Anda di halaman 1dari 98

Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxp;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------------------

RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009

PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1965 TENTANG PENYALAHGUNAAN
DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA
MENDENGARKAN KETERANGAN
SAKSI/AHLI DARI PEMOHON, PEMERINTAH,
DAN PIHAK TERKAIT
(V)

JAKARTA
RABU, 17 FEBRUARI 2010
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
--------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009

PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang


Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

PEMOHON

- Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi


Berkeadilan (Imparsial) dkk.

ACARA

Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon, Pemerintah, dan


Pihak Terkait (V)

Rabu, 17 Februari 2010, Pukul 10.00 -17.20 WIB


Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat.

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H. (Ketua)


2) Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. (Anggota)
3) Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. (Anggota)
4) Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. (Anggota)
5) Hamdan Zoelva, S.H., M.H. (Anggota)
6) Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum. (Anggota)
7) Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. (Anggota)
8) Dr. Harjono, S.H., MCL. (Anggota)

Fadzlun Budi SN, S.H., M.Hum. Panitera Pengganti

1
Pihak yang Hadir:

Kuasa Hukum Pemohon:

- Uli Parulian Sihombing, S.H., LL.M.


- Febi Yonesta, S.H.
- M. Choirul Anam, S.H.
- Siti Aminah, S.H.
- Judianto Simanjuntak, S.H.
- Zainal Abidin, S.H.
- Vicky Silvanie, S.H.

Ahli dari Pemohon:

- Luthfi Assyaukanie, Ph.D.

Pemerintah:

- Bahrul Hayat, Ph. D. (Sekjen Kementerian Agama)


- Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar (Dirjen Bimas Islam)
- H. Mubarok (Kepala Biro Hukum Departemen Agama)
- Qomaruddin (Direktur Litigasi Dephukham)
- Dr. Mualimin Abdi (Kasubdit Dephukham untuk Penyiapan dan
Pendampingan Sidang MK)
- Budi Setiawan (Dirjen Bimas Buddha)
- Bimas Katolik

Ahli dari Pemerintah:

- Prof. Dr. HM. Atho Mudzar (Kabalitbang dan Diklat Keagamaan


Kementerian Agama)
- Dr. Mudzakkir, S.H.
- Buya Bagindo Letter

Pihak Terkait (PBNU):

- Soleh Amin (Ketua LPBNU)


- Asrul Sani

Pihak Terkait (Majelis Ulama Indonesia/MUI):

- Drs. H. Amidhan (Koordinator)


- H.M. Lutfi Hakim, S.H., M.H. (Anggota)
- Hj. Aisyah Amini, S.H., M.H. (Anggota)
- Adnan Wirawan (Anggota)
- Sudjito (Anggota)

2
Dewan Dakwah Islamiyah:

- Abd. Rahman Tardjo, S.H.


- Herman Kadir, S.H., M.Hum.
- Azham, S.H.
- Indra Cahaya, S.E., S.H., M.H.
- Ketua Dewan Dakwah Islamiyah
- Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah

Parisada Hindu Dharma:

- Yanto Jaya (Sabawalaka)

Komnas HAM:

- Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM)

3
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB

1. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Bissmilahirahmanirrahim. Assalamualaikum wr. wb. Sidang Pleno


Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan Pihak Terkait,
Saksi dan Ahli yang diajukan oleh Pemohon maupun yang diajukan oleh
Pemerintah dalam Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 dinyatakan dibuka
dan terbuka untuk umum.

KETUK PALU 3 X

Dipersilakan Pemohon untuk memperkenalkan diri dan siapa yang


bisa dihadirkan pada hari ini. Silakan.

2. KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H.,


LL.M.

Terima kasih, Yang Mulia. Selamat pagi. Di sini kami hadir dari
Kuasa Hukum Pemohon dan juga Ahli Bapak Luthfi Assyaukanie, Ph.D.
Mengenai Pemohon belum bisa hadir hari ini, dan juga untuk ahli Prof.
Sahetapy hari ini tidak bisa hadir karena masih mengajar di Surabaya,
kemudian dia minta minggu depan untuk hadir. Kemudian untuk Saksi
Fakta juga saat ini belum bisa hadir hari ini. Nah, untuk Kuasa Hukum
Pemohon, saya Uli Parulian Sihombing. Selanjutnya silakan rekan saya.

3. KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK, S.H.

Saya Judianto Simanjuntak, Kuasa Hukum Pemohon.

4. KUASA HUKUM PEMOHON: SITI AMINAH, S.H.

Saya Siti Aminah, Kuasa Hukum Pemohon.

5. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBI YONESTA, S.H.

Saya Febi Yonesta, Kuasa Hukum Pemohon.

6. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Saya Muhammad Choirul Anam, Kuasa Hukum Pemohon.

4
7. KUASA HUKUM PEMOHON: ZAINAL ABIDIN , S.H.

Saya Zainal Abidin, Kuasa Hukum Pemohon, Yang Mulia.

8. AHLI DARI PEMOHON: LUTHFI ASSYAUKANIE, PH.D.

Saya Luthfi Assaukanie, Ahli.

9. KUASA HUKUM PEMOHON: VICKY SILVANIE

Saya Vicky Silvanie, Kuasa Hukum Pemohon.

10. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Pemerintah.

11. PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamuallaikum wr. wb. Selamat


pagi, salam sejahtera untuk kita semua.
Pemerintah yang hadir, Pak Bahrul Hayat dari Sekjen Departemen
Agama, kemudian ada Prof. Nasaruddin dari Dirjen Bimas Islam
Departemen Agama, kemudian ada Pak Budi Setiawan, Dirjen Bimas
Buddha. Katolik ya? Ya. Kemudian ada juga Dirjen dari Bimas Katolik,
kemudian ada Pak Mubarok dari Kepala Biro Hukum Departemen Agama,
kemudian saya sendiri Mualimin Abdi dari Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
Kemudian Pemerintah juga menghadirkan Ahli yang sudah hadir
di samping kiri saya, yaitu pertama Pak Mudzakkir, kemudian ada Prof.
Dr. Ato Mudzhar, kemudian ada Pak Buya Bagindo Letter.
Hal lain seperti Ahli dan Saksi nanti Pemerintah akan susulkan
kembali sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan persidangan yang
akan datang, Yang Mulia. Terima kasih.

12. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Berikutnya, Pihak Terkait.

13. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: HERMAN KADIR, S.H., M.HUM.


(DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH)

Bismillahirrohmanirrahim. Asssalamualaikum wr. wb. Kami dari


Pihak Terkait mewakili Dewan Pimpinan Pusat Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 052A Dewan

5
Dakwah/2/1431 Hijriyah 2010. Adapun Kuasa Hukum yang hadir pada
hari ini, adalah:
1. Saya sendiri, Herman Kadir, S.H.,M.Hum.
2. Azham, S.H
3. Abdul Rahman Tardjo, S.H., M.H
4. Indra Cahaya, S.M., M.H

Kebetulan Pinsipalnya juga hadir, Ketua dan Sekjennya. Terima


kasih, Yang Mulia.

14. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, berikutnya..., Pihak Terkait berikutnya Komnas HAM. Siapa


lagi sebelum Komnas HAM? Sebelah sini sudah? Ya, Komnas HAM,
silakan.

15. PIHAK TERKAIT: IFDHAL KASIM (KETUA KOMNAS HAM)

Yang Mulia Hakim Konstitusi, saya perkenalkan nama saya Ifdhal


Kasim, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terima kasih.

16. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, dari NU?

17. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: M. SOLEH AMIN (PBNU)

Assalamuallaikum wr. wb. Nama saya M. Soleh Amin, dan sebelah


saya Asrul Sani, Kuasa dari Pengurus Besar Nadhatul Ulama. Terima
kasih.

18. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, maaf ini tadi terlewat, Dari Hindu, Bapak silakan, Pak.

19. PIHAK TERKAIT: YANTO JAYA (PARISADA HINDU DHARMA)

Terima kasih, Majelis Hakim. Saya Yanto Jaya, mewakili Parisada


Hindu Darma Indonesia Pusat. Terima kasih.

20. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Yang sebelah sini, sama? Satu rombongan? Itu rombongan, oke.


Baik Majelis Ulama, silakan.

6
21. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H. (MAJELIS
ULAMA INDONESIA)

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamuallaikum wr. wb. Dari Majelis


Ulama Indonesia, koordinator Bapak Amidhan, hadir. Kemudian anggota,
saya Luthfi Hakim, kemudian Adnan Wirawan atau Wirawan Adnan,
kemudian Ibu Aisyah Amini dan Bapak Sudjito, terima kasih.
Assalamualaikum wr.wb.

22. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Masih ada lagi? Cukup, ya? Baik, sekarang kita akan


mendengarkan lebih dulu keterangan atau tanggapan dari Pihak Terkait
yang hari ini ada Dewan Dakwah Islamiyah, lalu ada Komnas HAM dan
Parisada Hindu Darma, ditambah dengan beberapa Ahli yang tadi
dihadirkan tapi karena mungkin ada Ahli yang masih belum di ruangan
ini, sebelum diambil sumpah para Ahli ini lebih baik kita dengarkan dulu
dari Pihak Terkait Dewan Dakwah Islamiyah.
Maju, Bapak.

23. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: AZAM, SH. (DEWAN DAKWAH


ISLAMIYAH)

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamuallaikum wr. wb.


Inalhamdalillah,walaahaula walakuwatailla billah, radhitubillahirabba,
wabil islaamidiina wabimuhammadin salallahualllaihi wassalam.
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rosullullah keluarga dan sahabatnya serta
umat-umatnya yang taat dan patuh kepada-Nya.
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia.
Dalam waktu yang singkat, perkenankan kami dari Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia menyampaikan pandangan dan jawaban
kami terhadap adanya permohonan pengujian terhadap Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama, yang diajukan oleh beberapa orang dan beberapa lembaga yang
diwakili oleh "Tim Advokasi Kebangsaan Beragama".
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Kami sudah
mempelajari dengan teliti dan menyimak dengan cermat berbagai
pandangan yang telah dikemukakan dalam sidang-sidang sebelumnya
berkait dengan usulan uji meteriil terhadap Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1965. Kami dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
berketetapan hati bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 harus
tetap dipertahankan karena tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Bahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 itu telah membawa
bangsa ini kepada kehidupan yang aman dan damai, toleran dan saling
menghargai. Kalaupun belakangan ini ada riak yang nampak, itu karena

7
adanya dan munculnya gerakan melecehkan dan menodai agama.
Khususnya terhadap agama Islam.
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Semua orang
yang beragama dengan baik, tidak akan rela jika agamanya
disalahgunakan dan dinodai. Orang yang beragama dengan baik, dia
akan bergerak cepat untuk membela agamanya ketika agamanya
disalahgunakan dan dinodai orang lain. Itu sikap dasar yang melekat
pada setiap orang yang beraagama dengan baik.
Bagi kami umat Islam, agama Islam adalah agama yang baik dan
benar dan dianut oleh seluruh nabi dan rasul. Nabi Muhammad adalah
nabi terakhir yang menyempurnakan seluruh rangkaian ajaran Islam.
Muhammad sebagai nabi dan rasul telah memberikan contoh dan
teladan kepada kita tentang segala sesuatu yang menyangkut hajat
manusia sejak urusan pribadi, keluarga, bertetangga, bermasyarakat dan
bernegara.
Rasululllah juga memberikan contoh tentang cara mendakwahkan
Islam, membela Islam dan cara menghadapi orang yang
menyalahgunakan dan/atau menodai agama Islam. Kepada kita diberikan
dua petunjuk, Al-Qur'an dan As-Sunnah. Rasulullah pun sudah
memberikan contoh tentang cara memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Bahkan Rasulullah memberikan garansi, jika mengatur hidup dan
kehidupan kita dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana yang
difahami oleh Rasulullah, maka kita tidak akan sesat untuk selamanya.
Karena itu, jika ada orang yang mengaku dirinya "Islam", bernama
Ahmad Tantowi di Desa Pamengkang, Kecamatan Mundu, Cirebon, tiba-
tiba dia mengaku dirinya Tuhan selain Allah dan dia tinggal di sebuah
kamar yang dia beri nama Surga eden, jamaah wanitanya dijuluki
mujahidah dan kalau masuk ke kamar Tantowi mereka harus melepaskan
seluruh bajunya dengan alasan di surga tidak ada yang pakai baju,
apakah kita akan biarkan demi kebebasan?
Ada pula seorang yang mengaku dirinya "Islam" bernama Ahmad
Musaddeq, dari Gunung Bunder, Bogor, mengaku dirinya menjadi nabi
dan rasul, apa kita biarkan, demi kebebasan?
Demikian pula ada seorang yang mengaku dirinya "Islam", tapi
dia meragukan keotentikan Al-Qur'an dan memahami Al-Qur'an
semaunya, sehingga lahirlah pemahaman-pemahaman yang
menyimpang, apa kita biarkan hanya demi kebebasan ?
Ketua dan Majlis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Dari
contoh kecil yang kami sebutkan tadi, bisa lebih mempertegas pentingnya
mempertahankan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, agar
Indonesia tidak menjadi arena tinju dengan gaya bebas tanpa wasit dan
baru berhenti jika sudah ada yang mati. Berkait dengan kebebasan, saya
ingin mengutip tulisan Saudara Surahman Hidayat, Anggota DPR RI Fraksi
PKS yang dimuat Harian Republika, Senin 15 Februari 2010, halaman 4
dengan judul “Melindungi Agama”. Setelah menyampaikan alasan yuridis,
saudara Surahman Hidayat menuliskan, "Sikap menghormati dan

8
melindungi agama itu dilakukan oleh Orde Lama dengan
ditandatanganinya Penetapan Presiden RI Nomor 1/PNPS/1965 oleh
Soekarno pada 27 Januari 1965. Kemudian dilanjutkan oleh Orde Baru
dengan menambah poin keputusan politik, yaitu melarang ajaran
atheisme di Indonesia.
Orde Reformasi tentu sepenuhnya mendukung. Sebab, hakikat
reformasi adalah menegakkan komitmen dengan nilai-nilai kebenaran
dan mengoreksi hal-hal yang menyimpang dengan kembali ke jalan
yang benar. Setiap kebebasan yang menyimpang dari semangat
Berketuhanan Yang Maha Esa dan mensyukuri nikmat Allah Yang Maha
Kuasa adalah kebebasan yang anarkis. Kebebasan untuk menentang
ajaran Tuhan dalam agama adalah kebebasan syaithoni/iblisi yang punya
watak membangkang. Sedangkan, kebebasan yang dilakukan tidak
selaras dengan kesyukuran atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa adalah
kebebasan syahwati yang hedonistik.
Dengan demikian, upaya segelintir orang melalui LSM untuk
menolak perlindungan bagi ajaran agama di Indonesia adalah lebih buruk
dari keburukan Orde Lama dan lebih sesat dari penyimpangan Orde Baru
serta di luar koridor Orde Reformasi".
Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Untuk
selanjutnya saya persilakan Saudara Abdul Rahman Tardjo untuk
membacakan dari sisi yang lainnya.

24. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: ABDUL RAHMAN TARDJO, S.H.,


M.H.

Bismillahirrahmanirrahim. Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah


Konstitusi yang mulia.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berpendapat bahwa
pendapat para Pemohon adalah tidak tepat, karena itu:
1. Bahwa alasan para Pemohon yang menyatakan Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965 bertentangan dengan prinsip negara hukum
adalah tidak benar, untuk itu harus ditolak karena justru sebagai
negara hukum harus memiliki UU yang pasti dan untuk itu Undang-
Undang Nomor 1 /PNPS/1965 adalah sangat tepat dan merupakan
pengejawantahan dan atau merupakan penjabaran dari UUD 1945
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E dan Pasal 29.
2. Bahwa alasan para Pemohon yang menyatakan bahwa Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/1965 dikeluarkan ketika negara dalam
keadaan darurat sungguh merupakan alasan yang sangat tidak
relevan. Dan untuk itu harus ditolak karena bahwa benar undang-
undang tersebut bermula dari Penetapan Presiden Nomor 1/1965,
namun telah dibahas dan disyahkan oleh DPR-RI menjadi undang-
undang. Selain itu sejak tahun diundangkan hingga sekarang DPR-RI
dan pemerintah tidak pernah menyatakan negara dalam keadaan
darurat yang menyebabkan lahirnya undang-undang tersebut.

9
3. Mahkamah Konstitusi tidak wewenang untuk mencabut undang-
undang, tapi kewenangan yang diberikan dalam Pasal 24C Nomor 1
Undang-Undang Dasar 1945 adalah menguji pasal yang didalamnya
suatu undang-undang apabila ada yang bertentangan dengan pasal-
pasal dalam UUD 1945. Oleh karena itu bila para Pemohon minta
agar Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dicabut, adalah sangat
tidak logis dan akan menjerumuskan Mahkamah Konstitusi untuk
melanggar UUD. Bila Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dicabut
dan belum ada undang-undang baru sebagai pengganti maka akan
terjadi kekosongan hukum, dan bisa terjadi chaos.
Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia.
Bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 substansi
dan konteks hukumnya sangat tepat karena Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
dinyatakan, bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai
dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi Undang-
Undang Dasar 1945.
Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, sila
pertama dan utamanya, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa, telah
menjadi landasan hukum dalam Pasal 29 ayat (1) UUD Tahun 1945
yang menentukan bahwa Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia berkewajiban
melindungi warga negaranya agar dapat menjalankan hukum
agamanya yang Berketuhanan Yang Maha Esa,
Dalam Sistem kenegaraan Pancasila adalah makna bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan merupakan Negara Islam,
bukan pula Negara Gereja, dan bukan pula Negara Hindu, bukan
Negara Buddha, bukan Negara Konghucu, atau bukan Negara Agama
apa pun, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan suatu
negara Theokrasi dan bukan pula suatu negara Sekularistis tetapi
negara beragama dan negara yang harus melindungi umat yang
beragama.
Negara Indonesia sebagai negara hukum, dipertegas lagi dalam
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, bahwa Negara Berdasar atas KeTuhanan
Yang Maha Esa. Jadi, Negara Indonesia adalah negara hukum yang
berdasarkan atas KeTuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 29 ayat (2) merupakan rangkaian ayat yang tidak dapat
diceraipisahkan dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menentukan
bahwa Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena
itu, dalam rangka menjalankan kewajibannya, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 29 ayat (2) juncto Pasal 29 ayat (1) juncto Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

10
kepercayaannya itu, tentu memerlukan perangkat hukum, antara lain
Undang-Undang Nomor 1 /PNPS/1965.
Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Pasal
2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak
melarang setiap orang melakukan berserikat, berkumpul, berapat, dan
mengeluarkan pendapat untuk maksud-maksud damai, asal bukan
untuk maksud-maksud: (1). Melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan
yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama-agama; (2)
Melakukan Penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok--
pokok ajaran agama-agama yang berlaku di Indonesia. Karena, jika
terjadi kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-
kegiatan keagamaan dari agama-agama, dan/atau jika terjadi
penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agamaagama, maka akan terjadi penodaan terhadap pokok-pokok
ajaran agama-agama di Indonesia. Oleh karena itulah, pokok-pokok
ajaran agama-agama wajib dilindungi oleh Negara Kesatuan Republik
Indonesia, demi stabilitas nasional negara tercinta ini.
Ancaman hukuman pidana terhadap pelaku kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari
agama-agama, dan/atau pelaku penafsiran dan kegiatan yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama-agama yang berlaku di
Indonesia, ancaman hukuman pidana adalah merupakan hal yang
dibutuhkan dalam rangka negara melaksanakan tugasnya untuk
menjamin agama-agama yang berlaku di Indonesia dan menjamin
kehidupan beragama di Indonesia.
Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berpendapat bahwa Pasal
3 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah tidak bertentangan
dengan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Demikian pula Pasal 4
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang memuat Pasal 156A KUHP
yang diperbaharui adalah sangat tepat. Sebagai refleksi dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang bukan Negara Theokratis dan
bukan pula Negara Sekularitis, tetapi Negara Hukum berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara yang beragama, tentu memerlukan
perangkat hukum untuk melindungi setiap penduduk dalam memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 28J UUD 1945 yakni :
(1). Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dan
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2). Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

11
Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia.
Berdasarkan uraian tersebut, perkenankanlah kami, Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, memohon kepada Yang Mulia Ketua dan
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa,
memutus, dan mengadili permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing)
2. Menyatakan permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya ditolak
atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para Pemohon tidak
dapat diterima;
3. Menyatakan menerima jawaban atas pandangan-pandangan Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2),
Pasal 3, dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3),
Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia.


Demikianlah jawaban dan pandangan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Wabillahitaufik
walhidayah, wassalamualaikum wr. wb.

25. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Selanjutnya dari Parisada Hindu Darma, silakan Bapak.

26. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: HERMAN KADIR, S.H., M.HUM.

Yang Mulia, kami ada informasi sedikit Yang Mulia, dari Dewan
Dakwah tadi resumenya saja, Yang Mulia, tapi yang jawaban lengkapnya
sudah kami serahkan kepada Panitera.

27. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, baik.

28. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: HERMAN KADIR, S.H., M.HUM.

Terima kasih, Yang Mulia.

12
29. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Silakan, Parisada Hindu.

30. PIHAK TERKAIT: YANTO JAYA (SABAWALAKA PARISADA HINDU


DHARMA)

Terima kasih, Majelis Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan.


Kami dari Parisada Hindu Darma Indonesia ingin menyampaikan
tanggapan sebagai Pihak Terkait atas permohonan pengujian terhadap
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Tim Advokasi
Kebebasaan Beragama yang terdaftar di bawah Register Nomor
140/PUU-VII/2009.
Majelis Hakim yang kami muliakan, Pasal 156 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut:
a. Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan yang pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan, penodaan terhadap suatu agama yang dilakukan di
Indonesia.
b. Dengan menghasut supaya tidak menganut agama apapun yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perlu dijelaskan bahwa pasal
tersebut tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht melainkan dari
Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, dimana diatur dalam
Pasal 1 nya “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan di depan umum
untuk melakukan penafsiran terhadap suatu agama yang utama di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu. Penafsiran itu justru malah
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Bahwa Pasal 156A ini dimaksudkan dalam KUHP bab 5 tentang


Kejahatan terhadap kepentingan umum yang mengatur perbuatan
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau pengkhianatan
terhadap orang atau golongan lain di depan umum, juga terhadap orang
atau golongan berlain suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasal-
pasal tersebut tampaknya merupakan penjabaran dari prinsip anti
diskriminasi dan untuk melindungi minoritas dari kesewenang-wenangan
kelompok mayoritas.
Kedua, timbulnya berbagai aliran agama atau organisasi
kebatinan dan dianggap bertentangan dengan ajaran hukum agama. Hal
tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan
nasional berbagai agama sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan
memperlakukan undang-undang ini.

13
Ketiga, karena aturan yang dimaksud untuk menghadapi yang
terjadi pada ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran
pokok para pandita agama atau pemimpin agama dari agama yang
bersangkutan. Aturan ini melindungi agama dari penodaan, penghinaan
serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Keempat, seraya menyebut nama agama yang diakui Pemerintah,
undang-undang ini sedemikian rupa agar aliran agama di luar agama
tersebut di batasi kehadirannya. Semua agama mengklaim atau diklaim
oleh umat agama sebagai agama universal dan memang ajaran yang
sifatnya universal terhadap ajaran agama. Perbedaan akan semakin
mendalam bila tidak ada ajaran atau aliran masing-masing tetapi bila
dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai
kemanusiaan, itu akan ditemukan banyak persamaannya. Bila semua
orang memiliki pandangan yang sama bahwa semua agama tercipta dan
pengaruh masing-masing agama dituntut mengamalkannya dengan
sebaik-baiknya maka kerukunan umat beragama, kedamaian dan
kesejahteraan hidup bersama akan dapat diwujudkan, untuk dapat
memahami semua agama yang tercipta diperlukan studi pada masing-
masing agama.
Agama-agama merupakan berbagai jalan yang bertemu pada satu
titik yang sama. Apa yang menjadi masalah bila kita mengambil jalan
berbeda, sepanjang kita mencapai tujuan yang sama? Dalam pernyataan
jumlah agama dan sebanyak informasi yang ada di dunia ini.
Dalam kenyataannya, tidak semua orang memiliki kemampuan
untuk memeluk agama yang lain, mengakibatkan sikap tidak toleran
terhadap agama lain demikian pula halnya yang hanya didasarkan pada
solidaritas dari suatu komunitas atas suatu yang sangat diyakini
pembuktian yang memadai baik melalui bidang fisika maupun metafisika,
apabila ditunjang melalui dogma-dogma yang kaku yang disengaja
diciptakan untuk kepentingan yang akan membatasi setiap gerak dan
cenderung mudah sekali memicu desakan dan benturan kepentingan
kecil, di satu pihak dan di pihak lainnya.
Dalam kejamakan kepentingan dalam suatu dunia sedang dilanda
kebingungan mudah sekali setiap pribadi yang tidak memiliki cukup
pertahanan diri untuk terseret dalam arus provokasi yang justru tidak
akan pernah memberikan keuntungan bagi siapa pun, hanya kehancuran
yang akan menimpanya.
Bahwa atas dasar pandangan hidup toleransi antar umat
beragama kemanusiaan dan kerukunan maka keberadaan Undang-
Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 mengenai Pencegahan Penodaan
Agama patut untuk dipertahankan keberadaannya sebagai bagian dari
undang-undang atau peraturan yang berlaku di negara Indonesia.
Undang-undang ini dibuat dengan keberadaanya untuk memberikan
perlindungan bagi agama yang diakui di Indonesia serta bagi seluruh
umat beragama di negara Indonesia. Dengan tetap mempertahankan

14
undang-undang ini dapat dianggap (suara tidak terdengar jelas) dengan
langkah awal kita sebagai umat beragama untuk mencegah dilakukannya
penodaan agama oleh orang atau badan dengan alasannya masing-
masing. Dengan adanya undang-undang ini maka kita sebagai umat
beragama akan merasa bahwa agama yang kita anut terlindungi dari
segala bentuk penodaan yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Dengan tetap mempertahankan undang-undang ini dapat pula sebagai
bukti, adanya tindakan tegas dan konkrit yang dilakukan pemerintah
untuk benar-benar memberikan jaminan perlindungan atau perlindungan
hukum bagi agama serta bagi seluruh warga Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945.
Dengan adanya penerapan undang-undang ini di Indonesia akan
memberikan dampak positif di masyarakat kita sebagai umat beragama,
sebagai warga negara Indonesia tidak perlu berandai-andai lagi akan
adanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan beragama dan
bernegara.
Kesimpulan, bahwa undang-undang Nomor 1 PNPS tentang
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, tetap masih berlaku
sepanjang belum ada penggantinya karena telah diadopsi ke dalam Pasal
156 KUHP dimana pembatalannya akan berdampak pada hilangnya roh
Pasal 156 KUHP.
Bahwa keberadaan Peraturan Perundang-undangan mengenai
Penistaan Agama dan atau Penodaan Agama harus dipertahankan, tanpa
adanya peraturan itu maka yang akan terjadi adalah anarkis.
Keberadaan peraturan perundang-undangan mengenai penistaan dan
atau penodaan agama harus dipertahankan karena itu permintaan akan
undang-undang itu dicabut, atas nama demokrasi sangat tidak tepat.
Bahwa Undang-Undang Nomor 1 PNPS Nomor 5 tentang
penyalahgunaan atau penodaan agama perlu dilakukan revisi mengingat
bahwa ada bagian yang masih relevan dan ada bagian yang sudah tidak
relevan lagi.
Empat, bahwa pemerintah berkewajiban menjaga ketertiban
sosial dan ketentraman masyarakat. Dan oleh karena itu, pemerintah
tidak mengatur agama melainkan mengatur lalu lintas sosial umat
beragama.
Bahwa penyusunan undang-undang yang baru hendaknya lebih
mengedepankan hal-hal sebagaimana di atur dalam Pasal 28 dan 29
perubahan terakhir Undang-Undang Dasar 1945.
Demikian tanggapan kami dari pihak terkait, Parisada Hindu
Darma Indonesia, Jakarta, 17 Februari 2010, Parisada Hindu Darma
Indonesia Pusat. Terima kasih, Majelis.

31. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, terima kasih. Mohon naskahnya nanti diserahkan ke panitera.


Diambil dahulu.

15
Berikutnya Komnas HAM.

32. PIHAK TERKAIT: IFDHAL KASIM (KEYUA KOMNAS HAM)

Ketua dan Majelis Hakim yang saya hormati, Asslamualaikum Wr.


Wb. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga negara yang
diberikan mandat oleh undang-undang, untuk melakukan pengawasan
terhadap upaya-upaya negara dalam memajukan, melindungi, dan
memenuhi hak asasi manusia. Dalam konteks tanggung jawab inilah
Komnas HAM memberikan keterangan sebagai pihak terkait dalam
perkara uji materi yang diajukan ke hadapan Mahkamah ini.
Pertama, kami ingin menjelaskan terlebih dahulu, hak atas
kebebasan beragama yang menjadi tanggung jawab negara. Hak atas
kebebasan beragama dengan tegas dijamin oleh Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 28E dan Pasal 29.
Pasal 28E menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadah menurut agamanya.” Kemudian juga ditambahkan, “Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan.” Sedangkan Pasal
29 menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.”
Selain dijamin di dalam konstitusi, juga dijamin di berbagai
peraturan perundangan. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan kembali
jaminan konstitusional ini. Kemudian, kita pada tahun 2005, meratifikasi
konvensi internasional hak-hak sipil dan politik melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005.
Artinya secara yuridis, jaminan terhadap kebebasan beragama
dan berkeyakinan sangat kuat di dalam rezim hukum di Indonesia.
Bahkan, kalau kita memperhatikan ketentuan di dalam konstitusi kita,
hak atas kebebasan beragama ini diberikan dengan kualitas non
derogable rights atau hak yang tidak boleh dicabut dalam situasi apapun.
Jadi, kualitas dari hak kebebasan beragama ini memiliki kedudukan atau
status yang sangat tinggi di dalam heirarki hak asasi manusia.
Oleh karena itu, negara Republik Indonesia memiliki kewajiban
konsitusional untuk menjamin terpenuhinya hak-hak ini.
Apa saja komponen dari hak-hak kebebasan beragama ini? Kalau
kita membaca dengan hati-hati ketentuan yang saya bacakan tadi, maka
kita bisa menyimpulkan ada dua aspek kebebasan yang terkandung di
dalam hak atas kebebasan beragama itu.
Yang pertama adalah, aspek kebebasan internal atau disebut
dengan forum internum, dan yang kedua adalah aspek kebebasan
eksternal atau disebut forum eksternum. Apa yang dimaksud kebebasan
internum? Itu adalah kebebasan individual yang dimiliki oleh setiap
orang untuk meyakini, atau berpikir, atau memilih agama yang
diyakininya, meyakini doktrin-doktrin keagamaan yang menurut dia

16
benar. Dan forum internum tidak bisa diintervensi oleh negara.
Sedangkan forum eksternal atau kebebasan eksternal, yang dimaksud
dengan itu adalah kebebasan seseorang untuk mengekspresikan atau
memanifestasikan agama yang diyakininya itu melalui dakwah, melalui
pendidikan, dan melalui sarana-sarana yang lain. Dan kebebasan ini juga
harus dijamin untuk setiap orang pemeluk agama bebas menyampaikan
misi agamanya, mendakwahkannya, mewariskannya kepada anak-
cucunya, dan sebagainya. Itu harus dijamin oleh setiap negara.
Kebebasan yang saya sebut tadi, juga dikenakan pembatasan.
Walaupun tadi saya katakan kualitas dari hak ini berstatus sangat tinggi
karena bersifat non derogable, tetapi terhadap kebebasan ini juga
diterapkan pembatasan-pembatasan. Tetapi, pembatasannya ditujukan
terutama kepada kebebasan yang bersifat eksternal, yaitu dalam konteks
menyebarluaskan ajaran agama itu, mewariskannya, mendakwahkannya,
dan seterusnya seperti itu.
Apa pembatasan yang diperkenankan untuk kebebasan ini? Yang
pertama adalah pembatasan dari sudut keamanan masyarakat. Yang
kedua adalah ketertiban masyarakat atau public order. Yang ketiga
adalah kesehatan atau moralitas masyarakat. Dan yang terakhir adalah
hak dan kebebasan orang lain.
Inilah alat ukur untuk membatasi kebebasan beragama itu,
khususnya kebebasan dalam lingkup kebebasan eksternal. Tetapi
pembatasan-pembatasan yang saya sebutkan tadi, harus dinyatakan
oleh hukum, bukan didasarkan oleh kesepakatan atau apa pun, tetapi
harus dinyatakan melalui hukum.
Nah seperti uraian yang saya sebut tadi, maka apa kemudian
tanggung jawab negara dalam memenuhi kebebasan beragama dan
berkeyakinan tersebut? Secara umum ada tiga tanggung jawab negara
yang dimiliki oleh negara.
Yang pertama adalah kewajiban untuk memajukan hak asasi
manusia, obligation to promote, seperti menyebarluaskan hak asasi
manusia ke seluruh masyarakat. Itu merupakan kewajiban yang bersifat
promosi, dan itu harus dilakukan oleh negara.
Yang kedua adalah kewajiban untuk melindungi obligation to
protect. Oligation to protect ini bisa kita lihat dalam bentuk negara
melahirkan undang-undang atau hakim memutuskan perkara terkait
dengan kebebasan.
Kemudian yang terakhir adalah, tanggung jawab dalam bentuk
pemenuhan, yang ini lebih banyak hak-hak dalam kategori hak-hak
ekonomi dan sosial budaya. Nah tiga bentuk macam tanggung jawab
negara ini dalam konteks kebebasan beragama harus dapat ditampakkan
oleh negara dalam konteks ini.
Nah dalam konteks memproteksi, perlindungan terhadap warga
negara khususnya kebebasan warga negara dalam beragama dan
berkeyakinan, maka kepada negara dituntut untuk dua hal sekaligus.

