penting dari rehabilitasi. Aspek fisik dan
emosional selama bekerja memiliki dampak besar dan pasien membutuhkan
perubahan lingkungan kerja. Dengan terapi Okupasi, pasien dapat memperoleh
bantuan berupa saran akses, ergonomi, teknologi bantu dan teknik adaptif yang
tepat untuk pekerjaanya atau pekerjaan alternatif yang memungkinkan.33
3.2.6 Perubahan gaya hidup
Pasien dengan sindrom post polio dapat mengalami sejumlah gangguan
psikologis sehingga pasien dapat mengubah persepsi diri dalam menghadapi
perubahan kemampuannya. Gordan & Feldman menunjukkan bahwa terdapat
sejumlah strategi untuk membantu orang yang hidup dengan sindrom post polio
untuk

menjaga

kemampuan

fungsionalnya

atau

mencari

cara

untuk

mengakomodasi keterbatasannya, diantaranya 34


1. Memeriksa respon pasien terhadap kecacatan dan masalah yang
dihadapinya

26

2. Memberikan pengetahuan tentang layanan yang tersedia dan,


3. Membantu dalam memodifikasi gaya hidup dan pekerjaannya
3.2.7 TerapiWicara
Tingkat prevalensi dysphagia dan dysphonia pada pasien polio berkisar dari
20-60% . Hal ini terjadi karena adanya kelemahan pada otot-otot mulut, faring dan
laring sebagai hasil dari degenerasi saraf yang lebih lanjut pada pasien dengan
sindrom post polio.35
Disfagia adalah "kesulitan menggerakkan makanan dari mulut ke perut" .
Beberapa ahli telah menggunakan definisi alternatif yang memperluas makna dari
disfagia dengan memasukkan semua perilaku, sensorik, dan motorik yang
bertindak dalam persiapan menelan. Definisi ini meliputi aspek kognitif situasi
makan, pengenalan visual makanan, dan semua respon fisiologis terhadap aroma
makanan seperti peningkatan salivasi. Disfagia juga mempengaruhi fungsi sosialbiologis yang paling dasar yaitu kemampuan untuk makan dan minum.36
Beberapa orang yang terjangkit polio selama tahun 1950, saat ini mengalami
peningkatan kelemahan otot, termasuk kesulitan menelan. Pasien polio belum
tentu memiliki kesulitan menelan saat gejala awal polio. Beberapa gejala disfagia
meliputi:37
1. penurunan berat badan
2. kehilangan nafsu makan,
3. batuk atau tersedak ketika makan,
4. makanan menempel di tenggorokan,
5. kesulitan menelan obat

27

Jika terdapat satu atau lebih dari gejala-gejala tersebut. Pasien harus dirujuk
untuk pemeriksaan menelan yang lebih lengkap misalnya videofluoroskopi
(VFSS), pemeriksaan fiberoptik fleksibel menelan (FEES). Gangguan menelan
pada pasien polio: 37
1. kelemahan unilateral dan bilateral dinding faring,
2. mengurangi dasar lidah retraksi, dan
3. mengurangi elevasi laring mengakibatkan berkurangnya penutupan dari
vestibulum laring.
Semua gangguan ini dapat menyebabkan residu makanan pada daerah faring
sehingga menyebabkan risiko aspirasi setelah menelan. Seringkali, perubahan
postural yang dipilih untuk akan memfasilitasi menelan yang lebih baik dengan
penurunan risiko aspirasi.
Pemeriksaan klinis menelan (Clinical Swallowing Examination) dan VFSS
(Videofluoroscopic Swallowing Study) adalah dua teknik yang paling sering
digunakan untuk mengevaluasi menelan. Pemeriksaan klinis biasanya melibatkan
riwayat penyakit, penilaian klinis dan observasi waktu makan. Pemeriksaan
dengan videofluoroskopi ini adalah salah satu dari beberapa prosedur penting
yang dirancang untuk menilai keamanan untuk makan dan untuk menentukan
apakah ada strategi menelan yang dapat mengurangi risiko aspirasi. Tujuan dari
teknik ini adalah untuk memeriksa fisiologi menelan selama fase orofaringeal.
Pemeriksaan videofluoroskopi memungkinkan visualisasi struktur utama dalam
satu gambar, dapat mengikuti pergerakkan bolus dari mulut ke perut. 38
Tujuan pemeriksaan VFSS adalah : 37
1. Untuk menentukan kelainan pada anatomi dan fisiologi menelan
2. Untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi strategi pengobatan yang
memungkinkan pasien untuk makan dengan aman.
28

Secara umum, strategi terapi dimulai dengan teknik postural, diikuti oleh
manuver menelan, dan perubahan diet jika diperlukan. Teknik postural mudah
digunakan, bahkan bagi pasien dengan beberapa tingkat mobilisasi yang terbatas
dan telah terbukti efektif dalam mengurangi aspirasi pada cairan dan makanan
lain. Teknik postural akan melancarkan dan mengubah dimensi faring. Manuver
menelan memerlukan kemampuan pasien secara aktif dalam mengikuti petunjuk
dan memanipulasi menelan pada fase orofaringeal.
Prosedur instrumentasi lain yang memberikan informasi mengenai fisiologi
menelan adalah FEES. Pemeriksa mengamati makanan dan cairan saat proses
menelan sehingga dapat menerapkan intervensi terapi. Pasien diperiksa dalam
postur di mana mereka biasanya makan. Hal ini penting karena postur memiliki
dampak yang signifikan terhadap kemampuan menelan. Kemampuan pemeriksa
dalam menyimpulkan temuan dari pemeriksaan menelan akan mengarahkan
pemilihan teknik terapi.39
Pengelolaan masalah pada setiap kasus yang terkait dengan makan, minum dan
menelan ditentukan oleh hasil temuan dari semua prosedur pemeriksaan.
Sepanjang perjalanan penyakit, pasien polio harus diberikan konseling mengenai
hasil pemeriksaan dan prognosis untuk menentukan kemajuan terapi. Komplikasi
seperti aspirasi, nutrisi yang tidak memadai, dan dehidrasi harus segera diatasi.
Manajemen multidisiplin pada kasus disfagia memastikan bahwa pasien
menerima perhatian penuh dalam program rehabilitasi gangguan menelannya.
Anggota tim terdiri dari: dokter spesialis rehabilitasi medik, terapis wicara, ahli
radiologi, otolaryngologist, ahli saraf, perawat, apoteker, ahli gizi, ahli terapi
okupasi, dan fisioterapis. Komunikasi yang baik antara anggota tim sangat penting
untuk menentukan keberhasilan program terapi.

29

BAB IV
PENUTUP

Pasien dengan sindrom post polio memiliki masalah fisik yang kompleks.
Terapi fisik yang diberikan kepada pasien memiliki efek menguntungkan jangka
panjang dalam mempertahankan pasien pada kinerja fisik optimal.
Peran tim rehabilitasi medik dalam edukasi pasien sangat penting. Meskipun
tidak ada obat, pasien dan keluarganya memerlukan informasi untuk membuat

30

keputusan yang tepat tentang perawatan post polio. Pasien juga membutuhkan
tahapan intervensi yang tepat sehingga masalah saat ini dan masalah yang akan
datang dapat segera diantisipasi. Tahapan intervensi ini harus didasarkan pada
pengetahuan tentang perkembangan penyakit dan penyediaan informasi kepada
pasien post polio dan keluarga mereka secara tepat waktu. intervensi tidak
diberikan terlalu dini sebelum pasien siap menjalani terapi atau tidak juga
diberikan terlambat ketika komplikasi sekunder muncul.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Ranuh,

N,

dkk.

InfeksiVirus

Poliomyelitis.2008.

