1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
1.
2.
3.
4.
5.
tercantum rumusan Pancasila. Rumusan Pancasila tersebut secara Konstitusional sah dan benar
sebagai dasar negara RI yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh Rakyat Indonesia
Pancasila Berbentuk:
Hirarkis (berjenjang)
Piramid
Susunan Pancasila adalah hierarkis piramidal, pengertian matematis pyramidal untuk
menggambarkan hubungan hierarkhi sila-sila Pancasila dalam urutan luas (kuantitas) dan juga
hal isi sifatnya (kualitas). Kalau dilihat susunan sila-sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat
(gradual) dalam luas dan isi sifatnya. Kesatuan sila-sila Pancasila memiliki susunan yang
hierarki piramidal, maka Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis (landasan) dari sila
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Prikebangsaan;
Prikemanusiaan;
Priketuhanan;
Prikerakyatan;
Kesejahteraan Rakyat
Nasionalisme/Kebangsaan Indonesia;
Internasionalisme/Prikemanusiaan;
Mufakat/Demokrasi;
Kesejahteraan Sosial;
Ketuhanan yang berkebudayaan;
Presiden Soekarno mengusulkan ke-5 Sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila yaitu:
Sosio Nasional ;
2. Sosio Demokrasi;
3. Ketuhanan YME.
Dan masih menurut Ir. Soekarno Trisila masih dapat diperas lagi menjadi Ekasila atau Satusila
yang intinya adalah Gotong Royong.
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
Kemanusiaan yang adil dan beradab;
Persatuan Indonesia;
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan;
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia;
Kesimpulan dari bermacam-macam pengertian pancasila tersebut yang sah dan benar
secara Konstitusional adalah pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Uud 45, hal ini
diperkuat dengan adanya ketetapan MPRS NO.XXI/MPRS/1966 dan Inpres No. 12 tanggal 13
April 1968 yang menegaskan bahwa pengucapan, penulisan dan Rumusan Pancasila Dasar
Negara RI yang sah dan benar adalah sebagai mana yang tercantum dalam Pembukaan Uud
1945.
1.
2.
3.
4.
Pancasila merupakan konsep adaptif filsafat Barat. Hal ini merujuk pidato Sukarno di
BPUPKI dan banyak pendiri bangsa merupakan alumni Universitas di Eropa, di mana filsafat
barat merupakan salah satu materi kuliah mereka. Pancasila terinspirasi konsep humanisme,
rasionalisme, universalisme, sosiodemokrasi, sosialisme Jerman, demokrasi parlementer, dan
nasionalisme.
Filsafat Pancasila versi Soekarno
Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh Soekarno sejak 1955 sampai
berakhirnya kekuasaannya (1965). Pada saat itu Sukarno selalu menyatakan bahwa Pancasila
merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia dan akulturasi
budaya India (Hindu-Budha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam). Menurut Sukarno Ketuhanan
adalah asli berasal dari Indonesia, Keadilan Soasial terinspirasi dari konsep Ratu Adil. Sukarno
tidak pernah menyinggung atau mempropagandakan Persatuan.
Filsafat Pancasila versi Soeharto
Oleh Suharto filsafat Pancasila mengalami Indonesiasi. Melalui filsuf-filsuf yang
disponsori Depdikbud, semua elemen Barat disingkirkan dan diganti interpretasinya dalam
budaya Indonesia, sehingga menghasilkan Pancasila truly Indonesia. Semua sila dalam
Pancasila adalah asli Indonesia dan Pancasila dijabarkan menjadi lebih rinci (butir-butir
Pancasila). Filsuf Indonesia yang bekerja dan mempromosikan bahwa filsafat Pancasila adalah
truly Indonesia antara lain Sunoto, R. Parmono, Gerson W. Bawengan, Wasito Poespoprodjo,
Burhanuddin Salam, Bambang Daroeso, Paulus Wahana, Azhary, Suhadi, Kaelan, Moertono,
Soerjanto Poespowardojo, dan Moerdiono.
Berdasarkan penjelasan diatas maka pengertian filsafat Pancasila secara umum
adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap,
dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar,
paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
Dan kalau dibedakan filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis,
filsafast Pancasila digolongkan dalam arti praktis. Ini berarti bahwa filsafat Pancasila di dalam
mengadakan pemikiran yang sedalam-dalamnya, tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan
kebijaksanaan, tidak sekedar untuk memenuhi hasrat ingin tahu dari manusia yang tidak habishabisnya, tetapi juga dan terutama hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut
dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (pandangan hidup, filsafat hidup, way of the
life, Weltanschaung dan sebgainya); agar hidupnya dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin,
baik di dunia maupun di akhirat.
Selanjutnya filsafat Pancasila mengukur adanya kebenaran yang bermacam-macam
dan bertingkat-tingkat sebagai berikut:
Kebenaran indra (pengetahuan biasa);
Kebenaran ilmiah (ilmu-ilmu pengetahuan);
Kebenaran filosofis (filsafat);
Kebenaran religius (religi).
pada sifat-sifat dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, Pancasila adalah penjelmaan dari
kepribadian bangsa Indonesia, yang hidup di tanah air kita sejak dahulu hingga sekarang.