17
Yang pertama adalah kewajiban negara untuk bersikap pasif
dalam arti negara tidak bisa menentukan agama mana yang harus
dipeluk oleh warga negara. Tidak bisa negara menentukan apa agama
yang harus dipeluk oleh setiap orang. Nah ini, negara dalam konteks ini
harus pasif. Tetapi di sisi lain negara juga dituntut untuk aktif, aktif
dalam konteks ini adalah tadi memproteksi empat hal yang saya
sebutkan tadi itu. Karena itu negara harus mengeluarkan berbagai
aturan terkait dengan…, dalam rangka menjaga ketertiban umum,
moralitas masyarakat, hak dan kebebasan orang lain. Di sini negara
diperkenankan untuk aktif tidak boleh absen. Nah, dalam konteks yang
kita diskusi…, yang diajukan dalam perkara hari ini terkait dengan PNPS,
Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1966 ini…, oh maaf agak tidak
terbaca…, 1965 maka, kami ingin memberikan beberapa pendapat
terkait dengan isi dari PNPS ini dikaitkan dengan kewajiban negara untuk
memberikan perlindungan atas hak setiap warga negara beragama dan
berkeyakinan.
Menurut kami, Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 ini,
memiliki beberapa masalah terkait dengan, penghormatan negara
terhadap kebebasan setiap warga negara untuk meyakini satu agama
atau memilih satu agama, dan menjalankan satu agama. Masalahnya
bagaimana? Karena PNPS ini memasuki ruang yang tidak boleh dimasuki
oleh negara yaitu forum internum, kata Pasal 1 dari PNPS ini melarang
penafsiran yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran agama.
Ini rumusan pasal ini memiliki masalah terkait dengan bagaimana
negara harus melaksanakan kewajibannya ini. Kewajiban constitutional-
nya dalam memberikan setiap warga negara untuk bebas meyakini apa
yang mereka rasakan benar. Dan ini adalah satu ruang yang berada
dalam alam pikiran, hati nurani dan alam subyektif setiap orang, yang
tidak bisa dimasuki oleh negara. Karena itu kita perlu melihat kembali
Pasal 1 ini berkaitan dengan kewajiban negara dalam memenuhi
tanggung jawabnya untuk menjamin kebebasan beragama di Indonesia.
Diajukannya Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 ini ke
Mahkamah Konstitusi merupakan suatu kesempatan untuk
mendefinisikan kembali sejauhmana kebebasan beragama ini kita
letakkan dalam struktur baru hukum yang berkembang setelah reformasi
ini, di mana jaminan-jaminan hak asasi manusia sudah sangat kuat
dijamin di dalam konstitusi.
Yang kedua, terkait dengan pasal-pasal yang lain dari PNPS ini
khususnya Pasal 4 yang memerintahkan dipindahkannya ke dalam KUHP
Pasal 156A satu delik berkenaan dengan penodaan agama ini. Menurut
saya Pasal 4 ini juga perlu dirumus ulang rumusan deliknya, kenapa?
Dalam rangka menjaga hak dan kebebasan orang lain, di sini negara
boleh melakukan intervensi terhadap orang lain atau kelompok lain yang
melakukan hattrick, atau penghinaan, atau memberikan, menanamkan
perasaan permusuhan kepada satu agama atau kelompok tertentu. Yang
ini bisa diintervensi oleh negara dalam bentuk memasukkan di dalam

18
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tetapi rumusan pasal di sini masih
sangat luas karena itu perlu dirumuskan secara benar sehingga tidak
mengganggu kebebasan beragama orang lain.
Tetapi, kami setuju ada pengaturan atau larangan terhadap
usaha-usaha untuk menanamkan, menyebarkan kebencian terhadap
agama atau melakukan penghinaan atau masih dalam kategori tersebut
untuk diintervensi oleh negara dalam bentuk kriminalisasi perbuatan itu
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Karena itu menurut saya, PNPS atau Undang-Undang Nomor 1
Tahun PNPS 1965 ini tidak bisa kita pertahankan sepenuhnya karena ada
bagian-bagian atau rumusan-rumusan di dalam ketentuan undang-
undang ini yang tidak sejalan dengan tanggung jawab negara untuk
memberikan perlindungan atas hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Tetapi hubungannya dengan…, kaitannya dengan religion
defamation atau melakukan kebencian atau penghinaan dan sebagainya
kepada suatu agama, itu masih dibenarkan untuk diintervensi oleh
negara dalam rangka melindungi hak dan kebebasan orang lain.
Oleh karena itu, sebagai kesimpulan dari apa yang saya
sampaikan. Yang pertama adalah hak atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan ini merupakan hak konstitusional setiap negara dan karena
itu dia menjadi kewajiban konstitusional negara untuk melindungi hak-
hak ini. Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun
1965 ini, perlu dilakukan revisi yang menyeluruh terhadap PNPS ini,
khususnya kalau kita lihat yang Pasal 1 karena Pasal 1 tidak sejalan
dengan tanggung jawab negara untuk melindungi hak atas kebebasan
beragama karena beberapa elemen dari rumusan pasal ini memasuki
wilayah forum internum yang tidak bisa diintervensi oleh negara.
Yang ketiga, sebagai kesimpulan yang ketiga. Aturan tetap atau
intervensi negara dalam konteks melindungi hal kebebasan orang lain
tetap diperlukan. Oleh karena itu pemidanaan terhadap usaha-usaha
dalam bentuk hattrick, dalam bentuk menanamkan kebencian,
permusuhan, atau penghinaan atas agama atau kelompok masih tetap
dibenarkan atas nama hak asasi manusia.
Terima kasih atas perhatian Majelis dan Ketua. Wabillahitaufiq
walhidayah, wassalamualaikum wr.wb.

33. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, demikian. Jadi tiga Pihak Terkait yang merupakan institusi-


institusi resmi, baik institusi negara atau organisasi keagaman atau
mewakili pemeluk agama.
Nah, sekarang sebelum ke ahli kami akan mempersilakan untuk
memberi tanggapan atau menanyakan bisa dari Pemohon terhadap
Pihak Terkait, bisa dari pemerintah terhadap Pihak Terkait, bisa antar
Pihak Terkait sendiri, silakan saja biar clear semuanya.

19
Namun, sebelum itu kalau bisa kepada Pemohon, kami berharap
kepada Pemohon-Pemohon Prinsipal ini bisa hadir dalam sidang
berikutnya untuk ya berbicara sendiri apa yang sebenarnya merugikan
dia dari undang-undang ini kalau Saudara sebagai kuasa hukum kan
lebih pada teknis yuridisnya, konstitusionalitasnya. Tapi kalau prinsipal,
itu kan dia akan menceritakan dirinya mengugat ini atau memohon ini
karena punya kerugian yang sudah dirasakan atau mengancam hak
asasinya.
Ini akan bagus kalau misalnya pada sidang-sidang yang
berikutnya, yang bersangkutan Pemohon prinsipal datang, lalu berbicara
di dalam Majelis ini. Biar kita lebih paham semuanya terhadap persoalan
yang dihadapi. Baik, dipersilakan dari Majelis Ulama.

34. PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Pemerintah, Yang Mulia.

35. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Dari Pemerintah, Majelis Ulama ada lagi, Pemohon, kemudian dari


Dewan Dakwah, ya? Oke.
Baik, silakan dari Majelis Ulama dulu.

36. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTHFI HAKIM, S.H., M.H. (ANGGOTA


MUI)

Terima kasih Yang Mulia. Saya akan sampaikan beberapa


tanggapan terhadap Komnas HAM.
Yang pertama, sejujurnya saya tidak begitu memahami apa yang
hendak Anda katakan. Dan saya mengkhawatirkan, apa yang Anda
sampaikan belumlah dalam satu kesiapan yang matang.
Yang kedua, tadi Anda menyebutkan pembatasan-pembatasan itu
diperkenankan oleh negara, yaitu antara lain keselamatan atau
keamanan masyarakat, ketertiban masyarakat, kesehatan masyarakat,
moral masyarakat, dan hak-hak dari orang lain, ya? Kebebasan orang
lain.
Apa yang Anda sebutkan tadi itu, mirip dengan apa yang pernah
disampaikan oleh Pihak Pemohon, dan tercantum pada halaman 64 dari
permohonan. Saya tidak mengerti apakah ini suatu kebetulan atau apa.
Tetapi, yang saya heran, bagaimana Anda bisa lalai bahwa di dalam
pembatasan yang diatur dalam Pasal 28C, di situ juga disebutkan
tentang pembatasan berdasarkan nilai-nilai agama. Sesuatu yang sudah
kami juga protes pada Pihak Pemohon, apakah ini suatu kelalaian
semata, ataukah apa? Kami tidak memahami hal itu.

20
Kemudian yang kedua, Anda tadi menyebutkan bahwa negara
tidak boleh memasuki forum internum seperti yang diatur pada Pasal 1.
Saya tidak mengerti, apakah Anda sudah membaca dengan benar Pasal
tersebut, ataukah belum. Mengapa? Pada awal dari Pasal tersebut sudah
menyebutkan dengan jelas. “Setiap orang dilarang dengan sengaja di
muka umum, menceritakan, menganjurkan, dan seterusnya...” Jelas,
pengertian “di muka umum”, bukan forum internum seperti yang Anda
tadi tuduhkan bahwa negara memasuki forum internum, ini sesuatu
kekeliruan yang semestinya tidak boleh terjadi dalam satu persidangan
seperti ini.
Kemudian yang ketiga, Anda menyebutkan Pasal 4 perlu dirumus
ulang. Kemudian…, tapi, di sisi lain Anda menyetujui adanya pengaturan
tentang penghinaan dan penodaan. Dari kalimat-kalimat yang Anda
sampaikan, menurut hemat saya, lebih tepat kalimat-kalimat tersebut
disampaikan dalam forum pembahasan tentang suatu draft undang-
undang daripada suatu forum persidangan di Mahkamah Konstitusi.
Mengapa? Concern dari suatu persidangan di Mahkamah Konstitusi tentu
kita sudah tahu, apakah ada suatu pertentangan antara suatu undang-
undang dengan suatu Undang-Undang Dasar.
Penjelasan yang tadi Anda sampaikan itu, tidak satupun yang
saya dengar adanya suatu uraian, ulasan, yang menyebutkan adanya
kalimat kata yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Dengan
demikian sebetulnya, suatu forum ini tidak pas untuk mendengarkan apa
yang telah Anda sampaikan.
Dengan kata lain juga, bisa dikatakan berarti Anda juga tidak
membuktikan ataupun membenarkan adanya pertentangan antara
undang-undang ini dengan Undang-Undang Dasar, sebagaimana telah
didalilkan oleh Pemohon. Terima kasih, Yang Mulia. Asalamualiakum wr.
Wb.

37. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Pemerintah.

38. PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Terima kasih, Yang Mulia. Barangkali yang pertama, karena ini


persidangan resmi, dan Komnas HAM juga diundang resmi oleh
Mahkamah Konstitusi. Yang pertama perlu diklarifikasi, barang kali mau
dicatat juga. Tadi Ketua Komnas HAM selalu menyebutkan, “Menurut
saya”, “Pendapat saya”. Mestinya Pak Ifdhal Kasim ini didudukan sebagai
ahli, Yang Mulia. Karena kita ketahui, persidangan sudah berjalan hampir
tiga kali. Semua Pihak Terkait membacakan apa yang sudah dirapatkan
bersama. Karena saya yakin di dalam Komnas HAM itu bukan hanya Pak
Ifdhal Kasim. Jadi ada komisioner yang lain.

21
Jadi, tadi selalu mengatakan bahwa “Menurut saya”, “Menurut
Saya”, dan selalu interprentatif sifatnya. Karena kalau dari Pihak Terkait
lainnya, selalu membacakan teks yang sudah dirapatkan. Jangan-jangan
ini Komnas HAM tidak dirapatkan dahulu. Artinya berangkat dari mohon
maaf, Komnas Ifdhal Kasim, jangan-jangan bukan Komnas HAM.
Nah ini yang perlu dicatat. Karena ini arahnya kalau menurut saya
sebagaimana tadi dari MUI sampaikan bahwa Komnas HAM kelihatannya
persis sekali dengan apa yang ditulis di dalam permohonan Para
Pemohon. Nah itu perlu dicatat.
Kemudian yang kedua, sekali lagi saya menegaskan juga
mengulang dari apa yang sudah disampaikan dari Pak Lutfi Hakim dari
MUI, ini kelihatannya Komnas HAM juga yang tadi dikatakan “saya” itu
kelihatannya juga kurang memahami ketentuan dari Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini. Pertanyaannya adalah menurut
Ifdhal Kasim karena tadi sudah dikatakan selalu “saya,” itu ya? Saya
tidak mengatakan itu Komnas HAM. Apakah yang diatur di dalam Pasal 1
itu pemahamannya menurut “saya” itu tadi, apakah sebagai pengaturan
yang berkaitan dengan forum internal atau forum eksternal?
Saya mohon dibaca, kemudian secara gambling, kemudian nanti
tolong diuraikan secara tegas. Barangkali ini yang pemerintah
sampaikan. Barangkali Pak..., Cukup Yang Mulia. Terima kasih.

39. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Pemohon.

40. KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H.,


LL.M.

Terima kasih Yang Mulia. Pertanyaan kami ditujukan kepada


Komnas HAM, terutama mengenai tanggung jawab negara khususnya
dalam konteks penghormatan to respect.
Nah, di dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang PNPS Tahun
1965 dijelaskan bahwa Depag yang mempunyai otoritas untuk
menentukan pokok-pokok ajaran agama. Nah dalam konteks itu, apakah
ini merupakan bentuk pelanggaran negara? Tanggung jawab…,
khususnya dalam arti penghormatan? Kita tahu dalam Konstitusi kita,
dalam Pasal 28I ayat (3) itu dijelaskan tanggung jawab negara.
Nah kemudian, selanjutnya mengenai penafsiran tadi sudah
disebutkan juga di dalam Pasal 1, kalau penafsiran, terlepas dari apakah
itu bertentangan dengan mindstream agama atau tidak itu masuk dalam
wilayah forum internum atau tidak?
Nah kemudian yang lain, Komnas HAM pernah mengadakan yang
saya dapat dokumennya tentang konsultasi publik RUU KUHP itu tahun
2007, tepatnya tanggal 3-4 Juli 2007. Di sini disebutkan bahwa…,
dijelaskan di beberapa negara itu penodaan agama hukumnya sudah

22
dihapus. Nah, di sini khususnya Pak Ifdhal dalam mengutip di Inggris,
mengutip pendapat dari Agnes Callamat, kemudian dari Amerika Serikat
juga Mahkamah Agungnya sudah menghapuskan beberapa (suara tidak
jelas) di beberapa negara. Saya mohon klarifikasinya tentang hal ini.
Untuk sementara itu saja. Selanjutnya rekan saya.

41. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, tiga saja dulu Bapak. Nanti kita buka sesi berikutnya. Jadi
pertanyaannya untuk Komnas HAM banyak dan karena pertanyaan dari
Majelis Ulama dan pemerintah itu hampir sama, saya ingin menekankan
pertanyaan itu. Apakah PNPS yang Saudara maksud itu konstitusional
atau inkonstitusional? Sebab Saudara tadi menyatakan perlu direvisi.
Nah, perlu itu kalau dalam Hukum Mahkamah Konstitusi itu
artinya konstitusional, hanya perlu. Nah, kalau perlu itu bukan urusan
Mahkamah Konstitusi tapi urusan DPR dan pemerintah. Mahkamah tidak
boleh memutuskan sesuatu yang dianggap perlu tetapi konstitusional.
Seperti misalnya, penetapan untuk jadi tentara, tingginya harus 160cm,
misalnya itu berapapun konstitusional ditetapkan 170, konstitusional tapi
mungkin perlu diperbaiki karena orang Indonesia pendek-pendek gitu,
tetapi tetap konstitusional.
Nah, saya ingin penekanan apakah Saudara ingin mengatakan
bahwa PNPS yang Saudara katakan perlu direvisi itu harus karena
inkonstitusional atau karena hanya pertimbangan lebih baik, itu. Silakan
Saudara.

42. PIHAK TERKAIT: IFDHAL KASIM (KETUA KOMNAS HAM)

Ketua dan Majelis yang saya hormati dan pihak-pihak terkait


lainnya yang saya hormati. Tadi sudah…, pertanyaan sudah dibulatkan
oleh Ketua, tapi saya ingin juga menjawab beberapa yang di luar yang
dibulatkan oleh Ketua tadi.
Yang pertama dari pemerintah soal klarifikasi, apakah saya atas
nama pribadi atau atas nama Komnas HAM? Dan apakah ini…, apa yang
saya presentasikan ini merupakan hasil suatu rapat atau tidak? Jelas itu
tidak mungkin kita penuhi karena undangan untuk hadir dalam sidang ini
sangat terbatas karena itu saya mendasari apa yang saya sampaikan tadi
dari hasil-hasil kajian yang dilakukan oleh Komnas HAM terkait dengan
PNPS itu, terkait dengan masalah penodaan agama.
Kami memiliki hasil kajian yang terkait dengan masalah ini dan
hasil kajian itu sudah kita bahas di forum paripurna kami.
Adapun saya menyampaikan kadang-kadang “saya”, “kami” itu
adalah mungkin itu memudahkan saya untuk menyampaikan pikiran saya
di sini. Tetapi apa yang saya sampaikan itu basisnya dari dokumen-
dokumen yang pernah kami rumuskan di Komnas HAM terkait dengan
kebebasan beragama ini dan penodaan agama karena itu saya bisa

23
sebut merepresentasikan pandangan Komnas HAM terhadap isu
kebebasan beragama, itu yang pertama.
Yang kedua, terkait dengan apakah Pasal 1 itu memang masuk ke
wilayah forum internum atau bukan karena rumusan pasalnya dimulai
dengan setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum
untuk melakukan penafsiran tentang satu agama yang dianut di
Indonesia, atau untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran itu.
Apakah ini sesuatu yang bukan forum internum? Atau ini sesuatu
yang forum eksternal? Saya kira kita berbeda dalam menafsirkan apa
yang dimaksud dengan forum internum itu. Forum internum yang saya
maksud adalah satu keyakinan setiap orang yang diyakini oleh orang
tersebut tentang agama yang dia pahami. Itu yang saya maksud dengan
forum internum itu. Pasal ini punya potensi untuk mengganggu forum
internum itu. Kenapa saya sebut begitu? Karena banyak kasus yang
menuju ke situ. Kami di Komnas Ham banyak sekali mendapatkan
laporan-laporan dari berbagai pemeluk agama, khususnya pemeluk
agama yang…, kita sering menyebut istilah resmi dan tidak resmi. Yaitu
pemeluk agama-agama yang kita anggap sebagai tidak resmi itu yang
mengeluhkan atau mengatakan bahwa mereka tidak bisa bebas
melaksanakan apa yang mereka yakini.
Kami melihat salah satu dari…, kenapa kelompok-kelompok
agama ini seperti kelompok-kelompok agama nonwahyu, berbagai
kepercayaan itu tidak bisa bebas menjalankan ibadahnya karena antara
lain adalah adanya PNPS ini. Dan khususnya selalu dirujuk Pasal 1 ini.
Jadi tidak selalu…, misalnya seperti dalam kasus Lia Eden yang
memang dia menyatakan di depan umum menyebarluaskan selebaran-
selebaran, tidak selalu seperti itu, kasus-kasus dalam konteks intervensi
terhadap forum internum ini. Itu yang ingin saya klarifikasi dari
pertanyaan yang tadi diajukan.
Yang kedua, apakah yang saya katakan tadi itu merupakan
satu…, ada kaitannya atau tidak sejalan dengan konstitusi? Saya dari
awal sudah menyatakan bahwa PNPS ini mengandung masalah terkait
dengan kewajiban negara dalam melindungi dan memajukan hak azasi
manusia. Karena itulah saya mengatakan…, karena dia mengandung
masalah yang menyebabkan negara tidak bisa sepenuhnya menjalankan
kewajibannya, memenuhi kewajiban konstitusional, maupun kewajiban
perlindungan hak azasi manusia karena itu PNPS ini melanggar atau
tidak sejalan dengan amanat konstitusi, khususnya terkait dengan pasal
yang terkait dengan jaminan terhadap kebebasan beragama dan pasal
yang berkaitan dengan persamaan di depan hukum. Karena kalau kita
lanjutkan lebih jauh PNPS ini, meskipun di dalam penjelasannya
disebutkan bahwa, bukan berarti negara tidak mengakui agama yang
disebutkan di awal, tetapi agama-agama seperti Taoisme, Zoroaster dan
lain sebagainya tetap diakui dan hak-haknya juga dipenuhi oleh negara.

24
Tapi dalam kenyataannya ada diskriminasi terhadap warga negara yang
tidak secara eksplisit disebut di dalam penjelasan pasal ini, sehingga
inilah yang saya maksud dengan kemudian dia tidak sejalan dengan
amanat konstitusi, khususnya pasal yang berkaitan dengan jaminan
kebebasan beragama bagi pemeluknya itu dan persamaan di depan
umum. Misalnya kasus yang disampaikan di Komnas HAM yang sampai
sekarang masih ditangani adalah pemeluk agama Bahai yang tidak bisa
menjalankan secara bebas apa yang diyakininya itu.
Saya kira pemeluk agama Bahai ini adalah warga negara dan
mereka punya kesempatan dan punya hak yang sama di depan hukum.
Oleh karena itu penjelasan pasal ini seperti mendiskriminasi mereka oleh
karena itu dia tidak sejalan dengan konstitusi kita yang mengamanatkan
setiap orang sama di depan umum.
Yang berikutnya terkait dengan keinginan saya untuk menyatakan
Pasal 4 untuk perlu direvisi. Saya setuju dengan pendapat Ketua ini
bukan urusan Mahkamah Konstitusi, tetapi saya ingin menyampaikan
rumusan pasal ini masih bermasalah tetapi saya setuju dengan
semangatnya yang demi untuk menjaga hak dan kepentingan orang lain,
hak dan kebebasan orang lain maka diperlukan intervensi negara dalam
kaitannya dengan adanya seruan-seruan untuk membenci satu kelompok
agama tertentu, menghina atau dan lain sebagainya yang mengganggu
perasaan keagamaan, individu atau kelompok. Demi menjaga itu
diperlukan intervensi negara. Itulah 4 pembatasan yang saya sebut tadi
salah satunya adalah pembatasan yang terkait dengan bagaimana
pembatasan menyangkut tentang hak dan kebebasan orang lain, yaitu
bagaimana hak warga negara boleh intervensi ketika ada perasaan
keagamaan orang lain diganggu karena hasutan, karena penanaman
kebencian dan sebagainya.
Nah, pasal ini menurut saya tidak cukup untuk melindungi itu,
karena itu dia tidak bertentangan dengan konstitusi tapi karena ini
sejalan dengan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan
tersebut.
Kemudian klarifikasi dari pihak atau kuasa hukum dari Pemohon
yang meminta klarifikasi saya terkait dengan konsultasi publik yang
diadakan oleh Komnas HAM dalam konteks kebebasan beragama ini.
Konteks saya bicara waktu itu adalah konteks saya bicara berkenan
dengan delik penghinaan agama atau penodaan agama. Nah di dalam
kesempatan tersebut saya mengambil referensi di beberapa negara yang
sudah menghapus delik bless famy {sic} di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana mereka, karena itu pada saat itu saya mengajukan satu
argumentasi untuk melihat pengalaman berbagai negara dalam
pengaturan berkenaan dengan bless famy {sic{ itu klarifikasi saja saya
kira. Demikian, terima kasih.

25
43. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, ini banyak yang mau tanya. Jadi begini tiga lagi saja, tiga
dari sana lalu tiga dari hakim. PBNU, ini dari mana? Dewan Dakwah,
kemudian Pemohon. Silakan PBNU.

44. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: ASRUL SANI (PBNU)

Baik, terima kasih Yang Mulia. Saya menangkap apa yang


disampaikan oleh Komnas HAM ini juga tidak jelas. Dalam pengertian
begini, satu pihak mengatakan kebebasan itu adalah ada batasnya,
tetapi di pihak lain, Pasal 1 itu seakan-akan mengadung unsur-unsur
yang mengarah kepada statement inkonstitusional. Padahal kalau kita
kaji sebenarnya saya tidak melihat tafsir mana dari teks yang bisa
melanggar baik Pasal 29 maupun Pasal 28E, Pasal 28D termasuk
Deklarasi Human Rights, tidak ada satupun teks yang mengarah kepada
unsur inkonstitusional terhadap teks yang ada sekarang ini.
Lha, yang ingin saya tanyakan adalah kalau keberatan dari
Komnas HAM terkait dengan ketidaksetujuan ada kalimat atau ada teks
penafsiran, ini saya ingin kejelasan. Begini jika ada ajaran di dalam
agama, itu dalam Kristen dikenal misalnya Trinitas, lalu umatnya salah
satu kelompok diantara mereka mengatakan free lima ajaran teologi
misalnya bukan tiga. Apakah ini bukan merupakan penyimpangan yang
harus diakomodir di dalam undang-undang. Dalam konteks agama Islam
misalnya ada yang mengatakan ternyata setelah nabi itu ada nabi yang
lain setelah rasulullah, Nabi Muhammad misalnya. Saya kira ini
diakomodir didalam Pasal 1 PNPS ini. Oleh karena itu saya tidak melihat
dimana letak inkonstitusionalnya kalau seandainya kita melihat teks yang
ada di dalam Pasal 1 ini.
Mungkin itu yang kami sampaikan dan kami ingin kejelasan. Akan
dilanjutkan oleh rekan kami.

45. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Dewan Dakwah silakan.

46. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SOLEH AMIN (PBNU)

Tambahan dari PBNU Yang Mulia, boleh?

47. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Oh, silakan.

26
48. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SOLEH AMIN (PBNU)

Ya, tadi dari Komnas HAM menyebutkan tentang bless family law
di Inggris yang sudah dihapuskan. Tetapi sesungguhnya di Inggris
memang dihapuskan pada tahun 2008 tetapi di Republik Irlandia justru
diberlakukan pada bulan Juli Tahun 2009, yang efektif mulai berlaku
sejak Januari 2010 ini.
Kemudian kalau kita lihat, Majelis Umum PBB setidaknya dalam 3
tahun terakhir ini telah meloloskan tentang resolusi tentang definition of
religion dan itu yang terakhir didukung oleh paling tidak 80 negara
antara lain negara-negara besar kalau kita lihat seperti Rusia dan China.
Jadi bahwa penghapusan bless family law dalam rangka kebebasan
beragama itu hanya merupakan bagian dari fenomena di beberapa
negara, tetapi bukan sesuatu yang sifatnya internasional karena
disebagian besar yang lain setidaknya yang tercermin dari 80 negara
yang mendukung resolusi ini, maka keinginan untuk mengatur tentang
definition of religion itu masih ada. Demikian Yang Mulia.

49. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Dewan Dakwah, silakan.

50. PIHAK TERKAIT: DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH

Terima kasih kepada Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi,


assalamualaikum wr.wb.
Saya cuma sedikit sekali yang perlu saya sampaikan kepada
Komnas HAM. Tadi mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 PNPS
1965 menurut Anda mengandung masalah. Apakah seluruh pasal itu
mengandung masalah? Ini cuma perlu saya tegaskan dan perlu detail
tapi jangan pecah kemana-mana cara menjelaskannya supaya gampang,
jelas dan bisa ditangkap. Saya kira itu saja Majelis, terima kasih.

51. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, Pemohon.

52. KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Ya, terima kasih. Pertama saya ucapkan terima kasih kepada


Parisada Hindu, Pihak Terkait yang mengingatkan kita bahwa problem
PNPS ini tidak hanya soal kebebasan beragama tapi bisa disebutkan juga
anti diskriminasi dan perlindungan terhadap minoritas. Dan juga kami
mengingatkan apa yang dikatakan oleh ahli, Prof. Magnis Suseno di
sidang yang lalu. Dengan menggunakan kata “menyimpang” dan
“berbeda.” Kata menyimpang, membawa makna sendiri dia, ada stigma

27
yang kira-kira the other side. Ada bagian yang lain yang rasanya adalah
negatif, ada makna yang terpendam di sana kalau misalnya dikatakan
menyimpang terus ada mayoritas, terus dikatakan oh ini bukan kelompok
saya, oh ini bisa dihukum dan sebagainya itu masuk anti diskriminasi
sebenarnya. Di situ masuk perlakuan diskriminasi, Pasal 1 oleh Prof.
Magnes diingatkan tidak hanya konteks kebebasan (...)

53. PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Izin yang Mulia, ini mau bertanya atau mau apa, tolong diingatkan
Yang Mulia.

54. KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Saya mau menguji statement dari Pihak Terkait, Komnas HAM.


Apakah PNPS ini tidak terkait dengan konstitusi atau tidak? Diskriminasi
problem konstitusional, tolong dihormati.

55. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Jadi pertanyaannya diskriminatif. Jadi benar diskriminatif apa


tidak PNPS itu atau bagian-bagiannya itu begitu.

56. KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Ya tapi saya ingin mengingatkan bahwa di sidang yang kemarin


Prof. Magnes mengingatkan kata-kata “penyimpangan” membawa
dimensi diskriminasi di situ.

57. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Oke, kalau itu menimbulkan pertanyaan bisa ditanyakan itu yang


Prof. Magnes. Tapi kalau hanya kesimpulan Saudara ditulis saja nanti di
dalam kesimpulan di akhir persidangan.

58. KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Bukan (...)

59. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya.