Dalam :PedomanImunisasi Di Indonesia. SatgasImunisasi IDAI. Jakarta


2. Simoes, Eric A. F. Polioviruses. 2003. Dalam : Behrman,
Kliegman, Arvin (ed). Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. Elsevier
Science. Philadelpia. WHO
3. Soedarmo, Sumarno S. Purwo, dkk. InfeksiVirus:Poliomyelitis.
2008.

Dalam

:Buku

Ajar

InfeksidanPediatriTropis.

EdisiKedua.BadanPenerbit IDAI. Jakarta


4. Ismoedijanto. Progress and challenges toward poliomyelitis
eradication in Indonesia. Department of Child Health, School of Medicine:
Airlangga University Surabaya Indonesia. Vol 34 ; 3 : 2003 : 598-604.

31

5.

Miller N. The polio vaccine: a critical assessment of its arcane

history, efficacy, and long-term health-related consequences. N.Z.


Miller/Medical Veritas 1 (2004) 239251
6.

World Health Organization. The Disease and The Virus. Dalam :Global

Polio Eradication Initiative.


7.

Wenner, Kenneth M. MD. Poliomyelitis. Medline Medical Encyclopedia.

Last Updated : January, 22nd 2008.


8.

Herremans T, Reimerink J, Buisman A, Kimman T, Koopmasn T.

Induction of mucosal immunity by inactivated poliovirus vaccine is


dependent on previous mucosal contact with live virus. Chapter 5; 2007:
73-86
9. Farbu E, Rekand T, Gilhus NE. (2003). Post-polio syndrome and
total healthstatus in a prospective hospital study. Eur. J. Neurol.
Jul;10(4):407-13.
10. Halstead LS. (2004). Diagnosing Postpolio Syndrome: Inclusion
and Exclusion Criteria. In: Silver JK, Gawne, AC. Post Polio Syndrome.
Philadelphia: Hanley and Brefus. pp1-20.
11. Stolwijk-Swuste JM, Beelan A, Lankhorst GJ, Nollet F. (2005) The
CARPA study group. The course of functional status and muscle strength
in patients with late-onset sequelae of poliomyelitis: a systematic review.
Arch. Phys. Med. Rehabil. 86:1693-701
12. Gawne AC, Halstead LS. (1995).

Post-Polio

Syndrome;

Pathophysiology and Clinical Management. Critical Reviews in Physical


and Rehabilitation Medicine7;(2):147-188.
13. Klein MG, Keenan MA, Esquenazi A, Costello R, Polansky M.
(2004).Musculoskeletal pain in polio survivors and strength-matched
controls. Arch. Phys. Med. Rehabil. 85(10):1679-83
14. Willen C, Grimby G. (1998). Pain, physical activity, and disability
in individuals with late effects of polio. Arch. Phys. Med. Rehabil.
79(8):915-9.
15. Bach JR, Tilton M, (1997) Pulmonary function and its management
in post-polio patients. Neurorehabilitation. 8(2);139-153.

