Authors :
Abdul Gaffar Rizkillah, S.Ked
Tengku Anita, S.Ked
Oktarina Hasan, S.Ked
Faculty of Medicine University of Riau
Pekanbaru, Riau
2009
Belibis A-17.((http://www.Belibis17.tk
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
----Erupsi akneiformis adalah suatu kelainan kulit yang menyerupai akne, berupa
reaksi peradangan folikular dengan manifestasi klinis papulopustular. Bork pada
tahun 1988 mendefinisikan erupsi akneiformis sebagai suatu reaksi inflamasi yang
bermanifestasi klinis sebagai papula dan pustula dan menekankan ketiadaan
komedo sebagai perbedaan yang mendasar antara erupsi akneiformis dengan akne.
Akan tetapi komedo dapat muncul secara sekunder jika erupsi tersebut sudah
berlangsung lama. 1,2
----Etiologi erupsi akneiformis sampai saat ini masih belum dapat diketahui secara
pasti, namun diduga erupsi akneiformis disebabkan oleh obat, baik obat-obatan
yang digunakan secara sistemik maupun yang digunakan secara topikal. Erupsi
akneformis adalah reaksi kulit yang berupa peradangan folikular akibat adanya
iritasi epitel duktus pilosebasea yang terjadi karena eksresi substansi penyebab
(obat) pada kelenjar kulit. Umumnya reaksi pada kulit atau daerah mukokutan
yang terjadi sebagai akibat pemberian obat (erupsi obat) timbul karena reaksi
hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis, tetapi reaksi ini juga dapat
terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena dosis yang
berlebihan, akumulasi obat atau karena efek farmakologi yang tidak diinginkan. 1,3
----Kasus erupsi akneformis akibat obat (drug-induced acneiform eruption / DAE)
awalnya sudah dilaporkan sejak tahun 1928 ketika lesi yang menyerupai akne
muncul dengan penggunaan iodida dan hidrokarbon klorinat. Erupsi akneiformis
mulai tercatat sebagai salah satu dari beberapa efek samping steroid saat
pengenalan steroid dalam terapi medis pada tahun 50-an. Pada tahun 1959,
Bereston melaporkan timbulnya erupsi akneiformis seiring dengan penggunaan
isoniazid (INH). Sejak itu, berbagai macam obat ditemukan sebagai penyebab
erupsi akneiformis. 2
----Bagian Dermatologi Rumah Sakit Christian Medical Vellore di India selama
periode 2 tahun melaporkan 78 % dari 56 orang pasien baru dermatosis
akneiformis disebabkan oleh penggunaan obat. Dari 78 % tersebut didapatkan
perbandingan antara penderita laki-laki dan perempuan sebanyak 2 : 1. 2 Oleh
2
karena itu perlu ditegakkan diagnosis yang tepat dari gangguan ini karena kasus
ini memberikan manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain pada
umumnya. Identifikasi dan anamnesis yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi
obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan
tepat bagi penderita dengan tujuan membantu meningkatkan prognosis serta
menurunkan angka morbiditas.1,3,4,5
---Metode Penulisan
TINJAUAN PUSTAKA
---Definisi
----Erupsi akneformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne yang berupa
reaksi peradangan folikuler dengan manifestasi klinis papulopustular.1
---Etiologi
----Etiologi penyakit ini masih belum jelas. Semula erupsi akneformis disangka
sebagai salah satu jenis akne, namun kemudian diketahui bahwa etiopatogenesis
dan gejalanya berbeda. Induksi obat yang diberikan secara sistemik diakui sebagai
faktor penyebab yang paling utama seperti yang tercantum dalam tabel 2.1. Ada
pula yang mengganggap bahwa erupsi akneformis dapat disebabkan oleh aplikasi
topikal kortikosteroid, psoralen dan ultraviolet A (PUVA) atau radiasi, bahkan
berbagai bahan kimia yang kontak ke kulit akibat kerja (minyak, klor), kosmetika,
atau tekanan pada kulit. 1,5
---Tabel 1 Obat dan bahan yang diduga menyebabkan erupsi akneformis. 1,2,5
Hormon dan steroid Antibiotik
- gonadotropin - tetrasiklin - co-trimoxazole
- androgen- steroid anabolik
- steroid topikal dan oral
- penisilin - doxicyclinkloramfenikol