28
60. KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Yang ingin saya katakan kepada Pak Ifdal Kasim, dengan


statement bahwa oh ini, apakah ini ranah konstitusional atau tidak
Undang-Undang PNPS ini Ya, nyambung dengan Pihak Terkait yang lain,
soal diskriminasi ini soal konstitusional. Apakah tidak dilihat ini, sehingga
pertanyaannya apakah soal problem diskriminasi dalam konteks PNPS
bukan problem konstitusional? Sehingga tidak hanya dilihat dalam
konteks kebebasan beragama saja, itu. Apalagi Prof Rahmat juga
mengatakan refer Pasal 1 bahwa pokok-pokok agama adalah hasil
kesepakatan. Bagaimana kalau misalkan ada orang tidak bersepakat
dengan pokok-pokok agama yang disepakati itu? Itu kan juga problem
diskriminasi dan problem perlindungan bagaimana perlindungan
minoritas terhadap kebebasan berpikir? Apalagi tadi Saudara Ifdal Kasim
mengatakan forum internum juga merupakan bagian dari kebebasan
berpikir dan meyakini.

61. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: ABDUL RAHMAN TARDJO, S.H.,


M.H. (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH)

Mohon maaf Ketua, ini bukan pidato. Jadi fokuskan sajalah


kepada pertanyaan.

62. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, ya.

63. KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Ya, pertanyaan saya memahami apakah Saudara Ifdal Kasim juga


tidak melihat adanya semangat diskriminasi di sini? Dan apakah itu
konstitusional?

64. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, ya. Pokoknya itu diskriminatif atau tidak, Itu kan disinggung
dari tadi.
Oke, sebelum di jawab, ini Majelis Hakim ada juga pertanyaan
dimulai dari Hakim Akil.

65. HAKIM KONSTITUSI: DR. H.M. AKIL MOCHTAR, .S.H., M.H

Saya ingin mencari satu pemahaman tentang apa yang sudah


diungkapkan oleh Komnas HAM tadi.
Tentang forum internum itu adalah satu forum yang absolut, yang
tidak bisa di.., apa namanya? diintervensi oleh siapapun termasuk

29
negara. Dalam konteks itu tadi ada satu penggalan kalimat yang
menyatakan bahwa Pasal 1 PNPS ini tidak sejalan dengan tanggung
jawab negara, kan kira-kira seperti itu. Karena melanggar forum
internum. Lalu munculah perdebatan ini tadi dengan menkonstantir, apa
yang disebut dengan di muka umum itu? Sehingga ada dua pikiran yang
berbeda bahwa dengan mengambil pengertian di muka umum yang
kemudian di dalam penjelasan pasalnya dirujuk pengertian di muka
umum di dalam KUHP, maka tentu itu tidak termasuk dalam forum
internum, Kalau pengertiannya ke sana.
Tapi Saudara tadi mengatakan tidak sejalan dengan tanggung
jawab negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara yang tidak bisa
dikurangi dalam keadaan apapun, karena kebebasan beragama dan
berkeyakinan itu. Forum internum tadi Saudara juga menyatakan itu
adalah suatu forum di mana kebebasan orang untuk meyakini,
sedangkan forum eksternum itu adalah suatu forum di mana
mengekspresikan, kan gitu? Itulah yang saya tangkap dari perbedaan
dua forum itu. Internum itu adalah kebebasan untuk meyakini
sedangkan forum eksternum itu adalah kebebasan berekspresi terhadap
keyakinan yang diyakini itu.
Nah dalam konteks itu, saya kira mungkin Komnas perlu memberi
penjelasan yang lebih luas lagi, tanggung jawab negara dalam hal
pemenuhan hak-hak warga negara, terutama dalam hal kebebasan
beragama dan berkeyakinan itu. Sehingga, Pasal 1 itu dianggap sebagai
satu pasal yang bisa menegasikan prinsip-prinsip yang menjadi
kewajiban negara itu secara konkret. Sehingga apakah yang dimaksud di
dalam Pasal 1 itu sebagai suatu forum eksternum, forum yang dapat
mengurangi kebebasan forum internum itu kepada penafsiran tentang
suatu agama. Karena, dia banyak juga di situ. Apakah itu suatu agama
yang dianut di Indonesia tentunya? Apakah suatu kegiatan yang
menyimpang atau suatu hal tindakan yang menyampaikan pokok-pokok
ajaran agama yang diyakini itu? Sehingga dengan demikian, dengan satu
penjelasan yang konkret, dapat satu, dapat diambil satu kesimpulan
bahwa Pasal 1 itu tadi, itu yang sebagaimana yang dikatakan sudah
tidak sejalan lagi dengan tanggung jawab pemerintah karena melanggar
forum internum. Forum internumnya sendiri penjelasannya juga sini.
Oleh karenanya, saya kira itu bisa memberikan hal-hal yang
mengaburkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam PNPS ini khususnya
Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, itu karena dapat ditafsirkan adanya campur
tangan negara terhadap kebebasan untuk meyakini sebagai suatu forum,
sebagai suatu hal yang di pahami sebagai forum internum itu, kan dia
Pasal 1 ayat (2) dan (3) itu kan, berhubungan itu. Kenapa kalau pada
ahli yang lalu mengatakan negara tidak bisa mengubah tafsir, tapi ada
yang memberi akomodir bahwa menyimpang itu dalam pengertian
sebagai suatu kebebasaan meyakini, boleh, ini kan ahli nih. Kita hanya
ingin kejelasaan saja supaya kita dapat menarik suatu pemahaman yang

30
berbeda-beda dari masing-masing ahli ini untuk menarik keyakinan kita
itu.
Saya kira itu itu, terima Kasih.

66. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Silakan Hakim Arsyad Sanusi.

67. HAKIM KONSTITUSI: DR. H.M. ARSYAD SANUSI, S.H., M.HUM.

Bismillah. Saudara Kuasa Pemohon, Pihak Terkait, Pemerintah dan


DPR. Inti pokok permohonan Pemohon adalah bahwa Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1965 itu adalah inkonsistusional mulai Pasal1,2,3, dan 4.
Di dalam Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 ini melahirkan
norma baru, melahirkan delik baru, itulah 156A. Sehingga di sini undang-
undang ini tidak mempersoalkan, tidak menyatakan bahwa kebebasaan
beragama itu inkonsistusional, tidak! Justru Undang-Undang PNPS ini itu
menghidupkan, menjunjung tinggi kebebasaan beragama. Tetapi yang
dilarang, yang dimohonkan oleh Pemohon ini, penistaan blestfermi,
deformation (penghinaan), penodaan, penghujatan agama. Undang-
undang ini tetap melindungi di luar 6 agama ini, tetap menjunjung tinggi
bahkan menjamin.
Bapak bisa teliti Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Mari kita lihat, sekarang ini memang beberapa pertanyaan-pertanyaan
Pihak Terkait maupun Pemohon sendiri, bahkan Pemerintah bahwa
Komnas HAM ini seolah ambigu, tidak jelas apakah Undang-Undang
PNPS sebagaimana pertanyaan Pak Ketua tadi constitusional or not?
Atau inkonstitusional. Nah, ini karena di satu pihak Saudara katakan
negara boleh intervensi terhadap penghinaan agama.
Nah, kalau kebebasaan beragama mengapa timbul undang-
undang ini? mari kita lihat sejarahnya dalam penjelasan, jelas-jelas di
sebutkan bahwa ada timbul aliran-aliran kepercayaan kebatinan yang
notabenenya merusak negara, merusak masyarakat, nah itu. Karenanya
Komnas HAM, apakah permohonan Pemohon ini betul-betul Pasal 156A
itu misalnya itu, Pemerintah mengkriminalisasikan agama? Nah itu, kita
ada pemahaman daripada memperdebat kebebasaan beragama dan lain
sebagainya, nah itu.
Untuk itu saya sangat setuju dengan pandangan Pak Ketua tadi
menyatakan, ini Pemohon ini mana sebenarnya letak injury-nya?
Kerugian konstitusionalmu itu di mana? Kalau terjadi satu penodaan
agama, 6 agama ini juga sudah mengakui bahwa itu menista, apalagi
tadi Bapak dari dakwah islamiyah itu mengatakan, gurunya perempuan
masuk telanjang. Ini kalau telanjang luar biasa ini ya? Menimbulkan ini,
siapapun juga, barang kali bisa-bisa juga malaikat lari-lari ini kalau
telanjang itu.

31
Nah, penodaan agama semacam ini, itulah yang di persoalkan
oleh Pemohon, ya itu. Apakah itu inkonstitusional atau tidak? Barangkali
itu sedikit saja tambahan Pak Ketua. Namun, saya tertarik dengan
pandangan Komnas HAM sebagaimana diulas oleh rekan kami Hakim
Akil. Forum internum itu berbicara jiwa, roh, semangat, perasaan. Nah,
kalau perasaan permusuhan itu satu agama, apakah itu masuk di forum
internum atau tidak? Saudara katakan itu masuk ke dalam ranah
kebatinan ? Nah, itu yang ingin saya pertanyakan (suara tidak terdengar
jelas) Komnas HAM, menggarisbawahi penjelasan pertanyaan daripada
Pak Akil. Terima kasih, Pak Ketua.

68. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik. Silakan, Hakim Achmad Sodiki.

69. HAKIM KONSTITUSI: PROF. DR. H. ACHMAD SODIKI, .S.H.

Terima kasih. Saya tertarik pada masalah forum internum, yang


menurut Komnas HAM tidak bisa diintervensi. Tangkapan saya begitu,
ya. Menyambung pertanyaan pada sidang yang lalu, di Amerika
mengajarkan agama di sekolah negeri, itu inkonstitusional. Itu artinya
anak-anak tidak boleh dipengaruhi untuk percaya pada agama.
Statement saya ini tadinya mengambil dari informasi Prof. Oemar Seno
Adji, ya. Jadi anak-anak tidak boleh dipengaruhi untuk percaya atau
tidak percaya pada agama. Di Indonesia karena dasar negara kita juga
Pancasila, mengajarkan agama di sekolah negeri itu wajib. Sekarang
kalau forum internum, perspektif Barat memang tidak boleh
memperngaruhi seseorang untuk percaya pada agama, di Indonesia
negara intervensi, pada forum internum untuk percaya pada agama
apakah dengan demikian forum internum itu imun terhadap pengaruh
agama? Sangat bertentangan. Jadi saya mohon perspektif
keIndonesiaan, bukan perspektif sekuler yang tidak boleh orang di dalam
sekolah negeri dipengaruhi. Kalau kemudian kita sudah mempunyai
dasar Pancasila dan kemudian mengakui agama dan mengajarkan, itu
berarti anak-anak dipengaruhi, diajarkan supaya percaya pada agama
dan agama adalah kepercayaan. Dan oleh sebab itu forum internum saya
kira, menurut pendapat saya tidak imun terhadap intervensi negara.
Saya mohon tanggapannya.
Terima kasih.

70. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Hakim Muhammad Alim.

32
71. HAKIM KONSTITUSI: DR. MUHAMMAD ALIM,S.H., M.HUM.

Terima kasih, Pak Ketua. Pertanyaan saya juga kepada Ketua


Komnas HAM. Menyambung sedikit yang dikemukakan oleh Bapak Wakil
Ketua Prof. Ahmad Sodiki, di alenia keempat Pembukaan UUD 1945 itu
kan kita sudah tahu ada Pancasila di situ sila pertama Ketuhanan Yang
Maha Esa. Secara teoritis, pembukaan itu tidak bisa diubah karena dia
merupakan staat fundamental norm, tetapi secara normatif juga
pembuat UUD yang sekarang tidak mau mengubah pembukaan undang-
undang itu. Hal itu bisa dibaca di Pasal 37 ayat (1), (2), (3) dan (4) saya
baca, “Usul perubahan pasal-pasal”, jadi hanya pasal-pasal, ayat (2),
“Setiap usul perubahan pasal-pasal”, hanya batang tubuh atau pasal-
pasal, ayat (3), “Untuk mengubah pasal-pasal”, dan ayat (4), “Putusan
untuk mengubah pasal-pasal”. Jadi dari 4 ayat di Pasal 7 jelas secara
normatif pembuat Undang-Undang Dasar tidak menghendaki perubahan
UUD 1945. Berarti tidak menghendaki juga mengubah Pancasila dalam
hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa di alenia keempat.
Kemudian di Pasal 29 ayat (1), “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Tadi dikemukakan oleh Bapak Wakil Ketua, bahwa di
Barat itu ada buku yang kami diberi, dikirimi, selain bahasa Inggrisnya
ada juga terjemahannya, karena saya tidak tahu bahasa Inggris saya
baca terjemahannya. Itu dia kebebasan beragama itu juga kebebasan
untuk tidak beragama. Di sini kelihatan bahwa ada 2, apakah kita
menganut asas Teosentrik, segala sesuatu berpusat kepada Tuhan atau
Antroposentrik, dimana segala sesuatu ukurannya tergantung kepada
manusia.
Tanpa menggurui, pada Tahun 1800 di Eropa lahir suatu istilah,
man is the measure of all things, manusia adalah ukuran segala-galanya,
jadi yang baik menurut manusia itulah yang baik, pokoknya biar Tuhan
mengatakan ini baik, kalau manusia itu tidak baik, itu man is the
measure of all things katanya dia. Nah, sekarang Komnas HAM
menganut apakah kebebasan beragama itu juga sekaligus sebagai
kebebasan untuk tidak beragama? Sebagaimana yang dikatakan Prof.
Sodiki tadi di Amerika Serikat, sekolah-sekolah negeri tidak boleh
mengajarkan agama.
Kedua, apakah kita menganut asas Teosentrik, segala sesuatu
berpusat kepada Illahi atau berpusat pada manusia? Terima kasih, Pak
Ketua.

72. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, semua pertanyaan ke Komnas HAM tetapi ada 2 masalah


pokok, di samping tentu masalah-masalah lain. Pertama, bahwa kita itu
menguji PNPS ini berdasar konstitusi kita, konstitusi kita itu sebenarnya
bagaimana mengaturnya, sebab kalau negara itu jadi berbeda-beda,
Inggris beda, Amerika beda, lalu di tempat lain beda lagi, sehingga saya

33
pernah mengatakan itu ketika membahas Undang-Undang Mahkamah
Agung dulu, ini orang Mahkamah Agung ini enak aja, kalau urusan gaji
dia memberi contoh Singapura, tapi kalau urusan jam kerja memberi
contoh Pakistan, lalu mau ambil yang enak-enak saja [hadirin tertawa].
Nah, sekarang yang Indonesia saja Bapak, karena Konstitusi itu adalah
resultan kita sendiri sebagai bangsa. Nah ini, Komnas HAM, ini penting.
Yang kedua, tadi Pak Arsyad, bagaimana kalau penodaan seperti
orang membentuk agama lalu ngajak orang-orang telanjang, apa ndak
bikin orang marah? Apalagi Pak Arsyad tidak diundang ke situ, sehingga
dia marah tadi [hadirin tertawa].
Silakan, Pak.

73. PIHAK TERKAIT: IFDHAL KASIM (KETUA KOMNAS HAM)

Terima kasih, Ketua dan Majelis Hakim yang saya hormati.


Kembali saya ingin merespon beberapa pertanyaan. Pertama, saya
memang bisa memahami kebingungan atau menyatakan Komnas HAM
itu ambigu atau tidak jelas dalam konteks menerangkan tentang
kebebasan beragama ini. Karena memang rumusan pasal berkenaan
dengan kebebasan beragama ini, memang mengandung dua sisi yang
saling kontradiktif di dalamnya. Nah, bahwa kemudian itu membuat
Kuasa dari PBNU melihat ketidakjelasan, yaitu lahir dari produk, lahir dari
rumusan yang ada di dalam hak atas kebebasan beragama ini, baik yang
tertulis di dalam undang-undang kita maupun yang ditulis dalam
konvensi-konvensi internasional mengenai hak asasi manusia. Nah,
dimana kebingungan atau ketidakjelasan itu karena lahir di satu sisi…, di
satu sisi hak atas kebebasan beragama ini memberikan jaminan atas
kebebasan, tetapi di sisi lain dia memberikan pembatasan. Nah, karena
itulah timbul pernyataan ketidakjelasan seperti itu. Justru di sinilah kita
harus hati-hati. Sebab kebebasan beragama itu di satu sisi memang ada
wilayah yang kita sebut tadi, yang juga diperjelas, yang hendak
ditanyakan juga oleh Hakim Akil Mochtar, yaitu forum internum itu, atau
kebebasan internal itu. Tetapi di sisi lain juga ada kebebasan yang
bersifat eksternal, yang itu bisa diatur menjadi objek pengaturan, yang
ini yang bisa dilarang, kebebasan-kebebasan yang berada dalam lingkup,
apa namanya…, lingkup eksternal ini.
Jadi memang ada kontradiksi kalau kita lihat. Di satu sisi
kebebasan beragama ini diletakkan statusnya dalam hak yang bersifat
non-derogable rights, hak yang tidak boleh dikurangi, dicabut, dalam
situasi apapun, apakah negara diumumkan dalam keadaan perang,
diumumkan dalam keadaan darurat sipil, darurat militer, hak ini tetap
melekat kewajiban negara untuk melindunginya. Tetapi di sisi lain, dia
memberikan hak kepada negara untuk melakukan intervensi pada
beberapa aspek itu, yaitu berkaitan dengan atas keperluan dalam
menjaga ketertiban umum, untuk menjaga kesehatan dan moralitas

34
masyarakat, dan untuk menjaga hak dan kebebasan orang lain, dan
keselamatan umum.
Secara seporadis saja saya jawab, apa yang ditanyakan Bapak
Hakim Mahkamah Konstitusi Pak Arsyad, dalam kaitan dengan apakah
bisa doktrin atau agama yang dalam doktrinnya atau dalam ajarannya
atau dalam ritualnya itu boleh misalnya menyuruh umatnya meminum
racun, bertelanjang, dan sebagainya? Dalam konteks ini, itu sudah.., itu
bisa dilarang oleh negara karena itu sudah memasuki wilayah kebebasan
eksternal. Nah karena itu intervensi negara untuk melarang ajaran
agama yang menyuruh dalam ritualnya itu melakukan, apa namanya…,
seks bebas, atau melakukan minum racun bersama-sama dan
sebagainya, itu di situ sudah menyangkut ada hak dan kebebasan orang
lain, menyangkut tentang moralitas publik, pada saat itu negara boleh
melarang ritual-ritual agama seperti itu. Tetapi di dalam kaitannya
dengan forum externum itu, itu yang tidak bisa di intervensi oleh negara.
Tetapi ketika dia dimanifestasikan, ya, dalam bentuk pengajaran atau
dalam bentuk menyebarkannya ke orang lain, nah di situ baru bisa
pengaturannya, baru bisa ada larangan kalau memang itu…, kalau dia
beresiko pada mengganggu hak dan kebebasan orang lain, itu negara
boleh melarangnya ekspresi itu tadi. Tapi selagi dia masih dalam wilayah
alam pikiran atau masih dalam diyakini secara individual oleh orang
tersebut atau oleh penganut agama tersebut itu tidak bisa diintervensi.
Nah, kemudian terkait dengan…, juga yang ditanyakan oleh Kuasa
Hukum dari PBNU terkait dengan semangat internas..., apa…, kenyataan
di Irlandia dan juga dari resolusi terakhir Majelis Umum PBB meng-adopt
defamation of religion itu betul sekali dan karena itulah saya menyatakan
Pasal 4 itu masih bisa kita gunakan tetapi dengan revisi, ya. Karena itu
saya tidak mengatakan Pasal 4 itu bertentangan dengan konstitusi sebab
Pasal 4 itu menyangkut defamation of religion. Nah, resolusi PBB terkait
dengan ini sudah menyerukan kepada setiap negara untuk melakukan
combating defamation of religion dan di dalam resolusi ini disebutkan
agar setiap negara melakukan langkah-langkah untuk menerapkan
dalam hukum nasionalnya untuk melawan setiap bentuk defamation of
religion ini.
Nah, karena itu menurut saya yang…, kembali lagi mana yang
inkonstitusional dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1966 ini?
Enam sorry…, 65 ini, adalah lebih pada Pasal 1 dan ikutannya itu karena
Pasal 1 dan ikutannya itu.., karena Pasal 2 dan Pasal 3 tergantung pada
Pasal 1 terkait dengan tanggungjawab Negara dalam memenuhi
kewajiban konstitusionalnya. Nah, kita tahu tanggung jawab negara
dalam perlindungan hak asasi manusia ini ditegaskan di dalam Pasal 28I,
disebutkan “Perlindungan kemajuan penegakan dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.”
Nah, pasal ini kalau PNPS ini di…, khususnya Pasal 1, 2, dan 3 nya
tidak sejalan dengan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan
kepada warga negaranya dalam hal memeluk agama. Selain itu juga

35
Pasal 1 ini juga memiliki dimensi adanya diskriminasi terhadap minoritas.
Saya sudah mengajukan argumentasi dari adanya diskriminasi tersebut
kalau kita membaca pada penjelasannya dan sebagainya.
Nah, kemudian pertanyaan dari Pak Hakim Akil Mochtar
berkenaan dengan bagaimana kita memahami forum internum ini
sehingga bisa dilahirkan suatu prinsip-prinsip yang menegaskan
tanggung jawab negara untuk menjamin adanya forum internum ini dan
meminta satu penjelasan yang konkrit yang terkait dengan forum
internum ini. Saya kembali menegaskan, dan tadi juga sudah
disampaikan oleh Hakim Akil Mochtar bahwa forum internum ini adalah
suatu yang bersifat absolut, karena itu bentuk intervensi negara
terhadap forum ini tidak bisa dilakukan, kalau itu dilakukan maka akan
bertentangan dengan Pasal 28I yang saya sebut tadi, berkaitan dengan
tanggung jawab negara dalam perlindungan hak asasi manusia. Kenapa?
Karena forum internum ini masih dalam alam kesadaran orang yang
sangat sulit dimasuki oleh setiap orang. Dia baru bisa dilarang apabila
ekspresinya dalam bentuk menanamkan atau menyebarkan kebencian
atau melakukan penghinaan atau membuat orang tidak mempercayai,
itu bisa.., ekspresi-ekspresi itu yang kemudian bisa diintervensi oleh
negara dalam bentuk memberikan aturan ke dalam hukum pidana
negara yang bersangkutan. Nah, karena itu menurut saya Pasal 4 itu
yang ada dalam PNPS ini kita perlukan, cuma saya melihat rumusannya
masih sangat lemah karena itu perlu di…, tapi ini di luar tanggung jawab
dari Mahkamah Konstitusi.
Kemudian selanjutnya saya ingin menjawab kepada Pak
Muhammad Alim, ya. Kebebasan beragama apa yang dipahami oleh
Komnas HAM? Dan apakah tercakup juga di dalamnya kebebasan tidak
beragama? Saya kira Komnas HAM tidak bisa membuat opini terhadap
ini, Komnas HAM mendasari pekerjaannya berbasis pada undang-undang
yang diproduksi oleh negara ini. Pegangan utamanya adalah konstitusi,
Undang-Undang Dasar 1945, pasal-pasal berkenaan dengan hak asasi
manusia, kemudian Undang-Undang 39 dan undang-undang yang lain
yang meratifikasi konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia. Itu
yang menjadi rujukan Komnas HAM dalam menilai atau menegaskan
eksistensi dari hak asasi manusia dalam konteks perlindungannya, dalam
konteks kemajuannya dan dalam konteks pemenuhannya. Karena itu
opini yang bersifat penilaian, kami tidak bisa sampaikan.
Kemudian terkait dengan forum internum itu bukan berarti tidak
melarang pewarisan atau pengajaran agama di sekolah, tidak seperti itu.
Forum internum itu ada di wilayah personal setiap orang dan dia tidak
berbicara berkenaan dengan larangan untuk sekolah ada pelajaran
agama dan sebagainya karena itu aspek yang lain saya kira, kalau
misalnya di Amerika dicontohkan tadi oleh Pak Arsyad ada larangan
pengajaran agama di sekolah itu tidak terkait dengan forum internum
saya kira, mungkin itu aspek yang lain ya, kenapa beberapa negara
melarang pelajaran agama diajarkan di sekolah. Dan saya kira kalau ada

36
itu saya kira negara tersebut melanggar konvensi-konvensi internasional
tentang hak asasi manusia. Karena ada kebebasan eksternal dari agama
itu adalah juga menjamin setiap pemeluk agama itu mewariskan ajaran
agamanya, mengajarkan, mendakwahkan termasuk mengajarkannya di
sekolah-sekolah. Nah, kalau ada negara yang melarang hal itu saya kira
dia tidak sejalan dengan amanat atau instrumen-instrumen internasional
tentang hak asasi manusia.
Saya kira demikian yang bisa saya rangkum dari seluruh
pertanyaan yang sampai kepada saya.
Terima kasih. Wabilahitaufik walhidayah, wassalamualaikum wr.
wb.

74. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, terima kasih Saudara Ifdhal Kasim. Cukup ya untuk Komnas


HAM?
Ya, kalau masih ada nanti saja (…)

75. PIHAK TERKAIT: DRS. H. AMIDHAN (KOORDINATOR MUI)

Saya interupsi.

76. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya?

77. PIHAK TERKAIT: DRS. H. AMIDHAN (KOORDINATOR MUI)

Dari tadi Komnas HAM ini apa tidak menguasai atau sengaja
menggelapkan pasal dari konstitusi kita? Yaitu dari awal menyebutkan
tentang hak-hak non derogable right yang tidak bisa dikurangi dalam
keadaan apapun, dengan menunjuk Pasal 28I, tetapi kok tidak pernah
menyebutkan Pasal 28J, pasal yang membatasi (suara tidak terdengar
jelas) tapi hanya menyebutkan dengan frase-frase yang dikemukakan
sendiri.

78. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, baik Bapak.

79. PIHAK TERKAIT: DRS. H. AMIDHAN (KOORDINATOR MUI)

Masih (...)

37
80. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Jadi nanti disimpulkan saja itu. Disimpulkan di dalam,.. pada akhir


persidangan, semua kita buat kesimpulan, Hakim juga akan buat
kesimpulan, lalu akan buat putusan nantinya berdasarkan kesimpulan-
kesimpulan dari jalannya sidang ini.
Baik, sidang ditutup dan akan dibuka kembali tepat pada Pukul
14.00 WIB.

KETUK PALU 3X

SIDANG DISKORS PUKUL 12.05 WIB

SKORS DICABUT PUKUL 14.05 WIB

81. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Sidang pleno untuk Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 dengan


mencabut skors, dinyatakan dibuka kembali dan terbuka untuk umum.

KETUK PALU 3X

Berikutnya, kita akan mendengar keterangan ahli. Dimohon untuk


maju mengambil sumpah. Pertama Bapak Luthfi Assyaukanie, silakan
maju. Kemudian yang kedua Bapak Mudzakir, yang ketiga Bapak Buya
Bagindo Letter, yang keempat Bapak Atho Mudzhar. Semuanya
beragama Islam, silakan Bapak Alim.

82. HAKIM KONSTITUSI: DR. MUHAMMAD ALIM,S.H., M.HUM.

Dengarkan dan ikuti lafal sumpah yang akan saya tuntunkan.


“Bismillahirrahmanirohim, demi Allah saya bersumpah, sebagai
ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan
keahlian saya.

83. AHLI:

Bismillahirrahmanirahim, demi Allah saya bersumpah, sebagai ahli


akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian
saya.

38
84. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Duduk kembali. Kami undang Pak Assyaukanie, silakan.


Silakan Pemohon ini disuruh menerangkan apa atau langsung saja
atau bagaimana, silakan.

85. KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H.,


LL.M.

Langsung dibacakan saja oleh (...)

86. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Silakan, Pak Assyaukanie.