32

16. Durstine JL, Moore GE (Eds). (2003) ACSMs Exercise


management for persons with chronic diseases and disabilities.
Champaign, IL. Human Kinetics
17. Waring WP, Maynard F, Grady W, Grady R, Boyles C. (1989).
Influence of appropriate lower extremity orthotic management on
ambulation, pain and fatigue in postpolio populationArch. Phys. Med.
Rehabil. 70(5);371-375.
18. Agre JC, Rodriquez AA. (1997). Muscular function in late polio
and the role of exercise in post-polio patients. Neurorehabilitation 8;107118.
19. Chan KM, Amirjani N, Sumrain M, Clarke A, Strohstein FJ.
(2003).Randomised Controlled Trial of strength training in post-polio
patients. Muscle Nerve. 27:3;332-338
20. Brehm MA, Nollet F, Harlaar J. (2006). Energy demands of
walking in persons with postpoliomyelitis syndrome: relationship with
muscle strength and reproducibility
21. Vasiliadis HM, Collet JP, Shapiro S, Venturini A, Trojan DA.
(2002). Predictive factors and Correlates for Pain in Postpoliomyelitis
Syndrome Patients. Arch. Phys. Med. Rehabil. 83:1109-1115.
22. Waring WP, Maynard F, Grady W, Grady R, Boyles C. (1989).
Influence of appropriate lower extremity orthotic management on
ambulation, pain and fatigue in postpolio populationArch. Phys. Med.
Rehabil. 70(5);371-375.
23. Willen C, Sunnerhagen KS, Grimby G (2001) Dynamic water
exercise in individuals with late poliomyelitis. Arch. Phys. Med Rehabil.
82(1);66-72.
24. Bartels MN, Omura A, (2005). Aging in Polio. Phys. Med. Rehabil.
Clin. N. Am. 16(l):197-218.
25. Halbritter T. (2001). Management of a patient with post-polio
syndrome.Journal of the American Academy of Nurse Practitioners,
13(12), 555-559
26. Nollet F, Beelen A, Prins MH, de Visser M, Sargeant AJ, Lankhorst
GJ, de Long BA. (1999). Disability and functional assessment in former

33

polio patients with and without post polio syndrome. Archives of Physical
& Medical Rehabilitation, 80(2), 136-143.
27. Westbrook M, McIIwain D. (1996). Living with the late effects of
disability: a five year follow-up study of coping among post-polio
survivors. Australian Occupational Therapy Journal, 43, 60-71.
28. Klein MG, Whyte J, Keenan MA et al. (2000). The relationship
with lower extremity strength and shoulder overuse symptoms: a model
based on polio survivors. Archives of Physical and Medical Rehabilitation,
81, 789-795.
29. Wenneberg S, Ahlstrom G. (2000). Illness narratives of persons
with post polio syndrome. Journal of Advanced Nursing, 31, 354-361.
30. Kowall B. (2004). The role of occupational therapy in the
management of polio survivors. In KJ Silver & AC Gawne (eds.), Post
polio syndrome. Philadelphia: Hanley &Brefus.
31. Rodstein B, Kim D. (1999). Orthoses and adaptive equipment in
neuromuscular disorders. In DS Younger (ed), Motor disorders.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
32. Mann WC, Lane JP. (1995). Assistive technology for persons with
disabilities. Bethesda MD: American Occupational Therapy Association.
33. Gordon PA, Feldman D. (2002). Post-polio syndrome: issues and
strategies for rehabilitation counselors. Journal of Rehabilitation, 68(2),
28-32.
34. Hollingsworth L, Didelot MJ, Levington C. (2002). Post-polio
syndrome: psychological adjustment to disability. Issues in Mental Health
Nursing, 23(2), 135-156
35. C Sonies, Speech and Swallowing in Postpolio Syndromein JK
Silver & AC Gawne, (Eds), Postpolio Syndrome (2004, Philadelphia:
Hanley &Belfus), pp.105-116.
36. CA McHorney, J Robbins, K Lomax, JC Rosenbek, K Chignell, AE
Kramer & DE Bricker, The SWAL-QOL and SWAL-CARE Outcomes
Tool for Oropharyngeal Dysphagia in Adults: III. Documentation of
Reliability and Validity(2002) Dysphagia,17: 97-114.
37. J Logemann, Evaluation and Treatment
Disorders(2ed., 1998, Texas: PRO ED).

34

of

Swallowing

38. S Reilly, The Evidence Base for the Management of Dysphagiain S


Reilly, J Douglas & J Oates, (eds.) Evidence Based Practice in Speech
Pathology, (2004, London: Whurr), pp. 140-184
39. J Murray, Manual of Dysphagia Assessment in Adults(1998, USA:
Thompson Learning (Singular)).
40. Pyridostigmine Treatment

in

Postpoliomyelitis

Syndrome,

Universteit Vrije Amsterdam, Prof.Dr.T.Simina, 21 November 2005,


Henricus Leonardus Dingeman Horemans
41.

35

Anda mungkin juga menyukai