Anda di halaman 1dari 16

Infeksi spasia wajah

Fascia adalah suatu balutan jaringan pengikat yang mengelilingi struktur (seperti pelapis pada otot), dapat
menyebabkan peningkatan spasia (space) jaringan yang potensial dan jalur yang menyebabkan penyebaran
infeksi.
Spasia wajah adalah ruangan potensial yang dibatasi, ditutupi, atau dilapisi oleh lapisan jaringan ikat. Lapisanlapisan pada fascia menghasilkan spasia pada wajah yang kesemuanya terisi dengan jaringan pengikat longgar
areolar
Spasia wajah adalah area fascia-lined yang dapat dikikis atau membengkak berisi eksudat purulent. Spasia ini
tidak tampak pada orang yang sehat namun menjadi berisi ketika orang sedang mengalami infeksi. Ada yang
berisi struktur neurovascular dan disebut kompartemen, dan ada pula yang berisi loose areolar connective tissue
disebut cleft.
Infeksi odontogenic dapat berkembang menjadi spasia-spasia wajah. Proses pengikisan (erosi) pada infeksi
menembus sampai ke tulang paling tipis hingga mengakibatkan infeksi pada jaringan sekitar (jaringan yang
berbatasan dengan tulang). Berkembang atau tidaknya menjadi abses spasia wajah, tetap saja hal ini
dihubungkan dengan melekatnya tulang pada sumber infeksi. Kebanyakan infeksi odontogenik menembus
tulang hingga mengakibatkan abses vestibular. Selain itu terkadang dapat pula langsung mengikis spasia wajah
dan mengakibatkan infeksi spasia wajah. Penyakit odontogenik yang paling sering berlanjut menjadi infeksi
spasia wajah adalah komplikasi dari abses periapikal. Pus yang mengandung bakteri pada abses periapikal akan
berusaha keluar dari apeks gigi, menembus tulang, dan akhirnya ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah
spasia wajah. Gigi mana yang terkena abses periapikal ini kemudian yang akan menentukan jenis dari spasia
wajah yang terkena infeksi. Tulang hyoid merupakan struktur anatomis yang paling penting pada leher yang
dapat membatasi penyebaran infeksi
Spasia diklasikfikasikan menjadi spasia primer dan spasia sekunder. Spasia primer diklasifikasikan lagi menjadi
spasia primer maxilla dan spasia primer mandibula. Spasia primer maxilla terdapat pada canine, buccal, dan
ruang infratemporal. Sedangkan spasia primer mandibula terdapat pada submental, buccal, ruang
submandibular dan sublingual. Infeksi juga dapat terjadi di tempat-tempat lain yang disebut sebagai spasia
sekunder, yaitu pada Masseteric, pterygomandibular, superficial dan deep temporal, lateral pharyngeal,
retropharyngeal, dan prevertebral.
1.4.1

Spasia kanina

Spasia kanina merupakan ruang tipis di antara levator angulioris dan M. labii superioris. Spasia kanina
terbentuk akibat dari infeksi yang terjadi pada gigi caninus rahang atas. Gigi caninus merupakan satu-sarunya
gigi dengan akar yang cukup panjang untuk menyebabkan pengikisan sepanjang tulang alveolar superior hingga
otot atau facial expression. Infeksi ini mengikis bagian superior hingga ke dasar M. levator anguli oris dan
menembus dasar M. levator labii superior.
Ketika spasia ini terinfeksi, gejala klinisnya yaitu pembengkakan pipi bagian depan dan swelling pada
permukaan anterior menyebabkan lipatan nasolabial menghilang. Penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces
dapat menyerang daerah infraorbital dan sinus kavernosus.
1.4.2

Spasia bukal

Spasia bukalis terikat pada permukaan kulit muka pada aspek lateral dan M. buccinators dan berisi kelenjar
parotis dan n. facialis. Spasia dapat terinfeksi akibat perpanjangan infeksi dari gigi maxilla dan mandibula.
Penyebab utama infeksi spasia bukal adalah gigi-gigi posterior, terutama Molar maxilla. Spasia bukal menjadi
berhubungan dengan gigi ketika infeksi telah mengikis hingga menembus tulang superior hingga perlekatan M.
buccinators.

Gejala infeksi yaitu edema pipi dan trismus ringan. Keterlibatan spasia bukal dapat menyebabkan
pembengkakan di bawah lengkung zygomatic dan daerah di atas batas inferior dari mandibula. Sehingga baik
lengkung zygomatic dan batas inferior mandibula Nampak jelas pada infeksi spasi bukal.
1.4.3

Spasia mastikasi (masseter, pterygoid, temporal)

Jika infeksi spasia primer tidak ditangani secara tepat, infeksi dapat meluas ke arah posterior hingga melibatkan
spasia facial sekunder. Ketika spasia sekunder telah ikut terlibat, infeksi menjadi lebih berat, dapat
menyebabkan komplikasi hingga kematian, dan lebih sulit untuk ditangani. Hal ini dikarenakan spasia sekunder
dikelilingi oleh jaringan ikat fascia yang sedikit sekali mendapat suplai darah. Sehingga infeksi pada spasia ini
sulit ditangani tanpa prosedur pembedahan untuk mengeluarkan eksudat purulen.
Spasia masseter Spasia masseter berada di antara aspek lateral mandibula dan batas median m. masseter. Infeksi
ini paling sering diakibatkan penyebaran infeksi dari spasia bukalis atau dari infeksi jaringan lunak di sekitar
Molar ketiga mandibula. Ketika spasia masseter terlibat, area di atas sudut rahang dan ramus menjadi bengkak.
Inflamasi m. masseter ini dapat menyebabkan trismus
Spasia pterygomandibular Spasia pterygomandibular berada ke arah median dari mandibula dan ke arah lateral
menuju m. pterygoid median. Area ini merupakan area tempat penyuntikan larutan anastesi local disuntikan
ketika dilakukan block pada saraf alveolar inferior. Infeksi pada area ini biasanya merupakan penyebaran dari
infeksi spasia sublingual dan submandibula.
Infeksi pada area ini juga sering menyebabkan trismus pada pasien, tanpa disertai pembengkakan. Ini lah yang
menjadi dasar diagnosa pada infeksi ini
Spasia temporal Spasia temporal berada pada posterior dan superior dari spasia master dan pterygomandibular.
Dibagi menjadia dua bagian oleh m. temporalis. Bagian pertama yaitu bagian superficial yang meluas menuju
m. temporalis, sedangakn bagian kedua merupakan deep portion yang berhubungan dengan spasia
infratemporal. infeksi ini, baik superficial maupun deep portion hanya terlihat pada keadaan infeksi yang sudah
parah. Ketika infeksi sudah melibatkan spasia temporalis, itu artinya pembengkakan sudah terjadi di sepanjang
area temporal ke arah superior menuju arcus zygoamticus dan ke posterior menuju sekeliling mata.
Spasia masseter, pterygomandibular, dan temporal juga dikenal sebagai spasia matikator. Spasia ini saling
berhubungan, sehingga ketika salah satunya mengalami infeksi maka spasia lainnya berkemungkinan juga
terkena infeksi
1.4.4

Spasia submandibula dan sublingual

Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi berasal dari gigi molar mandibula
dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan dari pericoronitis. Gejala infeksi berupa pembengkakan pada
daerah segitiga submandibula leher disekitar sudut mandibula, perabaan terasa lunak dan adanya trismus
ringan.
Kedua spasia ini terbentuk dari perforasi lingual dari infeksi molar mandibula, dan dapat juga disebabkan
infeksi pada premolar. Yang membedakan infeksi tersebut apakah submandibula atau siblingual adalah
perlekatan dari M. mylohyoid pada ridge mylohyoid pada aspek medial mandibula. Jika infeksi mengikis
medial aspek mandibula di atas garis mylohyoid, artinya infeksi terjadi pada spasia lingual (sering terjadi pada
gigi premolar dan molar). Sedangkan jika infeksi mengikis aspek medial dari inferior mandibula hingga
mylohyoid line , spasia submandibular pun dapat terkena infeksi.
Molar ketiga mandibula paling sering menjadi penyebab spasia primer mandibula. Sedangkan molar kedua
mandibula dapat mengakibatkan baik spasia sublingual maupun submandibular.