- ofloxacin
Senyawa halogen Vitamin
- bromida - riboflavin (B2)
- iodida- halotan - piridoksin (B6)- sianokobalamin (B12)
Obat antikonvulsi Obat lain
- fenitoin - Lithium
- fenobarbital- troxidone - Kloral hidrat- Disulfiram
Obat anti Tuberkulosis - Psorialen dengan ultraviolet A
- isoniazid (INH)- rifampisin
---4
Patogenesis
----Mekanisme patogenesis terjadinya erupsi akneiformis belum diketahui secara
pasti. John Hunter dkk menyatakan bahwa erupsi akneiformis terjadi melalui
mekanisme non imunologis yang dapat disebabkan karena dosis yang berlebihan,
akumulasi obat atau karena efek farmakologi yang tidak diinginkan. Andrew J.M
dalam bahasannya tentang Cutaneous Drug Eruption menyatakan bahwa
mekanisme non imunologis merupakan suatu reaksi pseudo-allergic yang
menyerupai reaksi alergi, tetapi tidak bersifat antibody-dependent. Ada satu atau
lebih mekanisme yang terlibat dalam reaksi tersebut, yaitu: pelepasan mediator sel
mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau
pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Selain itu
adanya efek sekunder yang merupakan bagian dari efek farmakologis obat, juga
dapat menimbulkan manifestasi di jaringan kulit. 2,3,6,7
dada, ekstremitas, sedikit pada daerah wajah, dan timbul setelah penggunaan
kortikosteroid topikal atau sistemik. Chloracne berupa komedo yang polimorf dan
kista, sering ditemukan pada pekerja industri dan biasanya lebih berat daripada
akne steroid. Erupsi akneformis akibat antibiotik biasanya bersifat akut, erupsi
pustular generalisata, demam disertai lekositosis, dan tanpa komedo. 3,5
---Gambar 1. Erupsi akneiformis.9
Gambar 2. Erupsi akneformis akibat penggunaan steroid. 10
---Pemeriksaan Penunjang
----Pemeriksaan laboratorium sederhana dapat dilakukan pemeriksaan
mikrobiologi dengan pewarnaan Gram dari cairan pustula. 1 Pemeriksaan ini
dilakukan untuk membedakan erupsi akneiformis dengan folikulitis.
----Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik
berupa sebukan sel radang kronis di sekitar folikel sebasea dengan massa sebum
di dalam folikel. Pada kista, radang sudah menghilang diganti dengan jaringan
6
ikat pembatas massa cair sebum yang bercampur dengan darah, jaringan mati, dan
keratin yang lepas. 2
----Penelitian yang dilakukan oleh Audrey Lobo, dkk. pada tahun 1992
memberikan gambaran erupsi secara histopatologis. Pada erupsi akibat INH dan
kortikosteroid didapatkan adanya sumbatan folikel, retensi kista, dan peradangan
di daerah perifolikular. Pada penggunaan kortikosteroid ditemukan adanya
gambaran tambahan seperti kerusakan pada sel-sel luminal dan supurasi dinding
folikel sedangkan pada penggunaan INH tidak ditemukan pustul dan lesi
nodulokistik. Kelainan ini muncul setelah penggunaan 1 hari -11 bulan. 2
---Penatalaksanaan
----Penghentian konsumsi obat-obat penyebab dapat menghentikan bertambahnya
erupsi dan secara perlahan menghilangkan erupsi yang ada. Apabila penghentian
pemakaian obat tidak bisa dilakukan, maka pemberian obat-obatan yang
digunakan untuk mengobati akne, baik secara sistemik maupun topikal dapat
memberikan hasil yang cukup baik.1,3,6
Pengobatan Topikal
----Pengobatan topikal dilakukan untuk menekan peradangan, dan mempercepat
penyembuhan lesi. Jika sistem sebum telah ikut terganggu, maka obat-obatan ini
dapat digunakan untuk mencegah pembentukan komedo. Obat topikal yaitu : 1
a. Bahan keratolitik yang dapat mengelupas kulit misalnya sulfur (4-20%), asam
retinoid (0,025-0,1%), benzoil peroksida (2,5-10%), asam azeleat (15-20%), dan
akhir-akhir ini digunakan pula asam alfa-hidroksi (AHA) seperti asam glikolat (38%). 1
1) Sulfur bekrja sebagai keratolitik. Biasanya yang digunakan adalah sulfur
dengan tingkat terhalus, yaitu sulfur presipitatum (belerang endap) berupa
bubuk kuning kehijauan. Biasanya digunakan dalam bentuk bedak kocok.