87. AHLI DARI PEMOHON: LUTHFI ASSYAUKANIE, PH.D.

Assalammualaikum wr. wb. Selamat sore, Majelis Hakim


Mahkamah Konstitusi Yang Mulia.
Pertama-tama izinkan saya menjelaskan posisi saya dan mengapa
saya bersedia menjadi salah seorang ahli di dalam persidangan uji
materiil Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini.
Saya seorang dosen yang menekuni kajian filsafat dan pemikiran
keagamaan. Seluruh karir akademi saya fokuskan untuk mengkaji dan
mengajar tentang studi agama-agama khusunya Islam.
Ketika diminta menjadi salah satu ahli dalam persidangan ini, saya
menyanggupinya karena seperti pandangan banyak orang saya meyakini
bahwa undang-undang ini bermasalah.
Ada beberapa persoalan yang dimunculkan dari undang-undang
ini yang berdampak bagi kehidupan sosial dan politik di negara kita. Kita
semua tahu bahwa setiap aturan pada dasarnya dibuat untuk kebaikan
bersama, namun jika peraturan itu melukai rasa keadilan, bersifat
diskriminatif, dan berpotensi memicu ketegangan di dalam masyarakat
maka sudah selayaknya aturan semacam itu ditinjau ulang.
Memelihara sebuah undang-undang yang diskriminatif dan
berpotensi memicu ketegangan di tengah masyarakat hanya akan
menyulitkan ikhtiar kita untuk memperbaiki kondisi negeri ini. Saya
memandang bahwa Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 melukai
rasa keadilan sebagian orang. Menangkap dan memenjarakan seseorang
karena alasan orang itu menganut agama tertentu dan meyakini
keyakinan tertentu yang dianggap menyimpang adalah tindakan yang
keji dan bertentangan dengan semangat konstitusi kita yang jelas-jelas
melindungi keyakinan setiap orang.
Negara kita bukanlah negara teokratis atau negara agama yang
sibuk menilai iman dan keyakinan seseorang. Iman dan keyakinan
adalah urusan individu setiap orang di mana negara tidak dibenarkan

39
untuk ikut campur. Konstitusi kita jelas-jelas melindungi semua agama
tanpa terkecuali, tidak ada pembatasan jumlah agama atau jumlah aliran
dan sekte. Setiap agama dan sekte dilindungi untuk tumbuh dan
berkembang, baik agama-agama pendatang, seperti Islam dan Kristen
maupun agama–agama yang tumbuh dari dalam negeri sendiri seperti
kebatinan, kejawen, dan lain-lain.
Setiap upaya untuk membatasi jumlah agama atau untuk
melarang suatu agama berkembang adalah suatu bentuk penodaan
terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Bagi saya penodaan teerhadap
Undang-Undang Dasar 1945 tidak kalah seriusnya dibanding penodaan
agama.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965
menyebutkan enam agama utama dan empat agama lainnya yang tadi
sudah disebutkan beberapa kali. Kesepuluh agama ini dianggap sebagai
benchmark atau standar untuk mengukur apakah suatu agama bisa
diterima untuk hidup di negeri ini atau tidak. Jika sebuah agama dinilai
tidak sejalan dari kesepuluh agama yang disebutkan itu maka
pemeluknya dapat ditangkap atau dipenjara. Aturan semacam ini jelas-
jelas diskriminatif dan menodai rasa keadilan kita.
Majelis Hakim Yang Mulia. Saya berpendapat setiap agama berhak
memiliki pandangan tertentu tentang agama lain. Saya tidak keberatan
jika MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap agama lain atau KWI
misalnya menyatakan ada penyimpangan dalam sebuah denominasi
kekristenan. Sudah menjadi karakter agama sejak lama bahwa mereka
saling menganggap sesat satu sama lain. Kristen memandang Islam atau
memandang agama Islam sesat, Islam memandang agama Yahudi sesat,
orang-orang Syi’ah memandang orang-orang pengikut Sunni sesat dan
orang-orang Sunni memandang Khawaritz sesat. Begitu yang terjadi
sepanjang sejarah.
Ketika agama Kristen muncul di Palestina pada paruh pertama
abad pertama masehi, orang-orang Yahudi menganggapnya sebagai
aliran sesat. Ketika Islam muncul di Arabia pada abad ke VI Masehi,
Gereja Timur atau biasa disebut Gereja Arab mengeluarkan dekrit bahwa
agama yang dibawa Nabi Muhammad itu sebagai sekte sesat. Pola
muncul dan berkembangnya agama hampir selalu sama. Setiap
pemunculan agama selalu diiringi dengan ketegangan dan tuduhan yang
sangat menyakitkan dan seringkali melukai rasa kemanusiaan kita.
Ketika Rasulullah Muhammad SAW mengaku sebagai nabi,
masyarakat Mekah tidak bisa menerimanya. Mereka menuduh nabi
sebagai orang gila dan melempari beliau dengan kotoran unta. Para
pengikut nabi dikejar-kejar, disiksa dan bahkan dibunuh seperti yang
terjadi pada Bilal bin Rhabah sang muadzin dan keluarga Amar bin
Yasar. Hal serupa juga terjadi pada Lia Aminuddin ketika dia mengaku
sebagai nabi dan mengakui sebagai jibril. Orang menganggapnya telah
gila dan sebagian mendesak pemerintah untk menangkap dan
memenjarakannya. Kesalahan Lia Aminuddin persis sama dengan

40
kesalahan Kanjeng Nabi Muhammad, meyakini suatu ajaran dan
berusaha menyebarluaskannya.
Saya tidak terlalu peduli kalau ada satu lembaga agama
mengeluarkan fatwa sesat tentang suatu agama atau suatu aliran
tertentu, itu hak mereka untuk melakukannya. Yang menjadi persoalan
buat saya adalah jika negara atau pemerintah ikut campur dan memihak
dalam persoalan yang rumit ini. Atas dasar apa negara melindungi
agama tertentu dan mengabaikan agama lainnya? Atas dasar apa negara
memenjarakan pemeluk agama tertentu dan membebaskan pemeluk
agama lain menjalankan keyakinannya? Atas dasar apa negara
mengkriminalisasi sebuah agama atau sebuah aliran?
Saya jadi teringat kata-kata filusuf Inggris Karl Popper yang
mengatakan bahwa negara adalah suatu kejahatan yang tak
terhindarkan. Kekuasaannya tidak boleh dilipatgandakan melebihi apa
yang diperlukan. Terlalu banyak yang harus diurus oleh negara, lebih
baik negara berkonsentrasi mengurusi kesejahteraan rakyat,
memberantas korupsi, mengentaskan kemiskinan, ketimbang ikut
campur mengurusi iman dan keyakinan setiap orang. Negara akan
menumpuk daftar kejahatannya jika dia memenjarakan seorang warga
hanya karena keyakinannya.
Majelis Hakim yang mulia. Persoalan utama dari Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut campur terlalu jauh
dalam urusan agama. Idealnya negara kita atau negara tidak boleh ikut
campur dalam urusan agama. Tapi karena alasan sejarah negara kita
terlanjur memiliki hubungan yang kompleks dalam persoalan ini. Bahwa
negara mengakomodasi agama adalah bagian dari realitas politik yang
kita miliki, tapi bila negara ikut campur menentukan mana agama yang
benar dan mana agama yang salah saya kira negara telah masuk ke
dalam urusan yang bukan wilayahnya.
Bahwa negara bertanggung jawab menjaga stabilitas dan
kedamaian masyarakat, itu sudah menjadi kewajibannya dan kita tahu
semua. Tapi jangan atas nama ketertiban dan menjaga stabilitas negara
secara semena-mena memenjarakan orang. Saya menganggap bahwa
memenjarakan seseorang karena alasan keyakinan berbeda sebagai
sebuah tindakan semena-mena dan zhalim.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 melarang setiap
orang menceritakan, menganjurkan dan menafsirkan sesuatu yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia.
Saya tidak habis pikir apa yang ada dalam pikiran para pembuat undang-
undang ini. Seluruh sejarah agama adalah sejarah penafsiran. Islam
bermula dari sebuah ajaran yang sederhana, penafsiran-penafsiranlah
yang membuatnya menjadi kaya dan kompleks seperti sekarang ini.
Penafsiran-penafsiranlah yang mendorong munculnya ratusan sekte dan
mazhab di dalam Islam. Sebagian dari sekte dan mazhab itu dianggap
sesuai dengan mainstream, sebagian lagi dianggap menyimpang. Tapi
penilaian cocok dan tidak cocok, menyimpang dan tidak menyimpang

41
sangat subjektif, tergantung siapa yang mengatakanya dalam posisi apa
dia mengatakan.
Jika yang mengatakannya adalah kelompok agama yang dekat
dengan kekuasaan, maka sudah pasti sekte atau mazhab yang dianggap
sesat akan bernasib sial. Mereka akan dikucilkan dan tidak jarang
dimusuhi dan dikejar-kejar. Sejarah Islam memiliki contoh yang sangat
kaya tentang masalah ini. Ketika kaum Mu’tazilah berkuasa pada abad IX
Masehi, seluruh mazhab dan sekte yang tak sejalan dianggap sesat dan
dimusuhi. Majelis Ulama Mu’tazilah, semacam Majelis Ulama Indonesia
sekarang membangun suatu lembaga inkuisisi yang disebut Mihna, di
mana orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan yang disahkan
negara ditangkap, disiksa dan dipenjarakan. Para pengikut aliran sunny
paling banyak yang menjadi korban di antaranya adalah Imam Ahmad
bin Hambal, pendiri mahzab hambali yang sangat dihormati, salah satu
dari 4 mahzab yang kita miliki.
Ibnu Hambali ditangkap tangan dan kakinya dirantai dan
dipenjara karena meyakini sesuatu yang tidak diyakini Majelis Ulama
Mutazilah.
Begitu juga ketika kaum sunny berhasil mempengaruhi Khalifah Al
Mutawakil yang berkuasa antara 847–861 untuk menjadikan ahli sunah
sebagai mahzab resmi. semua sekte dan mahzab di luar sunny yang
keyakinananya tak sejalan dengan pokok-pokok ajaran agama yang
diakui negara ditangkapi, diinterogasi dan dimintai bertobat. Jika mereka
taka mau bertobat penjara menanti mereka. Mutazilah artinya adalah
kelompok pertama yang menjadi korban balas dendam kompetisi antar
sekte ini.
Dendam karena agama selalu berdampak sangat buruk, tidak
hanya memusuhi dan menangkapi kaum mutazilah, kaum sunny di
bawah Khalifah al Mutawakil juga memperluas permusuhannya kepada
orang-orang non muslim selama pemerintahannya kaum Yahudi dan
Kristen tak diperbolehkan mendirikan Sinagog dan Gereja. Mereka
diharuskan mengenakan pakaian yang berbeda dari kaum muslimin
umumnya persis seperti kebijakan Nazi pada era Hitler.
Kaum Yahudi dan Kristen juga dilarang menggunakan hewan
apapun untuk kendaraan mereka kecuali menggunakan keledai.
Sayang sekali pada masa itu belum ada mekanisme judicial
review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Tentu saja saat itu
belum ada Mahkamah Konstitusi dan belum ada demokrasi yang seperti
yang kita miliki sekarang. Siapa yang berkuasa dialah yang menentukan
hitam putihnya suatu aliran. Sesat dan tidak sesat sangat bergantung
kepada penguasa, menyimpang dan tidak menyimpang tergantung
bagaimana pemerintah bisa dipengaruhi oleh ulama yang bernafsu
menerapkan satu kebenaran yang mereka anut.
Majelis Hakim Yang Mulia, kita hidup di zaman modern, di zaman
dimana kebebasan dan demokrasi memungkinkan kita untuk mengadu
jika kita merasakan suatu ketidakadilan dalam suatu aturan atau

42
undang-undang. Tujuan kita mendirikan lembaga semacam Mahkamah
Konstitusi adalah untuk mengoreksi kalau-kalau suatu produk hukum
yang dibuat di masa silam tidak lagi sesuai dengan semangat zaman,
tidak lagi cocok dengan rasa keadilan dimana kita hidup sekarang ini.
Tampaknya kita harus menyimak lagi apa yang dikatakan J. J
Rousseau dalam makalahnya yang terkenal The Social Contract
menegaskan bahwa manusia harus diperlakukan sebagaimana dia,
sementara hukum harus diperlakukan sebagaimana baiknya. Bukan
manusia yang mengikuti hukum tapi hukumlah yang harus
menyesuaikan diri dengan perkembangan dan dinamika manusia.
Ketika tokoh-tokoh terhormat yang selama ini dikenal sebagai
pejuang demokrasi dan hak asasi manusia seperti K.H. Abdurrahman
Wahid, Prof. Dawam Raharjo, Prof. Dr. Musdah Mulia dan sejumlah
sarjana dan intelektual lainnya mengusulkan agar Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965 ditinjau ulang, saya kira niat mereka sangat baik
bukan untuk kepentingan mereka sendiri tapi untuk kepentingan bangsa
ini ke depan. Jika mereka melihat bahwa undang-undang ini tidak
bermasalah untuk apa dipersoalkan, untuk apa mereka dan kita semua
menghabiskan waktu dan energi berminggu-minggu untuk membahas
sesuatu yang tidak bermasalah. Jelas ada masalah serius dengan
undang-undang ini dan karena itu semua kita berada di sini
mendiskusikannya dan mengujinya untuk kebaikan bangsa ini dan untuk
kebaikan kita semua.
Saya tidak sependapat dengan orang-orang yang mengatakan
bahwa absennya undang-undang semacam ini akan memunculkan
kerisauan atau kekacauan. Sebaliknya saya berpandangan bahwa
undang-undang inilah yang selama ini mendorong kekacauan dan
ketegangan di tengah umat Islam. Kita bisa melihat misalnya banyak
sekali kasus-kasus yang ditengarai sebagai kasus penodaan agama, kita
lihatlah di sana, siapa yang membuat kerusuhan, siapa yang membuat
onar dan siapa yang membuat kekacauan. Kekacauan dan onar selalu
dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa absah melakukan
tindakan brutal karena didukung oleh undang-undang ini.
Saya juga tidak sependapat dengan orang-orang yang
mengatakan bahwa keberadaan undang-undang ini telah menciptakan
kerukunan umat beragama di negara kita. Siapa bilang kita negara yang
bebas dari persekusi agama, siapa bilang kita negeri yang toleran dan
menghormati kebebasan beragama setiap orang?
Simaklah laporan-laporan, indeks kebebasan beragama yang
diterbitkan oleh lembaga-lembaga yang berkecimpung di bidang ini
seperti freedom house institute, dalam daftar mereka Indonesia selalu
menempati urusan teratas dalam hal pelanggaran terhadap kebebasan
beragama. Selama kelompok mayoritas merasa memiliki landasan hukum
untuk membubarkan atau menutup suatu sekte atau mazhab yang tidak
sesuai dengan keyakinan mereka, selama itu pula kita kesulitan
memperbaiki indek kebebasan beragama yang kita miliki.

43
Kita disorot dunia dan diberi rapor merah setiap tahun. Kita hidup
di zaman modern. Negara-negara yang maju tidak lagi mengurusi soal
iman seseorang. Negara harus memberi kebebasan bagi setiap orang
menyembah atau memeluk keyakinan apapun. Satu-satunya alasan bagi
negara untuk menangkap dan mengadili penganut agama adalah jika
sang penganut itu melakukan tindak kekerasan atau jelas-jelas membuat
onar di tengah masyarakat.
Jika seseorang menganut keyakinan tertentu menafsirkannya dan
menyebarluaskannya sesuai dengan selera mereka, negara harus
menghormati dan melindunginya. Tidak boleh ada penangkapan atas
nama iman dan keyakinan seseorang.
Majelis Hakim Yang Mulia, akhirnya saya mengajak kita semua
untuk berendah hati dan berprasangka baik. Kita hadir di sini bukan
untuk mempertontonkan kekuatan dan kekuasaan tapi mencari solusi
buat kehidupan yang lebih baik ke depan.
Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid dan beberapa tokoh
terhormat lainnya telah bersusah payah mengusulkan agar undang-
undang ini ditinjau ulang. Sekali lagi bukan untuk kepentingan mereka
tapi untuk kepentingan kita semua, untuk kepentingan bangsa ini.
Saya pribadi tidak terlalu perduli apa Keputusan Majelis Hakim
nanti, saya hanya ingin mengutip sabda Nabi Muhammad “Allahuma inni
qood balagh tu fassad”. Ya Allah saya sudah menyampaikannya,
saksikanlah. Wassalamualaikum wr.wb.

88. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, apakah ada yang akan bertanya untuk minta penjelasan?


Majelis Ulama, NU, dan Dewan Dakwah, silakan Majelis Ulama.

89. PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Pemerintah Yang Mulia.

90. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Pemerintah juga, oke.

91. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI)

Terima kasih, Yang Mulia. Yang pertama tadi saya mencatat


Saudara Ahli tadi menyebutkan tentang kesalahan Lia Aminudin sepadan
atau sama dengan kesalahan Nabi Muhammad. Dari statement itu tadi
saya meragukan, apakah ahli ini masih layak bersumpah dengan agama
Islam ataukah tidak?

44
Mengapa saya pertanyakan hal itu? Penyamaan kedua kejadian
tersebut, yang pertama menunjukkan satu simplifikasi yang parah,
menyamakan tingkah laku Lia Aminudin yang sangat sumir itu tanpa ada
suatu kitab, tanpa ada suatu penjelasan-penjelasan yang masuk akal
atas tingkah lakunya, bukan hanya tidak masuk akal yang terjadi pada
zaman rasullulah, kemudian menyamakan seperti apa yang di bawa oleh
Nabi Muhammad, yang menantang orang untuk melakukan debat
terhadap kandungan Al-qur’an secara terbuka misalnya, sesuatu yang
tidak mungkin dilakukan oleh Lia Aminudin dipersamakan seperti itu
menurut saya merupakan perbuatan yang sangat ceroboh, mengurangi
kadar inteletualitas kita yang ada di sini, dan menodai perasaan
keberagamaan kita.
Kemudian yang kedua, saya sejujurnya tidak paham ahli ini
kualifikasinya ahli apa? Apakah dia ini seorang ahli agama atau ahli
hukum atau apa? Saya tidak jelas sejujurnya saya tidak bisa memahami.
Kalau dia ahli agama, dia memasuki terlalu jauh penilaiannya
terhadap unsur-unsur tentang pasal yang ada dalam PNPS, yang bukan
merupakan wilayahnya. Kita ambil contoh misalnya seperti Prof. Magnes
Suseno, walaupun saya berseberangan dengan dia tapi satu hal saya
menghormati sikap dia tidak memasuki wilayah pasal-pasal PNPS.
Karena dia mengakui dia bukan ahli hukum.
Dalam konteks inilah mesti ahli membatasi diri, mengapa? Ketika
dia memasuki wilayah itu tanpa suatu kualifikasi yang memadai maka
jelas menabrak suatu rambu-rambu dalam cara menilai suatu undang-
undang secara kacau.
Seperti contoh misalnya tadi ahli mengatakan bahwa keonaran
yang terjadi, itu akibat adanya undang-undang ini. Sehingga dia tidak
sependapat apabila undang-undang ini dicabut maka akan terjadi
keonaran. Patut dipertanyakan kepada ahli terhadap statement-nya itu,
bagian mana dari PNPS yang mendukung tindakan onar, tindakan brutal?
Apakah ada relevansinya antara tindakan onar dan brutal dengan PNPS
ini? Bukankah justru dengan PNPS ini memberikan suatu kesempatan
pada negara untuk menegakkan hukum dan menyingkirkan orang-orang
yang bermaksud menegakkan hukum sendiri atau eigenrechting? Apakah
ahli sudah membaca betul-betul undang-undang ini dan tidak
menafsirkan undang-undang itu secara to the force.
Kemudian, kepentingan bangsa kedepan yang dikemukakan oleh
ahli, kepentingan bangsa siapa yang dimaksud bangsa di sini? Kalau kita
memperhatikan dari wakil-wakil organisasi keagamaan yang sudah
tampil di sini, mayoritas mengatakan masih mementingkan atau
memerlukan adanya PNPS ini termasuk dari Mattakin, termasuk dari
Buddha bukan dari Islam saja yang masih menghendakinya.
Jadi karena itu, kepentingan bangsa siapa yang dimaksudkan oleh
Ahli? Apakah Ahli seorang Ahli Sosiologis? Sehingga memiliki kualifikasi
menilai sampai sejauh itu. Kemudian yang terakhir pernyataannya
menggelitik saya, bahwa dia tidak perduli apapun Keputusan MK. Ini

45
menggelitik saya begitu, kalau dia memiliki concern terhadap berbagai
persoalan yang timbul dari PNPS ini mengapa tidak perduli? Apakah itu
bukan suatu keangkuhan intelektual yang tidak pantas untuk
disampaikan?
Yang Mulia, terima kasih. Assalamualaikum wr. wb.

92. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

PBNU.

93. PIHAK TERKAIT: SOLEH AMIN (PBNU)

Terima kasih, Yang Mulia. Saudara Ahli, Dr. Luthfi Assyaukanie


yang saya hormati, kita ini tidak hidup dalam alam filsafat, tapi kita
hidup dalam sebuah realitas sosial. Realitas sosial kita ini diwadahi oleh
suatu kontrak sosial dan dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia tertuang baik dalam dasar negara kita maupun dalam
konstitusi kita. Setelah mendengarkan tadi pandangan–pandangan Anda,
saya ingin bertanya, dimana Anda menempatkan kontrak sosial dalam
konteks negara kita ini dalam persoalan ini?
Kesan saya, Anda menyampaikan pandangan dengan melepaskan
sama sekali kontrak sosial yang kita sepakati sebagai sebuah bangsa dan
negara, itu yang pertama. Yang kedua, tadi Anda menjelaskan bahwa
latar belakang Anda adalah seorang dosen yang mengkaji masalah-
masalah filsafat dan studi perbandingan agama. Sejauh yang saya
pahami misalnya, di bidang filsafat sendiri, di bidang filsafat
Utilitarianisme misalnya yang disampaikan oleh Jeremy Bentham, itu
sah-sah saja ketika sebuah tindakan dianggap mewakili kepentingan
umum selama ia dapat menguntungkan sebagian besar masyarakat.
Itulah yang kita kenal sebagai prinsip “the greatest happiness for the
greatest number of people”.
Jadi dari sisi dasar filosofinya, bagi saya undang-undang ini
sepanjang memang mayoritas membutuhkan setidak-tidaknya ada dasar
filsafatnya. Nah, karena itu saya ingin tahu cantolan filasafat apa yang
Anda gunakan yang mendasari pemikiran-pemikiran Anda itu tadi? Yang
ketiga, tadi telah sama-sama kita dengar dalam tataran internasional
setidaknya PBB sendiri telah meloloskan selama 3 tahun berturut-turut
ini resolusi tentang defamation of religion dan yang terakhir telah
didukung oleh 80 negara. Dengan pandangan Anda itu, apakah Anda
ingin mengatakan bahwa 80 wakil-wakil atau masyarakat dari 80 negara
ini adalah orang-orang yang katakanlah tidak demokratis, tidak
menghormati HAM dan lain sebagainya? Karena 80 negara ini
membentuk mayoritas masyarakat dunia karena Rusia dan Cina juga
menjadi dua diantara sekian negara yang menyetujui resolusi itu. Terima
kasih.

46
94. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Dewan Dakwah Islamiyah.

95. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: ABDUL RAHMAN TARDJO, .S.H.,


M.H.

Bismillahirrahmanirrahim. Terima kasih, Yang Mulia. Kepada saksi


Ahli Luthfi Assyaukanie, Anda memang latar belakangnya adalah dosen,
tetapi ada beberapa hal yang menjadi catatan saya di sini Dewan
Dakwah khususnya, kami juga bingung apa tadi yang sudah dijelaskan
oleh Saudara Terkait MUI, Lutfi juga kebetulan, Saksi ini Ahli apa?
Apakah tadi itu disebut Ahli Hukum, Ahli Sosiologi, atau Ahli Kunci? Kita
tidak tahu ini. Dan ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan, yang
pertama adalah Anda mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1
PNPS itu ’65 menurut kajian Anda, pandangan Anda dianggap
bermasalah dan Anda mengatakan bahwa mengandung diskriminatif,
melukai perasaan setiap orang, itu di Pasal 1 menurut Anda. Berarti
Pasal 2, 3, 4 Anda sepakati. Nah, ini kan kontra dengan Pemohon, yang
awalnya juga mungkin mencabut Pasal tersebut, Undang-Undang
tersebut, sorry.
Ini saya perlu tegaskan kepada Saksi Ahli, masalah apa yang
Anda katakan tadi soal Lia Aminudin, tolong Anda jangan memancing
amarah umat Islam bahwa Lia Aminudin itu kasusnya sama dengan
Rasulullah SAW. Ini penting sekali, saya mengingatkan, itu saja. Jadi
kalau Anda samakan kasusnya Lia Aminudin atau Lia Eden itu sama
dengan Rasulullah, Anda sudah melempar api dan ini bermasalah. Sekali
lagi ini bermasalah. Tolong cabut itu biar tidak ada amarah lagi bagi
umat Islam menyamakan seorang Rasulullah yang menerima wahyu
langsung dari Allah dan Lia Aminuddin itu tidak memiliki apa-apa bahwa
saya katakan Lia Aminudin itu orang gendeng, begitu. Terima kasih.
Assalamualaikum wr. wb.

96. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Pemerintah.

97. PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Terima kasih, Yang Mulia. Ya, barangkali catatan kami adalah


mestinya seorang Ahli itu di dalam memberikan keahliannya adalah
karena ini adalah uji konstitusional seharusnya seorang Ahli itu menggali
lebih dalam apakah norma yang ada di dalam Undang-Undang 1 PNPS
’65 itu bertentangan dengan konstitusi, jadi jangan ujug-ujug bercerita
ngalor-ngidul tahu-tahu mengatakan ini diskriminatif. Barangkali Ahli

47
juga harus, mohon maaf, harus membaca lebih jauh apa sih pengertian
diskriminatif itu. Ada banyak referensi yang mengatakan diskriminasi itu
apa, barangkali Putusan Mahkamah Konstitusi sudah ratusan yang
memberikan uger-uger memberikan pagar bahwa diskriminasi itu apa.
Kemudian tiba-tiba juga setelah cerita ngalor-ngidul lagi tiba-tiba
mengatakan Ahli, ini melukai rasa keadilan, nah keadilan sendiri juga
Mahkamah Konstitusi tolong kalau bisa Ahli itu membaca dengan cermat
apa sih itu keadilan itu. Nah, ini yang barangkali Pemohon tidak
berkoordinasi secara baik dengan Ahli, jadi Pemerintah beranggapan
bahwa Ahli pada posisi yang hanya bercerita saja kalau menurut hemat
kami, jadi tidak masuk kepada substansi apakah norma atau materi
muatan di dalam Undang-Undang 1 PNPS ‘65 itu bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar atau tidak.
Yang kedua, barangkali Ahli juga secara serampangan
mengatakan bahwa undang-undang ini yang dibuat pada masa yang lalu
itu anggapannya kalau misalnya sekarang sudah tidak cocok saja. Nah,
kalau begini caranya, berarti produk-produk hukum masa lalu yang
dibuat pada masa lalu, ya dianggap saja inkonstitusional secara
keseluruhan. Kalau begini caranya maka KUHP sendiri juga mungkin
secara keseluruhan bisa inkonstitusional kalau cara pandangnya bahwa
memandang bahwa para pembuat undang-undang masa lampau itu
dianggap bahwa serampangan. Jadi saya kira perlu diklarifikasi hal-hal
demikian agar kami ini yang mewakili Pemerintah yang sudah hampir
296 perkara bahwa yang kita tangani baru kali ini melihat Ahli tiba-tiba
cara berpikirnya melompat-lompat. Kami sudah hampir 300, Bapak, di
sini menangani perkara konstitusi. Terima kasih, Yang Mulia.

98. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Hakim Achmad Sodiki.

99. HAKIM KONSTITUSI: PROF. DR. ACHMAD SODIKI, S.H.

Terima kasih. Bismillah. Saudara Ahli, yang agak…, artinya minta


klarifikasi dari Saudara Ahli adalah sewaktu pernyataan yang saya
simpulkan, mudah-mudahan tidak salah, bahwa negara itu tidak
mempunyai wewenang di dalam campur tangan masalah agama,
kepercayaan, yang dalam bahasa Saudara Ifdhal Kasim itu adalah forum
internal, internal forum. Nah, ini saya kira bertolak dari filosofi yang
memisahkan persoalan agama ini dengan negara. Bahkan di dunia Barat,
agama adalah racun bagi masyarakat. Tetapi kalau kita melihat ke
Indonesia, sudah sejak awal negara ini memang diberi wewenang untuk
ikut campur. Karena apa? Karena kita sudah sepakat bahwa negara kita
itu dasarnya Pancasila, dan Pancasila itu mengandung unsur Ketuhanan.
Ketika kita ingin menebalkan iman kita di dalam mengisi Unsur

48
Ketuhanan itu direfleksikan antara lain dalam bentuk mengajarkan
agama di sekolah-sekolah.
Mengajarkan agama di sekolah berarti mempertebal keyakinan in
casu dalam hal ini juga mencampuri urusan tentang kepercayaan agama
itu sendiri. Mengajarkan agama di sekolah berarti mengajarkan pokok-
pokok agama juga sesuai dengan sila itu sendiri yang itu legal, yang itu
sah. Negara ikut campur mengurusi masalah keimanan seseorang. Nah,
ini ada perbedaan ini, apalagi kalau kemudian yang diajarkan itu pokok-
pokoknya dan kemudian di dalam pasal (suara tidak terdengar jelas)
ternyata menyimpang dari pokok-pokok itu, sudah barang tentu menurut
logikanya negara juga boleh ikut campur di dalam hal-hal yang
berkenaan dengan apa yang telah diberikan didalam fungsi pengajaran
agama di sekolah itu dengan apa yang terjadi yang tidak sesuai dengan
apa yang terjadi di.., yang diajaran itu di dalam masyarakat. Apalagi
ketika mengajarkan diluar itu menimbulkan keonaran. Jelas, ini suatu hal
yang logis. Jadi kita sesungguhnya sudah memberikan wewenang
kepada negara yang menjadi kesepakatan kita menjadi dasar negara kita
Pancasila, yang membolehkan negara intervensi dalam hal-hal yang
demikian itu. Nah ini filosofinya berlainan dengan apa yang sudah Anda
kemukakan ini, saya minta tanggapan. Terima kasih.

100. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Hakim Hamdan Zoelva.

101. HAKIM KONSTITUSI: HAMDAN ZOELVA, S.H., M.H.

Ya, terima kasih Saudara Ahli. Karena Saudara Ahli memasuki,


menilai suatu Undang-Undang/PNPS Nomor 1/1960.
Saya ingin Saudara Ahli, PNPS Nomor 1/1965 memberikan suatu
gambaran yang utuh tentang latar belakang lahirnya undang-undang ini
agar penilaiannya pas. Jangan sampai kita dibingungkan oleh penilaian
yang hanya sifatnya apologis tapi penilaian yang pas latar belakang
lahirnya undang-undang ini kenapa? Karena tadi menilai suatu undang-
undang.
Kemudian yang kedua, tadi penjelasan Saudara Ahli bahwa hanya
sepuluh agama-agama yang sepuluh itu yang diakui di Indonesia. Saya
ingin Saudara Ahli membaca penjelasan lebih utuh dari undang-undang
itu, apakah makna, saya ingin tanya kepada Saudara, apakah makna
Penjelasan Undang-undang Dasar, undang-undang ini yang menyatakan
bahwa ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya, ini baru
misalnya. Yahudi, secara Sustrian, Sinto, Taosim dilarang di Indonesia.
Artinya di luar yang itupun, itu diakui. Mereka mendapat jaminan penuh
seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2). Jadi, bagaimana
sebenarnya pemahaman Saudara terhadap penjelasan undang-undang
ini terkait dengan pernyataan Saudara Ahli bahwa tidak boleh ada agama

49
lain di Indonesia selain sepuluh itu? Dan negara, yang Saudara katakan
bertindak tidak terhadap penganut agama-agama yang bukan sepuluh
ini. Ini bagaimana Saudara bisa memberikan penyataan seperti ini
sementara penjelasan undang-undang demikian. Itu yang pertama.
Kemudian yang kedua, Undang-Undang Dasar sebagai puncak
kontrak sosial rakyat Indonesia, tegas sekali adalah memberikan jaminan
kebebasan beragama dan kebebasan setiap orang untuk bebas
berkeyakinan, memiliki suatu keyakinan. Itu tidak ada perdebatan
diantara kita.
Namun dalam prinsip-prinsip hukum internasional, HAM
internasional, juga ada pembatasan terhadap kebebasan agama. Antara
lain yakni prinsip secara internasional adalah kebebasan karena alasan
keamanan, ketertiban umum, alasan-alasan moral, alasan-alasan
kesehatan, dan alasan-alasan untuk tidak menggangu hak dan
kebebasan orang lain. Bahkan menurut kontrak sosial dari rakyat
Indonesia, Undang-Undang Dasar Pasal 28J, ditambahkan lagi satu
pembatasan yang bisa dilakukan karena nilai-nilai agama. Artinya apa?
Kalau kita membaca Undang-Undang Dasar sebagai kontrak sosial,
bahwa dalam hal-hal terjadi pelanggaran terhadap keamanan umum,
ketertiban umum, nilai-nilai moral, hak asasi dan kebebasan orang lain,
dan kesehatan. Negara boleh mengintervensi dan membatasi bahkan
dalam aturan internasional bahwa negara bisa memenjarakan dalam
kasus-kasus yang demikian.
Nah saya ingin dari sisi pandang ahli, bagaimana dengan aturan-
aturan ini dan kontrak sosial dari rakyat Indonesia tentang Undang-
Undang Dasar ini terkait dengan pernyataan-pernyataan Saudara yang
memberikan sepenuhnya kebebasan dalam beragama? Terima kasih.

102. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Hakim Akil Mochtar.

103. HAKIM KONSTITUSI: DR. H.M. AKIL MOCHTAR, S.H., M.H.

Terima kasih, Saudara Ahli. Kemerdekaan kita itu disusun atas


dasar kedaulatan rakyat. Yang kemudian disusunlah kemerdekaan itu
atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Saya kira itu dari teori apapun,
kalau teori kontrak sosial maka kita mengatakan bahwa kedaulatan
rakyat merupakan forum tertinggi dari proses kontrak sosial itu.
Dalam konteks konstitusi Indonesia dalam rangka mencapai
persatuan nasional itu, saya kira negara menjamin bahwa kita negara
yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konteks itu
direfleksikan dalam Pasal 29 UUD 1945 “Negara menjamin kemerdekaan
setiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaanya masing-
masing dan menjalankan agama dan keyakinannya itu. Kemudian di ayat
(2)-nya itu adalah bentuk perlindungan dan kemudian juga direfleksikan

50
lagi ke dalam kebebasaan warga negara yang termaktub dalam Pasal
28E ayat (1) maupun dalam Pasal 28E ayat (2).
Nah, dalam konteks itu, saya ingin mengkrucutkan lagi karena kita
sedang membicarakana PNPS Nomor 1 Tahun 1965 ini, tesis tadi yang
Saudara katakan adalah:
1. Undang-Undang ini adalah diskriminatif
2. Undang-Undang ini memunculkan ketegangan sosial di tengah
masyarakat,
3. Undang-Undang ini melukai rasa keadailan masyarakat.
Saya kira, itulah inti tesis yang Saudara angkat sebagai ahli pada
siang ini. Nah dalam konteks itu Saya menghubungkan 3 elemen yang
dikatakan tadi. Sehingga di kesimpulan akhir kita ingin mengatakan
bahwa undang-undang ini bertentangan dengan UUD 1945 yang tadi
saya mulai statement saya dengan mengutip pembukaan UUD sebagai
fundamental norm, sebagai asas yang paling mendasar bagi kontrak
sosial di Indonesia ini. Oleh karena itu saya ingin melihat Pasal 1.
Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 ini,
tentang PNPS ini maksud saya, yang dilarang itu adalah yang kita
katakan itulah, bahwa Pasal 1 ini bisa memberikan penyalahgunaan
penguasa atau negara dalam mereduksi hak-hak warga negara dalam
menjalankan kebebasaan beragama dan berkeyakinannya itu. Karena
memang kalau Pasal 4 itu adalah satu tindakan kriminal bagi mereka
yang melanggar tetapi Pasal 1 sampai Pasal 3 ini banyak dianggap oleh
sebagaian besar kalangan termasuk Pemohon adalah pasal dimana
negara memberikan campur tangan terhadap proses beragama termasuk
menjalankan keyakinanya itu.
Pasal 1 itu menyatakan, yang dilarang itu adalah setiap orang
yang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan,
mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran. Kemudian
Saudara Ahli menafsirkan kata penafsiran itu merujuk pada sejarah
agama-agama sampai pada zaman rasul tentang suatu agama yang
dianut di Indonesia.
Jadi agama yang dianut di Indonesia, di dalam konstitusi saya kira
tidak ada batasannya, kenapa? Karena negara menjamin, betul itu. Atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-
kegiatan keagamaan dari agama itu, tidak disebutkan secara spesifik
agama apa dalam pasal ini. Artinya agama yang ada di Indonesia, yang
mempunyai equality itu tetap mendapat perlindungan atau penafsiran
dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajarannya, ajaran
agama itu. Contohlah misalnya kalau Ahmadiyah itu dianggap sebagai
agama atau sebuah keyakinan, kemudian nanti lahir lagi satu keyakinan
yang mirip Muhammadiyah eh...Achmadiyah yang tafsirnya berbeda,
apakah mungkin juga itu diberikan perlindungan oleh negara? Karena
misalnya Ahmadiyah kalau dia agama dan persoalannya, persoalan yang
menjadi soal itu adalah agama yang dianut itu menyerupai agama-

51
agama yang sudah ada tetapi menyimpang dari ajaran-ajaran yang
sudah ada.
Nah, itu persoalan. Dalam konteks itu apakah diberikan satu
rumusan yang bersifat limitatif di dalam undang-undang ini hanya
agama-agama tertentu yang mendapat privilege. Kalau penjelasan
pasalnya jelas menyatakan menyebutkan agama-agama terbesar antara
lain dan bukan berarti agama-agama lain diantaranya, artinya masih
banyak agama-agama lain untuk mendapat perlindungan atau mendapat
kebebasaan untuk melaksanakan. Tapi persoalannya adalah jangan kita
tafsirkan mungkin juga saat ini, mungkin agama Islam, kemudian
menyerupai, tapi bisa saja yang kecilpun ada yang menyerupai seperti
itu. Nah, setiap agama-agama itu tentu punya ajaran-ajaran pokok, yang
karena itulah melahirkan orang yakin untuk meyakini sesuatu yang
dibawa itu. Kalau tidak, akan tentu kita tidak yakin.
Nah, oleh karena itu menurut saya, dalam tesis yang diskriminatif
itu, dalam tesis yang memicu ketegangan sosial di tengah masyarakat
itu, dalam tesis yang melukai rasa keadilan masyarakat itu, saya kira ini
harus dielaborasi lagi, supaya jelas bahwa Undang-Undang Nomor 1
PNPS ini memang berdasarkan tesis Saudara tadi demikian adanya. Saya
hanya ingin menafsirkan Pasal 1 ini berdasarkan pandangan saya,
karena memang dari Pasal 1 ini masalahnya.
Nah, kalau misalnya berdasarkan tafsir dan analisis itu bisa
meyakinkan semua kita, tentu kan ini boleh saja berpendapat tho? Sana
berpendapat lain, sana berpendapat lain, nanti kita akan melihat itu
semua. Jadi tidak ada satu yang mendominasi kebenaran. Cuman kalau
soal mencontoh-mencontoh itu, ya itu soal seni dan itu tanggung jawab
pribadi untuk berhati-hati, kan begitu. Tetapi saya hanya mencatat tiga
hal itu tadi. Terima kasih.

104. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Hakim Arsyad.

105. HAKIM KONSTITUSI: DR. H.M. ARSYAD SANUSI, S.H., M.HUM.

Bismillahirrahmanirrahim. Saudara, pertanyaan ini saya tujukan


kepada Saudara Ahli. Ini dalam dunia akademisi ini, dan juga bahkan
berlaku di dunia peradilan, termasuk Mahkamah. Kita mengenal solphe
omne preferentia. Saya menghargai pandangan Ahli, tapi tolong juga
hargai pandangan sahabat, kawan, saudara-saudara kita semuanya.
Kita tentu perjalanan, dan penciptaan Allah SWT, sampai kepada
kita ini. Itu ada orang mengatakan mensenleven pogen regels (manusia
hidup, dia mempunyai aturan). Kemudian ketertiban, keselamatan,
manfaat, kegunaan, itu adalah nodig / penting/ perlu, dan de orde is
nodig. Karenanya saya ingin tadi melihat cacatan saya, apa yang
Saudara kemukakan seolah-olah Ahli ini berpendapat bahwa Undang-

52
Undang PNPS 1 Tahun ‘65 ini adalah inconstitutional itu pendek kata,
singkat kata, pokok kata bahwa Undang-Undang ini inconstitutional, dan
Saudara menitikberatkan kepada undang-undang ini bahwa negara ini
terlalu campur tangan memasuki wilayah-wilayah, relung-relung pribadi,
iman dan keyakinan. Tapi di satu pihak, catatan saya, apa yang Saudara
kemukakan secara parsial, bahwa “saya tidak peduli dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi, apakah inconstitusional atau constitusional.”
Tetapi saya heran juga, mengapa kalau Saudara tidak peduli, kenapa
hadir di dalam memberi keterangan ini? Sehingga kita juga ini, “Wah,
untuk apa kita duduk di atas sini?” “Untuk apa Pemerintah, DPR dan
Para Ulama, duduk?” Itu satu.
Nah, di satu pihak, Saudara, ini terpaksa saya bicara apa yang
saya catat ini. Wah ini, perlu diluruskan ini. Di satu pihak lagi Saudara
katakan undang-undang ini serius. This, the law is very seriously. Serius
betul. Tetapi kontras dia bilang, “Saya tidak peduli itu, mau dikabulkan
atau tidak, Pak Mahfud dengan kawan-kawan terserah.” Jadi ini
barangkali apakah pandangan Saudara ini hanya parsial semata, nah
untuk itulah saya katakan tadi, tetap saya hargai apapun pandangan
Mahkamah memandang bahwa apapun pandangan Saudara, itu benar.
Nah sekarang, lalu Saudara pertanyakan, yang penting di sini apa
solusi ke depan? What is way out? Kalau ternyata Saudara katakan
putusannya dikabulkan atau tidak dikabulkan, katakanlah ini dikabulkan,
berarti terjadi rechts vacuum, terjadi kekosongan hukum di dalam
mewadahi adanya penghinaan, penodaan agama. Lalu apa solusinya?
Saudara kemukakan, nah itu. Jadi, saya tadi mau bilang Pak Ketua kita
ini turun aja Pak Ketua, karena ini.., tidak peduli, nah itu. Diskriminasi,
kriminalisasi, ini undang-undang ini.
Undang-undang ini kalau saya cermati dan nanti itu diluruskan
nanti Ahli Pak Marsuki, saya melihat Pasal 1 itu ada lima perbuatan ya,
ada lima act, ada lima tindakan, lima perbuatan pidana di situ, di dalam
Pasal 1, yang dikualifisir menodai agama. Dan ini undang-undang ini
sangat edukatif, tidak langsung begitu anu…, dinasihati dulu. Setelah
dinasihati, rapatlah pemertintah ini bahwa apakah itu sesat, apakah itu
telanjang atau tidak ya, dan lain sebagainya. Saya suka bicara telanjang
karena Pak Ketua tadi saya…, kau coba-coba masuk telanjang juga
[hadirin tertawa]. Lha ini. Tolong dicermati perbuatannya adalah
menceritakan ya, menganjurkan, Antasari menganjurkan ya, dukungan
umum, melakukan penafsiran kegiatan menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama. Nah, tatkala ini menghina, menodai agama ya, ini apakah
perlu didiamkan begitu saja oleh masyarakat, oleh tetangga, oleh
negara, dan lain sebagainya?
Kemudian ini harus memenuhi tiga unsur, ada obsetelijk nya
dengan sengaja, kemudian itu dilakukan di muka umum, menceritakan
lima perbuatan tadi. Nah 156 juga dikatakan, “Sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan, sifat perbuatan, kemudian penyalahgunaan,
penodaaan agama”. Nah untuk itu, barang kali kita ingin Mahkamah

53
mendengar kepada Saudara kalau itu serius, mengapa undang-undang
ini serius? Kalau itu perlu ada solusi ke depan, apa solusi ke depan?
Barangkali Ahli bisa memberikan solusi kepada kita. Terima kasih.

106. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Hakim Maria.

107. HAKIM KONSTITUSI: PROF. DR. MARIA FARIDA INDRATI, S.H.,


M.H.

Terima kasih, Pak Ketua. Saya agak mundur lagi, dari awal tadi
sudah mulai mengerucut apa yang mau ditanyakan kepada Ahli, tetapi
saya akan melihat di sini dari segi alat bukti. Di sini saya mendapatkan 3
alat bukti dari Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait, dimana yang
akan kita uji ini kok berbeda ya, jadi di sini ada 3, dan kita melalui Pasal
1. Karena Pasal 1 itu kemudian nanti dihubungkan dengan Pasal 2, Pasal
3, dan selanjutnya. Dari 3 yang diajukan ini, tidak ada satupun yang
resmi, dalam arti bukan copy dari yang resmi Undang-Undang 1 PNPS
1965 ini, dan juga bukan yang dalam lembaran negara. Jadi di sini yang
ada hanya lembaran negara untuk Penetapan Peraturan Presiden dan
peraturan menjadi undang-undang ini, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1969 tapi 2 alat bukti yang ada itu satunya tidak ada kop di atas, dua-
duanya, dan satunya bahkan ada tulisan “Departemen Agama” di sini.
Tapi di sini agak berbeda. Yang 2 ini menyatakan, Pasal 1, “Setiap orang
dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan,
dan mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran
tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Dua alat bukti seperti
ini. Tapi alat bukti yang di sini ada tulisan “Departemen Agama”, selain
kata-kata itu ditambahkan “penafsiran dan kegiatan mana menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Jadi kalau ada dua ini, dan ini dua-
duanya bukan yang resmi, saya rasa mohon Pemohon atau Pihak terkait
memberikan alat bukti yang resmi, dalam arti yang ada kop
kepresidenan di sini atau yang dalam lembaran negara, sehingga
pengujian ini bisa berjalan dengan baik, karena justru Pasal 1 itu
kemudian berhubungan dengan pasal-pasal selanjutnya. Yang satunya,
itu ada kata-kata “penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari
pokok ajaran agama itu,” yang satunya tidak ada.
Jadi mohon ini dilengkapi nanti. Terima kasih.

108. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Pak Alim, mau tanya juga? Silakan.

54
109. HAKIM KONSTITUSI: DR MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM.

Terima kasih, Pak Ketua. Saya tujukan kepada Ahli, karena tadi
Ahli mengatakan berkecimpung dalam dunia filsafat, terutama mengkaji
soal-soal keagamaan. Kalau menurut yang saya tahu, lahirnya
sekulerisme dari kata “sei kulum” yang artinya dunia kalau bahasa arab
dan kalau bahasa Indonesia. Itu berasal dari ajaran dalam al-kitab yang
menurut Prof. H.M. Rasyidi itu berasal dari suatu ketentuan dalam Al
kitab bahwa apa yang untuk kaisar berikanlah kepada kaisar dan apa
yang untuk Paus berikanlah kepada Paus. Itulah yang katanya menurut
Residive menjadi penyebab awal terjadinya pemisahan kekuasaan antara
urusan negara dengan urusan agama. Menjadilah sekuler dari kata “sei
kulum artinya dunia.
Di dalam kesejarahan, pernah suatu waktu gereja mengatakan
ekstra eklisium nulum salus,{sic} di luar gereja tidak ada keselamatan.
Dan ketika kaum ilmuan bertentangan dengan kaum gereja akhirnya
dimenangkan oleh kaum ilmuan. Kaum ilmuan juga mengemukakan
suatu semboyan ekstra scientum nulum salus, di luar keilmuan tidak ada
keselamatan, ini di situ benih perpecahannya.
Kalau kita melihat pada Konstitusi kita, itu salah suatu ketentuan
katakan “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.” Itu berarti dia
mengakui hanya berkat rahmat Allah kita bisa merdeka. Kemudian di
alenia keenam tercantum Pancasila yang seperti saya katakana tadi
menurut kajian filosofis bahwa itu tidak akan diubah karena ini
merupakan staat fundamental norm, sedangkan kalau pasal-pasalnya
atau istilahnya Mohammad Yamin the body of constitution, batang tubuh
konstitusi itu bisa berubah ternyata kita telah melakukan satu kali dalam
empat tahap tahun 1999 sampai 2002.
Kalau falsafah negara kita mengatakan bahwa negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, apakah menurut ahli itu
berarti soal kebebasan beragama mutlak terserah orang dan bisa juga
tidak beragama? Karena itu ranah yang tidak boleh dicampuri oleh
pemerintah, sementara negara dikatakan berdasar Ketuhanan Yang
Maha Esa. Berarti mengakui adanya Tuhan sehingga, tidak boleh orang
tidak ber-Tuhan kalau menurut kebalikannya itu. Bagaimana pendapat
Saudara Ahli mengenai hal itu?
Terima kasih, Pak Ketua.

110. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Silakan, Saudara Luthfi Assyaukanie. Pertanyaannya banyak kalau


bisa yang hampir-hampir sama dijawab dalam satu paket.

111. AHLI DARI PEMOHON: LUTHFI ASSYAUKANIE, PH.D.

Terima kasih Yang Mulia Pak Ketua Hakim.

55
Ini saya kira lebih susah dari ujian disertasi ini Pak. Banyak sekali
persoalan ada beberapa yang saya bisa jawab, ada beberapa yang saya
kira di luar disiplin saya yang menyangkut detail-detail hukum.
Saya ingin…, ada dua pertanyaan yang sama tadi dari wakil MUI
dan juga dari Pak Hakim Arsyad kalau tidak salah yang mengomentari
tentang pernyataan saya pada bagian akhir kesaksian saya bahwa saya
tidak peduli. Saya ingin menjelaskan hal itu dulu.
Sebetulnya, sebelum saya diminta untuk memberikan kesaksian di
sidang ini saya bilang kepada teman-teman bahwa saya sangat peduli
dengan prosesnya, dalam artian kita sudah melakukan proses
demokratisasi dan bahwa dengan proses ini mudah-mudahan kita akan
menghasilkan hasil yang baik nantinya. Bukan maksud saya adalah tidak
peduli dengan apapun hasilnya tapi kita sudah berusaha sebaik-baik
mungkin dan saya puji para tim kuasa yang usianya masih muda-muda,
yang berusaha mengangkat isu yang sangat sensitif ini. Dan terus terang
saja Yang Mulia, bahwa masalah agama memang jadi masalah yang
sangat sensitif.
Saya sebagai dosen, sebagai pengajar, sebagai orang yang giat
dalam organisasi keagamaan, sudah cukup lama mengalami apa
namanya…, soal sensitifitas ini apakah kita harus mengatakannya atau
harus menyembunyikannya? Saya biasa mengatakannya di kelas-kelas
saya yang terbatas. Saya mengajar filsafat agama, saya mengajar
pengantar agama. Jadi kadang-kadang saya mengatakannya dapat
mengatakannya secara terbatas. Tapi, kita tidak bisa mengatakannya di
muka umum. Karena itu sebelum sidang kemarin saya tanya, apakah
saya boleh mengatakan sesuatu yang sangat sensitif misalnya kepada
teman-teman? Kata mereka, ”ya nggak apa-apa mas, go a head”,
katakan saja. Ruang ini adalah ruang yang bebas dan kita hidup di
negara yang bebas. Terus terang saja dengan mempertimbangkan
beberapa apa namanya..., sensitifitas yang lain, saya berusaha
mengoreksi draft apa namanya..., makalah yang saya bacakan tadi dan
ini sudah merupakan revisi beberapa kali.
Karena itu saya sadar betul ketika wakil MUI misalnya
mempertanyakan ungkapan saya yang kelihatannya kontroversial.
Sebetulnya saya tidak memaksudkan itu. Selalu kontroversial itu terjadi
sebagai konsekuensi dari pernyataan kita, dari keinginan kita
mengatakan satu kebenaran atau satu contoh yang agak mungkin
dianggap agak ekstrim. Misalnya, ketika saya mengatakan kesalahan,
sebetulnya itu kan kesalahan dalam perspektif luar. Misalnya, Nabi
Muhammad SAW itu dibilang salah oleh orang-orang Quraish, oleh
orang-orang Mekah. Coba kita tempatkan, kita posisikan diri kita di sana
sebagai orang-orang mayoritas pada saat itu. Nabi waktu itu minoritas
hanya memiliki pengikut satu, dua orang, dan dikejar-kejar oleh orang-
orang mayoritas yang sudah punya sistem keyakinan yang established.
Sama seperti kita menyikapi sekarang kelompok-kelompok yang muncul,
mereka mengaku nabi dan kemudian kita menganggapnya gila.

56
Jadi, saya membuat analogi semacam itu, saya minta maaf kalau
itu menyakitkan. Tetapi saya ingin mengambil contoh yang ekstrim dan
itu apa namanya..., harus kita pertimbangkan. Pertanyaan dari wakil MUI
juga soal apa namanya..., soal keonaran bahwa tadi ada satu pernyataan
saya bahwa PNPS ini punya potensi memunculkan keonaran. Dalam
bayangan saya adalah banyak sekali kasus-kasus ketegangan agama.
Ada kelompok-kelompok kecil kita sebut saja contoh Ahmadiyah, berkali-
kali rumah-rumah Ahmadiyah itu diserang, di Lombok, di Parung, dan
sebagainya. Yang melakukan keonaran atau yang melakukan serangan
itu saya kira itu yang bermasalah, bukan Ahmadiyahnya. Ahmadiyahnya
adalah kelompok yang mencoba menyatakan keyakinan mereka. Adapun
kita setuju atau tidak itu urusan mereka. Adapun mereka mau masuk
neraka atau tidak itu bukan urusan kita. Tetapi, kita harus menghormati
keyakinan mereka.
Nah, jadi ketika saya mengatakan bahwa..., apa namanya, ada
sekelompok yang merasa dibenarkan tindakan mereka karena mereka
merasa..., apa namanya, karena mereka memiliki satu kekuatan hukum
dan saya kira itu adalah salah satunya PNPS.
Kemudian dari wakil NU, ini bertanya pertanyaannya agak
filosofis, mengomentari tentang..., apa namanya, asas utilitarianisme.
Betul bahwa utilitarianisme itu seperti demokrasi, bahwa yang memiliki
asas manfaat yang banyak itu yang harus dipertimbangkan. Tetapi
dalam kehidupan berdemokrasi, selain basisnya majoritarianisme sebagai
basisnya kelompok mayoritas kita juga harus mempertimbangkan hak-
hak individu. Kita harus juga mempertimbangkan hak-hak yang dijamin
oleh konstitusi kita, karena itu seringkali di negara-negara maju disebut
sebagai konstitusional demokrasi, demokrasi yang bukan hanya berjalan
atas dasar kelompok mayoritas tetapi juga atas dasar konstitusionalisme
atas dasar kontrak yang disepakati bersama. Saya kira apa yang saya
maksudkan dengan..., apa namanya, sesuatu yang konstitusional adalah
itu.
Nah, ini soal defamation of religion, saya tidak tahu pasti berapa
jumlah negara yang sudah meratifikasi soal ini. Tetapi saya ingin
mengatakan begini, bahwa isu tentang agama dan kebebasan agama
sampai sekarang masih terus diperdebatkan. Bahkan di Eropa sendiri
yang dianggap sebagai negara yang sangat sekular. Tahun lalu saya
diundang ke Swiss misalnya, di sana kita bicara tentang kasus-kasus...,
apa namanya, bagaimana orang-orang Eropa menyikapi imigran muslim
misalnya yang begitu banyak dan kemudian mereka seolah-olah
mendatangkan suatu masalah. Nah, ini ada konflik antara kebebasan
beragama dengan kebebasan berekspresi. Pada satu sisi orang Eropa
ingin membela kebebasan berekspresi, pada sisi lain kelompok imigran
muslim berusaha memanfaatkan hak kebebasan beragama untuk
mengekspresikan agama mereka.
Jadi, kasus-kasus semacam ini masih terus diperdebatkan dan
saya kira kita tidak boleh tinggal atau kita tidak boleh mengabaikan

57
perkembangan ini. Jadi mungkin masyarakat kita masih belum bisa
menerima keputusan-keputusan yang dikeluarkan sekarang ini tapi
dalam sepuluh dua puluh tahun ke depan saya kira kita harus terus
mengikuti perdebatan tentang masalah ini.
Dari Yang Mulia Pak Hakim Achmad Sodiki, ini hubungan antara
agama dan negara memang sesuatu yang sangat kompleks, Pak. Sampai
sekarang saya kira masalah ini belum pernah selesai. Kebetulan disertasi
saya juga mengungkap masalah ini dan ada banyak sekali studi-studi lain
yang berbicara tentang ini.
Khusus tentang Indonesia, saya kira kita memang punya
hubungan yang unik karena sejarah, dan kita tahu berkali-kali kita
memperdebatkan soal Piagam Jakarta dan lain-lainnya. Tetapi saya ingin
membuat satu garis yang tegas saja, bahwa negara, negara kita
khususnya, kita concern terhadap persoalan agama itu iya, tetapi ada
persoalan-persoalan yang menjadi sangat tricky jika negara ikut campur.
Misalnya seperti apa yang saya sebutkan tadi adalah menentukan mana
yang salah dan mana yang benar, mana yang sesat dan mana yang
tidak. Karena dalam bayangan saya begini, kalau jumlahnya itu kecil, itu
kelompok mayoritas dengan semena-mena bisa menaklukkan itu. Kalau
kelompoknya cuma jumlahnya 20 sampai 100 orang mungkin bisa di-
countain, bisa diatasi.
Tetapi bayangkan kalau yang kita sesatkan itu jumlahnya jutaan,
seperti kelompok syi’ah atau kelompok yang lainnya kelompok-kelompok
dalam Islam. Ahmadiyah sekarang di Indonesia belum terlalu banyak dan
karena itu selalu mendapat tekanan. Bayangkan kalau Ahmadiyah tiba-
tiba berkuasa di negeri ini, apa yang terjadi? Saya kira itu yang harus
kita pertimbangkan. Nah, maksud saya bahwa negara tidak boleh ikut
campur pada hal-hal yang sangat tricky adalah untuk mengantisipasi hal-
hal yang semacam itu.
Kemudian dari Pak Hakim Hamdan Zoelva, beliau menanyakan
tentang latar belakang lahirnya UU PNPS ini. Terus terang saja saya
tidak terlalu tahu detail, tetapi undang-undang ini kita tahu lahir pada
Tahun 1965, ada yang mengatakan bahwa sebetulnya undang-undang
ini untuk menekan kelompok komunisme pada awalnya, tetapi kemudian
diperluas, dan sekarang kita tahu itu sudah di luar konteks dan ini
dipakai untuk menekan kelompok-kelompok yang lainnya.
Tetapi jelas sekali kalau kita lihat mukadimahnya bahwa muncul
kelompok-kelompok atau aliran-aliran yang dianggap sesat, dan saya
kira ini bukan masalah baru, sejak zaman dulu. Kenapa tadi saya
menyebutkan kelompok-kelompok Islam dalam sepanjang sejarah?
Karena memang ini sesuatu yang tidak bisa di stop, tidak bisa
dihentikan. Ini adalah masalah iman. Saya sering sekali membedakan
masalah iman dan agama. Iman itu terus survive sampai sekarang, terus
hidup, terus ada dalam setiap diri orang. Tetapi agama bisa muncul dan
mati, misalnya agama-agama yang muncul ribuan tahun lalu, Agama

58
Mesir misalnya, hidup 3.000 tahun lalu dan kemudian mati. Ada ratusan
agama yang muncul dan mati, tetapi iman selalu ada sampai sekarang.
Nah, saya kira ketika UU PNPS menyatakan bahwa ada sekte-
sekte, ada aliran-aliran yang muncul, ini adalah suatu yang buat saya
tidak mengejutkan. Karena itu selalu ada sepanjang sejarah dan bahkan
sampai sekarang. Kalau Bapak-Bapak Hakim menyimak misalnya,
perkembangan dinominasi dan sekte-sekte di Amerika itu luar biasa
banyaknya dan itu diberikan kebebasan yang luas selama mereka tidak
melanggar aturan hukum yang sudah ditetapkan.
Kemudian dari Yang Mulia Pak Hakim Akil Mochtar, saya kira Pak
Akil sangat bagus sekali menyimpulkan apa yang saya katakan tadi
bahwa ada 3 poin sebetulnya yang ingin saya katakan. Bahwa undang-
undang ini diskriminatif, yang kedua adalah memunculkan ketegangan di
tengah masyarakat, dan ketiga adalah menodai rasa keadilan kita. Soal
yang diskriminatif tadi sudah dijelaskan cukup panjang lebar oleh wakil
dari Komnas HAM. Dan soal memunculkan ketegangan, saya juga tadi
sudah menyebutkan bahwa dengan adanya undang-undang ini
memberikan semacam legitimasi bagi kelompok tertentu untuk
melakukan tidak kekerasan. Kemudian mengatasi rasa keadilan, tentu
saja adalah orang-orang yang diperlakukan bersalah, orang-orang yang
dipersalahkan itu tentu saja merasa tidak adil.
Kemudian yang terakhir, saya kira ada beberapa pertanyaan yang
sudah saya jawab, saya skip saja. Pertanyaan yang terakhir adalah dari
Yang Mulia Pak Hakim Alim, ini soal sekularisasi. Ini persoalan yang
panjang sekali. Saya hanya mau meralat saja Pak, bahwa istilah
sekularisasi itu lebih dulu muncul dari istilah sekularisme dan itu tidak
ada di dalam kitab suci.
Di dalam Injil itu disebutkan, saya hafal bahasa Arabnya,
“li’atiliqoisor malikaisor walillah malillah.” Berikan apa yang berhak untuk
kaisar kepada kaisar dan apa yang untuk Tuhan kepada Tuhan. Ini
adalah ayat di dalam Injil, tetapi ini kemudian ada justifikasi postpartum
dari gerakan sekularisasi yang muncul abad ke-17, abad ke-18.
sekularisasi adalah buah dari konflik panjang perang saudara di Eropa,
perang agama yang luar biasa berdarah-darahnya selama hampir 100
tahun.
Kemudian mereka membuat suatu perjanjian tahun 1652 atau
tahun 1657, saya lupa, itu kemudian mereka menganut sebuah prinsip
yang disebut sekularisasi, pemisahan agama dan negara karena ketika
agama ditarik dalam suatu wilayah agama, di sanalah muncul konflik-
konflik yang luar biasa.
Nah, karena itu istilah sekularisasi lebih dulu muncul dan
kemudian beberapa..., pada awalnya sekularisasi adalah istilah yang
normal, istilah yang netral, yang tidak dimaksudkan untuk memojokkan
agama, tetapi hanya untuk pemisahan dua otoritas yang selalu
bersitegang. Tetapi kemudian satu abad kemudian ada yang namanya

59
David Holyoke dan kawan-kawannya memperkenalkan istilah
Sekularisme.
Nah, kebetulan pada masa ini adalah masa pencerahan dimana
gerakan pemikiran yang agak-agak sedikit berbau atheistik terutama di
Perancis, dan Inggris, dan Jacob Holyoke ini kemudian pengikut-
pengikutnya terutama, itu diidentifikasikan dengan atheisme. Dan
kemudian sekularisme identik dengan gerakan atheisme. Karena itu
almarhum Nurcholis Majid beberapa dekade lalu berusaha mati-matian
membedakan antara sekularisasi dengan sekularisme melihat sejarah
kedua konsep atau istilah itu yang agak berbeda.
Saya kira itu jawaban dari saya, Pak Hakim Ketua.
Assalammualaikum Wr . wb.

112. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: ABDUL RAHMAN TARDJO, S.H.,


M.H.

Yang Mulia mohon interupsi, Yang Mulia persidangan ini adalah


persidangan Yang Mulia. Jadi tidak selayaknya kata-kata kotor keluar
dari persidangan ini khususnya dari pengunjung. Mohon Yang Mulia
menindak secara tegas, terima kasih.

113. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, baik. Sudah saya umumkan sejak awal supaya tidak ada
teriakan-teriakan di dalam sidang ini karena siapapun bebas
mengemukakan apapun di sini dan dilindungi oleh hukum, justru kita
ingin mendengar sesuatu yang berani. Biar kita nanti komprehensif
mempertimbangkannya itu. Soal benar salah nanti di majelis Hakim ada
sembilan akan mempertimbangkan. Tidak harus sesuatu yang dikatakan
itu harus dianggap benar, sehingga tidak perlu teriakan-teriakan itu. Ada
lagi di sana?

114. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI)

Yang Mulia?

115. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Silakan.

116. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI)

Terima kasih Yang Mulia. Atas jawaban dari Saudara ahli, ada
beberapa hal yang saya tanggapi berkaitan apa yang telah dijawab oleh
Saudara Ahli. Yang pertama, soal kerusuhan yang dikatakan tadi itu

60
disumberkan dari…, atau disebabkan dari undang-undang. Menurut saya
Saudara Ahli telah menggunakan logika yang terbalik.

117. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baiklah Saudara, saya kira kita catat saja. Kita mendengarlah


bahwa menurut Ahli (…)

118. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI)

Kemudian yang kedua Yang Mulia, berkaitan dengan


pembandingan antara kesalahan Nabi Muhammad dan Lia Eden, apakah
boleh saya lanjutkan Yang Mulia?

119. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Bagaimana?

120. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI)

Tentang perbandingan antara kesalahan Nabi Muhammad dan Lia


Eden, apakah boleh saya teruskan tentang hal ini?

121. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Saya kira tidak usah, nanti kalau Saudara punya pendapat


disampaikan saja dalam pendapat akhir di persidangan ini. Kita semua
tadi sudah mendengar tanggapannya, mendengar jawabannya, kita bisa
menyimpulkan.

122. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI)

Bukan kesimpulan. Satu menit saja supaya ahli juga mengerti dari
aspek yang kita inginkan.

123. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, boleh. Silakan, satu menit.

124. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI)

Terima kasih Yang Mulia. Ada kesalahan besar dalam ahli


memahami hal itu, MUI melihat perbandingan antara Lia Eden dan Nabi
Muhammad, kita tidak hanya menolak secara eksistensial atas Lia Eden
ataupun yang sejenis itu, tetapi juga secara substansial kita mengkaji,

61
melakukan pengkajian-pengkajian atas alasan-alasan mereka
mengemukakan keyakinan mereka.
Sedangkan pada Nabi Muhammad, mereka pada zaman itu,
seperti Abu Lahab dan yang lain, mereka hanya mampu menolak secara
esktensial tapi tidak secara substansial. Mereka ketika ditanya apakah
engkau meragukan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad? Oh,
tidak.
Jadi ada perbedaan yang mendasar di sini antara satu secara
ekstensial dan substansial yang satunya lagi semata-mata hanya
substansial. Satu menit saya gunakan Yang Mulia, terima kasih.

125. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Oke, baik. Saya kira dari ahli Luthfi Assyaukanie cukup, berikutnya
kita akan dengarkan dari tiga ahli yang diajukan oleh Pemerintah. Saya
kira bergiliran tiga sekaligus karena ini satu kotak, satu kamar, satu kubu
sehingga nanti sesudah tiga menyampaikan semuanya baru kita…, apa
nanti ada tanya jawab. Untuk itu silakan Dr. Mudzakkir.

126. AHLI DARI PEMERINTAH: DR MUDZAKKIR, S.H.

Assalammualaikum . wr. wb.


Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan.
Saya ingin menyampaikan pendapat saya sebagai keterangan ahli
dalam proses pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965.
Pertama, saya ingin sampaikan lebih dulu mengenai pandangan
saya yang terkait dengan persoalan pokok dari undang-undang yang
diujikan. Saya tulis undang-undangnya saja yakni Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965.
Pertama yang ingin saya sampaikan landasan doktrin yang saya
ikuti dalam rangka untuk menjelaskan hubungan antra agama dengan
negara yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965.
Sebelumnya ahli sampaikan bahwa ahli adalah seorang dosen,
keahliannya dalam bidang hukum pidana dan membantu dalam
perumusan Tim RUU KUPH. Dan beberapa waktu yang lalu bersinergi
dengan teman-teman yang membahas mengenai persoalan delik agama
dan kan itelah menyampaikan pandangan-pandangan saya mengenai
delik agama di dalam RUU KUHP yang saya hubungkan juga dengan
KUHP dan juga saya hubungkan dengan Undang-Undagn Nomor 1
Tahun 1965.
Tentu saja ini teman-teman sekalian yang pernah berbicara
mengenai persoalan yang mengajukan keberatan terhadap tindak pidana
agama dan saya telah memberi argumen yang cukup panjang, maka
sebagian argumen itu akan saya sampaikan lagi karena ini wilayah yang
hendak diuji dalam undang-undang ini. Dan oleh sebab itu nanti akan

62
saya lanjutkan juga bagaimana pengaturan delik agama supaya kita
menjelaskan eksistensi atau kedudukan Pasal 156A itu dimana dan juga
bagaimana dengan RUU KUHP.
Doktrin yang saya ajarkan, yang saya ikuti, yang saya perdalami
dalam rangka untuk menjelaskan hubungan antara agama dengan
negara, terutama adalah wilayah pengaturan. Maka saya mengklasifikasi
ada tiga kelompok.
Wilayah internal agama, ini yang saya tulis sebagai domain
pengaturan agama yang bersangkutan.
Yang kedua adalah wilayah eksternal agama, yang pertama
adalah menjadi wilayah agama. Jadi eksternal agama yang menjadi
wilayah agama dan eksternal agama yang wilayah negara atau wilayah
publik. Dan yang ketiga adalah wilayah publik, wilayah negara.
Saya ingin menjelaskan bahwa dari tiga domain ini, maka ada
bagian yang di tengah di sini ada bagian eksternal agama yang bisa
wilayah pengaturannya adalah agama yang bersangkutan dan negara
bisa masuk di dalamnya. Hanya sepintas saya ingin jelaskan seperti ini
nanti akan saya jelaskan lebih lanjut.
Majelis Hakim.
Bahwa negara sebenarnya tidak boleh campur tangan dalam
wilayah internal agama. Karena batas domainnya adalah milik agama
dan itu tidak boleh dicampuri oleh negara. Saya ingin jelaskan satu
persatu.
Wilayah internal agama yakni bidang yang berkaitan dengan nilai
isi ajaran utama atau pokok agama menjadi otoritas dari agama yang
bersangkutan, sumber utamanya adalah kitab suci agama yang
bersangkutan. Jadi saya ulangi, sumbernya adalah kitab suci agama
yang bersangkutan dan wilayah in itidak boleh diganggu oleh siapa pun
kecuali oleh agama itu sendiri atau dengan kata lain orang atau oleh
agama itu sendiri adalah yang berhak dan memiliki domain untuk
melakukan interpretasinya terhadap kitab suci adalah oleh agama yang
bersangkutan.
Yang kedua adalah wilayah eksternal agama. Yakni hubungan
antar ajaran agama dengan umatnya, orang yang mengimani atau
beriman dan mengikuti ajaran agama, sering disebut sebagai pemeluk
agama. Maka pemeluk agama berkewajiban melaksanakan ajaran
agamanya sesuai dengan yang diperintahkan oleh Tuhan melalui kitab
suci. Bagaimana pemeluk agama melaksanakan ajaran agama yang
merupakan wilayah eksternal agama karena ajaran agama yang berada
dalam dunia yang abstrak atau batin, iman, firman, teks kitab suci
tersebut dilaksanakan oleh umatnya dalam bentuk perbuatan atau
aktivitas yang konkret atau lahiriah. Dalam melaksanakan ajaran agama
tersebut akan terjadi hubungan antara pemeluk agama, baik dalam
seiman seagama atau beda iman beda agama.
Dan yang terakhir adalah wilayah publik negara yakni wilayah
publik atau umum yang menjadi domain negara dan pengaturannya

63
menjadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Jad penjelasan
yang saya kemukakan ini Majelis hakim yang saya muliakan, alasan apa
bagi negara untuk mengatur agama?
Wilayah publik agama merupakan wilayah eksternal agama dan
bersinggungan dengan wilayah publik masyarakat umum. Maka
gangguan terhadap kepentingan publik masyarakat umum menjadi
kewajiban negara untuk mengaturnya. Tujuan pengaturan wilayah publik
agama oleh negara adalah untuk menjaga ketertiban, ketentraman
dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi umat beragama agar
dapat melaksanakan ajaran dengan khusuk dan tenang. Maksudnya
adalah ini sebagaimana diperintahkan oleh konstitusi di dalam Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945.
Mencegah terjadinya perselisihan, persengketaan atau konflik
antar pemeluk agama, baik sesama pemeluk agama yang seiman yang
berbeda aliran (mazhab) maupun antar pemeluk agma yang berbeda
agama dalam wilayah publik.
Mencegah terhadap pemeluk agama yang melaksanakan agama
atau beribadah menjalankan kewajiban agama. Pencegahan itu
dilakukan adalah bentuk pelarangan untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu, misalnya adalah menghina ajaran agama, menyalahgunakan
agama, merusak simbol-simbol agama, kitab suci, merusak sarana
ibadah tempat ibadah secara fisik, mengganngu orang beribadah di
tempat ibadah, menghina kelompok orang yang beragama.
Nah untuk menjelaskan mengenai ini, saya telah membuat satu
peragaan untuk menggambarkan bagaimana hubungan relational antara
pengaturan kompetensi agama dan negara dalam mengatur wilayah
eksternal agama. Saya gambarkan di sini Majelis Hakim nomor 1 ini
adalah wilayah internal agama, ini saya tuliskan di situ adalah domain
agama yang bersangkutan yang tidak bisa dicampuri oleh wilayah
siapapun kecuali agama yang bersangkutan. Sedangkan nomor 4 adalah
domain publik yaitu wilayah 100% sebut saja demikian adalah wilayah
negara yang mengatur bagian wilayah publik tersebut. Maka terjadilah
dalam wilayah tengah, kalau dilihat dari perspektif pengaturan agama
saya tuliskan di sini adalah sebagai wilayah eksternal agama. Yang
nomor 2 ini adalah wilayah eksternal agama yang menjadi domain
agama bersangkutan. Sedangkan yang nomor 3 itu adalah wilayah
eksternal agama yang menjadi berhubungan dengan domain negara. Di
sinilah mulai tarik menarik antara agama dengan negara. Maka batas
garis miring tersebut menunjukkan titik kompromi, batas kompromi
sampai di mana sesungguhnya Negara memasuki wilayah domain
eksternal agama dan itu juga batas sampai di mana sesungguhnya
domain eksternal agama untuk masuk dalam wilayah publik.
Sifat atau karakter pimpinan negara atau rezim waktu yang
berkuasa adalah bisa menggeser, mendesak masuk batas itu sehingga
mempersempit ruang agama dan sebaliknya juga kalau agama diberi
ruang yang luas dia akan menggesek masuk pada ruang publik yang dia

64
akan menggeser batas-batas tersebut. Kalau boleh saya menilai Undang-
Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 adalah dalam wilayah equilibrium.
Domain agama menjadi agama, ekstral agama itu menjadi bagian
daripada agama namun bagian-bagian eksternal agama dapat masuklah
wilayah negara apabila itu bersinggungan dengan kepentingan publik
negara, itulah gambaran yang ingin saya sampaikan mengenai
pengaturan seperti ini. Hal yang sama bukan hanya agama Majelis
Hakim menurut pendapat saya, ini juga termasuk wilayah partai politik,
ini juga masuk dalam organisasi apapun yang dia diakui eksistensinya
sebagai sebuah organisasi sejauh mengenai internal organisasi adalah
domain organisasi yang bersangkutan. Jadi doktrin yang saya
gambarkan, yang saya sampaikan ini adalah bisa untuk menjelaskan
atau bagian-bagian tertentu yang berhubungan dengan urusan agama
dan juga urusan yang lain.
Sekarang persoalannya adalah bagaimana kompetensi agama
dalam mengatur ini? Saya ingin sampaikan dalam hal konteks wilayah
publik adalah domain negara tapi ada bagian tertentu dimana negara
mengatur aspek administrasi daripada agama yang bersangkutan, saya
ulangi di sini lagi aspek administrasi negara yang bersangkutan.
Atas dasar penjelasan tersebut ketika ada bagian tertentu yang
muncul di situ ada ketentuan hukum pidananya maka harus dilihat di
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun PNPS 1965 itu ada 2 hal yang
perlu kami jelaskan di sini.
Ada aspek hukum administratifnya dan juga ada aspek hukum
pidananya. Dan hukum pidana dalam konteks hukum aspek administrasi
maka peran hukum pidana sebagai ultimum remedium bukan primum
remedium. Kalau primum remedim nanti adalah tempatnya nomor 4,
nanti akan saya jelaskan, yang primum remedium itu adanya di mana?
Itulah di dalam KUHP, sedangkan di undang-undang muncul tambahan
yang bersumber dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 wilayah yang
nomor 3 di sini, artinya dia adalah penggunaan nomor 3 ini sangat
tergantung pada proses penyelesaian secara administratif. Jadi nomor
1, jika dengan pendekatan persuasif secara adminitratif persoalan-
persoalan aspek eksternal agama tadi, saya ulangi “aspek eksternal
agama tadi” bisa diselesaikan secara administratif tanpa harus ada sanksi
apapun maka itu bisa digunakan dengan menggunakan yang kolom
nomor 1, sedangkan yang kedua adalah apabila penggunaan
administrasi tidak cukup dan memerlukan adanya sanksi administrasi,
maka digunakanlah ruang nomor 2 dan dikenakan sanksi administrasi.
Oleh sebab itu pula apabila sanksi administrasi ini adalah ternyata
yang bersangkutan bisa mengulangi lagi, dia mengganggu aspek
eksternal agama yang menjadi gesekan-gesekan antar pemeluk agama
maka lahirlah sanksi pidana dan sanksi pidana di situ ditempatkanlah
Pasal 156A yang kemudian masuk di dalam KUHP. Tetapi kalau ada
orang karena sesuatu dan lain hal dia membakar tempat ibadah,

65
tempatnya adalah di ruang nomor 4. Dia adalah pure criminal dan dia
disebut sebagai generic crime.
Majelis Hakim yang saya hormati,
Sekarang bagaimana dengan Undang-Undang Nomor 1 PNPS
Tahun 1965? Tadi sudah berbagai disebut dan Ibu Hakim telah juga
menyebutkan sejauh yang saya peroleh dan saya terima, saya download
dari Departemen Hukum dan HAM di legalitas kami memperoleh
gambaran bahwa Pasal 1 itu ada ketentuan yang tadi disebutkan adalah
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama. Dan tadi saya juga mencoba membuka buku-buku ternyata di
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang melakukan judicial
review terhadap Undang-Undang PNPS ini juga di dalamnya ditemukan
ada ketentuan menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.
Majelis Hakim, kalau begitu rumusan seperti Pasal 1 ini lantas
bagaimana? Saya berpendapat, negara melalui Undang-Undang Nomor 1
ini sebagaimana yang dimuat dalam penjelasan Pasal 1 tidak bermaksud
untuk mencampuri urusan internal ajaran agama yang menjadi domain
agama yang bersangkutan. Oleh sebab itu, parameter menyimpang atau
tidak menyimpang berdasarkan ajaran yang bersumber dari kitab adalah
bersumber dari kitab suci masing-masing agama. Jadi kalau tadi ada
rumusan kata-kata menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama,
penyimpangan itu tentu saja dari kitab suci agama yang bersangkutan.
Pengakuan negara terhadap agama yang dimuat di dalam
penjelasan Pasal 1 tidak dimaksudkan untuk dilakukan semata-mata
membatasi kebebasan orang untuk meyakini suatu agama tetapi lebih
kepada persoalan, saya ulangi lagi ini, lebih pada persoalan administrasi
yakni memenuhi persyaratan administrasi yang ditetapkan oleh negara
sebagai suatu agama atau dengan kata lain bisa diakui oleh negara.
Pembatasan yang demikian ini berlaku juga terhadap penggunaan
hak lain yang dimiliki oleh warga negara, misalnya partai politik tunduk
kepada Undang-Undang Partai Politik dan pengakuannya dilakukan oleh
Menteri Hukum dan HAM, tentu saja dia harus memenuhi syarat-syarat
administratif tertentu. Demikian juga organisasi kemasyarakatan dia
akan diakui sebagai hak berkumpul untuk menyampaikan pendapat,
namun demikian secara administratif juga harus didaftarkan di
Departemen Hukum dan HAM.
Sekarang bagaimana dengan Pasal 2 ayat (1)? Dikatakan barang
siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan
peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu dalam suatu
keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri
Dalam Negeri. Saya ingin sampaikan pendapat Ahli, Pasal 2 ayat (1)
terkait dengan ketentuan Pasal 1 dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan kepada agama yang secara administratif memenuhi syarat
dan diakui oleh negara. Eksistensi agama yang sudah diakui oleh negara
menjadi kewajiban bagi negara untuk melindunginya dari kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan agama.

66
Pemerintah, Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri
Dalam Negeri bertindak untuk memberi perintah dan peringatan keras
untuk menghentikannya dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi
agama yang sah diakui dalam konteks hubungan dengan aspek luar
agama/ranah publik agama dan aspek luar eksternal agama menjadi
domain negara atau pemerintah. Sekarang persoalannya mungkin ada
pertanyaan terselubung di dalamnya, lantas bagaimana kalau yang tidak
diakui? Kalau yang tidak diakui sebagaimana yang saya jelaskan tadi
tentu saja dia akan tunduk kepada ketentuan-ketentuan lain yang itu
juga sama-sama harus diperoleh perlindungan.
Sekarang Pasal 2 ayat (2), apabila pelanggaran tersebut dan
seterusnya dikatakan di sini, maka Presiden Republik Indonesia dapat
membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi aliran tersebut
sebagai organisasi yang terlarang. Sekali lagi ini interpretasi saya sebagai
Ahli dalam bidang konteks hubungannya dengan tindak pidana agama
ini, Pasal 2 ayat (2) mengenai organisasi dan aliran kepercayaan
dipahami dalam kontektual. Terkait dengan ajaran suatu agama yang
diakui secara sah oleh negara dan tidak terkait dengan ajaran suatu
agama yang diakui oleh negara.
Terhadap yang diakui secara sah parameternya diukur dari ajaran
agama dan hukum administrasi negara, terhadap yang tidak ada
hubungannya dengan agama yang diakui diukur dari hukum administrasi
negara karena keduanya sebagai ormas atau organisasi kemasyarakatan
yang harus dilindungi oleh negara. Jadi kesimpulannya adalah baik yang
diakui maupun yang tidak diakui semuanya adalah memperoleh
perlindungan dari negara.
Pasal 3 di sini dikatakan, konsekuensi dari Pasal 1, Pasal 2, Pasal
3 maka itu dipidana dengan penjara selama-lamanya 5 tahun. Dan Pasal
3 ini menurut pendapat saya adalah ancaman 5 tahun dalam Pasal 3
sebagai ultimum remidium dari sanksi administrasi sebagaimana yang
dimaksud Pasal 2 ayat (2). Ketentuan yang demikian sudah lazim dalam
hukum pidana administrasi. Adanya sanksi pidana selalu dihubungkan
dengan ketentuan administrasi dan pengenaan sanksi administrasi dinilai
tidak lagi efektif, barulah sanksi pidana dikenakan. Pasal 3 in tidak
dilepaskan dari hubungan Pasal 4. Berarti pengujian Pasal 3 harus
bersamaan pengujian Pasal 4, dalam hubungannya Pasal 156 huruf a.
Sekarang bagaimana dengan Pasal 4?
Di dalam Pasal 4 ini adalah yang dikenal sebagai amandemen
terhadap KUHP dimasukkan Pasal 156 dan 157, diselipkanlah Pasal
156A. Saya ingin jelaskan Majelis Hakim yang saya muliakan, pandangan
ahli bahwa ketentuan Pasal 4 adalah bentuk amandemen KUHP yakni
menambah Pasal 156A. Norma hukum pidana dalam Pasal 156A pada
huruf a adalah norma hukum yang bersifat jahat yang sifat jahatnya
melekat pada perbuatan yang dilarang, ini bahasa hukum pidana
namanya sifat kriminalisasinya muncul karena memang perbuatan itu

67
adalah jahat. Adpun sifat jahatnya itu adalah permusuhan,
penyalahgunaan agama dan penodaan terhadap agama.
Permusuhan karena agama adalah tidak dibenarkan,
penyalahgunaan agama juga tidak dibenarkan, demikian juga penodaan
terhadap agama adalah tidak dibenarkan. Jangankan agama, terhadap
bendera pun juga tidak boleh, terhadap lagu Indonesia Raya juga tidak
boleh. Maka pasal ini menurut hemat saya adalah pasal yang terkait
dengan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 menjadi kata kunci sebagai
ultimum remedium dalam satu proses penyelesaian-penyelesaian yang
apabila melalui prosedur administratif tidak bisa dihentikan.
Sekarang gilirannya saya ingin menyampaikan pandangan saya
tentang konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Saya
ingin sampaikan pokok dasar sebagai doktrin saya ingin menguji norma
di dalam pasal atau undang-undang ini.
Saya berpendapat sebagai ahli hukum Indonesia, dalam rangka
untuk menguji materi. Hukum pidana dan undang-undang Indonesia
pengujiannya harus dasarnya Undang-Undang Dasar RepublikIndonesia,
tidak dengan undang-undang yang lain dan tidak dengan yang lainnya.
Tapi harus dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, dan
Undang-Undang Dasar Republilk Indonesia itu terdiri dari dua bagian,
pembukaan dan batang tubuh yang dua-duanya adalah merupakan satu
kesatuan. Dan oleh sebab itu karena yang tahu persis Undang-Undang
Dasar 1945 adalah orang Indonesia, pada gilirannyalah kita harus belajar
tentang konstitusi kita dan yang tahu persis tentunya orang Indonesia,
oleh sebab itu ahli tidak sependapat jika untuk memahami konstitusi
Indonesia sebaiknya tidak perlu menggunakan tenaga asing. Dan
bagaimana dengan undang-undang tentang Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965, hal yang sama juga demikian. Maka terhadap Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/1965 harus diuji dengan Batang Tubuh Undang-
Undang Dasar 1945 yang di dalamnya harus dijiwai dengan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Saya ulangi lagi batang tubuh Undang-
Undang Dasar 1945 harus dijiwai dengan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Seandainya batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 itu
adalah Pasal 28, baik dari huruf a sampai dengan huruf j, ini semuanya
harus dalam satu konteks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
tidak dalam satu konteks yang lain dan juga tidak dalam satu konteks
Undang Undang Dasar negara lain.
Baik, Majelis Hakim yang saya muliakan, giliran saya ingin
menguji konstitusionalitasnya.
Sekarang Pasal 1, sesungguhnya yang dilarang di dalam Pasal 1
ini esensinya adalah dia melakukan penafsiran dan kegiatan mana
menyimpang dari pokok ajaran agama. sebagai seorang hukum pidana
saya akan melihat di sini sifat dasar pelarangan, di dalam Pasal 1 ini
adalah menyimpang dari pokok ajaran agamanya. Tentu saja Majelis
Hakim, setiap perbuatan yagn menyimpang dari pokok ajaran agama
itulah yang tentu saja harus dilarang. Menjadi masalah adalah kata-kata

68
menyimpang ini bagaimana, siapa yagn melakukan interpretasi tadi
sudah saya kemukakan dasar tolak pangkalnya adalah kitab suci. Maka
penyimpangan dari pokok ajaran agama itu ukurannya adalah kitab suci.
Saya kira sama juga, menyimpang konstitusi adalah dilarang dan
juga setiap ajaran apapun yang di dalamnya itu mengandung unsur
penyimpangan adalah dilarang karena ini agama, apalagi ini persoalan
agama maka menurut pendapat ahli kata-kata di dalam Pasal 1
esensinya yang dilarang adalah melakukan dan seterusnya dan
seterusnya, yang esensinya semua kegiatan itu adalah menyimpang dari
pokok ajaran agama dan yang dilarang sesungguhnya adalah
penyimpangan tersebut. Kalau misalnya sengaja di muka umum
menceritakan agama yang itu benar tentu saja tidak dilarang. Yang
dilarang yang disebarkan adalah ajaran itu menyimpang dari pokok
ajaran agama.
Oleh sebab itu saya kira ini sesuatu hal yang wajar dan bisa
dipahami dalam satu konteks hukum bahwa sesuatu yang menyimpang
tidak boleh disebarkan. Menyimpang konstitusi tidak boleh harus
dinyatakan dia adalah inkonstitusional dan menyimpang dari hukum
pidana dia harus masuk penjara. Dan dia menyimpang hukum
administrasi dia harus dibatalkan. Pendek kata, kata menyimpang adalah
sifat dari perbuatan yang tidak boleh dilakukan. oleh sebab itu menurut
menurut Ahli karena sifat pokok esensi perbuatan di sini adalah
penyimpangan, yang dilarang adalah penyimpangannya, maka larangan
terhadap menyimpang tentu saja ini tidak bertentangan dengan Pasal
28D yang dikatakan di situ adalah “berhak atas pengakuan jaminan
perlindungan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di
hadapan hukum”, tentu saja ini tidak menurut pendapat saya.
Demikian juga Pasal 28E “bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya”, justru pasal inilah untuk mendorong mereka orang
yang beragama adalah mengikuti Pasal 28E agar dia bebas memeluk
agama tetapi tidak dikatakan bebas menyimpang dari ajaran agama.
Justru di dalam Pasal 28E ini kalau dihubungkan dengan Pasal 29 ini
sungguh sangat tepat sehingga adanya larangan menyimpang ajaran
agama inilah yang menurut pendapat Ahli adalah justru itulah yang
konstitusional dan yang kalau dihubungkan dengan Pasal 28E ayat (2)
dikatakan, “kebebasan menyakini kepercayaan menyatakan pikiran sikap
sesuai dengan hati nuraninya”, itupun juga harus batas-batas sejauh
sikap dan hati nurani terkait dengan persoalan agama maka dia tidak
boleh melakukan sesuatu yang menyimpang. Demikian juga Pasal 28I,
“kemerdekaan pikiran dan hati nurani hak beragama” dan seterusnya,
demikian juga dalam konteks ini bukanlah tidak bersifat diskriminatif
karena tadi sudah saya katakan negara bisa mengakui secara resmi
agama tertentu tapi tidak untuk melarang agama yang lain, itu hanya
prosedural administratif bisa jadi suatu saat negara juga akan mengakui
agama-agama yang lain kalau itu pengikutnya adalah sudah besar, maka
negara boleh mengatur kapan negara mengakui yang dia adalah sebagai

69
agama yang bisa diakui sama artinya negara juga mengakui partai politik
tetapi tidak semua partai politik bisa diakui.
Baik, sekarang bagaimana dengan Pasal 2 ayat (1)? Di dalam
Pasal 2 ayat (1) ini tadi sudah saya sebutkan esensi di sini adalah
perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya, ini
tiada lain dan tidak bukan dalam konteks hukum administrasi itu
dibenarkan di dalam sanksi yang demikian ini. Jadi peringatan keras
untuk menghentikan adalah bentuk sanksi administrasi, tindakan sanksi
administratif menurut pendapat saya adalah wajar dan bisa dikenakan
karena memang itulah kedudukan sanksi administratif dan oleh sebab itu
saya berpendapat sebagai Ahli, Pasal 28D ini tidak..., atau Pasal 2 ayat
(1) tidak bertentangan dengan Pasal 28D. Demikian juga Pasal 1 negara
hukum karena konteks ini adalah bagian daripada suatu proses
pencegahan kemungkinan terjadinya yang lebih besar daripada akibat-
akibat yang terjadi maka tindakan administratif dikenakan adalah
sebagai tindakan preventif dalam rangka mencegah terjadinya tindakan-
tindakan yang lebih besar.
Bagaimana dengan Pasal 2 ayat (2)? Jadi kalau itu tindakan
administratif itu tidak bisa dilakukan barulah kemudian sanksi yang lebih
besar adalah sesungguhnya di dalam hukum administrasi disebut
sebagai sanksi yang terberat yakni adalah menyatakan suatu organisasi
aliran tersebut sebagai organisasi aliran terlarang, intisarinya adalah
pembubaran daripada organisasi yang bersangkutan. Dalam hukum
administrasi pembubaran organisasi adalah sanksi yang terberat di
dalam hukum administrasi.
Saya kira ini hal yang wajar kalau negara tidak lagi diperhatikan
peringatan-peringatannya dan ternyata pelanggaran dilakukan secara
terus menerus maka gilirannya adalah sanksi administratif berupa
pembubaran atau pelarangan organisasi tersebut seperti organisasi yang
bersangkutan persis seperti halnya adalah perseroan terbatas yang
melakukan tindak pidana karena sudah dilakukan sedemikian rupa maka
jadilah namanya pembubaran perseroan. Pembubaran perseroan itu
sama artinya adalah larangan perseroan tersebut berdiri dan dia harus
membubarkan diri atau dibubarkan. Karena apa? Karena melakukan
tindak pidana.
Sekarang, Pasal ayat (3) tadi saya sudah katakan bahwa
Pasal 3 ini kalau diuji harus berhubungan dengan Pasal 5 karena Pasal 3
ini hanya memberi antara pada Pasal 4. Sekarang saya ingin sampaikan
mengenai Pasal 4. Di dalam Pasal 4 yang dimuatkan yang diuji adalah
yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Jelas Majelis
Hakim yang saya muliakan, pasal-pasal yang rumusannya mengenai
permusuhan, penyalahgunaan, pernodaan ini cukup banyak kalau kurang
lebih ada 5 sampai 7 pasal yang menggunakan bahasa-bahasa seperti ini
namun ini sesungguhnya maka Pasal 156 diselipkan di dalam Pasal 156A
tiada lain tujuannya adalah untuk melindungi agama yang bersangkutan.

70
Kalau ini dinyatakan inkonstitusional pasal-pasal yang lain yang
sebelumnya yang menggunakan rumusan yang sama karena pasal ini
berurutan terhadap penghinaan misalnya, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap yang lainnya itu juga harus batal demi hukum
karena atau harus dinyatakan batal juga karena normanya adalah sama.
Cuma di dalam Pasal 156 ini yang dilindungi adalah agama sedangkan
yang lain nanti adalah berbeda-beda. Oleh sebab itu, Majelis Hakim yang
saya muliakan, saya tidak satu persatu menyatakan demikian, dengan
pernyataan yang saya sampaikan ini menurut ahli saya menyatakan
bahwa bahwa Pasal 156 huruf a menurut ahli adalah konstitusional dan
tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal
28E ayat (2), pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2),
bahkan malah justru sesuai dengan perintah Mahkamah Konstitusi
adalah Pasal 29 ayat (2).
Sekarang sepintas ingin saya sampaikan supaya penggambaran
tentang tindak pidana agama itu seperti apa? Jadi di dalam tindak pidana
terkait dengan agama dalam KUHP itu paling tidak ada 14 bentuk
perbuatan yang sebagian diantara langsung mengenai persoalan
agama, ini Pasal 156, ini juga bentuknya mirip sama 156A dan
seterusnya..
Iya, ini 156 huruf a, 156 huruf b, mempertunjukkan metodenya
untuk disampaikan dan seterusnya menurut pendapat saya pasal-pasal
KUHP ternyata mengatur yang sama, yang content-nya mirip dengan
Pasal 156 a. Demikian juga pasal-pasal yang lain, intisari dari larangan
itu kami singkatkan, Majelis Hakim, pertama yang di larang adalah
menyangkut content daripada ajaran agama, menyangkut perlengkapan
agama, menyangkut fisik untuk sarana ibadah, bangunan masjid dan
seterusnya, menyangkut penghalangan terhadap orang yang melakukan
ibadah, dan menyangkut gangguan terhadap orang yang menjalani
ibadah agama dan melakukan pelecehan terhadap petugas agama.
Demikian juga buku ketiga mengatur hal yang sama dengan total 14
ketentuan, bagaimana dengan RUU KUHP?
Majelis Hakim, kami dari tim RUU KUHP, sejauh yang saya
pantau pada proses pembentukannya di sini ternyata dari RUU KUHP
tetap juga mempertahankan prinsip-prinsip di dalam rangka untuk
melindungi agama yang dianut di Indonesia. Larangan-larangan
disistematisir sedemikian rupa sehingga munculah beberapa ketentuan
larangan yang kemudian di eksplisitkan antara lain, contohnya adalah:
Penyebarluasan penghinaan terhadap keagamaan Tuhan, firman,
dan sifat-sifatnya Nabi, kitab suci, ajaran agama, ibadah keagamaan dan
sebagainya. Total larangan itu ada 8 bentuk tapi di sistematisir dan
kemudian tindak pidana lain yang berhubungan dengan persoalan
agama. Saya kira ini bisa dibaca beberapa ketentuan. Genosida ini juga
ada hubungan motif agama termasuk saya masukkan kedalamnya di sini.
Majelis Hakim yang saya muliakan, oleh sebab itu dalam rangka
untuk menjaga agar keutuhan Negara RI, RUU KUHP ini sepertinya

71
berusaha untuk sedemikian rupa karena diketahui bahwa persoalan
agama adalah persoalan yang sensitif dan oleh sebab itu pengaturannya
harus secara baik dan bijaksana.

Oleh sebab itu, Pasal-pasal hukum pidana yang termasuk delik-


delik terhadap agama dan kehidupan umat beragama tersebut diatur
dalam rangka untuk menjamin hak warga negara yang diatur dalam UUD
1945 di muat Pasal 28E, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 29 dan Pasal 31.
…Itulah Majelis Hakim yang saya muliakan, pokok-pokok pikiran
yang saya sampaikan dari uji konstitusional atas Undang-Undang PNPS
tahun 1965, dan pada kesimpulannya saya menyatakan bahwa Pasal 1,
Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4, norma hukum yang sebagaimana dimuat
dalam Undang-Undang PNPS Tahun 1965 adalah sesuai dengan doktrin
dan doktrin interpretasi hukum menurut ilmu pengetahuan yang ahli
kuasa, secara yuridis formil dan yuridis materiil, materi norma hukum
yang dimuat dalam pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD
1945.
Argumen konstitusionalitas telah ahli, telah yang di sampaikan
sebelumnya, yang tak terpisahkan dari kesimpulan yang saya buat ini
Terima kasih, wabilahitaufik walhidayah, wassalamualaikum,
wr,wb.

127. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H.

Terima kasih Pak Mudzakkir, berikutnya Prof. Atho

128. AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. ATHO MUDZAR

Bismillah. assalamualaikum, wr,wb.


Yang kami muliakan Ketua, para anggota Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi, Para hadirin sekalian yang kami hormati.
Dalam kesempatan ini izinkanlah saya menyampaikan beberapa
pokok pikiran atau pendapat saya sebagai ahli dalam sidang perkara uji
materiil Undang-Undang PNPS 1 Tahun 1965.
Izinkan saya memperkenalkan diri, saya adalah guru pada
Fakultas Hukum Syariah dan Hukum UIN Jakarta merangkap sebagai
Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama.
Ada 7 butir yang ingin saya sampaikan yaitu;
Tentang Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 dan
keadaan darurat.
Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan,
Penyalahgunaan, dan Penodaan Agama semula adalah penetapan
presiden yang dikeluarkan pada tahun 1965, kemudian pada tahun 1969
diangkat menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1969.

72
Dengan demikian, apa yang kemudian disebut sebagai Undang-
Undang Nomor 1 PNPS tahun 1965 itu sesunguhnya diundangkan pada
tahun 1969 pada saat mana negara tidak dalam keadaan darurat. Oleh
karena itu undang-undang tersebut dibuat oleh lembaga yang
berwenang dan sah secara hukum serta mengikat bagi setiap warga
negara.
Kedua, tentang Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 dan masalah
intervensi negara terhadap agama. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
PNPS 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan
Agama menyatakan sebagai berikut; “setiap orang dilarang dengan
sengaja di muka umum, menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang
suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama
itu penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama itu.”
Secara sepintas rumusan pasal ini memberi kesan seolah-olah
undang-undang ini mengatur tentang kebolehan intervensi pemerintah
atau negara terhadap agama atau terhadap keyakinan warga
masyarakat sehingga memasuki forum internum, kebebasan beragama.
Sesungguhnya apabila kita perhatikan penjelasan undang-undang
itu yang merupakan suatu kesatuan dengan batang tubuh undang-
undangnya itu sendiri, maka kita akan memahami bahwa Undang-
Undang Nomor 1 PNPS 1965 hanya mengatur forum eksternum
kebebasan beragama karena tujuan undang-undang ini bukanlah untuk
intervensi pemerintah atau negara terhadap agama atau aspek-aspek
doktrin agama atau penafsiran agama, melainkan bertujuan untuk
memupuk dan melindungi ketentraman beragama, sebagaimana disebut
pada butir 4 penjelasan umum undang-undang tersebut.
Dengan kata lain undang-undang ini adalah bagian dari upaya
negara atau pemerintah untuk mencegah terjadinya benturan umat
beragama dan memelihara ketentraman serta ketertiban masyarakat
yang dapat terganggu karena adanya polarisasi dan pertentangan dalam
masyarakat, yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan yang
menyimpang. Bahkan pada butir 2 dan 3 penjelasan umum undang-
undang tersebut dikatakan, bahwa undang-undang diperlukan untuk
memelihara persatuan nasional dan persatuan bangsa. Tentu saja tugas
pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat serta
pemeliharaan persatuan dan kesatuan nasional adalah tugas dan
kewajiban negara yang sah dan legal.
Hal itulah yang sebenarnya dilakukan pemerintah ketika
menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 Nomor Kep-033/A/JA/6/2008
dan Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada
Penganut, Anggota dan Anggota Pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia
dan Warga Masyarakat tanggal 9 Juni 2008.

73
SKB itu pada intinya memperingatkan dan memerintahkan kepada
penganut anggota dan atau anggota pengurus Jamaah Ahmadiyah
Indonesia sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan
penyebaran paham atau penafsiran agama yang nyata-nyata telah
menimbulkan polarisasi dan pertentangan dalam masyarakat, sehingga
mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. SKB itu juga
memperingatkan dan memerintahkan warga masyarakat pada umumnya
untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta
ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak
melakukan perbuatan dan atau tindakan melawan hukum terhadap
penganut anggota dan atau anggota pengurus jamaah Ahmadiyah
Indonesia.
Bagi pemerintah pada waktu itu nampaknya masalah jamaah
Ahmadiyah itu ketika itu mempunyai dua aspek pertimbangan. Pada satu
sisi jamaah Ahmadiyah Indonesia dilihat sebagai penyebab lahirnya
pertentangan dalam masyarakat yang berakibat terganggunya keamanan
dan ketertiban masyarakat. Pada sisi lain warga jamaah Ahmadiyah
Indonesia ketika itu adalah korban tindakan kekerasan sebagian warga
masyarakat yang karenanya harus dilindungi.
Untuk menangani kedua sisi masalah itu secara simultan, maka
Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan
SKB tersebut pada tanggal 9 Juni 2008. Perlu dicatat, bahwa dasar
kebijakan untuk memelihara ketentraman masyarakat dan melindungi
kelompok masyarakat jamaah Ahmadiyah Indonesia itu adalah Undang-
Undang Nomor 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama ini. Dengan pertimbangan tersebut diatas,
maka Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 tidak bertentangan dengan
Undang Undang Dasar 1945 dan secara yuridis serta sosiologis masih
relevan dengan tugas-tugas kenegaraan kita dewasa ini.
Butir ketiga tentang Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 sebagai
penyelamat Konghucu di Indonesia.
Seperti diketahui meskipun Konghucu adalah salah satu dari 6
agama yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965
tetapi umat Konghucu Indonesia pada suatu masa telah dibatasi ruang
geraknya oleh Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 sehingga
mereka tidak dapat menyelenggarakan keagamaan, kepercayaan dan
adat istiadat mereka di muka umum.
Sebagai akibatnya sebagian mereka kemudian bergabung dengan
salah satu dari lima agama lainnya, baik dalam kegiatan keagamaan,
kepercayaan, dan adat-istiadat, maupun dalam pencantuman identitas
agama dalam kartu tanda penduduk dan sebagainya. Meskipun mungkin
mereka masih memeluk agama Konghucu. Hal ini berlangsung selama 33
tahun, yaitu sejak tahun 1967 hingga 2000.
Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang pada intinya menetapkan
pencabutan larangan sebagaimana diatur oleh Inpres Nomor 14 Tahun

74
1967 tersebut. Dengan pencabutan ini maka secara legal pembatasan
kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat China di Indonesia
tidak berlaku lagi.
Pada tahun 2002 dengan Keppres Nomor 19 Tahun 2002, tahun
baru Imlek dinyatakan sebagai hari nasional. Kemudian pada tahun itu
juga, 2002, Menteri Agama RI mengeluarkan Surat Nomor 331 Tahun
2002 menyatakan bahwa hari raya Imlek ditetapkan sebagai hari libur
nasional. Tetapi dengan penetapan hari raya Imlek sebagai hari libur
nasional itu pun masih belum serta merta umat Konghucu memperoleh
kebebasan beragama dan hak-hak sipil mereka. Karena masih ada
pendapat dalam masyarakat bahwa hari raya Imlek bukanlah milik umat
Konghucu semata tetapi adalah milik seluruh masyarakat keturunan
Tionghoa.
Kemudian perlu dicatat bahwa hak beragama kaum Konghucu dan
hak-hak sipil mereka itu baru terpenuhi secara faktual setelah Menteri
Agama RI mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Pendidikan Nasional dengan Nomor 12/MA/2006 tanggal 24 Januari
2006, perihal Mengenai Penjelasan Mengenai Status Perkawinan Menurut
Agama Konghucu dan Pendidikan Agama Konghucu yang menyatakan,
sebagai berikut:
i. bahwa berdasarkan Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965, Pasal
1 penjelasan, dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh
Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Sebagaimana diketahui undang-undang tersebut sampai saat ini masih
berlaku dan karena itu Departemen Agama melayani umat Konghucu
sebagai umat penganut agama Konghucu. Selanjutnya berkaitan dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat
(1) yang menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Maka Deparartemen Agama memperlakukan perkawinan para umat
Konghucu yang dipimpin pendeta Konghucu adalah sah menurut Pasal 2
ayat (1) undang-undang tersebut.
ii. berkaitan dengan butir 1 di atas, maka pencatatan perkawinan bagi para
penganut agama Konghucu dapat dilakukan sesuai peraturan
perundangan yang ada. Demikian pula hak-hak sipil lainnya.
iii. berkaitan dengan butir 1 di atas, kami, maksudnya Menteri Agama,
berpendapat bahwa pendidikan agama Konghucu sesuai dengan
ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, dalam hal ini Departemen Agama ke depan
akan memfasilitasi penyediaan guru-guru pendidikan agama Konghucu di
sekolah-sekolah dan seterusnya.
Sejak keluarnya Surat Menteri Agama Nomor 12/MA/2006 tanggal
24 Januari 2006 itulah kaum Konghucu secara faktual memperoleh
kebebasan menjalankan agama dan ha-hak sipilnya. Perlu dicatat bahwa
dasar hukum ynag dijadikan pijakan oleh Menteri Agama dalam
menerbitkan surat tanggal 24 Januari 2006 itu adalah Undang-Undang

75
Nomor 1/PNPS/1965 yang menurut Surat Mahkamah Konstitusi Nomor
356/PAN.MK/XII/2005 tanggal 26 Desember 2005 yang ditujukan kepada
Saudara. WS. Budi Estan Wibowo, Majelis Tinggi Agama Konghucu
Indonesia (Matakin), menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang
Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Lembaran
Negara Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2727, masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 adalah penyelamat hak beragama dan hak-hak sipil umat
Konghucu di Indonesia. Dan karenanya undang-undang ini tidak
bertentangan UUD 1945.
iv. Undang-Undang 1/PNPS/Tahun 1965 sebagai pijakan pemeliharan
kerukuan umat beragama. Sebagaimana disebutkan penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 pada butir iii dan iv, salah satu
tujuan penerbitan undang-undang itu adalah agar ketentraman
beragama dapat dinikmati oleh segenap rakyat di seluruh wilayah
Indonesia. Dan untuk melindungi ketentraman beragama tersebut dari
penodan/penghinaan. Dengan kata lain, undang-undang ini diterbitkan
dengan tujuan antara lain untuk memelihara kerukunan umat beragama,
baik kerukunan internal umat beragama maupun antar umat beragama.
Sebagai aturan hukum, undang-undang ini telah dijadikan dasar oleh
para hakim di pengadilan-pengadilan dalam memutus perkara-perkara
yang terkait dengan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
Keputusan-keputusan hakim itu telah menjadi kekuatan hukum tetap
dan telah secara efektif telah berfungsi memelihara kerukunan umat
beragama, bukan saja umat Islam tapi juga umat beragama lainnya.
Sejumlah keputusan pengadilan yang telah diterbitkan tersebut dalam
kaitan ini antara lain, putusan hakim pengadilan dalam kasus Arswendo
Atmowiloto, kasus Saleh di Situbondo ‘96 dikenai Pasal 156A, kasus
Mas’ut Simanungkalit 2003 dikenai Pasal 156A, kasus Mangapin Sibuea
Pimpinan Sekte Pondok Nabi Bandung 2004 dikenai Pasal 156A, kasus
Yusman Roy 2005 dikenai Pasal 335 dan 157 KUHP. Putusan Hakim
Pengadilan Agama Negeri Jakarta Pusat Nomor
677/PID.B/2006/PN.JKT.PST.29 uni 2006 dalam Perkara Lia Eden, kasus
Abdurachman yang menganggap Imam Mahdi, kasus penistaan kitab
suci di Malang 2006 dikenai Pasal 156A dan puluhan keputusan
pengadilan tentang perkara penyalahgunaan dan atau penodaan agama
di Nusa Tenggara Timur yakni terkait perkara-perkara penodaan roti suci
postia di lingkungan umat beragama Katolik.
Khusus putusan-putusan pengadilan yang disebut terakhir ini
mungkin luput dari pengamatan Konferensi Wali Gereja Indonesia atau
dipandang tidak berhubungan dengan peran Undang-Undang Nomor 1
PNPS 65 dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di Nusa
Tenggara Timur. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 1 PNPS 65
telah terbukti berhasil memelihara kerukunan antar umat beragama dan

76
juga kerukunan internal umat beragama, baik Islam, Kristen, maupun
Katolik. Karena itu Undang-Undang Nomor 1 PNPS 65 tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Yang kelima, Undang-Undang 1 PNPS 65 dan masalah
diskriminasi. Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa Undang-
Undang Nomor 1 PNPS Tahun 65 adalah diskriminatif karena membatasi
agama hanya pada 6 agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
dan Konghucu adalah pendapat yang tidak benar. Memang pada
Penjelasan Pasal 1 Paragraf pertama undang-undang itu dikatakan
sebagai berikut, “agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia
ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Hal ini dapat
dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia“.
Tetapi kemudian paragraf ketiga, Penjelasan Pasal 1 itu juga secara
eksplisit disebutkan sebagai berikut, “ini tidak berarti bahwa agama-
agama lain misalnya Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme dilarang di
Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh
Pasal 29 ayat (2) dan seterusnya” kutipan maksudnya Undang-Undang
Dasar 45.
Perlu dicermati di sini, bahwa baik ketika menyebutkan 6 agama
tersebut di atas maupun ketika menyebutkan agama-agama lainnya
Penjelasan Pasal 1 itu menyebutkan bahwa kedua jenis kelompok agama
itu mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 Undang-
Undang Dasar 1945. Bahkan ketika menyebut agama-agama lainnya
selain yang enam, penjelasan itu secara eksplisit menyatakan bahwa
jaminan itu bersifat penuh. Karena itu Undang-Undang Nomor 1 PNPS 65
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Prinsip kebebasan beragama seperti dianut undang-undang ini
seringkali tidak dipahami oleh masyarakat baik nasional maupun
internasional. Sebagai contoh, terjadi dalam suatu dialog bilateral hak
asasi manusia antara Indonesia dan Norwegia di Oslo tanggal 26 sampai
dengan 29 April 2009 pada Komisi Interfaith Dialog and Religious
Tolerance. Pada awal sidang-sidangnya dalam komisi itu dilaporkan hasil
sidang serupa pada tahun sebelumnya 2008 yang menyatakan antara
lain, bahwa Undang-Undang Nomor 1 PNPS 65 perlu dicabut karena
undang-undang itu dinilai membatasi hanya pada 6 agama. Mendengar
hal itu Ahli kebetulan ketika itu menjadi salah seorang anggota delegasi
Republik Indonesia dalam forum itu mengajak peserta dialog HAM
bilateral itu untuk membaca dengan seksama Penjelasan Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 PNPS 65.
Setelah diskusi secara seksama komisi itu menyimpulkan bahwa
agama-agama diluar agama yang 6 juga boleh hidup dan mendapat
dukungan konstitusional yang sama di Indonesia. Akhirnya komisi itu
merekomendasikan perlunya sosialisasi kesadaran bahwa agama-agama
di luar yang 6 itu boleh dan mempunyai hak hidup di Indonesia.
Tepatnya hasil rumusan working group itu dimuat pada butir empat,
yang berbunyi saya kutipkan sebagai berikut, “ Socialization/rezim public

77
awarness of existence of more than one…, of more than six religions and
all that religions are acknowledge. All religions and believes are equally
guaranteed by the Indonesian Constitution.”
Butir keenam, kebebasan hak asasi manusia dibatasi oleh undang-
undang. Saya singkatkan saja, saya kira kita sudah membahas sejak
sidang-sidang yang lalu mengenai Pasal 29 ayat (1) dan (2) juga Pasal
28E, Pasal 28I yang saya mohonkan ialah bahwa membaca undang-
undang dasar ini sebaiknya membaca secara keseluruhan. Jangan
membaca Pasal 28E dan 28I, dan meninggalkan Pasal 28J. Saya ingin
kutipan yang 28J karena akan saya buktikan dengan instrumen-
instrumen internasional,
1. setiap orang wajib menghormati Hak Asasi Manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
2. dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis;
Perlu digarisbawahi di sini, bahwa pembacaan pasal-pasal itu
hendaknya dilakukan secara menyeluruh. Orang tidak boleh hanya
membaca Pasal 29, Pasal 28I..., dan berhenti pada Pasal 28I saja,
melainkan juga harus membaca Pasal 28J, sebagai kesatuan dengan
pasal-pasal sebelumnya. Adanya pembatasan-pembatasan itu tidak
perlu mengecilkan hati kita, seolah-olah kita adalah bangsa yang tidak
memiliki kebebasan beragama. Hal itu dimungkinkan sepanjang
dilakukan melalui undang-undang, semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Sesungguhnya, dalam instrumen-instrumen internasional pun hal
serupa memang diatur. Dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia, yang diadopsi PBB pada tahun 1948. Perlu dicatat bahwa
Undang-Undang Dasar kita 1945, kita tiga tahun lebih awal daripada
deklarasi itu. Pasal 29 kita lebih awal tiga tahun. Pasal 29 ayat (2)
dikatakan sebagai berikut, dalam deklarasi PBB itu, saya bacakan
terjemahannya, “Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya setiap
orang hanya patuh kepada pembatasan yang diatur melalui undang-
undang semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan moralitas yang adil, ketertiban umum, dan
kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.”
Dalam Konvenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan
Politik, yang kemudian kita ratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005, juga ada pasal 18 ayat (3), mohon di baca, “Kebebasan
untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat

78
dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindungi
keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak dan
kebebasan mendasar orang lain.”
Kemudian dalam Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan Tahun 1981
Pasal 1 ayat (3), juga dinyatakan sebagai berikut, saya bacakan
terjemahannya, “Kemerdekaan seseorang untuk menyatakan agamanya
atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan
dalam rangka menjamin keselamatan umum, ketentraman umum,
kesehatan umum dan nilai-nilai moral, atau hak-hak dasar dan
kebebasan orang lain.”
Demikian juga dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak yang
diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989. Pasal
14 ayat (3) dinyatakan sebagai berikut, saya bacakan terjemahannya,
“Kebebasan seseorang untuk menyatakan agamanya atau
kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan dalam
rangka untuk melindungi keselamatan, ketentraman, kesehatan dan
nilai-nilai moral publik, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain.”
Dengan demikian, Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945
sesungguhnya juga sejalan dengan berbagai instrumen internasional
yang telah diadopsi dan ditandatangani oleh PBB. Dalam hal ini, maka
apabila Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 itu dipandang
sebagai salah satu pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang.
Maka hal itu sebenarnya adalah tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945. Karena adanya peluang yang diberikan oleh Pasal
28J Undang-Undang Dasar 1945 itu yang harus dibaca sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal lainnya.
Yang terakhir, penodaan agama sebagai isu internasional.
Masyarakat internasional memang terbelah, sedikitnya menjadi dua
kelompok terkait isu penodaan agama. Sebagian kelompok masyarakat
mengatakan bahwa pernyataan penodaan, penistaan terhadap agama,
adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Mereka berpendapat bahwa
yang seharusnya dilarang bukanlah penodaan, penistaan agama,
melainkan penistaan terhadap manusia. Kelompok ini berpendapat
bahwa menodai agama adalah hanyalah menodai sesuatu benda di luar
manusia, karenanya tidak perlu berpengaruh terhadap keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Adapun kelompok kedua berpendapat bahwa penodaan agama
adalah bagian dari penodaan/ penistaan terhadap manusia. Karena
penodaan/ penistaan agama tidak dapat dilepaskan dari penodaan/
penistaan terhadap manusia pemeluk agama itu sendiri. Di sini lah letak
perbedaannya.
Sesungguhnya kita Bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang religius
cenderung memilih pendapat kelompok kedua. Dalam hubungan ini, kita
ingin mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kelompok pertama
seperti, apakah kalau seseorang menghina milik orang lain itu tidak

79
berarti menghina si pemiliknya? Apakah bila seseorang menghina rumah
tempat tinggal seseorang, tidakkah dengan sendirinya ia sedang
menghina pemilik atau orang yang menempati rumah itu? Apabila
seseorang menista suatu ras atau suatu suku, apakah orang itu tidak
sedang dengan sendirinya menista pemilik ras atau suku tersebut?
Demikianlah seterusnya. Apalagi agama, sesuatu yang bukan hanya
dimiliki manusia, tapi juga dimuliakan dan disucikan.
Oleh karena itu, penodaan, penistaan agama, adalah dengan
sendirinya menjadi penodaan/ penistaan terhadap manusia pemeluk
agama itu sendiri. Karena itu pula maka masalah penodaan, penistaan
agama, secara langsung menimbulkan gangguan terhadap keamanan
dan ketertiban masyarakat. Sehingga negara perlu turun tangan dan
memberikan rambu-rambunya.
Dalam kaitan ini, menarik dicermati butir ke-13 dari hasil
kesepakatan Durban Review Conference, sebuah forum seminar resmi
Persatuan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di Jenewa pada bulan
April 2009, yang menyatakan sebagai berikut, “Re affirms that any
advocacy of national racial or religious hattrick that constitute insidement
to descrimination hostility or violent shall be prohibitted by law.” Artinya,
menegaskan bahwa setiap anjuran kebencian karena rasa kebangsaan,
ras, atau agama yang mendorong kepada diskriminasi, permusuhan,
atau kekerasan harus dilarang dengan undang-undang, dan seterusnya.
(kutipan)
Dokumen Durban Review Conference ini, sesungguhnya
merupakan perkembangan yang baru dan merupakan pemahaman
dalam kehidupan masyarakat internasional. Karena dokumen itu
sesungguhnya secara substantif telah mengakomodasi ide tentang
perlunya menghindari penodaan atau penistaan agama, yang tadi
disebut religious blasfemia atau religious defamation. Hanya saja istilah
yang digunakan adalah lain, yaitu insidement of hattrick atau
pengobaran kebencian berdasarkan agama. Sedangkan dalam Undang-
Undang Nomor 1 PNPS 65 Pasal 4, atau Pasal 156 KUHP, digunakan
istilah permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap agama.
Tadi pagi juga telah disebutkan bahwa sidang Majelis Umum PBB
mengajak masyarakat internasional untuk memerangi penodaan agama
atau religious defamation.
Jadi saya kira telah terjadi perkembangan di dalam pemikiran
dunia internasional. Bergeser dari mengatakan bahwa religious
defamation itu tidak perlu diatur, menjadi sekarang masyarakat
internasional memahami kehati-hatiannya, karena sekarang
mengganggu keamanan dan ketertiban. Saya kira perlu dicermati
perkembangan ini.
Demikianlah Bapak Hakim Ketua dan Para Hakim Anggota yang
saya muliakan, beberapa pendapat yang dapat kami sampaikan pada
kesempatan ini.

80
Atas perhatian Ketua dan Para Anggota Majelis Hakim, kami
mengucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.

129. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H.

Terima kasih, Prof. Atho Mudzhar.


Berikutnya, Ahli yang diajukan juga oleh Pemerintah, Bapak Buya
Bagindo Letter. Silakan.

130. AHLI DARI PEMERINTAH: BUYA BAGINDO LETTER

Assalamualaikum wr. wb.


Bapak Ketua, para Anggota Mahkamah Konstitusi yang saya
hormati, para hadirin.
Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah Bangsa Indonesia,
lahir karena rakyat dan Bangsa Indonesia telah menganut agama dan
berbudaya. Karena itu Pancasila mulai berakar dari ajaran agama dan
budaya bangsa, atau rakyat Indonesia yang terwujud dalam kelima sila
Pancasila.
Makanya Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 wajib
dipertahankan dan dikokohkan. Sehingga Undang-Undang tahun 1965
semakin solid dan berperan serta berfungsi dalam menyusun dan
menata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini.
Kita menyadari yang menjadi daya tahan bagi setiap individu dan
masyarakat, atau bangsa, terdiri dari dua hal. Yang pertama, agama.
Yang menjadi anutan, tuntunan, serta petunjuk, sebagai keyakinan dan
kepercayaan dalam membangun dan menata hidup, dan kehidupan yang
seimbang antara rohani dan jasmani, antara spiritual dan material,
antara duniawi dan ukhrawi, antara individu dan masyarakat.
Yang kedua, adalah budaya atau kultur. Istilah sehari-hari disebut
adat. Budaya berfungsi mengarahkan serta mewujudkan di bidang
kemasyarakatan, perpolitikan, perekonomian, ilmu pengetahuan dan
teknologi, kesenian, falsafah hidup, cara-cara ritual keagamaan. Setiap
membangun dan menciptakan kebudayaan harus di atas landasan iman
dan takwa, yang melahirkan akhlak yang mulia yang berakar pada ajaran
agama.
Dengan demikian, yang menjadi sumber aturan hidup dan
kehidupan manusia bertolak dari tiga sumber. Yang pertama, adalah
agama yang sifatnya objektif. Yang kedua, hukum alam atau sunatullah
yang bersifat objektif, orang minang mengatakan, “Alam terkembang
jadi guru.” Hukum-hukum alam ini adalah sangat objektif di mana saja
dia akan sama.
Yang ketiga hukum akal, hukum akal bersifat subjektif dan
conditioning tergantung kepada kepentingan. Dengan pepatah
mengatakan, ”Kepala sama berbulu atau rambutnya sama tetapi

81
pendapatan berbeda-beda kalau akal yang diadu tidak akan bertempur
terus sampai hari dunia kiamat.” Karena itu keberhasilan pendidikan
harus seimbang antara spiritual, intelektual, dan profesional. Di dalam
istilah-istilah dzikir, fikir, dan mahir.
Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003, Bab 5 Pasal 12 dan Bab 6 bagian ke 9 Pasal 30
tentang Pendidikan Keagamaan. Beserta pada Bab 10 Pasal 36 ayat (3),
Pasal 37 ayat (1) dan (2), makanya penyalahgunaan agama dan/atau
penodaan agama sangat berlawanan dan bertentangan prinsip dasar
pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, jikalau ada usaha untuk
ikhtiar perorangan atau kelompok yang menolak Undang-Undang Nomor
1 PNPS 1965 dengan dalih apapun, berarti mereka bukan saja akan
mengundang anarkis dan melanggar pancasila Undang-Undang Dasar
1945 sekaligus melanggar kerukunan hidup beragama yang selama ini
telah berjalan dengan baik, aman, damai, dan tenteram.
Perubahan TAP MPR dan Amandemen Undang-Undang 1945.
Dengan adanya TAP MPR Nomor III MPR 2000, Pasal 1 ayat (3)
berbunyi, ”Sumber hukum dan dasar-dasar nasional adalah pancasila
yang tertulis dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan
batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sumber hukum dan
tata urutan peraturan perundang-undangan.”
Pada ketetapan MPR Nomor V MPR Tahun 2000 tentang
Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional dijelaskan pada Pasal1
Bab 3 Poin 1 berbunyi, ”Terwujudnya nilai-nilai agama dan nilai-nilai
budaya, budaya bangsa sebagai sumber etika dan moral untuk berbuat
baik dan menghindari perbuatan tercela serta perbuatan yang
bertentangan dengan hukum dasar Hak Asasi Manusia.”Nilai-nilai agama
dan nilai-nilai budaya bangsa selalu berpihak kepada kebenaran dan
menganjurkan untuk memberi maaf kepada orang yang telah bertobat
dari kesalahannya.” Dan pada Poin 4 berbunyi, “Tegaknya sistem hukum
yang berdasarkan pada nilai filosofi yang berorientasi pada kebenaran,
keadilan, nilai sosial yang berorientasi pada tata nilai yang berlaku dan
bermanfaat bagi masyarakat serta nilai yuridis yang bertumpu pada
ketentuan perundang-undangan yang menjamin ketertiban hukum. Hal
ini disertai dengan kemauan dan kemampuan untuk mengungkapkan
kebenaran tentang keadilan lampau.”
Jadi kalau undang-undang yang dahulu masih bermanfaat untuk
masa yang akan datang tetap dipakai tidak perlu dibatalkan. Sesuai
dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan
pengakuan terhadap kesalahan yang telah dilakukan serta
pengembangan sikap dan perilaku memaafkan dalam rangka rekonsiliasi
nasional.

82
Pada Bab 5 tentang kaidah pelaksanaan pada Poin 2 Bagian a
berbunyi, ”Memfasilitasi diselenggarakannya dialog dan kerjasama pada
tingkat nasional maupun daerah yang melibatkan seluruh unsur bangsa,
baik formal maupun informal yang mewakili kemajemukan agama, suku,
dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya untuk menampung berbagai
sudut pandangan guna menyamakan persepsi dan mencari solusi.
Pada TAP MPR Nomor VII/MPR/Tahun 2001 tentang Visi
Indonesia Masa Depan pada Pasal 2 Bab 4 tentang Visi Indonesia sampai
Tahun 2020 berbunyi Poin 1 mengenai religius. Jadi masalah agama.
a. Tujuannya terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berahlak
mulia, sehingga ajaran agama khususnya yang bersifat universal dan
nilai-nilai luhur budaya terutama kejujuran dihayati dan diamalkan dalam
perilaku kesehariannya.
b. Terwujudnya toleransi antar dan antar umat beragama.
c. Terwujudnya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar
1945 sampai sekarang telah terjadi 4 kali perubahan amandemen. Pada
perubahan dalam Bab X ditambah dengan Bab XA mengenai Hak Asasi
Manusia yaitu pada Pasal 28E ayat (1) dan (2), berbunyi:
ayat (1) : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
ayat (2) : “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nurani.”
Pasal 28I ayat (1), berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun.”
ayat (2) berbunyi: “Setiap orang berhak bebas dari perlakukan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
ayat 3 berbunyi : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
ayat 4 berbunyi : “Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah.”
ayat (5) berbunyi : “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang dihormati yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”
Kemudian, pembatasan dan pengendalian HAM. Perwujudan hak
asasi manusia yang telah dituangkan dalam amandemen Undang-undang
Dasar 1945 pada Bab XA Pasal 1 dan Pasal 2 diatur dan dikendalikan

83
atau diberi sanksi pelanggaran pada Pasal 28J Bab XA Undang-Undang
Dasar 1945, Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2), berbunyi :
ayat (1) : “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
ayat (2) : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Cuma sekarang banyak demokrasi ini sudah salah guna.
Umpamanya sekarang ini, sepuluh orang berjalan, delapan orang, orang
maling, pembunuh, yang dua orang doang elok. Jadi kalo sistem suara
terbanyak saja, pasti si maling yang elok, yang dua tadi akan buruk.
Kalau tidak ada aturan demokrasi itu sendiri.
Kebebasan berpikir atau kemerdekaan berpikir dan berpendapat
tanpa aturan, pengendalian dan sanksi akan mengakibatkan:
a. pelanggaran etika, moral yang berakar pada agama dan budaya;
b. hilangnya keseimbangan hidup antara rohani dan dan jasmani, spiritual
dan material, lahir dan batin, serta ukhrawi dan duniawi;
c. timbulnya anarkis, terganggunya keamanan, kedamaian, dan stabilitas
yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa dan negara;
d. terjadinya pelanggaran sistematis terhadap Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945 karena diintervensi oleh ideologis sekuler yang
provanis, dan materialis atheis;

131. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H.

Saudara Ahli, kalo bisa dipersingkat, ndak usah dibaca semua.

132. AHLI DARI PEMERINTAH : BUYA BAGINDO LETTER

Ya, baik. HAM tanpa berakar pada agama dan budaya bangsa,
nah ini perlu barangkali kami sampaikan. HAM tanpa berakar, mohon
pahami ini jadi masalah betul sekarang ini.
HAM tanpa berakar pada agama dan budaya bangsa dan negara
akan menurunkan derajat dan harkat serta hakikat kemanusiaan itu
sendiri. Sebagai contoh, di negara-negara sekuler seperti Amerika,
Australia, Rusia, dan lain-lain dimana undang-undangnya membolehkan
kawin sejenis (homoseks), dan lesbian antara sesama laki-laki dan laki-
laki, atau homoseks sesama perempuan dan perempuan atau lesbian.
Sedangkan binatang atau hewan saja tidak pernah melakukan kawin
sejenis.
b. seseorang boleh menentukan untuk mengakhiri hidup dengan caranya
sendiri, artinya membunuh diri melalui medis, atau euthanasia,
tindakan untuk mematikan seseorang untuk meringankan

84
penderitaan hidup. Jadi kalau sudah membosankan manusia,
keluarganya bisa datang ke rumah sakit untuk membunuhnya. ...
Kebebasan berpikir dan berpendapat tanpa dikendalikan agama
dan budaya, yang bertolak kepada kecerdasan akal saja, pikiran-pikiran
bebas tadi akan menyesatkan. Pendapat yang menyesatkan itu cukup
banyak melalui paham, teori dan ideologi. Semuanya itu tidak
menghasilkan kebenaran yang jelas dan terang batas-batasnya karena
tidak mempunyai logika yang padu dan falsafah yang sempurna dengan
menghitung aspek jasmani dan rohani, akal dan perasaan, duniawi dan
ukhrawi, serta aspek hubungan manusia dengan Tuhan, agama dan
moral hanya memperhitungkan aspek jasmani akal dan duniawi saja
serta memutus hubungan dengan Tuhan dengan agama dan moral.
Padahal manusia mempunyai aspek jasmani dan rohani, akal dan
perasaan, punya kehidupan duniawi dan ukhrawi serta punya hubungan
dengan Tuhan dengan agama dan moral apalagi dasar negara kita sudah
jelas.
Diantara pendapat yang menyesatkan itu ialah pendapat yang
menyatakan Tuhan itu tidak ada, seperti pendapat Comte bahwa
percaya kepada Tuhan adalah budi yang ketinggalan dan bahwa Tuhan
itu sudah mati Ini dikatakan oleh Niche, karena akal saja yang
dikemukakan.
Pendapat yang menolak moral, Engels mengatakan, kami menolak
tiap-tiap dogma moral dan dalam hasil kongres kaum bebas berpikir atau
fredenker di Munchen tahun 1912 mengambil keputusan bahwa
kesopanan yang berdasarkan agama adalah tidak sopan.
Yang ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa agama tidak
diperlukan seperti kata Engel bahwa agama adalah salah satu aspek
tekanan jiwa seperti Karl Marx mengatakan agama candu rakyat.
Yang keempat, manusia sama saja dengan hewan seperti
pendapat Darwin, manusia adalah sejajar dengan hewan. Jadi kalau
diberi kebebasan berpikir saja, nah ini yang akan terjadi, yang HAM tadi.
Yang kelima, pendapat yang mengatakan bahwa kesehatan akal
rohani terletak pada kesehatan jasmani. Yang sering orang Yunani sebut
men sana in corpore sano, pada tubuhyang sehat terdapat jiwa yang
sehat. Padahal semua orang maling, penipu, koruptor badannya sehat,
tapi jiwanya sakit dan kotor. Kalau jiwa tidak dibina dengan agama.
Yang keenam, pendapat yang mengatakan bahwa kebutuhan
pokok manusia adalah pangan atau materi seperti dikatakan oleh orang-
orang materialisme, manusia sebagai materi maka sebagai satu-satunya
yang diperlukan adalah materi. Kalau kita ikuti pendapat-pendapat
manusia tanpa agama yang mengutuk moral dan etika akan berakibat:
1. Manusia akan selalu hidup gelisah, Williams Jens mengatakan satu-
satunya obat bagi kegelisahan hidup adalah percaya kepada Allah,
kepada Tuhan.

85
2. manusia tidak dapat mengerti tentang dirinya tanpa agama, Dr.
Aleksis Karel mengatakan ilmu pengetahuan manusia sangat bodoh
akan hakikat manusia bahkan tidak mengerti atau suasana tubuh (...)

133. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H.

Saudara Ahli, bisa diarahkan pada soal konstitusionalitas saja.

134. AHLI DARI PEMERINTAH: BUYA BAGINDO LETTER

Baiklah, ini contoh ini karena terlalu kebebasan berpikir. Soal


kebebasan itu ada batas, sama saja demokrasi tanpa batas seperti tadi,
bisa orang maling yang menang, karena suara terbanyak menentukan
tanpa adanya undang-undang. Begitu juga kemanusiaan tadi, seperti
tadi adanya kaum sejenis, ayam saja sama ayam jantan tidak pernah
kawin.
Oleh sebab itu berdasarkan uraian di atas, konstitusi makanya
Undang-Undang Nomor 1/PNPS perlu dipertahankan bahkan kalau perlu
diperkokoh. Untuk menyamakan negara dan bangsa ini kalau ingin kita
menjadikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar sebagai dasar dan
batang tubuh.
Barangkali inilah sebagai kesimpulan kami, mudah-mudahan
mempunyai arti dan makna untuk masa depan kejayaan bangsa kita ini.
Demikianlah, wabillahi taufiq walhidayah, wassalamualaikum wr.
wb.

135. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H.

Terima kasih, Bapak Buya. Baik, Saudara kita punya waktu 10


menit, saya prioritaskan untuk Pemohon saja kalau memang ada
pertanyaan, biar nanti tidak menggerutu kok tidak diberi waktu katanya.
Silakan, 3 orang ini ditanya untuk Saudara. Kecuali kalau di sini
waktu tidak terpakai.

136. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBI YONESTA, S.H.

Terima kasih Yang Mulia atas prioritasnya. Menyikapi yang


terakhir saja, kita juga ingin tahu apakah kapasitas ahli, apakah dia
sebagai Ketua MUI Sumbar begitu, apakah sebagai Ahli agama ataukah
sebagai Ahli filsafat, ataukah sebagai Ahli HAM, ataukah sebagai Ahli
Konstitusi? Sehingga jelas arah pikirannya kemana. Karena saya melihat,
kami melihat tidak ada konsistensi. Konsistensi ini penting untuk
pertanyaan kami, tolong dijelaskan bagaimana kita.., ahli bisa
menjelaskan HAM yang diatur dalam konteks konstitusi kita, Pasal 28A,
B, C, Indonesia, Pasal 29 dan banyak pasal-pasal yang lain, itu
bertentangan? Jadi kami minta penjelasan informasi bahwa…, apa

86
namanya…,mengatakan bahwa HAM tidak sesuai dengan kebudayaan
dan sebagainya. Nah, kalau kita konsisten terhadap pikiran itu menurut
kami misalnya dalam konteks diskriminasi, diskriminasi jelas ada 4
kategorinya tidak boleh ada pengecualian, dan tidak boleh
pengutamaan, tidak boleh ada pembedaan dan tidak boleh, ada
pembatasan. Pasal 1 disitu ada pengecualian, penyimpangan, belum lagi
kepastian soal apakah pokok-pokok agama boleh berbeda dan apakah
pokok-pokok agama bukan lahir dari kesepakatan, yang artinya juga bisa
berbeda bisa ada orang yang tidak mensepakatinya. Itu satu, untuk Pak
Ato. Yang kedua, untuk Pak Dr. Mudzakkir. Yang pertama ini
kesejarahan, kenapa ini hanya Pasal 4 yang dimasukkan dalam KUHP?
Kalau ngomong ada tindak pidana yang harus dihukum Pasal 1 juga
dihukum, penghukumannya ada di Pasal 3, apa rasionalisasinya? Itu
yang pertama.
Yang kedua, di Pasal 1 ini soal kepastian hukum karena perkara
PNPS ini sekali lagi oleh Pemohon diajukan tidak hanya soal kebebasan
beragama saja tapi juga soal kepastian hukum. Bagaimana kita bisa
mengukur kepastian hukum seperti Pasal 28D bahwa kalau pokok-pokok
ajaran agama itu adalah kesepakatan dan dimungkinkan juga dalam
prinsip HAM yang lain yang juga diatur dalam pasal yang lain boleh
berbeda dimana kepastiaannya kalau seandainya dikatakan bahwa ini
menyimpang dan tidak menyimpang padahal pidana harus ada
kepastian, dimana letak kepastian hukumnya?
Pasal 4 mengeluarkan perasaan saya bacakan Pasal 4 nya Pak,
merujuk pada Pasal 56A “dipidana penjara selama-lamanya 5 tahun,
barang siapa saja dimuka umum mengeluarkan atau mengeluarkan
perbuatan bagaimana kita mengeluarkan perasaan bagaimana kita
mengukur ini dalam kerangka kepastian hak konstitusional setiap warga
negara, yang pada pokoknya bersifat permusuhan.
Bagaimana kita mengatur dan mengindikasikan tentang sifat ini
bagaimana, karena contoh kasus Arswendo misalkan tadi juga
disebutkan oleh saksi Ad Hoc mencontohkan tentang Arswendo. Apakah
yang yang dilakukan sifat Aswendo sifat bermusuhan? Yang dia
menggunakan poling terbuka, yang faktual polingnya memang
mengatakan bahwa Nabi Allah Muhammad urutan ke-11 misalnya
seperti itu, apakah sifat seperti itu sifat permusuhan sejak itu tetapi dia
kena, bagaimana menjamin kepastian hukum yang merupakan hak
konstitusional setiap warga negara.
Saya minta penjelasan Pasal 4 ini penilaian dari Saudara ahli,
apakah ini memang sesuai dengan semangat kepastian hukum yang
merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Jangan sampai
orang yang tidak salah misalkan atau tidak memiliki niatan, bukan
motivasi tetapi niatan untuk tidak melakukan permusuhan, atau tidak
melakukan penodaan dia kena pasal ini. Kalau sampai dia kena pasal ini
yang indikatornya tidak jelas yakni melanggar Konstitusi karena

87
Konstitusi mengatur kepastian yakni pelanggaran konstitusional. Terima
kasih.

137. KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H.,


LL.M.

Terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaan saya untuk ahli Profesor


Mudzhar, berkaitan dengan pokok-pokok ajaran agama. Di dalam Pasal 1
penjelasannya khususnya dijelaskan bahwa Departemen Agama yang
mengetahui pokok-pokok ajaran agama. Yang ingin saya tanyakan
adalah proses penentuan kebijakan tentang pokok-pokok ajaran agama.
Bagaimana menilai presentase, siapa saja yang diundang oleh Depag
dalam menentukan ajaran pokok-pokok ajaran agama, kemudian
mengenai referensi atau rujukan, referensi apa saja apa saja yang
diambil oleh Depag kita harus jujur di dalam agama kita banyak Mazab
atau aliran.
Dan yang terakhir adalah mengenai tim pakem dan saya
mendapatkan SK tentang tim Pakem ini dari website Depag disini
disebutkan bahwa dalam SK. KEP.004/DA/01/1994 disebutkan bahwa
Depag adalah anggota tim Pakem. Tim Pakem ini adalah tim koordinasi
pengawasan aliran kepercayaan masyarakat itu ada di Jaksa Agung
tetapi disini Depag sebagai anggota. Mohon kami dikoreksi kalau kami
salah khususnya disini kami yang mewakili Depag adalah Kepala badan
Penelitian dan Pengembangan.
Saudara Ahli, yang saya ingin tanyakan seberapa jauh kontribusi
Depag dan Tim Pakem itu?
Kemudian yang kedua, mengenai status rekomendasi tim pakem,
seberapa jauh rekomendasi tim pakem ini ditindaklanjuti oleh instansi
terkait kita tahu. Di dalam Pasal 2 Undang-Undang PNPS ini dijelaskan
bahwa ada SKB yang bisa dikeluarkan oleh 3 Menteri, Yang pertama ada
Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Depag. Yang ingin saya
tanyakan apakah rekomendasi tim pakem ini selalu diikuti oleh 3 instansi
tersebut? Terima kasih.

138. KUASA HUKUM PEMOHON: SITI AMINAH, S.H.

Terima kasih pertanyaan saya ajukan kepada Pak Atho, terkait


ketika kita mengajukan judicial review disini seluruh argumen
mengatakan bahwa Undang-Undang 1 PNPS 1965 ini adalah menjaga
kerukunan umat beragama kita selalu mempertanyakan apa sih indikator
kerukunan umat beragama dan ternyata departemen agama sudah
mengeluarkan indikator pembangunan agama pada tahun 2008. Nah di
dalam indikator pembangunan agama disini salah satu instrumen yang
diukur adalah instrumen kerukunan umat beragama baik ditingkat
individu maupun kelompok. Dan untuk mengukur indikator kerukunan
umat beragama ditingkat kelompok ini Depag mengeluarkan tingkatan

88
indikator disini ada 8 indikator diantaranya mungkin saya bacakan
beberapa, berapa banyak terjadi kerusakan rumah ibadah oleh pemeluk
atau paham atau agama lain kemudian misalnya, berapa banyak
peristiwa aksi, demonstrasi, pawai, sweeping karena menentang
kehadiran pemeluk agama lain atau satu dari aliran agama tertentu.
Saya rasa pedoman pembangunan atau indikator pembangunan agama
ini seharusnya Depag bisa mengukur indeks kerukunan umat beragama
di Indonesia berdasarkan indeks yang disusun oleh Depag.
Nah, mungkin disini kita ingin mengetahui indikator kerukunan
umat beragama yang berdasarkan indikator oleh Depag itu sendiri
mengingat sejauh ini pengerusakan-pengerusakan rumah ibadah itu
tetap terjadi kemudian sweeping-sweeping atau pengancaman-
pengancaman atas nama agama itu tetap terjadi, itu pertanyaan
pertama.
Kemudian yang kedua, disamping yang disampaikan oleh Bapak
Ato dipersidangan ini, kurang lebih Bapak Ato juga mengeluarkan tulisan
yang berjudul Instrumen Internasional dan Peraturan Perundang-
undangan Indonesia tentang Kebebasan dan Perlindungan Beragama
isinya hampir sama dengan yang disampaikan, hanya pada poin terakhir
Bapak mengatakan bahwa disini terkait dengan 6 agama yang diakui
atau tanda kutip itu tidak ada di dalam Undang-Undang 1 PNPS 1965
tapi itu ada didalam Undang-Undang Adminduk. Nah, itu juga terkait
dengan argumen bahwa undang-undang ini menjadi penyelamat
Konghucu.
Pertanyaan saya, kalau ini tidak didasarkan kepada Undang-
Undang Nomor 1 PNPS 1965, mengapa untuk teman-teman atau
penganut agama Loka harus menunggu 41 tahun untuk bisa
mencantumkan keyakinannya atau mengosongkan keyakinannya, itu
pertama. Kemudian untuk konghucu kalau misalnya undang-undang ini
dinilai sebagai penyelamat pada tahun 2006 dengan dicabutnya Inpres
itu bagaimana sebelumnya apakah tidak bisa kita katakan bahwa umat
Konghucu pun menjadi korban, karena mereka harus masuk kedalam
pengelompokan agama yang dibangun saya mohon penjelasan kalau
Bapak mengatakan tidak ada pengelompokan agama menjadi 6 atau
sebelumnya menjadi 5 mengapa itu terjadi sampai 41 tahun? Terima
kasih.

139. KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK, S.H.

Yang Mulia, satu lagi dari Pemohon.

140. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H.

Apa tidak cukup saja nanti sama saja diulang-ulang, ini tadi
substansinya hampir sama saja.

89
141. KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK, S.H.

Ini berbeda Majelis, yang ini saya ajukan kepada Dr. Mudzakkir
sebagai ahli dalam konteks.

142. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H.

Singkat saja tidak usah banyak ilustrasi.

143. KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK, S.H.

Bapak menyebutkan bahwa yang dilindungi oleh undang-undang


ini adalah agama kalau ya, lantas siapa pihak yang secara sah mewakili
agama, padahal setiap kelompok mengklaim sebagai penganut yang
paling benar dari suatu agama meskipun dalam faktanya masing-masing
kelompok bisa berbeda. Penjelasan umum undang-undang ini diangka 4
nya menerangkan bahwa ulama yang menetapkan pokok-pokok ajaran.
Apakah pendapat atau fatwa misalnya fatwa sesat dari ulama satu
kelompok dapat dijadikan dasar bahwa kelompok yang bersangkutan
telah melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang atau
penodaan agama, oleh karena itu melanggar pasal 1 dan pasal 4
undang-undang ini. Nah, terus apakah dapat dibenarkan apabila negara
mendasarkan hanya pada satu kelompok keagamaan dalam menerapkan
undang-undang ini. Selanjutnya bagaimana menentukan mans free {sic}
nya atau niat delik Pasal 1 atau Pasal 4. Terus apa bentuk-bentuk
tindakan yang dapat dijerat Pasal 1 atau Pasal 4 dan kemudian tadi ahli
menyatakan bahwa ajaran agama adalah wilayah internal agama yang
tidak boleh dicampuri. Dalam hal ada penyerangan atau kekerasan
terhadap suatu kelompok yang menganut ajaran yang dinilai sesat atau
menyimpang, pihak manakah yang semestinya dikenakan pidana? Pihak
yang melakukan penyerangan atau yang menganut ajaran yang dinilai
sesat atau menyimpang?
Kemudian kepada ahli Bapak Atho, tadi ahli menjelaskan
bagaimana penerapan Pasal 1 undang-undang ini. Ahli mengambil
contoh dalam kasus Ahmadiyah, di mana pemerintah mengeluarkan SKB
karena didasarkan pada adanya ajaran atau keyakinan Ahmadiyah yang
menimbulkan pertentangan di masyarakat, contoh ini menunjukan
bahwa Pasal 1 undang-undang ini bukan hanya melarang tindakan
menceritakan dan seterusnya, tapi memang ditujukan untuk membatasi
ajaran atau keyakinan yang menimbulkan pertentangan. Bagaimana
menurut pendapat Ahli? Terima kasih.

90
144. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H.

Baik, ini kita Maghrib itu nanti jam 6.20 WIB. Oleh sebab itu,
sekurang-kurangnya jam 5.20 kita sudah harus berhenti untuk
menyisakan waktu bagi sholat Ashar 1 jam. Silakan Pak Mudzakkir, jadi
mungkin 5 menit 5 menit saja kalau tidak nanti bisa disampaikan oleh
Pemerintah sebagai kesimpulan atau pandangan terhadap pertanyaan-
pertanyaan tadi. Silakan.

145. AHLI DARI PEMERINTAH: DR. MUDZAKKIR, S.H.

Terima kasih, Ketua Majelis Hakim yang saya hormati. Yang


pertama ingin saya sampaikan mengenai persoalan kepastian hukum
yang terkait dengan ketentuan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
terutama yang terkait juga dengan Pasal 4. saya ingin sampaikan di sini
bahwa yang pertama tadi dipersoalkan adalah mengenai kata-kata
menyimpang dalam konteks dari pokok ajaran agama jadi Pasal 1 yang
saya kutip itu ada yang memuat dari kata-kata menyimpang dari pokok-
pokok ajaran agama. Kalau yang tadi ada dokumen yang lain yang tidak
memuat mungkin nanti di check lagi bahwa mana yang benar. Kalau
saya berasumsi yang pertama adalah karena saya download dari
situsnya Departemen Hukum dan Ham mudah-mudahan yang benar.
Jadi menurut pendapat saya dari Pasal 1 itu tadi sudah saya
kemukakan secara panjang lebar bahwa sifat dilarangnya perbuatan di
dalam Pasal 1 adalah menyimpangi dari pokok ajaran agama. Dimana
letak pokok ajaran agama adalah sesuatu yang pokok dari ajaran agama,
maka di dalam ajaran agama itu ada yang ajaran pokok, ada ajaran yang
cabang. Kewajiban Sholat adalah ajaran pokok, bagaimana cara sholat
mengangkat tangan atau tidak, pakai Qunut atau tidak, itu adalah
cabangnya.
Jadi kalau sudah ada orang memerintahkan tidak perlu sholat dan
seterusnya berarti dia bertentangan dengan ajaran pokok. Bagi orang-
orang yang memahami, mengikuti, mendalami agama saya kira hal-hal
yang seperti ini sangat terang benderang. Jadi, kapan itu menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama, maka pembuat undang-undang ini atau
pembuat PNPS ini menurut saya bijaksana juga. Mengapa dia
memasukkan kata-kata ”pokok ajaran agama” bukan semata-mata
ajaran agama. Kalau ajaran agama nanti bisa sangat banyak sekali
perbedaanya tapi ini yang pokok. Berarti kalau pokok dalam konteks
yang saya ketahui dalam ajaran agama Islam mengenai sesuatu yang
pokok ajaran agama. Kata kunci pokok di sini adalah aqidah. Kalau
sudah mengenai aqidah, berarti itu menyangkut sesuatu yang pokok
mengenai penafsiran seperti ini, siapa yang menafsirkan tentu saja
adalah orang yang mewakili. Saya ulangi lagi adalah orang yang ditunjuk
atau yang mewakili tentang agama ini agama Islam. Kalau organisasi ya
Majelis Ulama Indonesia. Andaikata Majelis Ulama Indonesia sekalipun

91
ketika ingin memberi fatwa tentang sesuatu mengundang juga Ahli-Ahli
yang lain, tokoh-tokoh yang lain untuk dibicarakan mengenai hal itu.
Biasanya kalau fatwanya sangat fundamental pasti dia akan berdiskusi,
berdialog dan seterusnya, Barulah keluar fatwa. jadi menurut pendapat
saya sejauh yang saya ketahui karena saya lebih banyak bersinergi
dengan ajaran agama Islam sehingga akan jelas dimana letak pokok,
dimana letak tidak pokok. Mungkin bagi orang lain yang tidak pernah
pelajari agama mungkin agak bingung ya, kapan itu yang pokok, kapan
itu tidak. Sejauh yang pokok siapapun orangnya yang menyimpang dari
ajaran pokok aqidah, itulah yang saya sebut sebagai Pasal 1 tadi agak
jelas ukurannya.
Pertanyaannya adalah siapa yang melakukan interpretasi sudah
saya sampaikan tadi Majelis Ulama, dialah yang punya kompeten, tentu
saja sebelum buat fatwa, dia riset, yang saya ketahui dia harus riset dan
kemudian seminar dan seterusnya barulah kemudian memberikan fatwa
tentang itu. Nah kalau itu fatwa, itu adalah hubungannya adalah bersifat
internal adalah sangat mengikat terhadap orang lain tentu saja ikatan
hukumnya agak lebih rendah, tetapi konteks inilah kemudian Pemerintah
kalau mereka sudah diberi fatwa tersebut toh masih berlaku melakukan
sesuatu barulah biasanya kemudian mulailah turun yang disebut sebagai
campur tangan atau sebut saja keterlibatan pemerintah dalam satu
konteks ini. Jadi menurut saya susunan ini akan jelas dari wilayah
internal agama begitu dia sudah tidak bisa diselesaikan dan ternyata
masih memiliki ini masuk dalam ranah publiknya. Setelah masuk ranah
publik barulah kemudian masuklah negara. Jadi kalau sudah negara
sudah dipandang dia sebagai sesuatu yang menyimpang dari pokok
ajaran agama kemudian menegur dan seterusnya melarang, mengancam
sanksi pidana. Jadi ada tahapan-tahapannya tadi sudah saya katakan,
kalau toh sampai seperti itu demi keamanan, ketertiban tadi mulailah
muncul namanya sanksi Pidana. Organisasinya bisa dinyatakan
organisasi yang dilarang.
Kemudian persoalan berikutnya adalah mengenai kepastian
hukum dalam konteks bagaimana rumusan Pasal 4 atau Pasal 156 yang
di dalamnya memuat tentang kalimat dikatakan mengeluarkan perasaan
atau melakukan perbuatan, perasaan atau perbuatan yang pada
pokoknya bersifat permusuhan.
Jadi Majelis Hakim yang saya muliakan, bahwa kata-kata
permusuhan, saya kira terminologi yang jelas. Musuh itu berarti
menganggap orang lain sebagai sesuatu yang diserang, itu namanya
musuh. Jadi kalau kita membuat pernyataan bahwa membuat orang lain
musuh, itulah yang saya sebut sebagai melakukan, yang disebut sebagai
pernyataan, atau mengemukakan, atau mengeluarkan perasaan, atau
melakukan perbuatan, yang bersifat permusuhan. Dan musuh biasanya
harus diserang atau dilawan.
Menyalahgunaan saya kira jelas, ya. Istilah menyalahgunaan
adalah menggunakan sesuatu yang tidak pada sesuai dengan maksud

92
dan tujuannya. Ini namanya menyalahgunaan wewenang atau
menyalahgunaan agama. Jadi agama disalahgunakan berarti, adalah
agama itu tidak digunakan sebagaimana apa yang dimaksudkan oleh
agama yang bersangkutan.
Dan penodaan ini juga menurut saya penodaan ini agak lebih
jelas, yang membuat agama ini ternoda. Siapa yang ternoda? Orang
yang menganut agama merasakan itu bahwa tindakan penodaan. Seperti
halnya bendera, menodai terhadap Bendera Republik Indonesia,
membuat orang yang punya bendera itu merasa ternoda dengan adanya
simbol negara tersebut. Biasanya kalau kami menafsirkan di dalam
konteks hukum pidana, jelas, jadi dalam melakukan interpretasi dan
seterusnya. Sebab pasal yang sejenis ini cukup banyak. Tadi sudah saya
sebutkan, ada mungkin tiga atau lima pasal yang berhubungan dengan
pengeluaran perasaan permusuhan.
Yang menjadi masalah adalah, bagaimana kalau orang itu tidak
melakukan permusuhan, tidak melakukan penodaan, ya harus
dibebaskan, kalau dia tidak melakukan penodaan.
Maka di sini lah yang ingin saya sampaikan bahwa dalam suatu
konteks hukum, penegakkan hukum pidana itu interpretasinya harus
dengan hukum pidana. Jadi orang bisa mengetahui kapan dia orang
menodai, kapan orang mengeluarkan perasaan permusuhan, kapan dia
akan menyalahgunakan agama. Kalau kita masuk dalam ranah hukum
pidana, maka kita akan tahu kapan itu masih dalam kompetensi hukum
administrasi, atau bahkan kapan itu kompetensi internal agama yang
bersangkutan, dimusyawarahkan saja, kapan dia masuk kompetensi
administrasi negara, dan kapan itu masuk dalam konteks hukum pidana.
Saya kira akan jelas proses-proses seperti yang biasanya diatur dalam
hukum pidana.

146. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H.

Baik, Bapak Ahli. Mungkin nanti sisanya ditulis saja.


Berikutnya, mungkin silakan Pak Atho.

147. AHLI DARI PEMERINTAH: DR. MUDZAKKIR, S.H.

Ya, terima kasih.

148. AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. H.M. ATHO MUDZHAR

Bapak Ketua dan para Hakim Majelis yang kami muliakan, hadirin
sekalian yang kami hormati.
Pertama, ingin saya singgung persoalan bahwa agama menurut
Undang-Undang PNPS 1 Tahun 1965, agama itu justru tidak dibatasi
pada enam. Saya kira kita tidak bisa mencari undang-undang yang lebih

93
baik daripada ini. Dia tidak dibatasi pada enam, termasuk masyarakat
barat pun kalah sebetulnya, beberapa negara kalah. Kita itu tidak
membatasi pada enam. Saya kira ini lebih baik kita mengacu pada
undang-undang, memahami undang-undang ini. Yang terbaik adalah
membaca penjelasannya itu, jangan mengutip teori sana-sini, siapa-
siapa, filosof ini-ini, tidak relevan. Yang relevan adalah, pertama-tama
harus dibaca penjelasan undang-undang itu.
Nah, dalam kaitan ini. Pertama, saya ingin mengatakan bahwa
sebetulnya Undang-Undang Ad Induk memang tidak sinkron dengan
Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965. Karena undang-undang Ad
Induk berbicara mengenai agama yang diakui. Menurut pendapat saya,
tidak ada negara tidak mengakui sesuatu agama itu agama atau tidak
agama. Yang mengakui itu adalah penganutnya sendiri. Yang jadi soal
ialah negara melayani umat itu. Jadi oleh karena itu, maka sebenarnya
tidak ada agama yang diakui itu dan tidak perlu ada. Itulah luasnya
Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965. Boleh semuanya mendapat
jaminan UUD 1945.
Yang kedua, mengenai pengukuran itu kepastian hukum, itulah
tadi yang saya tunjukkan. Kalau kita membaca penjelasan, jelas
kepastian hukumnya itu, yaitu apa..., penyimpangan itu tadi terkait
dengan ketertiban masyarakat, gangguan keamanan masyarakat,
persatuan nasional, persatuan bangsa. Karena itu, kasus Ahmadiyah
misalnya. Ahmadiyah itu sekarang ini tidak dilarang untuk percaya apa
pun juga, dan tidak dilarang beribadah juga. Yang dilarang ialah
memobilisasi umum, menganjurkan suatu paham tertentu saja. Karena
paham itulah yang menimbulkan pertentangan dalam masyarakat,
menganggu keamanan. Jadi, tentu di situ ada persoalan di mana negara
bisa masuk. Orang Ahmadiyah sekarang boleh beribadah sebagaimana
yang dia menggunakan masjid-masjidnya, tidak diganggu, keyakinan dia.
Tetapi jangan mengajarkan suatu paham yang menimbulkan
pertentangn dalam masyarakat, Karena itu mengganggu kemanan dan
ketertiban.
Ketika terjadi ganggu baik yang menyerang maupun yang
diserang, saya kira tidak perlu ditanyakan. Siapa yang bersalah bisa
diproses secara hukum. Jadi karena itulah SKB Ahmadiyyah itu imbang
sebetulnya kalau kita perhatikan. Dia melarang Ahmadiyah menyebarkan
paham yang menimbulkan pertentangan dengan masyarakat. Sebetulnya
bukan hanya paham agama yang dilarang kalau menimbulkan
pertentangan masyarakat. Paham-paham lain pun itu tidak ditolerir
mestinya, kalau menggangu persatuan nasional, persatuan bangsa. Tapi
di sini dikhususkan tentang agama, jadi…,yang kedua, penganut
Ahmadiyah dilindungi oleh SKB itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945.
Jadi itu saja saya kira Bapak Hakim Ketua, yang lainnya saya tidak
merasa perlu diberi tanggapan karena tidak relevan dengan persoalan
konstitusionalitas. Terima kasih.

94
149. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H.

Apakah Buya, saya kira tidak ada pertanyaan tadi untuk Buya.
Baik, Saudara-Saudara sekalian.., silakan.

150. HAKIM KONSTITUSI: DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM.

Terima kasih Bapak Ketua. Saya punya pertanyaan kepada Bapak


Buya. Tadi Buya mengatakan karena bertumpu kepada pikiran adalah
negara tertentu yang memperkenankan kawin lesbian atau kawin
homoseks. Yang Buya katakan, hewanpun tidak ada yang kawin
homoseks atau lesbian. Apakah itu Buya bisa mengaitkannya dengan Al-
Qur’an, “Summaradatna Radatna pawa ashasabiliin.” Kemudian jatuh
kepada tingkat yang lebih rendah daripada binatang. Terima kasih Bapak
Buya. Terima kasih, Bapak Ketua.

151. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H.

Mau di jawab atau mau dikatakan iya begitu saja kan? Iya kan
jawabannya. Ya sudah cukup.
Baik dengan demikian sidang dinyatakan ditutup. Meskipun begitu
kepada Pemohon kalau pertanyaan-pertanyaan tadi belum..., merasa
belum terjawab dengan baik, saudara bisa ubah pertanyaan itu dalam
bentuk pernyataan. Nanti di dalam kesimpulan atau ditanyakan lagi
kepada ahli-ahli berikutnya.
Dengan demikian sidang dinyatakan ditutup.

KETUK PALU 3X

SIDANG DITUTUP PUKUL 17.20 WIB

95
96

Anda mungkin juga menyukai