Spasia sublingual berada di antara mucosa oral dasar mulut dan m. mylohyoid. Batas posteriornya terbuka
hingga berhubungan langsung dengan spasia submandibular dan spasia sekunder mandibula hingga aspek
posterior. Secara klinis, pada infeksi spasia sublingual sering terlihat pembengkakan intraoral, terlihat pada
bagian yang terinfeksi pada dasar mulut. Infeksi biasanya menjadi bilateral dan lidah menjadi terangkat
(meninggi)
Spasia submandibula berada di antara m. mylohyoid dan lapisan kulit di atasnya serta fascia superficial. Batas
posterior spasia submandibula berhubungan dengan spasia sekunder dari bagian posterior rahang. Infeksi pada
submandibular menyebabkan pembengakakan yang dimulai dari batas inferior mandibula hingga meluas secara
median menuju m. digastricus dan meluas ke arah posterior menuju tulang hyoid.
Ketika bilateral submandibula, sublingual dan submentalis terkena infeksi, inilah yang disebut dengan Ludwigs
angina. Infeksi ini menyebar dengan cepat kea rah posterior menuju spasia sekunder mandibula.
Sulit menelan hampir selalu terjadi pada infeksi ini, disertai dengan elevasi dan displacement lidah serta
pengerasan superior submandibula hingga tulang hyoid
Pasien yang mengalami infeksi ini biasanya mengalami trismus, mengeluarkan saliva, kesulitan menelan
bahkan bernafas yang dapat berkembang menjadi obstruksi nafas atas yang dapat menyebabkan kematian.
1.4.5

Spasia submental

Spasia submental berada di antara anterior bellies dari m. digastricus dan di antara m. mylohyoid dengan kulit
di atasnya. Spasia ini biasanya terjadi karena infeksi dari incisor mandibula. Incisor mandibula cukup panjang
untuk dapat menyebabkan infeksi mengikis bagian labial dari tulang apical hingga perlekatan m. mentalis.
Gejala infeksi berupa bengkak pada garis midline yang jelas di bawah dagu. Infeksi juga dapat terjadi pada
batas inferior mandibula hingga ke m. submentalis
1.4.6

Ludwigs Angina

Definisi Ludwigs Angina ialah keadaan dimana adanya sepsis cellulitis di regio submandibular. Kebanyakan
kasus, penyakit ini disebabkan oleh infeksi gigi molar rahang bawah hingga dasar mulut (akar gigi melekat
pada otot mylohyoid) karena ekstraksi. Infeksi ini berbeda dari jenis cellulitis post-ekstraksi lainnya. Hal utama
yang membedakannya adalah:
Indurasinya kuat. Adanya gangrene dengan keluarnya cairan serosanguinous yang meragukan ketika dilakukan
incise dan tidak jelas apakah itu adalah pus.
Spasia yang terlibat (submandinular, submental, sublingual) terbentuk bilateral.
Pasien biasanya dalam kondisi openmouth, dasar mulutnya elevasi dan lidahnya protusi. Kondisi ini yang
menyebabkan pasien sulit bernafas.
Etiologi Infeksi ini disebabkan oleh streptokokus hemolitik, walaupun bisa jadi disebabkan pula oleh miksturasi
antara bakteri aerob dan anaerob.
Gejala dan tanda klinis: sakit dan bengkak pada leher, leher menjadi merah, demam, saliva bertambah, lidah
bergerak kaku, dan ada edematous di larynx, lemah, lesu, mudah capek, rasa dingin, bingung dan perubahan
mental, dan kesulitan bernapas (gejala ini menunjukkan adanya suatu keadaan darurat) yaitu obstruksi jalan
nafas. Pasien Ludwig`s angina akan mengeluh bengkak yang jelas dan lunak pada anterior leher, jika dipalpasi
tidak terdapat fluktuasi.

Terapi Pada kasus ini pasien dapat diberi antibiotik dengan spektrum luas dan terapi suportif. Pada kasus akut
dilakukan tracheostomy. Jika tidak ada progress, dapat dilakukan pembedahan dengan dua alasan:untuk
melepaskan tekanan jaringan dan drainase.
Komplikasi Komplikasi paling serius dari Ludwig`s angina adalah adanya penekanan jalan nafas akibat
pembengkakan yang berlangsung hebat dan dapat menyebabkan kematian.
1.4.7

Spasia faringeal

Batas anatomi Spasia ini perluasan dari dasar tengkorak di tulang sphenoid menuju tulang hyoid di inferior dan
terletak antara otot pterygoid medial di aspek lateral dan superior faringeal konstriktor aspek medial. Di bagian
depan dibatasi oleh pterygomandibular raphe dan meluas ke bagian posteriomedia fascia prevertebral.
Prosessus styloid, associated muscles, dan facia membagi spasia ini menjadi kompartemen anterior yang
mengandung selubung carotid dan beberapa nervus cranial.
Gejala dan tanda klinis infeksi Tanda klinis yang terlihat ialah trismus yang cukup berat yang merupakan
keterlibatan otot pterygoid media; pembengkakan leher lateral, terutama sudut inferior mendibula; dan
pembengkakan dinding faringeal lateral.ke arah midline. Pasien dengan kasus ini biasanya sulit menelan dan
demam.
1.4.8

Spasia retrofaringeal

Batas anatomi Spasia ini terletak di belakangan jaringan lunak aspek posterior faring. Di bagian depan dibatasi
oleh konstriktor faringeal superior; bagian muka dan posterior oleh alar layer fascia prevetebral. Spasia ini
berawal dari dasar tengkoran dan meluas ke arah inferior di vertebra C7 atau T1, di mana fascia alar menyatu
dengan fascia buccopharyngeal
Gejala dan tanda klinis infeksi (1)Obstruksi jalan nafas atas yang serius sebagai hasil dari displacement
anterior dari dinding faringeal posterior ke arah faring.(2)Rupturnya abses spasia retrofaringeal dengan
masuknya pus ke paru-paru
1.4.9

Mediastinitis

Lokasi anatomi mediastinum Mediastinum adalah ruang ekstrapleura yang dibatasi sternum di sebelah depan,
kolumna vertebralis di sebelah belakang, pleura mediastinal di sebelah lateral kiri dan kanan, di superior oleh
thoracic inlet dan di inferior oleh diafragma. Mediastinum terdiri dari tiga area : anterosuperior mediastinum,
middle mediastinum, posterior mediastinum. Mediastinitis adalah peradangan di daerah mediastinum yang
terdiri dari mediastinitis akut dan kronik (fibrosing mediastinitis).
Penyebaran infeksi Dalam kasus ini faktor penyebab diperkirakan berasal dari otitis media yang berkembang
menjadi mastoiditis lalu menyebabkan osteitis dan periostitis yang akan mendestruksi korteks dari mastoid lalu
menyebar melalui fasia leher ke dalam mediatinum.
Gejala dan tanda klinis Pada kasus ini dijumpai gejala klinis berupa demam hilang timbul, sesak nafas, nyeri
menelan serta riwayat penyakit penyerta berupa diabetes, mastoiditis kronis dan infeksi telinga, pada
pemeriksaan fisik tak didapatkan kelainan. Gejala klinis ini sesuai dengan kepustakaan dimana demam yang
ditimbulkan bersifat lowgrade dan dapat menjadi hectic bila kontaminasi terhadap mediastinum terus
berlangsung, gejala lainnya dapat berupa pembengkakan pada daerah leher, nyeri pada substernal, nyeri pada
prekordial dalam, punggung dan epigastrium yang dapat menyerupai gejala akut abdomen.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai panas tinggi, takikardi, edema dari leher dan kepala, emfisema subkutan.
Pada orang dewasa distress pernafasan dapat terjadi yang mengindikasikan terjadinya pneumotorak atau efusi
pleura sedangkan pada anak anak dapat terjadi pernafasan stakato akibat nyeri saat bernafas.

Terapi Terapi pembedahan dengan kombinasi penggunaan antibiotik dalam kasus ini sudah tepat yaitu untuk
drainase abses sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan drainase abses dapat dengan torakotomi seperti
kasus diatas khususnya pada pasien yang sakit berat atau melalui pendekatan cervicomediastinal dimana insisi
pararel dengan M. sternokleidomastoideus, lalu diretraksi ke lateral, maka terdapat akses ke sarung karotis dan
ruang pretrakeal serta retroviseral, cara ini dapat digunakan untuk drainase mediastinum sampai ke level
vertebra torakal empat di posterior dan percabangan trakea di anterior. Aspek inferior mediastinum harus di
drainase transpleura / ekstrapleura, melalui bidang posterior dari iga yang bersangkutan. 1,2 Walaupun saat ini
telah diperkenalkan berbagai cara pencucian mediastinum yaitu : pendekatan subxiphoid, median sternotomy
dan thorakoskopi, tetapi posterolateral torakotomi tetap di rekomendasikan dan merupakan kombinasi terbaik
dengan CT scan toraks serial walaupun gejala klinis dari infeksi tak ditemukan. Trombolitik intrapleura dengan
dosis urokinase 5400 IU/Kg/hari dapat digunakan untuk penanganan komplikasi mediastinitis berupa empiema
sehingga cairan dapat di drainase melalui selang WSD.
1.4.10 Terapi infeksi spasia wajah
Ada lima hal yang ditempuh dalam dalam mengatasi infeksi spasia ini, diantaranya adalah:
Medical support untuk mengoreksi pertahanan imun, termasuk di dalamnya pemberian analgesic.
Pemberian antibiotik yang tepat, yakni dosis tinggi bakterisidal yang diberikan secara intravena.
Surgical removal
Surgical drainage
Evaluasi konstan dari perawatan infeksi
Osteomielitis
Osteomyelitis rahang adalah suatu infeksi yang ekstensif pada tulang rahang, yang mengenai spongiosa,
sumsum tulang, kortex, dan periosteum. Infeksi terjadi pada bagian tulang yang terkalsifikasi ketika cairan
dalam rongga medullary atau dibawah periosteum mengganggu suplai darah. Tulang yang terinfeksi menjadi
nekrosis ketika ischemia terbentuk. Perubahan pertahanan host yang mendasar terdapat pada mayoritas pasien
yang mengalami ostemyelitis pada rahang. Kondisi-kondisi yang merubah persarafan tulang menjadikan pasien
rentan terhadap onset ostemielitis, kondisi-kondisi ini antara lain radiasi, osteoporosis, osteopetrosis, penyakit
tulang Paget, dan tumor ganas tulang.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat osteomyelitis, serupa dengan komplikasi yang disebabkan oleh infeksi
odontogen, dapat merupakan komplikasi ringan sampai terjadinya kematian akibat septikemia, pneumonia,
meningitis, dan trombosis pada sinus kavernosus. Diagnosis yang tepat amat penting untuk pemberian terapi
yang efektif, sehingga dapat memberikan prognosis yang lebih baik.
2.1 Definisi
Istilah osteomyelitis pada literatur berarti inflamasi sumsum tulang. Secara klinis, osteomyelitis biasanya
diartikan infeksi dari tulang. Dimulai dari cavitas medulla (medullary cavity), melibatkan tulang spongiosa
(cancellous bone) yang kemudian menyebar ke tulang kortikal bahkan terkadang sampai ke periosteum.
Osteomyelitis dental atau yang disebut osteomyelitis rahang adalah keadaan infeksi akut atau kronik pada
tulang rahang, biasanya disebabkan karena bakteri.
2.2 Klasifikasi
Bertahun-tahun banyak cara untuk menentukan klasifikasi osteomyelitis. Sistem klasifikasi yang paling
kompleks
dikemukakan
oleh
Ciemy,dkk.
Osteomyelitis
diklasifikasikan

bedasarkan suppurativedan nonsupurative oleh Lewd van Waldvogel. Klasifikasi ini kemudian dimodifikasi
oleh Topazian:
Osteomielitis supuratif
Osteomielitis nonsupuratif
Osteomielitis
supuratif Osteomielitis
sclerosis
akut
kronis

Fokal

Difus
Osteomielitis
supuratif Osteomielitis Garre
kronis

Primer

Sekunder
Osteomielitis pada anak
Osteomielitis aktinimikosa
Osteomielitis radiasi
Sistem lainnya dikemukakan oleh Hudson yang membagi osteomyelitis menjadi bentuk akut dan kronik.
Dengan beberapa macam klasifikasi, kontroversi klasifikasi osteomyelitis jelas terjadi.
A

FIGURE 17-2 A, Panoramic view of extraction site of tooth no. 32 in an otherwise healthy 32-year-old
patient. The patient experienced multiple episodes of pain and swelling in the right posterior mandible after
tooth no. 32 was removed. B, Close-up of the panoramic view of the no. 32 site. C,Axial computed tomography
scan of the no. 32 site. D, Coronal computed tomography scan of the no. 32 site. Note the moth-eaten bone and
bone sequestrum. E, Transoral dbridements of the right posterior mandible. F, Bone dbrided and adjacent
tooth no. 31 removed. Tissue eas sent for culture and sensitivity and histopathology.
Acute Osteomyelitis
Contigous focus
Progressive
Hematogenous

Chronic osteomyelitis
Chronic sclerosing osteomyelitis
Recurrent multifocal
Chronic suppurative osteomyelitis
Garres
Suppurative/ non suppurative
2.3 Faktor predisposisi
Sclerosing

Faktor predisposisi utamanya ialah fraktur mandibula dan didahului oleh infeksi odontogenik. Dua kejadian ini
jarang menyebabkan infeksi pada tulang kecuali jika ketahanan tubuh host mengalami gangguan
seperti alcoholism malnutritional syndrome, diabetes, kemoterapi penyakit kanker yang dapat menurunkan
system imun pada seseorang, penyakit myeloproliferative seperti leukemia. Pengobatan yang berhubungan
dengan osteomylitis adalah steroid, agen kemoterapi, dan bisphonate. Kondisi lokal yang kurang baik
memengaruhi suplay darah dapat menjadi predisposisi host pada infeksi tulang. Terapi radiasi, osteopetrosis,
dan pathologi tulang dapat memberikan kedudukan yang potensial bagi osteomyelitis.
2.4 Etiologi dan pathogenesis
Penyebab utama yang paling sering dari osteomyelitis adalah penyakit-penyakit periodontal (seperti gingivitis,
pyorrhea, atau periodontitis, tergantung seberapa berat penyakitnya). Bakteri yang berperan menyebabkan
osteomyelitis sama dengan yang menyebabkan infeksi odontogenik, yaitustreptococcus, anaerobic
streptococcus seperti Peptostreptococcus spp,
dan
batang
gram
negatif
pada
genus Fusobacterium dan Prevotella. Cara membedakan osteomyelitis mandibula dengan osteomyelitis pada
tulang lain ialah dari pus yang mengandung Staphylococcus sehingga staphylococci merupakan bakteri
predominan.

Penyebab osteomyelitis yang lain adalah tertinggalnya bakteri di dalam tulang rahang setelah dilakukannya
pencabutan gigi. Ini terjadi karena kebersihan operasi yang buruk pada daerah gigi yang diekstraksi dan
tertinggalnya bakteri di dalamnya. Hal tersebut menyebabkan tulang rahang membentuk tulang baru di atas
lubang sebagai pengganti pembentukan tulang baru di dalam lubang, dimana akan meninggalkan ruang kosong
pada tulang rahang (disebut cavitas). Cavitas ini ditemukan jaringan iskemik (berkurangnya vaskularisasi),
nekrotik, osteomielitik, gangren dan bahkan sangat toksik. Cavitas tersebut akan bertahan, memproduksi toksin
dan menghancurkan tulang di sekitarnya, dan membuat toksin tertimbun dalam sistem imun. Bila sudah sampai
keadaan seperti ini maka harus ditangani oleh ahli bedah mulut.
Penyebab umum yang ketiga dari osteomyelitis dental adalah gangren radix. Setelah gigi menjadi gangren radix
yang terinfeksi, diperlukan suatu prosedur pengambilan, tetapi seringnya tidak komplit diambil dan tertinggal di
dalam tulang rahang, selanjutnya akan memproduksi toksin yang merusak tulang di sekitarnya sampai gigi dan
tulang nekrotik di sekitarnya hilang.
Pada pembedahan gigi, trauma wajah yang melibatkan gigi, pemakaian kawat gigi, atau pemasangan alat lain
yang berfungsi sebagai jembatan yang akan membuat tekanan pada gigi (apapun yang dapat menarik gigi dari
socketnya) dapat menyebabkan bermulanya osteomyelitis.
Selain penyebab osteomyelitis di atas, infeksi ini juga bisa di sebabkan trauma berupa patah tulang yang
terbuka, penyebaran dari stomatitis, tonsillitis, infeksi sinus, furukolosis maupun infeksi yang hematogen
(menyebar melalui aliran darah). Inflamasi yang disebabkan bakteri pyogenik ini meliputi seluruh struktur yang
membentuk tulang, mulai dari medulla, kortex dan periosteum dan semakin parah pada keadaan penderita
dengan daya tahan tubuh rendah.
Invasi bakteri pada tulang spongiosa menyebabkan inflamasi dan edema di rongga sumsum (marrow spaces)
sehingga menekan pembuluh darah tulang dan selanjutnya menghambat suplay darah. Kegagalan
mikrosirkulasi pada tulang spongiosa merupakan faktor utama terjadinya osteomyelitis, karena area yang
terkena menjadi iskemik dan tulang bernekrosis. Selanjutnya bakteri berproliferasi karena mekanisme
pertahanan yang banyak berasal dari darah tidak sampai pada jaringan dan osteomyelitis akan menyebar sampai
dihentikan oleh tindakan medis.
Pada regio maxillofacial, osteomyelitis terutama terjadi sebagai hasil dari penyebaran infeksi odontogenik atau
sebagai hasil dari trauma. Hematogenous osteomyelitis primer langka dalam region maxillofacial, umumnya
terjadi pada remaja. Proses dewasa diinisiasi oleh suntikan bakteri kedalam tulang rahang. Ini dapat terjadi
dengan ekstraksi gigi, terapi saluran akar, atau fraktur mandibula/maksila. Awalnya menghasilkan dalam bakteri
yang diinduksi oleh proses inflamasi. Dalam tubuh host yang sehat, proses ini dapat selflimiting dan component dapat dihilangkan. Terkadang, dalam host normal dan compromised host, hal ini
potensial untuk proses dalam kemajuannya kepada titik dimana mempertimbangkan patologik. Dengan
inflamasi, terdapat hyperemia dan peningkatan aliran darah ke area yang terinfeksi. Tambahan leukosit
didapatkan ke area ini untuk melawan infeksi. Pus dibentuk ketika suplay bakteri berlimpah dan debris sel tidak
dapat dieliminasi oleh mekanisme pertahanan tubuh. Ketika pus dan respon inflamasi yang berikutnya terjadi di
sumsum tulang, tekanan intramedullary ditingkatkan dibuat dengan menurunkan suplay darah ke region ini. Pus
dapat berjalan melewati haversian dan volkmanns canal untuk menyebarkan diseluruh tulang medulla dan
cortical. Point terakhir yang terjadi adalah ketika pus keluar jaringan lunak dari intraoral atau ektraoral fistulas.
Walaupun maksila dapat terkena osteomyelitis, hal itu sangat jarang bila dibandingkan dengan mandibula.
Alasan utamanya adalah bahwa peredaran darah menuju maksila lebih banyak dan terbagi atas beberapa arteri,
dimana membentuk hubungan kompleks dengan pembuluh darah utama. Dibandingkan dengan maksila,
mandibula cenderung mendapat suplai darah dari arteri alveolar inferior. Alasan lainnya adalah
padatnya overlying cortical bone mandible menghambat penetrasi pembuluh darah periosteal.
2.5 Simptom dan tanda klinis

Gejala awalnya seperti sakit gigi dan terjadi pembengkakan di sekitar pipi, kemudian pembengkakan ini
mereda, selanjutnya penyakitnya bersifat kronis membentuk fistel kadang tidak menimbulkan sakit yang
membuat menderita.
Pasien dengan osteomyelitis regio maxillofacial dapat memperlihatkan gejala klasik, yaitu:
Sakit
Pembengkakkan dan erythema dari overlying tissues
Adenopathy
Demam intermittent
Paresthesia pembuluh darah alveolar inferior
Gigi goyang
Trismus
Malaise
Fistulas/fistel (saluran nanah yang bermuara di bawah kulit)
Pada osteomylitis akut sering terjadi pembengkakan dan erythema jaringan. Demam sering muncul dalam
osteomyelitis akut. Paresthesia inferior alveolar nerve adalah tanda klasik dari tekanan pada inferior alveolar
nerve dari proses inflamasi dalam tulang medulla mandibula. Trismus mungkin ada jika ada respon inflamasi
dalam otot mastikasi dari regio maxillofacial. Pasien biasanya malaise dan lelah, yang akan menyertai beberapa
infeksi sistemik. Akhirnya baik intraoral maupun ekstraoral, fistulas biasa terjadi pada fase kronik osteomyelitis
regio maxillofacial.
periapical and interdental osteolytic lesion pada regio anterior mandibula, 3 minggu setelah onset gejala
klinis osteomyelitis
Pada fase akut osteomyelitis, terlihat leukocytosis dengan left shift, biasa dalam beberapa infeksi akut.
Leukocytosis relatif banyak dalam fase kronis osteomylitis. Pasien mungkin juga menunjukkanerythrocyte
sedimentation rate (ESR) and C-reactive protein (CRP) yang tinggi. Baik ESR maupun CRP adalah indikator
yang sangat sensitif dari inflamasi tubuh dan sangat tidak spesifik. Oleh karena itu, keduanya digunakan
mengikuti kemajuan klinis osteomylitis.
Acute suppurative osteomyelitis menunjukkan perubahan radiografik yang sedikit atau tidak sama sekali, sebab
membutuhkan 10-12 hari untuk dapat melihat perubahan kerusakan tulang secara radiografi. Chronic
osteomyelitis menunjukkan destruksi tulang pada area yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan banyaknya
daerah radiolusen yang bentuknya biasanya seragam. Juga bisa terdapat daerah radiopak di dalam daerah yang
radiolusen. Daerah radiopak ini seperti sebuah pulau yang merupakan tulang yang tidak mengalami resorbsi
yang disebut sequestra (moth-eaten appearance).
2.6 Pengobatan
Terapi osteomyelitis terdiri dari medis dan pembedahan. Acute osteomyelitis rahang utamanya diobati dengan
pemberian antibiotik yang sesuai. Antibiotika ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan sensitivitas bakteri,
dan selama menunggu sebelum ada hasilnya, dapat diberikan penisilin sebagaidrug of choice. Bila pasien
menderita osteomielitis akut yang hebat, perlu dirawat inap untuk dapat diberikan antibiotika intra vena. Pilihan
antibiotik biasanya clindamycin, karena sangat efektif melawan streptococci dan bakteri anaerob yang biasanya
ada pada osteomyelitis.. Pembedahan padaacute suppurative osteomyelitis biasanya terbatas. Biasanya hanya

dilakukan pencabutan gigi yang non-vital pada sekitar daerah yang terifeksi. Terapi pada chronic
osteomyelitis membutuhkan tidak hanya antibiotic tetapi juga terapi pembedahan. Clindamycin merupakan
pilihan obat utama. Mengkultur material penginfeksi juga sebaiknya dilakukan agar dapat diberikan antibiotik
yang lebih spesifik.
Pemberian antibiotik pada terapi untuk acute dan chronic osteomyelitis ini lebih lama dibandingkan infeksi
odontogenik yang biasa. Untuk acute osteomyelitis ringan, antibiotic diberikan hingga 4 minggu. Akan tetapi
pada acute osteomyelitis berat, antibiotic terus diberikan hingga 6 bulan.
2.7 Jenis osteomielitis
2.7.1

Osteomyelitis Supuratif

Dulu diduga mikroba penyebab utama osteomyelitis rahang adalah Staphylococcus aureus, sama dengan
penyebab osteomyelitis pada tulang panjang. Belakangan diketahui hanya kadang-kadang saja mikroba ini
ditemukan pada osteomyelitis rahang, terutama pada kasus osteomyelitis dengan luka ekstra oral yang
terinfeksi. Dari sumbernya infeksi mencapai tulang langsung melalui perluasan penyakit, secara hematogen
atau langsung mengenai tulang misalnya pada compound fracture.
Pada osteomyelitis supuratif akut, setelah infeksi masuk ke dalam medula terjadi inflamasi supuratif disini.
Dengan terbentuk dan terkumpulnya pus, tekanan dalam medula menjadi besar, mendorong infeksi meluas
sepanjang spongiosa medial dan lateral ke bagian korteks tulang, menembus sistem Havers dan Volkman
mencapai periosteum. Tekanan ini juga menyebabkan kolapsnya kapiler, stasis dan iskemi di daerah radang
mengakibatkan kematian fragmen-fragmen trabekula. Sementara itu pus yang mencapai periosteum terkumpul
di bawah periosteum, sehingga periosteum terangkat dari tulang, memutuskan suplai darah ke dalam tulang,
akibatnya terjadi iskemi diikuti dengan kematian tulang, dan tulang mati ini disebut sekuester.
Pada proses selanjutnya periosteum ruptur dan tembus karena tekanan tersebut, sehingga pus dan infeksi
mencapai jaringan lunak. Tempat tembusnya ini bisa pada satu tempat atau pada beberapa tempat membentuk
saluran sinus (fistel) yang multipel. Meskipun periosteum terangkat dari tulang dan terkena infeksi, namun
sebagian sel-selnya bertahan hidup yang kemudian bila fase akutnya lewat, akan membentuk lapisan tulang
baru di atas sekuester yang disebut involukrum, dimana involukrum ini cenderung mengurung sekuester dan
mencegahnya keluar. Involukrum ditembus oleh sinus yang merupakan jalan keluar pus yang disebut kloaka.
Pada bayi dan anak, osteomyelitis supuratif lebih banyak menyerang maksila dan terjadi secara hematogen
dengan sumber infeksi berupa abrasi kecil atau luka dikulit yang terjadi waktu dilahirkan, luka di daerah mulut
dengan mikroorganisme berasal dari vagina atau susu ibunya.
Gejala klinis
Osteomyelitis supuratif akut, umumnya didahului oleh rasa sakit yang berlanjut dengan pembengkakan pada
muka. Penderita mengeluh sakit hebat yang berlokasi dalam disertai demam (kadang-kadang demam tinggi)
dan malaise. Bila yang terkena mandibula, sakitnya terasa menyebar sampai telinga disertai parestesi bibir.
Pembengkakan ini baru timbul setelah terjadinya periosteitis, yang ditandai dengan kemerahan pada kulit atau
mukosa. Di samping itu penderita sukar membuka mulut (trismus). Gigi-gigi pada rahang yang terkena terasa
sakit pada oklusi, menjadi goyang karena terjadinya destruksi tulang. Gingiva bengkak (edema) dan pus keluar
dari margianal gingiva atau fistel multipel pada mukosa. Bila yang terkena maksila bagian anterior, tampak
bibir membengkak dan menonjol serta infeksi bisa menyebar ke daerah pipi. Jika yang terkena maksila bagian
posterior, pipi dan infra orbita membengkak dan dengan terkenanya infra orbita ini bisa disertai dengan
penonjolan bola mata. Infeksi ini disertai dengan limfadenopati regional.
Osteomyelitis kronis terjadi setelah stadium akut menjadi reda. Osteomyelitis kronis yang melalui fase akut ini
disebut Osteomyelitis supuratif kronis sekunder. Sedangkan osteomyelitis kronis yang terjadi tanpa melalui atau

memperlihatkan fase akut, dimana terus berjalan dengan ringan, disebut osteomyelitis supuratif kronis primer,
dan osteomyelitis tipe ini jarang terjadi.
Gambaran klinis osteomyelitis kronis sama dengan yang akut, hanya gejala-gejalanya lebih ringan. Rasa sakit
sudah berkurang, tapi demam masih ada. Gigi-gigi yang goyang pada fase akut kegoyangannya berkurang dan
dapat berfungsi kembali meskipun terasa kurang sempurna. Parestesi bibir berkurang bahkan mungkin juga
hilang, trismus perlahan-lahan berkurang sehingga penderita merasa lebih enakan. Supurasi dan abses lokal
tetap ada dan membentuk fistel multipel pada mukosa dan kulit, tempat keluarnya pus dan tulang-tulang
nekrosis.
Pada keadaan lebih lanjut mungkin sudah tampak sekuester, sebagai tulang yang terbuka ataupun suatu fraktura
patologis. Eksaserbasi akut dari stadium kronis dapat terjadi secara periodik dengan gejala-gejala sama seperti
osteomielitis akut.
Pengobatan
Antibiotika adalah yang pertama dan utama diberikan. Antibiotika diberikan sedini mungkin dengan dosis masif
secara parenteral. Dosis yang tidak adekuat dapat membuat mikroorganisme resisten.
Drainase harus dibuat sesegera mungkin, untuk mengeluarkan pus, mengurangi absorpsi bahan toksis,
mencegah penyebaran infeksi di dalam tulang dan memberi jalan untuk terlokalisasinya penyakit. Drainase bisa
berupa ekstraksi gigi yang menjadi infeksi primer dan gigi lainnya yang terkena penyakit dan pada ekstraksi ini
kalau mungkin septum inter radikuler juga diangkat untuk mendapatkan drainase yang cukup.
Pada kasus akut yang berat, penderita dirawat inap dan harus mendapat istirahat yang cukup. Diberikan diet
makanan dengan tinggi kalori dan tinggi protein serta multivitamin yang memadai. Rasa sakit ditanggulangi
dengan analgesik atau sedatif.
Sekuesterektomi (intervensi bedah) berupa pengangkatan sekuester dilakukan sesudah fase akut reda dan
diindikasikan bila sekuester memang sudah tampak pada foto (fase kronis). Pada fase ini penderita dan
antibiotika telah dapat mengatasi virulensi bakteri. Di samping sekuesterektomi, pada beberapa kasus dimana
timbul lubang besar, perlu dilakukan dekortisasi dan suserisasi, agar periosteum yang dilepaskan dari tulang
dapat dikembalikan menutup dan kontak dengan permukaan tulang, sehingga mempercepat penyembuhan. Pada
kasus yang disertai dengan fraktura patologis dilakukan fiksasi rahang.
2.7.2

Osteomyelitis Non Supuratif

2.7.2.1 Osteomyelitis sklerosis fokal kronis


Pada osteomyelitis sklerosis dan osteomyelitis Garre, infeksi berjalan kronis, daya tahan tubuh penderita tinggi
dan virulensi mikroorganisme rendah, maka yang terjadi adalah neoosteogenesis dimana sejumlah tulang
terbentuk dan diletakkan sekitar fokus infeksi dalam ruang medula menyebabkan penambahan densitas dan
sklerosis tulang pada bagian perifer daerah infeksi. Neogenesis ini bila berlangsung dalam periode waktu yang
lama memberi gambaran sklerosis padat.
Osteomyelitis skerosis fokal kronis umumnya terjadi pada orang muda usia di bawah 20 tahun, terjadi pada
apeks gigi. Gigi yang terkena biasanya molar pertama permanen dengan infeksi periapikal ringan yang
mengakibatkan sklerosis di sekitar apeks gigi. Secara klinis tidak memberikan gejala, selain adanya sakit ringan
sehubungan dengan adanya infeksi pulpa.
Gigi yang merupakan sumber infeksi bisa dipertahankan dengan pengobatan endodontik, atau bisa juga
diekstraksi. Bagian tulang yang padat ini kadang-kadang tidak mengalami remodelisasi dan tetap tampak pada
foto meskipun sudah bertahun-tahun. Ini membuktikan daya tahan tubuh yang dapat mengatasi infeksi, karena
itu tidak perlu pengangkatan tulang sklerosis tersebut, kecuali kalau timbul keluhan.

2.7.2.2 Osteomyelitis Sklerosis Difus Kronis


Osteomyelitis jenis ini bisa terjadi pada semua umur. Namun seringkali ditemukan pada orang yang sudah
berumur terutama pada mandibula yang sudah tidak bergigi atau daerah yang tidak bergigi. Penyakit ini pada
dasarnya merupakan penyakit tersembunyi, tidak diketahui kehadirannya secara klinis. Kadang-kadang tampak
eksaserbasi dari suatu infeksi yang sebelumnya tidak tampak, dengan pembentukan fistel spontan ke permukaan
mukosa. Dalam keadaan ini penderita mengeluh sakit yang samar, dan rasa tidak enak di mulut, gejala klinis
lain tidak ditemukan.
Pengobatan untuk osteomyelitis sklerosis difus kronis merupakan masalah yang sulit. Lesinya biasanya terlalu
luas untuk diambil dengan pembedahan, sedang pihak lainnya sering terjadi eksaserbasi akut. Pada fase akut
bisa diberikan antibiotika. Lesi ini tidak terlalu membahayakan karena tidak destruktif dan jarang menimbulkan
komplikasi.
Jika pada daerah sklerosis ada gigi yang perlu diekstraksi hendaknya diperhitungkan kemungkinan terjadinya
infeksi dan lamanya penyembuhan luka pasca ekstraksi, sebab bagian tulang ini avaskuler dan kurang bereaksi
terhadap infeksi. Karena itu kalau giginya akan diekstraksi, hendaknya melalui pendekatan berupa pengambilan
tulang yang cukup untuk memudahkan ekstraksi dan menambahkan pendarahan. Pada kasus dengan
pengambilan tulang yang banyak, defeknya bisa diperbaiki dengan transplantasi tulang.
2.7.3

Osteomyelitis Aktinomikosis

Aktinomikosis adalah infeksi yang bermanifestasi supuratif granulomatus, menyerang jaringan lunak dan
tulang. Penyakit ini membentuk sinus yang mengeluarkan granula sulfur yang menyebar menembus batas
anatomi bila bakteir komensal menginvasi jaringan servikofasial, toraks dan abdomen. Jaringan diserang
melalui ekstensi langsung atau melalui hematogen.
Penyebab penyakit ini adalah Actinomyces israelii, suatu bakteri gram positif, mikroaerofili, tidak membentuk
spora dan tidak tahan asam. Infeksi oleh aktinomises terjadi pada jaringan yang rusak atau yang meradang
bersama-sama dengan mikroba lainnya seperti Bacteroides. Mikroorganisme masuk ke dalam jaringan lunak
secara langsung atau dengan perluasan dari tulang melalui lesi periapikal atau periodontal, fraktura dan luka
ekstraksi. Kemudian infeksi menyebar dan cenderung muncul pada permukaan kulit daripada mukosa oral.
Gejala klinis
Tampak pembengkakan pada jaringan lunak kulit, tegas, keungu-unguan atau merah gelap, berminyak dengan
daerah-daerah kecil yang menunjukkan fluktuasi. Dapat terjadi drainase cairan serus yang mengandung materi
granuler. Bila ditekan pada kain kasa, granule ini merupakan massa yang kekuning-kuningan, disebut granula
sulfur, yang merupakan koloni bakteri dan dapat dilihat di bawah mikroskop. Ada limfadenopati regional, tidak
ada trismus, kecuali bila terjadi infeksi sekunder dan tidak ada keluhan demam ataupun sakit.
Penisilin merupakan obat pilihan. Dosis dan lama pengobatan tergantung kepada keparahan penyakit. Pada
penderita yang alergi terhadap penisilin, bisa diberikan tetrasiklin, terutama minosiklin, 250 mg 4 kali sehari
selama 8 sampai 16 minggu, atau eritromisin 500 mg, 4 kali sehari selama 6 bulan.
Obat pilihan keduanya doksisiklin atau minosiklin yang diberikan satu kali sehari. Pemberian obat yang lama
ini adalah untuk mencegah terjadinya rekuren. Radiograf dibuat secara periodik untuk memonitor perubahan
pada tulang. Kadang-kadang perlu sekusterektomi dan sauserisasi. Aktinomikosis meninggalkan jaringan parut
pada kulit dan memerlukan bedah kosmetik.
2.7.4

Osteomyelitis radiasi dan nekrosis

Radiasi merupakan salah satu cara terapi untuk kanker maksilofasial, di samping pembedahan dan kemoterapi.
Komplikasi pada tulang adalah osteoradionekrosis, yaitu penyakit pada tulang yang terkena radiasi yang

menimbulkan rasa sakit, hilangnya tulang serta cacat muka sehingga menunjukkan sebagai suatu luka yang
tidak sembuh diakibatkan oleh hipoksia, hiposelulariti dan hipovaskularisasi dari tulang yang terkena radiasi.
Mandibula umumnya lebih sering terkena daripada maksila, karena kebanyakan tumor mulut terdapat di
mandibula. Tidak adanya korteks yang padat dan kaya akan jaringan pembuluh darah di maksila menyebabkan
maksila jarang terkena nekrosis radiasi. Radiasi melebihi 5000 rad mengakibatkan kematian sel-sel tulang yang
berakibat arteritis progresif. Pembuluh-pembuluh darah di periosteum, dan alveolaris inferior sangat terkena.
Terjadi nekrosis asepsis bagian tulang yang langsung terkena sinar, dengan akibat kurangnya vaskularisasi pada
tulang dan jaringan lunaknya. Respons terhadap infeksi menjadi sangat menurun. Selama jaringan lunak tidak
rusak, tulang akan berfungsi normal.
Bila tulang terkena infeksi dari kulit, maka mikroorganisme yang biasa ditemukan adalahStaphylococcus
aurens dan Staphylococcus epidermidis.
Gejala utama dari osteoradionekrosis adalah rasa sakit dari tulang yang terbuka. Pada permulaan, penderita
mengeluh trismus, halitosis dan kenaikan suhu tubuh, meskipun tidak ada infeksi akut. Tulang terbuka yang
berwarna kekuning-kuningan tampak bersama fistel intra oral dan mungkin disertai dengan adanya fraktur
patologis.
Tulang terbuka ini permukaannya kasar dan menyebabkan abrasi jaringan lainnya yang menambah rasa tidak
enak bagi penderita. Jaringan sekitar tulang terbuka menjadi indurasi, keras dan ulserasi karena infeksi atau
tumor yang rekuren. Jika indurasi persisten sesudah infeksi dikuasai dengan irigasi dan antibiotika, maka jika
perlu atau jika ulserasi tetap ada, harus dilakukan biopsi.
Pengobatan awal adalah pemberian antibiotika bila ada infeksi. Jika ada gejala toksis dan dehidrasi, penderita
dirawat inap untuk pemberian cairan dan antibiotika IV. Penisilin merupakan obat pilihan pertama, diberikan
500 mg peroral 4 kali sehari. Irigasi ringan pada tepi jaringan lunak sangat berguna untuk membersihkan debris
dan mengurangi inflamasi. Bila terbentuk abses atau fistula kulit, kultur aerob dan anaerob dibuat untuk melihat
sensitivitas bakteri, dan penentuan antibiotika yang sesuai.
3. Noma
3.1 Definisi
Cancrum oris atau noma merupakan suatu penyakit gangren yang menyebar dengan cepat dan memengaruhi
jaringan padat dan lunak dari wajah, biasanya disebabkan oleh spirochaeta anaerob. Cancrum oris biasanya
menyerang anak-anak umur 2-5 tahun. Penyebab pasti penyakit ini sebenarnya masih tidak diketahui. Akan
tetapi, oral hygiene yang buruk, sistem imun yang lemah,past history campak, scarlet fever, tifoid, malaria,
tuberculosis, kanker, dan HIV merupakan faktor predisposisi.
3.2 Gambaran klinis
Cancrum oris memiliki gejala seperti spot kemerahan atau keunguan yang sakit pada margin alveolar,
umumnya terdapat pada regio molar atau premolar. Biasanya diikuti ulserasi yang sangat cepat dan mengenai
jaringan tulang. Ulserasi biasa terdapat pada lipatan labiogingival dan mukosa bibir dan pipi. Anak pada tahap
ini mengalami sore mouth, fetid odor, swollen, dan tender lips and cheek, profuse salivation dan foul foctor.
Dalam dua atau tiga hari bisa terdapat diskolorisasi menjadi hitam pada bagian luar bibir, pipi dan proses
gangrenous akan menjalar ke hampir seluruh jaringan pada wajah, baik itu pada tulang, gigi, mukosa, otot dan
kulit. Bau busuk dan rongga mulut yang bernanah (purulent oral discharge) berhubungan dengan salivasi yang
terlalu banyak, anorexia, dan lymphadenopathy leher yang jelas.

Pada fase akut, anak-anak yang terserang biasanya mengalami kesakitan, anaemic, aphatetic dan seringkali
measle, gastroenteritis atau bronchopneumonia. Secara sistemik, pasien biasanya mengalami demam,
takikardia, tachypnea dan anorexia. Jika tidak segera ditangani, maka penyakit ini akan berakibat fatal.
Kematian pada penderita cancrum oris dapat disebabkan predisposing factor seperti typhoid atau pneumonia
atau bisa juga karena adanya komplikasi seperti dehidrasi, aspiration pneumonia atau septicemia.
3.3 Mikrobiologi dan pathogen
Terdapat mikroorganisme yang terlibat sebagai penyebab noma, salah satunya yaitu Fusobacterium
necrophorum. F. necrophorum dapat menguraikan sebagian dermonekrotik metabolit toksik. Pada anak-anak,
bakteri ini diperoleh melalui kontaminasi fecal, yang disebabkan sanitasi lingkungan yang rendah. Organism
pathogen lainnya yang ditemukan pada lesi noma yaitu Prevotella intermedia danBorrelia vincentii. Hubungan
simbiosis antara fusiform bacilli dan streptococcus non-hemolitik dan staphylococcus telah diperkirakan
sebagai faktor pada perkembangan noma. B. vincentii dan Fusiform bacilli dapat dikultur pada hampir
kebanyakan kasus. MacDonalds menyatakan bahwa Bacteroides melaninogenicus dapat menjadi organism
penting pada penyakit ini. Bacteroides melaninogenicus adalah bakteri gram negatif, cocobasilus anaerob,
terdapat pada rongga mulut dan traktus gastrointestinal. Memiliki karakter proteolitik yang dapat
menghidrolisis kolagen gingival. Penyakit ini diperkirakan tidak menular karena belum diketahui menyebar
atau tidaknya di lingkungan rumah, rumah sakit atau sekitarnya.
Mula-mula, jaringan wajah akan terlihat lunak, terdapat spot merah keunguan pada gingival, berlanjut menjadi
ulserasi dan nekrosis yang dibarengi edema. Hal itu akan membentuk jaringan nekrotik berwarna hitam
kebiruan berbentuk kerucut yang berkumpul di dasar intra-oral. Perkembangan secara cepat dari tahap awal
menjadi gangrene berlangsung selama 2 72 jam. Dapat terjadi secara uni atau bilateral dan dapat menyerang
bagian wajah lain termasuk rahang atas atau bawah. Hal tersebut dapat membentuk kerusakan wajah yang parah
sehingga mengakibatkan hilangnya struktur dan fungsi intraoral.
3.4 Pengobatan
Penanganan penyakit noma sangat memerlukan pendekatan tim yang multidisiplin. Pada tahap awal, anak-anak
akan memerlukan irigasi oral dengan hydrogen peroksida, saline, dan 0,2% chlorhexidine untuk mengurangi
jaringan nekrotik. Hidrasi yang cukup, elektrolit yang seimbang dan defisiensi vitamin dengan nutrisi yang
cukup, ataupun nagostic tube jika diperlukan. Pada banyak literatur, merekomendasikan penicillin dan
metronidazole untuk menghambat organisme predominan. Pengobatan perlu dilakukan dan dilanjutkan kurang
lebih selama 14 hari. Antibiotik yang dipiih yaitu penicilin G 2.4 million U intravenously qid dan metronidazole
500 mg IV setiap 8 jam sekali. Alternatif lainnya yaitu ampicilin atau sulbactam 3 gram IV setiap 6 jam sekali.
Penggunaan antibiotic dapat menyebabkan pertumbuhan candida yang berlebih sehingga harus ditangani
dengan antifungal (nystatin 5 ml q.i.d atau flukonazol 200 mg oral, sehari sekali). Tahap terakhir dari perawatan
yaitu operasi plastik/rekonstruksi untuk kerusakan wajah yang sudah parah. Untuk mencegah noma, diperlukan
adanya peningkatan nutrisi, kebersihan, dan sanitasi serta vaksinasi.
4. Sinusitis Maksilaris
Sinus maksilaris mempunyai hubungan erat dengan profesi Kedokteran Gigi karena akar gigi premolar dan
molar sangat dekat dengan sinus ini dan memiliki persarafan yang sama sehingga sakit dari sinus maksilaris
memberikan gambaran yang sama dengan sakit gigi. Disebabkan karena kedekatan ini pula, seringkali infeksi
gigi bisa menimbulkan infeksi pada sinus maksilaris dan tindakan pada gigi menimbulkan komplikasi pada
sinus maksilaris. Seperti terjadinya komunikasi oroantral atau masuknya benda asing pada sinus ini. Selain itu
keadaan patologis pada sinus sering ditemukan secara kebetulan pada radiografi gigi.

Alasan-alasan tersebut diantaranya menjelaskan dari sudut Kedokteran Gigi sinus maksilaris penting untuk
dipahami baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan terkena penyakit.
Anatomi dan Fisiologi Sinus Maksilaris
Batas-Batas
Sinus Maksilaris merupakan rongga berbentuk pyramid dan menempati sebagian besar korpus maksilaris
dengan puncak pada processus zygomatikus maksilla. Dinding medial dibatasi oleh dinding lateral kavum nasi,
atap dibatasi oleh dasar orbita, dan bagian anterior oleh permukaan depan maksilla (fosa kanina). Dasarnya
dibatasi oleh prosesus alveolaris maksila yang mendukung gigi P, M, dan sebagai tulang palatum.
Fungsi Sinus Maksilaris
Sebagai ruang tambahan untuk membantu memanaskan dan melembababkan udara pernapasan
Alat resonansi yang mempengaruhi suara
Mengandung organ olfaktoria yang memiliki rasa penciuman
Pelindung untuk alat-alat yang terdapat dalam orbita dan cranial terhadap perubahan suhu yang terjadi di
rongga hidung
4.1 Definisi
Sinusitis maksilaris didefinisikan sebagai peradangan yang terjadi pada lapisan mukosa sinus maksilaris, karena
mukosa sinus sangat rentan terhadap infeksi, alergi dan neoplasma.
4.2 Gambaran klinis
4.2.1

Radang

Menimbulkan peningkatan jumlah sekresi dan edema pada mukosa sinosial. Bila kondisi ini berlanjut, sekresi
akan mengisi sinus karena terganggunya fungsi silia, atau keduanya. Karena letak ostium sinus maksilaris tidak
dipengaruhi oleh gaya gravitasi, maka drainase yang normal bukan cara perawatan ideal. Bila drainase
terganggu akan terjadi penurunan tekanan oksigen sebagian dan proliferasi bakteri pathogen.
4.2.2

Sinusitius akut

Sinusitis maksilaris akut sering terjadi setelah rhinitis alergik/infeksi virus pada saluran pernapasan atas. Alergi
hidung yang kronis, adanya benda asing, dan deviasi septi nasi dianggap sebagai prediposisi yang paling umum.
Gejala akut ini dapat bersumber dari hidung yang mengalami alergi (rhinitis akut), infeksi dari daerah faring
(faringitis, adenoiditis, tonsillitis) dan dari infeksi gigi rahang atas premolar dan molar. Gejala akut ini dapat
juga berasal dari berenang menyelam, trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus dan barotraumas
yang menyebabkan nekrosis mukosa. Gejala yang ditunjukkan adalah sebagai berikut :
Gejala sistemik demam dan lesu
Gejala lokal terdapat sumbatan pada hidung, lender yang kental, kadang berbau dan dapat berwarna kuning atau
kuning kehijauan
Nyeri pada daerah di bawah kelopak mata, nyeri di gigi, daerah dahi dan daerah depan telinga
Terdapat pembengkakan di daerah muka, yaitu pada pipi dan kelopak mata bawah
Dari pemeriksaan sering terlihat adanya sekresi mukopurulen dalam hidumg dan nasofaring. Terdapat nyeri
palpasi dan tekan pada sinus dan gigi yang berkaitan dengannya. Pemeriksaan mulanya memperlihatkan

penebalana mukosa sinus yang sering digantikan dengan osifikasi karena meningkatnya pembengkakan mukosa
atau adanya timbunan cairan didalam sinus atau keduanya.
4.2.3

Sinusitis kronis

Sinusitis kronis dapat merupakan kelanjutan dari sinusitis akut, Perubahan-perubahan patologis pada sinusitis
kronis biasanya bersifat irreversible, yang ditandai dengan penebalan mukosa dan pseudo polip dengan
mikroabses, granulasi, dan jaringan parut. Sinusitis kronis dapat bertahan dalam hitungan bulan atau tahun.
Perawatan sinusitis akut atau sinusitis kambuhan yang tidak memadai dapat menyebabkan kegagalan regenerasi
permukaan epitel bersilia. Pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan kerusakan lebih jauh dari pembuangan
secret sinus yang mendorong terjadinya infeksi ulang. Penyembuhan oleh berbagai sebab seperti polip hidung ,
deviasi septum, atau tumor juga berperan dalam etiologi sinusitis kronis.
Gejala yang terjadi sangat bervariasi terdiri dari:
Gejala hidung dan naso faring, berupa secret di hidung dan secret pasca nasal
Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok
Gejala telinga, berupa gangguan pendengaran karena tersumbatnya tuba eustahius
Adanya sakit kepala
Gejala mata, oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus naso lakrimalis
Gejala saluran napas kadang terdapat komplikasi di paru berupa bronchitis, bronkoektasis atau asma bronkiale
Gejala di saluran cerna oleh karena mukopus yang tertelan, sering terjadi pada anak. Terdapat secret kental dan
purulen dari meatus medius atau meatus superior di nasofaring atau turun ke tenggorok.
4.2.4

Trauma

Cedera yang mencapai sinus maksilaris terjadi pada kasus le fort I dan II, fraktur kompleks
zygomatikomaksilaris, blow out orbita dan fraktur prosesus maksila bagian posterior. Dengan adanya trauma,
dinding antrum mengalami fraktur atau remuk dan pelapisnya robek, sehingga sinus akan terisi darah. Baik
trauma langsung maupun cedera tidak langsung yang diakibatkan oleh penangan fraktur muka yang
berhubungan ( biasanya pendekatan transnatal) berperan dalam terjadinya sinusitis pascatrauma. Sinusitis juga
dapat mengalami cedera pada pencabutan gigi rahang atas dan pada pelasanaan penanganan patologis gigi yang
berdekatan. Region molar pertama rahang atas merupakan darah yang paling sering berhubungan dengan
keterlibatan sinus, diikuti oleh regio molar kedua dan premolar kedua.
4.3 Pemeriksaan radiografi
Evaluasi radiografi dari sinus paling bagus diperoleh dengan proyeksi waters dengan muka menghadap ke
bawah dan proyeksi waters dengan modifikasi tegak. Gambaran yang sering didapat dari sinus akut adalah
opasifikasi dan batas udara atau cairan. Sinusitis kronis sering digambarkan dengan adanya penebalan
membrane pelapis. Lesi jinak lainnya misal mucocele dan kista dentigerus, juga dapat terlihat dengan jelas.
Dalam mendiagnosisi trauma penggunaan foto panoramic, waters, oklusal dan periapkal maupun tomografi
konvensional, serta penelitian dengan CT sangat membantu.
4.4 Pengobatan
Walaupun penatalaksanaan sinusitis maksilaris kronis dan akut bukan termasuk dalam wilayah perawatan
dokter gigi, akan tetapi bila keadaan ini menunjukkan keterlibatan gigi sebagai penyebab, dibutuhkan
keikusertaan dokter gigi dalam penanganan atau perawatannya. Untuk melakukan perawatan sinusitis

maksilaris akut obat-obatan yang sesuai adalah antibiotik spectrum luas ampisilin dan sefaleksin. Jika diketahui
terdapat aspergillus sinusitis, maka harus diberikan antimikotik yang tepat, biasanya dengan amphotericin B,
dekongestan antihistamin sisitemik misalnya pseudoefinefrin, dan tetes hidung seperti phenyleprine akan sangat
berguna pada fase dini dan perawatan. Jika terdapat keadaan alergi yang mendasari kondisi tersebut maka
pemberian bahan antialergi kadang sangat membantu. Untuk menghilangkan atau menyembuhkan gejala yang
timbul dapat diberikan kompres panas pada muka dan analgesik. Bila penyembuhannya lambat, lebih dari
sepuluh hari, kemungkinan dibutuhkan irigasi antrum melalui fossa canina. Selain terapi yang tepat untuk
kondisi akut, sinusitis kronis kemungkinan membutuhkan pembedahan untuk mendapatkan ostium (lubang)
sinus yang baru. Hal ini dapat diperoleh melalui prosedur nasoantrostomi yang bertujuan untuk membuat
jendela nasoantral pada meatus nasalis inferior.
Bila penyebab sinusitis adalah karena infeksi gigi maka penatalaksanaannya meliputi perawatan pada sumber
absesnya. Perawatan ini terdiri atas terapi antibiotik yang disertai dengan inisiasi dan drainase bila
diindikasikan, dan terapi lanjutan yang meliputi perawatan endodontik atau pencabutan gigi penyebab.
Prosedur CALDWELL-Luc
Prosedur Caldwell-Luc digunakan untuk membuat jalan masuk peroral ke sinus maksilaris melalui fossa canina.
Lesi jinak pada antrum yang berasal dari epitel pelapis atau yang berasal dari gigi (odontogen) atau penyebab
lainnya, dieksisi atau dienukleasi melalui jalur ini. Untuk mengambil benda asing ataupun pemeriksaan dan
perawatan didnding orbita dan fraktur tertentu pada zygomaticomaksilaris juga digunakan jalur sama. Operasi
pada sinus dapat dilakukan dengan anestesi umum ataupun anestesi lojkal (yang ideal adalah dengan blok
maksila pada nervus V2 divisi kedua). Prosedur diawali dengan membuat inisiasi bulan 2 sampai 3 mm diatas
pertemuan mukosa bergerak dan tak bergerak. Kemudian flap mukoperiosteal diangkat kea rah postero-superior
hingga terlihat foramen infraorbitale. Selanjutnya dibuat lubang dengan bor, sebagai pembentukan awal yang
terletak sedikitnya 4 hingga 5 mm di atas apeks yang terdekat. Besar lubang masuk ini diperbesar dengan
menggunakan reverse biting bone foreceps, kerison. Bila diperlukan dapat digunakan pembukaan yang relative
lebar dengan tanpa merusakkan struktur didekatnya 9diameter 1 cm ). Penerangan yang sangatpenting artinya
untuk penglihatan dapat diperoleh dengan menggunakan head lamp (lampu kepala) atau probe fiberoptik.
Setelah pengambilan lesi, sinus diirigasi dengan larutan saline steril dan kemudian diperiksa.
Trauma
Cedera yang mengenai sinusmaksilaris merupakan keadaan yang sangat sering didapatkan pada fraktur wajah
bagian tengah. Tanda-tanda radiograf yang umum didapatakan adalah opasifikasi akibat perdarahan ke dalam
sinus dan fraktur ( cacat bertingkat) dinding lateral. Tanda-tanda ini bila berdiri sendiri bukan merupakan tandatanda indikasi keterlibatan sinus. Sebaliknya, bila tidak ada tanda-tanda keterlibatan sinus lainnya seperti
fraktur dasar orbita atau adanya fragmen tulang atau benda asing atau keduanya, maka lapisan sinus biasanya
tidak terganggu. Penatalaksanaan secara konservatif dengan menggunakan dekongestan sistemik, tetes hidung,
dan antibiotic, bila diindikasikan akan meningkatkan pembersihan sinus secara normal, yang biasanya
berlangsung antara 10 sampai 14 hari.

Anda mungkin juga menyukai