Bedak kocok yang biasa digunakan adalah losio kumorfeldi, yang terdiri dari:
Camphorae 1 gram
Sulfur 6,6 gram
Etanol 90% 3 ml
Calcici hidroxy solutio 40 ml
7
pada saluran pilosebasea. Sifat iritasinya lebih kecil dan dapat ditolerir dengan
lokasi lain seperti leher, lengan atas dan glutea kadang-kadang terkena (gambar
2.3).2
----Erupsi biasanya berbentuk polimorf, terdapat komedo, papul yang tidak
meradang dan pustul, kista dan nodus yang meradang. Dapat disertai rasa gatal,
namun biasanya keluhan penderita berupa keluhan estetis. Komedo merupakan
gejala patognomonik bagi akne, berupa papul miliar yang ditengahnya
mengandung sumbatan sebum (lihat gambar 2.4). 2
Gambar 3 Lokasi akne vulgaris 13
Gambar 4 Ruam polimorf akne vulgaris 10
---Akne Venenata
----Merupakan erupsi setempat pada lokasi kontak dengan zat kimia yang
digunakan, terjadinya subkronis. Lesi pada umumnya monomorf berupa komedo
dan papul, dan tidak gatal. 2
---10
Folikulitis
----Folikulitis adalah peradangan pada folikel rambut, biasanya disebabkan oleh
infeksi Staphylococcus aureus. Folikulitis diklasifikasikan menjadi folikulitis
superfisialis, dimana lesinya hanya terbatas di dalam epidermis dan folikulitis
SARAN
Perlunya edukasi kepada pasien mengenai efek samping obat sehingga
pasien tidak menggunakan obat secara sembarangan.
Diperlukan ketrampilan dan ketelitian dalam melakukan anamnesis dan
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis erupsi akneformis.
---------14
DAFTAR PUSTAKA
1. Wasitaatmadja S. Akne, Erupsi Akneiformis, Rosasea, Rinofema, dalam Adhi
Djuanda, Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi ke 26, Jakarta: Balai
Pustaka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007; 235-41.
2. Lobo A, Mathai R, Jacob M. Pathogenesis of Drug Induced Acneform
Eruptions. Indian Journal Dermatology Venereol Leprol. 1992. 58(3): 159-63.
[diakses 19 Februari 2009]
3. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology 3 rd Edition. Oxford:
Blackwell Science Ltd, 2003. 148-56, 307-13
4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical Press. 2006. Access on: February 21, 2009. Available at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
5. Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM. Textbook of
Dermatology. Volume II. 6th Edition. London : Blackwell Science Ltd, 1998.
1973-5.
6. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment
Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003.
Access on: February 21, 2009. Available at: www.aafp.org/afp
7. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner.
Volume 15. Cardiff : Department of Dermatology University of Wales
College of Medicine, 1993. Access on: February 23, 2009. Available at:
http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf
8. Odom RB, James DW, Berger TG. Andrew's Disease of the Skin Clinical
Dermatology. Volume I, 9th Edition. Pennsylvania : WB. Saunders Company,
2000. 296-7.
9. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit Yang Umum Di IndonesiaSebuah Panduan Bergambar. Jakarta: PT. Medical Multimedia Indonesia,
2007. 45, 90-3.
10. Lawrence CP, Brenner S, Ramos-e-Silva M, Parish JL. Atlas of Women's
Dermatology: From Infancy to Maturity. London : Taylor & Francis, 2006.
43.
15
11. James WD. Acne. The New England Journal of Medicine. 2005; 352: 146372. Access on: February 21, 2009. Available
at:www.insp.mx/biblio/alerta/al0805/24.pdf
12. Soedirman et al, Acne Vulgaris, dalam Komite medik RSUP DR Sardjito,