Pancasila mengandung unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa
Indonesia sebagai dasar negara, tetapi juga dapat diterima oleh bangsa-bangsa lain sebagai dasar
hidupnya. Pancasila bersifat universal dan akan mempengaruhi hidup dan kehidupan banga dan
negara kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi.
1.3 Filsafat Pancasila Sebagai Jiwa Dan Kepribadian Bangsa Indonesia
Menurut Dewan Perancang Nasional, yang dimaksudkan dengan kepribadian
Indonesia ialah : Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia, yang membedakan bangsa
Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia adalah
pencerminan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia sepanjang masa.
Garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia yang ditentukan oleh
kehidupan budi bangsa Indonesia dan dipengaruhi oleh tempat, lingkungan dan suasana waktu
sepanjang masa. Walaupun bangsa Indonesia sejak dahulu kala bergaul dengan berbagai
peradaban kebudayaan bangsa lain (Hindu, Tiongkok, Portugis, Spanyol, Belanda dan lain-lain)
namun kepribadian bangsa Indonesia tetap hidup dan berkembang. Mungkin di sana-sini,
misalnya di daerah-daerah tertentu atau masyarakat kota kepribadian itu dapat dipengaruhi oleh
unsur-unsur asing, namun pada dasarnya bangsa Indonesia tetap hidup dalam kepribadiannya
sendiri. Bangsa Indonesia secara jelas dapat dibedakan dari bangsa-bangsa lain. Apabila kita
memperhatikan tiap sila dari Pancasila, maka akan tampak dengan jelas bahwa tiap sila Pancasila
itu adalah pencerminan dari bangsa kita.
Oleh karena itu yang penting adalah bagaimana kita memahami, menghayati dan
mengamalkan Pancasila dalam segala segi kehidupan. Tanpa ini maka Pancasila hanya akan
merupakan rangkaian kata-kata indah yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yang
merupakan perumusan yang beku dan mati, serta tidak mempunyai arti bagi kehidupan bangsa
kita.
Apabila Pancasila tidak menyentuh kehidupan nyata, tidak kita rasakan wujudnya
dalam kehidupan sehari-hari, maka lambat laun kehidupannya akan kabur dan kesetiaan kita
kepada Pancasila akan luntur. Mungkin Pancasila akan hanya tertinggal dalam buku-buku sejarah
Indonesia. Apabila ini terjadi maka segala dosa dan noda akan melekat pada kita yang hidup di
masa kini, pada generasi yang telah begitu banyak berkorban untuk menegakkan dan membela
Pancasila.
d.
e.
f.
1.
2.
3.
4.
5.
Dalam Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 27 Desember 1945,
alinea IV.
Dalam Mukadimah UUD Sementara Republik Indonesia (UUDS RI) tanggal 17 Agustus 1950.
Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea IV setelah Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959.
Mengenai perumusan dan tata urutan Pancasila yang tercantum dalam dokumen
historis dan perundang-undangan negara tersebut di atas adalah agak berlainan tetapi inti dan
fundamennya adalah tetap sama sebagai berikut :
Pancasila Sebagai Dasar Falsafat Negara Dalam Pidato Tanggal 1 Juni 1945 Oleh Ir. Soekarno
Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Dalam Naskah Politik Yang Bersejarah (Piagam
Jakarta Tanggal 22 Juni 1945)
Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Dalam Pembukaan UUD 1945
Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Dalam Mukadimah Konstitusi RIS 1949
Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Dalam Mukadimah UUD Sementara RI (UUDS-RI
1950)
C. Perkembangan Penerapan Pancasila
Memahami peran Pancasila sekarang ini, khususnya dalam konteks filsafat nilai-nilai
yang terkandung didalamnya, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia
memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap
kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Apalagi manakala dikaji perkembangannya secara konstitusional terakhir ini
dihadapkan pada situasi yang tidak kondusif sehingga kridibilitasnya menjadi diragukan,
diperdebatkan, baik dalam wacana politis maupun akademis.
Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila telah
mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah bangsa Indonesia (Koento
Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan Pancasila sebagai dasar negara dalam tiga
tahap yaitu :
(1) tahap 1945 1968 sebagai tahap politis,
(2) tahap 1969 1994 sebagai tahap pembangunan ekonomi, dan
(3) tahap 1995 2020 sebagai tahap repositioning Pancasila.
Penahapan ini memang tampak berbeda lazimnya para pakar hukum ketatanegaraan
melakukan penahapan perkembangan Pancasila Dasar Negara yaitu :
(1) 1945 1949 masa Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama ;
(2) 1949 1950 masa konstitusi RIS ;
(3) 1950 1959 masa UUDS 1950 ;
(4) 1959 1965 masa orde lama ;
(5) 1966 1998 masa orde baru dan
(6) 1998 sekarang masa reformasi.
Hal ini patut dipahami, karena adanya perbedaan pendekatan, yaitu dari segi politik dan
dari segi hukum.
Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan
menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan
masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan
dan elan vitalnya. Sebab utamannya sudah umum kita ketahui, karena rejim Orde Lama dan Orde
Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa ini,
Pancasila harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap menjadi dasar dari
penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti globalisasi yang selalu mendikte, krisis
ekonomi yang belum terlihat penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang berpotensi
disintegrasi, dan segregasi sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan. Kelihatannya,
yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih
konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan perubahanperubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Di era reformasi ini ada gejala Pancasila ikut terdeskreditkan sebagai bagian dari
pengalaman masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi politik Pancasila pernah dipakai
sebagai legitimasi ideologis dalam membenarkan negara Orde Baru dengan segala sepak
terjangnya. Sungguh suatu ironi sampai muncul kesan di masa lalu bahwa mengkritik
pemerintahan Orde Baru dianggap anti Pancasila.
Jadi sulit untuk dielakkan jika ekarang ini muncul pendeskreditan atas Pancasila.
Pancasila ikut disalahkan dan menjadi sebab kehancuran. Orang gamang untuk berbicara
Pancasila dan merasa tidak perlu untuk membicarakannya. Bahkan bisa jadi orang yang
berbicara Pancasila dianggap ingin kembali ke masa lalu. Anak muda menampakkan kealpaan
bahkan phobia-nya apabila berhubungan dengan Pancasila. Salah satunya ditunjukkan dari
pernyataan Ketua Umum Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia M Danial Nafis pada
penutupan Kongres I GMPI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin, 3 Maret 2008 bahwa
kaum muda yang diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan
Pancasila. Pernyataan ini didasarkan pada hasil survey yang dilakukan oleh aktivis gerakan
nasionalis tersebut pada 2006 bahwa sebanyak 80 persen
mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5
persen responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup dan
hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan
hidup berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, rezim reformasi sekarang ini juga menampakkan diri untuk malu-malu
terhadap Pancasila. Jika kita simak kebijakan yang dikeluarkan ataupun berbagai pernyataan dari
pejabat negara, mereka tidak pernah lagi mengikutkan kata-kata Pancasila. Hal ini jauh berbeda
dengan masa Orde Baru yang hampir setiap pernyataan pejabatnya menyertakan kata kata
Pancasila Menarik sekali pertanyaan yang dikemukakan Peter Lewuk yaitu apakah Rezim
Reformasi ini masih memiliki konsistensi dan komitmen terhadap Pancasila? Dinyatakan bahwa
Rezim Reformasi tampaknya ogah
dan alergi bicara tentang Pancasila. Mungkin Rezim Reformasi mempunyai cara sendiri
mempraktikkan Pancasila. Rezim ini tidak ingin dinilai melakukan indoktrinasi Pancasila dan
tidak ingin menjadi seperti dua rezim sebelumnya yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi
kekuasaan. untuk melegitimasikan kelanggengan otoritarianisme Orde Lama dan otoritarianisme
Orde Baru Saat ini orang mulai sedikit- demi sedikit membicarakan kembali Pancasila dan
menjadikannya sebagai wacana publik. Beberapa istilah baru diperkenalkan untuk melihat
kembali Pancasila. Kuntowijoyo memberikan
pemahaman baru yang dinamakan radikalisasi Pancasila
Sesungguhnya jika dikatakan bahwa rezim sekarang alergi terhadap Pancasila tidak sepenuhnya
benar. Pernyataan tegas dari negara mengenai Pancasila menurut penulis dewasa ini adalah
dikeluarkannya ketetapan MPR No XVIII/ MPR /1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI
No II / MPR / 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya
Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai dasar Negara. Pada pasal 1
Ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Dokumen kenegaraan lainnya
adalah Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2004-2009. Salah satu kutipan dari dokumen tersebut menyatakan bahwa
dalam rangka Strategi Penataan Kembali Indonesia, bangsa Indonesia ke depan perlu secara
bersama-sama memastikan Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 tidak lagi
diperdebatkan. Untuk memperkuat pernyataan ini, Presiden Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada salah satu bagian pidatonya yang bertajuk "Menata Kembali Kerangka
Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila" dalam rangka 61 tahun hari lahir Pancasila
meminta semua pihak untuk menghentikan perdebatan tentang Pancasila sebagai dasar negara,
karena berdasarkan Tap MPR No XVIII /MPR/1998, telah menetapkan secara prinsip
Pancasila sebagai dasar negara
Berdasar uraian di atas menunjukkan bahwa di era reformasi ini elemen masyarakat
bangsa tetap menginginkan Pancasila meskipun dalam pemaknaan yang berbeda dari orde
sebelumnya. Demikian pula negara atau rezim yang berkuasa tetap menempatkan Pancasila
dalam bangunan negara Indonesia. Selanjutnya juga keinginan menjalankan Pancasila ini dalam
praktek kehidupan bernegara atau lazim dinyatakan dengan istilah melaksanakan Pancasila.
Justru dengan demikian memunculkan masalah yang menarik yaitu bagaimana melaksanakan
Pancasila itu dalam kehidupan bernegara ini.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pancoran Tujuh.
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pantjoran
Tujuh.
Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta