Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
.......................Dari Redaksi
Sidang Pembaca Yang Terhormat,
Diterbitkan oleh:
Bidang Penyajian Data,
Pusat Data Penginderaan Jauh Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional
Pelindung:
Kepala LAPAN, Deputi Bidang
Penginderaan Jauh LAPAN
Penanggung Jawab:
Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh
Editor:
Ir. Mahdi Kartasasmita M.S, Ph.D,
Prof. Drs. Mulyadi Kusumowidagdo, Prof.
DR. F. S. Hardiyanti Purwadhi.
Staf Redaksi:
Ir. Yuliantini Erowati, M. Si,
Yudho Dewanto ST,
Drs. Mohammad Natsir, M.T,
Ir. Wawan K. Harsa Nugraha, M.Si.
Staf Sekretariat:
Liberson Pakpahan, Arief Nurcahyo,
Abdul Makmun, Bambang Haryanto, SE,
Sri Sulistini.
Alamat Redaksi:
Bidang Penyajian Data,
Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN,
Jl. Lapan No. 70 Jakarta 13710.
Telp.: (021) 8717715, 8710786, 8721870.
Fax.: (021) 8717715
Website: http://www.lapanrs.com.
Email: bankdata@lapanrs.com.
Majalah ini diterbitkan untuk pengguna
data satelit penginderaan jauh LAPAN.
Redaksi menerima tulisan, saran, dan kritik
dari para pembaca. Naskah mohon diketik
satu spasi dan bila ada gambar dalam
format (.gif/.tiff ).
Frekuensi terbit: 2 kali setahun.
Hormat Kami,
Redaksi
Surat Pembaca.............................................
Informasi yang Bermanfaat untuk
Pengembangan Sumber Daya Air
Buku/majalah inderaja ini sangat bermanfaat untuk
pengembangan Sumber Daya Air di Indonesia.
Ir. Eko Winar Irianto, MT
Peneliti Madya Pusat Litbang SDA
Jl. Juanda 193, Bandung 40153
Telp: 022-2504053
Fax: 022-2500163
Pada edisi kali ini, salah satu topik yang dimuat adalah tentang pengelolaan kawasan danau, dengan judul
tulisan adalah: Aplikasi Data Satelit Inderaja untuk Mendukung Pengelolaan Kawasan Danau (Studi Kasus: Danau Toba). Dengan dimuatnya topik ini, redaksi berharap
majalah ini dapat bermanfaat dan menambah informasi
bagi para pembaca dan khususnya para Peneliti di bidang pengembangan Sumber Daya Air. Bapak Ir. Eko
Winar Irianto, MT, terima kasih atas atensinya.
Informasi GIS
Kami sampaikan penghargaan dan terimakasih atas pengiriman informasi ini dan sangat bermanfaat karena kami
memiliki GIS center Bappeda Aceh Besar.
DAFTAR ISI
BERITA INDERAJA Volume VIII, No. 14, Juli 2009 - ISSN 1412-4564
APLIKASI INDERAJA
Aplikasi
Data Satelit
Inderaja untuk
Mendukung
Pengelolaan
Kawasan Danau.
Studi Kasus: Danau Toba
Halaman 23
DARI REDAKSI 3
SURAT PEMBACA
TOPIK INDERAJA
APLIKASI INDERAJA
BERITA RINGAN
POSTER
z
z
z
z
PCS Sibolga 75
PCS Kota Agung 76
PCS Kalabahi 77
PCS Cilacap 78
COVER
Depan
:
Depan Dalam :
Belakang Dalam:
Belakang
:
TOPIK INDERAJA
Arah satelit
Arah belakang
Backward
Tegak lurus
Nadir
Arah Depan
Forward
M
Objek
Mf G
Mb
Arah
satelit
M=G
Paralak
Mf
Citra Nadir
Citra Forward
Gambar 1. Sistem stereo pada sensor ALOS PRISM (atas), Paralaks pada citra stereo (bawah).
(Sumber: Ono, 2009)
6
TOPIK INDERAJA
Teknik kedua dan ketiga juga memerlukan interpolasi
untuk dapat memperoleh informasi ketinggian seluruh
titik dalam jaringan (grid) yang melingkupi wilayah yang
diperhatikan (area of interest). Penurunan DEM dengan
teknik menghitung ketinggian dari paralaks dilakukan
dengan memanfaatkan satelit optik yang dapat merekam
citra stereo (dua atau lebih citra yang direkam dari sudut sensor yang berbeda), seperti : sensor Panchromatic
Remote-Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM)
yang dipasang pada satelit Advanved Land Observing Satellite (ALOS) dapat menghasilkan citra stereo pankromatik (panjang gelombang 0.52-0.77m) dari arah nadir
(tegak lurus), forward (arah depan) dan backward (arah
belakang) dalam sekali perekaman. Berdasarkan laporan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), DEM
yang dihasilkan dari citra stereo ALOS PRISM dapat
mempunyai akurasi yang cukup untuk memetakan topogra permukaan bumi dengan skala 1:25.000 atau lebih
besar.
Prinsip penurunan DEM dari satelit ALOS diperlihatkan pada Gambar 1 (atas). Sensor PRISM mempunyai tiga teleskop yang digunakan untuk merekam permukaan bumi dengan tiga arah yaitu arah tegak lurus,
depan dan belakang (Gambar 1a). Sistem stereo (multi
looking) ini memetakan objek permukaan bumi yang
mempunyai ketinggian pada posisi yang berbeda. Bila
diasumsikan terdapat objek di permukaan bumi dengan
dasar pada titik G (titik 0 m) dan puncak pada titik M.
Pada saat sensor merekam citra dari arah tegak lurus,
maka G dan M akan dipetakan pada posisi yang sama
(M=G). Tetapi pada saat merekam citra dari arah miring
(misal: arah depan), maka M akan dipetakan ke Mf yang
mempunyai posisi yang berbeda dari G. Jarak perbedaan posisi Mf dan G disebut paralaks yang disebabkan
karena pengaruh ketinggian objek di permukaan bumi.
Paralaks tidak terjadi pada objek yang mempunyai ketinggian 0 m, sebagai contoh G akan dipetakan pada posisi yang sama walau direkam dari arah yang berbeda.
Sebaliknya, paralaks yang terjadi akan menjadi semakin
besar bila objek permukaan bumi yang akan direkam
semakin tinggi. Gambar 1 (bawah) memperlihatkan
paralaks yang terjadi dari perekaman arah tegak lurus
dan arah depan. Selanjutnya hubungan antara paralaks
(Mf-G atau Mb-G), sudut perekaman satelit (model sensor) dan ketinggian objek dapat digunakan untuk menghitung ketinggian objek permukaan bumi.
Perhitungan paralaks yang selanjutnya digunakan
untuk menghasilkan informasi DEM diperlukan minimal dua citra yang direkam dari arah berbeda. Gambar 2
BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
B e ka si
D e po k
1000 m
Bogor
0m
B e ka si
D e po k
Bogor
TOPIK INDERAJA
deraan jauh, khususnya tutupan lahan dan topogra,
sangat dibutuhkan untuk mendukung kegiatan mitigasi
bencana, seperti: pemetaan daerah rawan bencana dan
penentuan lokasi evakuasi. Pemetaan daerah rawan tsunami umumnya dilakukan dengan menggunakan model
simulasi genangan tsunami (tsunami inundation model)
yang menggunakan data topogra wilayah sebagai salah
satu parameter kunci. Gambar 3 memperlihatkan DEM
dari data ALOS PRISM untuk wilayah pesisir Kabupaten
Cilacap. Kabupaten Cilacap mempunyai populasi penduduk mencapai 1.8 juta orang dan merupakan daerah
industri yang strategis di pantai selatan pulau Jawa, yang
dibuktikan dengan adanya fasilitas pengolahan minyak
dan pelabuhan pengisian minyak untuk keperluan ekspor. Tetapi wilayah ini sangat rawan terhadap bencana
tsunami karena letaknya yang berdekatan dengan daerah subduksi (daerah pertumbukan antara lempeng Eroasia dan lempeng Indoaustralia) di selatan pulau Jawa
dan kondisi topogranya wilayah pesisirnya yang relatif
datar. Daerah subduksi ini selalu bergerak dan menyebabkan terjadinya gempa tektonik yang mengakibatkan
terjadinya tsunami, seperti kejadian gempa bumi yang
diiringi oleh tsunami pada tahun 1994 dan 2006 yang
menghantam wilayah pesisir Banyuwangi dan Pangandaran.
Pembuatan daerah genangan tsunami dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak TUNAMI N2
yang dibuat oleh Profesor Imamura dari Universitas
Tohoku, Jepang. Perangkat lunak ini dilengkapi dengan
Latitude
170 m
Longitude
Tinggi air
0m
TOPIK INDERAJA
G enangan
G enangan
(a)
(b)
(c)
Keterangan: (a) 1 jam setelah gempa; (b) 2 jam setelah gempa; (c) 3 jam setelah gempa
Gambar 5. Simulasi run-up tsunami beberapa waktu setelah gempa.
perubahan arah dan ketinggian gelombang tsunami dipengaruhi oleh kondisi topogra dasar laut. Selanjutnya
gelombang tsunami akan mencapai pantai dan menyapu
wilayah pesisir Cilacap.
Gambar 5 memperlihatkan run-up tsunami (naiknya
air ke daratan) setelah, 1 jam, 2 jam dan 3 jam setelah
terjadi gempa. Hasil memperlihatkan bahwa pada menitmenit awal setelah gempa kondisi perairan pantai Cilacap
masih belum dipengaruhi gelombang tsunami. Setelah 1
jam, pengaruh gelombang tsunami sudah dapat dilihat
walaupun energi dan ketinggian gelombang masih belum cukup untuk membawa air naik ke daratan. Selanjutnya setelah 2 jam, gelombang tsunami dan gelombang susulannya telah naik dan mengenangi daratan. Terakhir,
hasil 3 jam setelah gempa memperlihatkan bahwa luasan
genangan tsunami tidak bertambah bahkan cenderung
berkurang yang menandakan bahwa energi gelombang
tsunami yang semakin berkurang. Berdasarkan hasil
analisis diketahui bahwa maksimum daerah genangan
adalah sekitar 11,95 Km2, sedangkan maksimum ketinggian genangan adalah 5,25 m. Luasan daerah genangan
ini tentunya akan menimbulkan kerusakan dan kerugian yang cukup besar, terutama bila terjadi di wilayah
pemukiman atau lokasi industri strategis. Batas daerah
genangan maksimum merupakan data utama untuk memetakan daerah rawan tsunami, selanjutnya daerah resiko tsunami diperoleh dengan mengabungkan daerah
rawan dan daerah rentan (dipengaruhi oleh kondisi sik
lahan dan sosial ekonomi masyarakat).
Analisis yang akurat untuk menentukan daerah rawan bencana dan menghitung dampak bila terjadi bencana membutuhkan informasi spasial yang detil (seperti
BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
TOPIK INDERAJA
ndonesia merupakan negara yang diberkahi sekaligus diancam oleh kondisi alamnya. Wilayah Indonesia sangat luas dengan panjang wilayah sekitar 6000
km dari ujung barat sampai ujung timur dan terbagi
menjadi 3 daerah waktu. Selain itu, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang. Yang tak dapat
disangkal adalah kenyataan bahwa wilayah Indonesia
terletak pada pertemuan antara lempeng Caroline Pasik, lempeng laut Filipina, lempeng Asia dan lempeng
Hindia-Australia, yang mengakibatkan sebagian besar
wilayah Indonesia menjadi rawan terhadap bencana
alam seperti: gempa bumi, Tsunami, gunung berapi dan
tanah longsor.
Gempa bumi dan tsunami dengan kekuatan besar
pada tanggal 26 Desember 2004 dengan pusat di pantai barat Sumatra telah menghancurkan sebagian besar
infrastruktur transportasi, bangunan, area persawahan,
hutan mangrove dan juga merenggut korban jiwa di
beberapa kabupaten wilayah Aceh. Pasca bencana tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan program
rehabilitasi dan rekontruksi Aceh untuk membangun
kembali wilayah Aceh yang rusak akibat bencana gempa
dan tsunami yang masih terus berjalan hingga saat ini.
Untuk mendukung kelancaran pembangunan kembali
wilayah Aceh, masukan berupa data/informasi mengenai kondisi aktual tutupan lahan dan perubahan lahan
sangat dibutuhkan.
Selama 25 tahun terakhir, teknologi penginderaan
jauh telah dimanfaatkan secara intensive untuk memantau perubahan lingkungan, perluasan pemukiman dan
pemetaan tutupan/penggunaan lahan. Kelebihan dari
data penginderaan jauh adalah perulangan yang tinggi
(temporal), near real time, dan datanya dalam format
digital sehingga dapat dianalisis secara kuantitatif. Saat
10
ini data satelit ALOS (Advanced Land Observation Satellite) dengan tingkat kedetilannya yang tinggi (spasial 2.5
- 10m) dan cakupannya yang luas merupakan salah satu
data satelit yang potensial untuk menurunkan informasi
sik lingkungan yang mendukung kegiatan pengelolaan bencana. ALOS merupakan satelit dengan orbit sun
synchronous yang dilengkapi dengan 3 instrumen sensor,
yaitu: 1) Panchromatic Remote-sensing Instrument for
Stereo Mapping (PRISM) dengan resolusi spasial 2,5m;
2) Advanced Visible Near-Infrared Radiometer-2 (AVNIR-2) dengan resolusi spasial 10m; dan 3) Phased Array L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) dengan
resolusi spasial 10-100m. Data stereo dari sensor PRISM
digunakan untuk menghasilkan Digital Elevation Model
(DEM), yang selanjutnya akan dimanfaatkan untuk memetakan topogra permukaan bumi. Data PALSAR digunakan untuk mengatasi masalah tutupan awan yang
sering menjadi kendala di wilayah tropis, sedangkan
data fusi sensor optis PRISM dan AVNIR-2 dimanfaatkan
untuk memantau kondisi permukaan bumi, terutama
tutupan lahan.
Kegiatan ini merupakan salah satu kerjasama antara
LAPAN-JAXA dalam kerangka ALOS Pilot Project 20062008 dimana Unsyiah menjadi anggotanya. Pada kegiatan ini data ALOS digunakan untuk memetakan perubahan tutupan lahan pasca bencana tsunami. Kemudian
hasilnya dibandingkan dengan tutupan lahan sebelum
bencana tsunami menggunakan data SPOT-5 dan Landsat ETM. Dengan menggunakan data multi temporal
dapat dianalisis perubahan tutupan lahan wilayah pesisir
akibat bencana gempa dan tsunami.
Daerah kajian (Gambar 1.) meliputi sebagian Kota
Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Luas area mendekati
1.728 ha, yang terdiri dari beberapa desa di Kota BanBERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
TOPIK INDERAJA
Beberapa contoh hasil identikasi secara visual tutupan lahan dengan menggunakan citra fusi ALOS, SPOT-5
dan Landsat ETM pada daerah kajian diperlihatkan pada
Tabel 1. Citra fusi ALOS dan SPOT-5 memberikan hasil yang baik dan detil untuk mengindentikasi berbagai
jenis tutupan lahan disebabkan kedua citra ini mempunyai resolusi spasial yang tinggi (2.5m). Sedangkan data
Landsat memberikan hasil kurang detil dan sulit mengidentikasi objek berukuran kecil, disebabkan resolusi
spasial yang rendah (30m). Secara visual, citra setelah
tsunami (ALOS) mempunyai penampakan yang kurang
teratur dan pola yang agak kasar dibandingkan dengan
citra sebelum tsunami (SPOT-5), hal ini diperkirakan karena adanya bangunan serta infrastruktur yang masih
dalam kondisi rusak (belum diperbaiki).
11
TOPIK INDERAJA
No.
Objects
Vegetasi
Area
terbangun
Tambak
Pesisir pantai
SPOT-5 (2.5m)
Tabel 1. Contoh beberapa penampakan tutupan lahan menggunakan citra fusi ALOS,
SPOT-5 dan Landsat ETM.
Kejadian Tsunami menyebabkan rusaknya area terbangun dan vegetasi (hutan mangrove, kebun dan sawah), dan berubah menjadi lahan tergenang atau lahan
terbuka. Kegiatan ini memantau kerusakan lahan dan
luas kerusakan akibat Tsunami, oleh karena itu identikasi hanya dilakukan untuk 4 objek, yaitu: tubuh air
(water body), vegetasi (vegetation), lahan terbuka (barren land) dan area terbangun (built up). Klasikasi dilakukan menggunakan metoda maximum likelihood
classication, dan diproses untuk data yang berlainan
waktu, sehingga dapat dipantau kondisi perubahan yang
terjadi. Hasil klasikasi tutupan lahan untuk citra Landsat ETM (akusisi 2002), SPOT-5 (akusisi 2004) dan citra
fusi ALOS (akusisi 2007) diperlihatkan pada Gambar
3. Perbandingan ketiga hasil klasikasi tutupan lahan
12
memperlihatkan bahwa citra ALOS dan SPOT-5 menghasilkan informasi yang dapat membedakan keempat
kelas secara jelas dengan tingkat kedetilan yang tinggi,
sedangkan citra Landsat menghasilkan informasi tutupan lahan dalam skala lebih global. Berdasarkan hasil
pengujian lapangan diperoleh bahwa tingkat akurasi klasikasi tutupan lahan dari data ALOS lebih besar dari
85%. Tingkat akurasi ini dapat ditingkatkan dengan meningkatkan keakuratan sampling yang digunakan dalam
proses klasikasi.
Dengan membandingkan hasil klasikasi menggunakan data SPOT-5 tahun 2004 (sebelum Tsunami) dan
data fusi ALOS tahun 2007 (setelah Tsunami), dapat dihitung luasan perubahan tutupan lahan yang terjadi (Tabel 2). Setelah terjadi Tsunami, area yang digenangi air
BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
TOPIK INDERAJA
13
TOPIK INDERAJA
Tutupan lahan
Tubuh air
Vegetasi
Lahan terbuka
Area terbangun
SPOT 2004
Ha
403.01
495.40
468.04
347.08
ALOS 2007
Ha
625.10
282.93
519.93
299.70
Perubahan
Ha
%
222.09
55.11
-212.48
-42.89
51.88
11.09
-47.38
-13.65
Gambar 4. Perubahan lahan yang terjadi setelah bencana gempa dan Tsunami Aceh
mendapatkan informasi secara kuantitatif perubahan lahan yang aktual dan up to date. Juga diharapkan data
ALOS mampu melakukan pemantauan perubahan tutupan lahan untuk mendukung kegiatan pengelolaan pasca
bencana di berbagai wilayah Indonesia.
TOPIK INDERAJA
plikasi data penginderaan jauh untuk geologi telah banyak dilakukan, terutama di negara-negara
yang cenderung kering. Hal ini karena secara
umum di daerah tersebut didominasi oleh lahan terbuka, padang rumput atau semak belukar sehingga struktur geologi dapat dikenali menggunakan data penginderaan jauh, dan sebagian batuan terekspose dipermukaan
sehingga dapat dijelaskan menggunakan aspek spektral
(Maruyama, 1994). Aspek spektral data penginderaan
Gambar 1. Citra Landsat 7 ETM+ 3/1, 5/7, 3/5 RGB hasil fusi dengan SRTM
BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
15
TOPIK INDERAJA
Rationing band (hasil bagi dua kanal yang berbeda)
merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengoptimalkan aspek spektral obyek, sehingga di harapkan
mampu menajamkan kenampakan berbagai tutupan lahan dan batuan seperti tingkat kehijauan daun, kandungan oksida besi, clay mineral dan lainnya. Melalui cara
ini akan diperoleh citra baru yang merupakan hasil bagi
atau ratio satu saluran dengan saluran yang lain. Secara
teori hal ini akan menghasilkan nilai digital number yang
baru (Drury, 1987). Sabin (1987) melakukan eksperimen
rationing band menghasilkan citra komposit dengan gabungan dari tiga band hasil rationing citra penisbahan
3/1, 5/7 dan 3/5 dari data Landsat TM berturut-turut
digabung sebagai RGB. Ternyata citra komposit yang dihasilkan lebih mengekspresikan informasi geologi dan
mempunyai kontras yang besar diantara unit batuan dibanding citra komposit konvensional.
Berdasarkan cara rationing band yang dilakukan
oleh Sabin (1987), pemetaan geologi yang dilakukan di
daerah Kawengan dan sekitarnya sebagai sebuah contoh pemetaan geologi di daerah tropis. Untuk lebih meningkatkan pemanfaatan citra hasil olahan perlu dilakukan penggabungan data Landsat 7 ETM+ yang terolah
dengan data DEM dari SRTM, sehingga dapat meningkatkan aspek relief, topogra dan pola aliran, artinya interpretasi geologi secara visual lebih baik (lihat Gambar
1). Selain itu langkah tersebut diharapkan juga dapat
digunakan sebagai dasar pemetaan geologi yang lebih
luas aplikasinya, misalnya untuk bidang migas, mineral
maupun bidang lainnya yang terkait.
Penginderaan jauh sistem optis secara umum menggunakan panjang gelombang tampak, near infrared and
short-wave infrared untuk membentuk citra pada permu-
kaan bumi dengan mendeteksi pantulan radiasi matahari dari obyek yang diindra. Setiap obyek yang berbeda
mempunyai pantulan dan penyerapan yang berbeda pada
berbagai macam panjang gelombang (Gambar 2).
Pantulan tubuh air yang jernih secara umum adalah
rendah dan mempunyai pantulan maksimum pada spektrum biru yang kemudian menurun dengan meningkatnya panjang gelombang. Pada air keruh yang terdapat
suspensi sedimen pantulan akan meningkat pada spektrum merah. Pada tanah terbuka secara umum tergantung dari komposisinya, sedangkan pada vegetasi mempunyai kurva spektral yang unik seperti terlihat pada
Gambar 2. pantulan pada vegetasi yang rendah pada
spektrum biru dan merah karena adanya penyerapan
oleh klorol untuk fotosintesis dan sangat rendah pada
spektrum hijau. Pada near infrared kurva pantulan adalah yang tertinggi karena adanya pantulan dari struktur
internal daun. Hal ini dapat digunakan sebagai kunci
identikasi untuk vegetasi dan dapat ditajamkan lagi
dengan rationing band (Sanderson, 2008).
Metode rationing band menekankan perbedaan slope kurva pantulan spektral antara dua band. Pada visible
dan inframerah pantulan perbedaan utama dari spektralnya adalah pada nilai material yang diekspresikan dalam
slope kurva pantulan, tetapi dengan citra penisbahan
memungkinkan untuk mengekstrak variasi pantulan
pada satu material. Ouattara, et al. (2004) menyatakan
pada penelitian di white mountain, beaver co., utah, USA
dengan saluran tunggal hasil rationing saluran 3 dengan
saluran 1 yang merupakan iron oxide menggambarkan
hampir semua area diberbagai bayangan tampak abuabu gelap dengan beberapa tampak lebih terang. Hal ini
sesuai dengan zona perubahan kandungan hematitic.
Perbandingan saluran 5 dan 7 sangat baik untuk deteksi
clay mineral. Hal ini karena pada saluran 7 clay mineral
menyerap radiasi sehingga secara signikan terjadi pengurangan pantulan sehingga nilai rationing band keduanya menjadi lebih tinggi (Gambar 3). Kelemahan dari
citra hasil rationing adalah menyembunyikan perbedaan
albedo sehingga material yang mempunyai perbedaan
albedo tetapi slope kurva pantulan sama pada kurva pantulan memungkinkan tidak dapat dibedakan. Citra hasil
rationing band juga meminimalisasikan kondisi illumination sehingga ekspresi topogra menjadi berkurang
atau hilang. Kelemahan citra hasil rationing band dapat
dieliminir melalui penggabungan dengan DEM dalam
hal ini menggunakan data SRTM atau kontur dari peta
yang ada. Penggabungan tersebut dapat dilakukan dengan metode topographic modeling.
BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
TOPIK INDERAJA
SRTM
RAW DATA
LANDSAT 7ETM+
RAW DATA
PETA RBI
Skala 1:25.000
KOREKSI
GEOMETRIK
KOREKSI
GEOMETRIK
LANDSAT 7ETM+
TERKOREKSI
SRTM
TERKOREKSI
RATIONING BAND
PETA GEOLOGI
P3G BANDUNG
Skala 1:10.000
ANALISIS DAN
FUSI SRTM &
LANDSAT 7ETM+
Gambar 3. Kurva pantulan Calcite dan clay mineral
(Husen, 1994)
Pada kegiatan ini dilakukan pengolahan data penginderaan jauh menggunakan software ENVI dan Erdas Imagine sedangkan untuk visualisasi dalam sistem informasi
geogras menggunakan Mapinfo. Pengolahan data penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengolahan data
yang berbasis raster. Pada pengolahan data penginderaan
jauh dilakukan standar pengolahan data, yaitu koreksi
geometrik antara Landsat 7 ETM+ dengan referensi Peta
Rupa Bumi yang bersumber dari Bakosurtanal skala 1 :
25.000. Hasil Landsat 7 ETM+ terkoreksi digunakan untuk
koreksi DEM dari SRTM sehingga error posisi geogras antara kedua citra penginderaan jauh tersebut dapat
dieliminir. Hal ini sangat penting untuk proses penggabungan antara kedua citra tersebut. Pengolahan selanjutnya
adalah rationing band, yaitu membandingkan antara band
satu dengan band yang lainnya sehingga diperoleh suatu data baru dengan nilai digital yang baru pula. Proses
selanjutnya adalah pembuatan citra komposit dengan
menggabungkan citra hasil rationing band sehingga diperoleh citra berwarna. Citra komposit tersebut selanjutnya
dilakukan penggabungan dengan DEM dari SRTM untuk meningkatkan kenampakan morfologi. Interpretasi
dilakukan secara manual pada citra hasil pengolahan dan
analisis dilakukan secara deskriptif. Diagram alir studi diberikan pada Gambar 4.
BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
INTERPRETASI
GEOLOGI
SURVEI
LAPANGAN
ANALISIS DAN
LAPORAN
Gambar 4. Diagram Alir Penelitian.
TOPIK INDERAJA
ini dikarenakan pantulan obyek yang mengandung oksida besi pada umumnya tinggi di band 3 dan rendah di
band 1 sehingga nilai digital yang dihasilkan pada citra
hasil rationing band menjadi tinggi. Citra ini dapat dimanfaatkan untuk membedakan satuan satuan batuan yang
mempunyai oksida besi. Pada sampel citra yang diolah,
oksida besi yang tinggi terletak di bagian Timur sebelah
Utara yang merupakan formasi Tawun dan Ngrayong.
Hal ini sesuai dengan penelitian. Pringgoprawiro (1983)
yang mennyatakan bahwa satuan ini mempunyai oksida
besi yang tinggi. Hasil survei lapangan menunjukan
bahwa daerah ini kebanyakan digunakan untuk ladang
yang tergantung pada hujan. Pada survei lapangan ditemukan pasir kuarsa lepas yang tebal berwarna putih
kotor sampai kemerahan dan mudah diremas. Di beberapa lokasi ditemukan sisipan batugamping tipis dan
sisipan batulempung. Pada lembah-lembah soil relatif
tebal dan berwarna merah dan singkapan tidak begitu
baik. Lembah lembah tersebut digunakan untuk sebagai sawah tadah hujan dan sebagian lagi untuk ladang.
Perlapisan jarang ditemukan kecuali pada sisipan batugamping. Warna gelap pada citra hasil rationing index
band 3/ band 1 yang berwarna gelap merupakan vegetasi. Hal ini karena pada umumnya vegetasi pada band 3
pada umumnya lebih rendah pantulannya dibandingkan
dengan band 1, sehingga nilai digital citra hasil rationing
band menjadi rendah.
ZONA RANDUBLATUNG
ZONA KENDENG
Gambar 5. Citra hasil Rationing Band dan penggabungannya dalam bentuk Citra Komposit (RGB).
18
TOPIK INDERAJA
b. Rationing band 5 dengan band 7.
Citra hasil rationing band 5 dengan band 7 merupakan clay mineral index Gambar 5.b). Pada saluran 5 clay
yang mengandung mineral memantulkan secara maksimal energi elektromagnetik sehingga pada kurva pantulan menjadi tinggi (Gambar 3). Pada saluran 7 radiasi
diserap oleh clay yang mengandung mineral, sehingga
secara signikan perbandingan antara keduanya pada
lapisan clay yang mengandung mineral mempunyai nilai
digital yang tinggi. Pada citra hasil clay mineral index
terlihat bahwa di daerah yang bermorfologi datar dan
bergelombang lemah mempunyai nilai digital yang tinggi. Daerah ini merupakan endapan aluvium yang didominasi oleh clay. Mineral yang diduga tertransportasi
dan terendapkan di daerah ini. Daerah yang merupakan
satuan batugamping mempunyai nilai digital yang rendah sehingga berwarna gelap pada citra hasil rationing
band 5/7. Hal ini berarti batugamping menyerap radiasi gelombang electromagnetik secara maksimal pada
saluran 5 sehingga memudahkan dalam membedakan
satuan batugamping dengan batuan lainnya.
c. Rationing band 3 dengan band 5.
Citra hasil rationing band 3 dengan band 5 dapat
membedakan kelembaban tanah. Pada band 3 masih
peka terhadap kebasahan, sedangkan band 5 kurang
peka, sehingga perbandingan keduanya akan meningkatkan kecerahan pada tanah-tanah yang lembab atau basah
(Gambar 5.c). Citra yang berwarna cerah pada Gambar
5.c menunjukkan bahwa citra tersebut mempunyai kebasahan yang tinggi. Hal ini biasanya digunakan untuk
mengidentikasi satuan endapan aluvial dan tubuh air.
d. Penggabungan citra hasil Rationing dengan
DEM dan SRTM.
Penggabungan antara tiga citra hasil rationing band
(3/1, 5/7 dan 3/5) diperlukan untuk mengoptimalkan
keunggulan dari masing-masing citra tersebut dan mengeliminir kelemahannya. Kelemahan dari citra hasil
rationing band adalah hilangnya atau berkurangnya kenampakan suatu obyek karena ingin menonjolkan suatu
obyek yang lain. Kelemahan lainnya yang diperlukan dalam pemetaan geologi adalah hilangnya efek topogra,
sehingga perlu ditambahkan data lain yang dapat mengekspresikan efek topogra tersebut. Oleh karena itu
citra komposit hasil rationing band digabungkan dengan DEM dari SRTM. Keuntungannya adalah ekspresi
topogra menjadi sangat baik dan dapat mempertegas
kenampakan resistensi batuan (Gambar 5.d).
BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
Interpretasi pada citra hasil rationing band citra Landsat 7 ETM+ yang digabungkan dengan SRTM dilakukan
secara visual dan digitasi langsung pada layar (on screen
digitizing). Obyek utama yang diinterpretasi adalah litologi dan struktur geologi dengan memperhatikan unsur
dasar pengenalan citra dan unsur dasar interpretasi geologi. Prinsip pengenalan suatu obyek mendasarkan karakteristiknya pada citra yang merupakan penciri obyek
tersebut sehingga dapat dibedakan dengan obyek lain.
Dasar interpretasi batas litologi dan struktur geologi
adalah Peta Geologi P3G Lembar Bojonegoro. Struktur
geologi menjadi sangat jelas, terutama struktur antiklin,
sinklin dan kelurusan-kelurusan baik yang diduga sebagai sesar maupun kelurusan lainnya. Sementara batas
litologi kurang begitu jelas, tetapi untuk batugamping
terlihat sangat jelas perbedaannya dengan batuan lain.
Demikian juga dengan endapan aluvial yang berupa dataran. Batas perlapisan secara umum mulai dapat teramati, sebagiannya relatif jelas dan sebagian lainnya kurang begitu jelas. Batas perlapisan yang jelas terutama di
daerah antiklin di sekitar zona Rembang. Sementara di
zona Kendeng batas perlapisan sebagian jelas sebagian
lagi samar.
Struktur pada citra hasil rationing band terlihat jelas
sebagai kenampakan kelurusan dan bidang perlapisan
(bedding trace). Struktur yang dimaksud adalah Sesar,
perlipatan dan kelurusan lainnya yang dimungkinkan sebagai kekar. Faktor pengenal dalam interpretasi struktur
antara lain perbedaan besar kemiringan lapisan batuan,
perbedaan rona/warna tutupan lahan, ketidak sesuaian
bidang perlapisan, kelurusan sungai dan pergeseran
morfologi. Faktor tersebut di atas juga digunakan sebagai penentu untuk mengidentikasi jenis strukturnya.
Berdasarkan interpretasi citra dikenali adanya struktur
lipatan sinklin dan antiklin. Struktur Lipatan sinklin diinterpretasikan berdasarkan arah dip yang ke dalam. Hal
ini dibuktikan pada survei lapangan, dimana berdasarkan pengukuran kemiringan diperoleh kemiringan yang
menuju pusat sumbu. Pada interpretasi struktur lipatan
sangat dipengaruhi oleh kemampuan interpreter dalam
menentukan jurus dan kemiringan (strike & dip). Hal ini
relatif sulit, terutama pada struktur lipatan yang bersifat
asimetri, sedangkan pengenalan yang paling mudah adalah berdasarkan pola elips/ lonjong pada citra.
Struktur lipatan antiklin di Zona Rembang mempunyai kecenderungan kemiringan bidang perlapisan
di bagian Selatan lebih curam dibanding bagian Utara.
Struktur lipatan antiklin ini merupakan struktur lipatan
antiklin asimetri dan menunjam. Perbedaan cukup je19
TOPIK INDERAJA
a. Sinklin
b. Antiklin Asimetri
Gambar 6. Kenampakan Struktur Lipatan pada citra hasil rationing band Landsat 7 ETM+ yang digabungkan dengan SRTM.
a. Formasi Paciran
b. Anggota Dander Formasi Lidah
Gambar 7. Kenampakan pada citra hasil rationing band Landsat 7 ETM+ yang digabungkan dengan SRTM.
TOPIK INDERAJA
a. Formasi Notopuro
Gambar 8. Kenampakan pada citra hasil rationing band Landsat ETM+ yang digabungkan dengan SRTM.
kuning hingga kemerahan. Batupasir yang ada merupakan batuan lepas yang mudah diremas dan mengandung
kuarsa. Sisipan batugamping yang ada berwarna abuabu coklat sampai kuning kecoklatan dan tersementasi
dengan baik dengan penyusun utama fosil foraminifera
(Gambar 8.a).
Formasi Kabuh pada citra masih dapat dibedakan
dengan satuan yang lainnya berdasarkan perbedaan
teksturnya, pola pengaliran dan reliefnya. Formasi mempunyai tekstur halus ke kasar dan mempunyai pola pengaliran paralel. Tekstur halus terdiri dari batupasir tufan
dan tekstur kasar berupa konglomerat. Satuan ini dari
citra mirip dengan Formasi Notopuro hanya saja dibedakan dan terlihat adanya batas perlapisan yang agak jelas. Formasi ini pada citra hasil rationing band Landsat 7
ETM+ yang digabungkan dengan SRTM berwarna hijau
cerah, hijau kecoklatan sampai merah. Perbedaan vegetasi yang ada sangat mempengaruhi perubahan warna
tersebut. Di sebelah Timur bagian Selatan ketersedian
air lebih banyak sehingga dimanfaatkan untuk pertanian
bukan kehutanan. Hasil survei lapangan menunjukan bahwa satuan ini ditempati batupasir kasar yang berwarna
abu-abu kecoklatan, konglomerat dan debu tufa yang
berwarna kekuningan dan terkadang batulempung dan
batulanau yang berwarna coklat. Melihat dari penyusunnya satuan ini masih terpengaruh dari aktivitas vulkanik.
Hal ini ditegaskan oleh Pringgoprawiro (1983) bahwa
di Zona Kendeng bagian Timur formasi ini terdiri dari
dua facies, yaitu facies vulkanik dan facies lempung laut
(Gambar 8.b)
Pemetaan geologi dapat dilakukan dengan menggunakan data Landsat 7 ETM+ dan SRTM. Penggunaan
cara rationing band (3/1, 5/7 dan 3/5) pada Landsat
7ETM+ yang dikompositkan dalam RGB dan digabungkan dengan SRTM menunjukkan hasil yang baik untuk
21
TOPIK INDERAJA
Gambar 9. Peta geologi Kab. Bojonegoro dan sekitarnya hasil interpretasi dari citra Landsat 7 ETM+ 3/1, 5/7, 3/5 RGB hasil fusi
dengan SRTM.
22
APLIKASI INDERAJA
kondisi danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah daratan.
Jenis penutup lahan yang ideal di kawasan sekitar
danau/waduk, terlebih lagi yang merupakan Daerah
Tangkapan Air (DTA), adalah tegakan hutan atau lahan
bervegetasi dengan jenis tanaman menahun, bukan
tanaman budidaya. Perubahan penutup/penggunaan lahan di kawasan suatu danau atau di DTA dapat dipantau
dengan memanfaatkan potensi data satelit penginderaan
jauh (inderaja).
DTA suatu danau adalah permukaan bumi di sekeliling danau yang dibatasi oleh punggung bukit yang menampung air hujan dan mengalirkannya melalui sungai-
23
APLIKASI INDERAJA
sungai atau melalui aliran permukaan serta aliran bawah
tanah menuju danau. Pada Gambar 1. dapat dilihat batas
DTA salah satu danau yang terkenal keindahannya, yaitu Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara. Batas DTA
tersebut diturunkan dari data Shuttle Radar Topographic
Mission (SRTM).
Berdasarkan proses terjadinya danau diketahui bahwa Danau Toba merupakan danau vulkanik, yaitu danau
yang terbentuk akibat aktivitas vulkanisme (gunung
berapi). Secara geogras DTA Danau Toba terletak antara koordinat 021200 Lintang Utara (LU) 025600
LU dan 982500 Bujur Timur (BT) 992100 BT.
Mengacu pada wilayah administrasi pemerintahan, DTA
Danau Toba meliputi wilayah di 7 (tujuh) kabupaten
yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang
Hasundutan, Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo, dan Kabupaten
Dairi.
Dimensi Danau Toba adalah panjang 100 kilometer
dan lebar 30 kilometer. Ciri khas Danau Toba adalah
adanya sebuah pulau vulkanik di tengah danau tersebut,
yaitu Pulau Samosir, dengan luas 64.000 hektar. Bentuk DTA Danau Toba adalah lonjong yang menyebabkan waktu konsentrasi air hujan yang mengalir menuju
outlet relatif lama sehingga uktuasi banjir juga relatif
rendah.
APLIKASI INDERAJA
adalah: datar, landai, agak curam, curam, dan sangat
curam sampai terjal. (Dapat dilihat pada Tabel 1). Luas
2D adalah hasil perhitungan luas berdasarkan citra
dua dimensi. Sementara itu, luas 3D diperoleh dengan
memperhatikan sudut kemiringan lahan pada citra tiga
dimensi. Luas 3D dihitung dengan rumus: L2D/cos ,
dimana L2D = luas dua dimensi; dan adalah sudut kemiringan lahan.
Berdasarkan hasil pengolahan data Shuttle Radar
Topographic Mission (SRTM), diperoleh informasi bahwa DTA Danau Toba memiliki luas 398.991,03 hektar
yang terdiri dari perairan Danau Toba 112.834,50 hektar dan kawasan daratan 286.156,53 hektar, sedangkan
keliling DTA adalah 553.740 kilometer. Akan tetapi, jika
dihitung berdasarkan citra 2D, tanpa memperhatikan
faktor kemiringan lahan, maka luas DTA tersebut adalah
392.362,68 hektar. Dengan demikian terdapat selisih
6.628,35 hektar.
KONDISI
KEMIRINGAN (%)
(1)
1.
2.
3.
4.
5.
(2)
Lahan Datar
Lahan Landai
Lahan Agak Curam
Lahan Curam
Lahan Sangat Curam
Sub JUMLAH
Permukaan Air Danau
JUMLAH
(3)
0-8
>815
>15-25
>25-45
>45
81.493
LUAS (Hektar)
100.000
LUAS 2 DIMENSI
( Ha )
(4)
81.449,49
86.424,44
48.986,41
41.165,31
21.466,33
279.492,18
112.834,50
392.362,68
LUAS 3 DIMENSI
( Ha )
(%)
(5)
(6)
81.493,22
28.48
86.745,20
30,31
49.596,45
17,33
42.769,15
14,95
25.552,52
8,93
286.156,53
100,00
112.834,50
398.991,03
86.745
80.000
49.596
60.000
42.769
25.552
40.000
20.000
0
KEMIRINGAN LAHAN
D atar
Landai
A gak C uram
C uram
S angat C uram
Gambar 3. Histogram Kelas Kemiringan Lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba
BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
25
APLIKASI INDERAJA
26
NO
(1)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
TAHUN 2001
(Hektar)
(%)
(3)
(4)
112.834,50
28,74
71.209,19
18,14
40.520,60
10,32
1.858,84
0,47
27.668,45
7,05
137.641,88
35,06
638,63
0,16
172,09
0,04
392.544,18
100,00
PENUTUP LAHAN
(2)
Danau
Hutan
Ladang/Tegalan
Permukiman
Sawah
Semak/Belukar
Lahan Terbuka
Lainnya
JUMLAH
TAHUN 2001
NO
PENUTUP LAHAN
(1)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
(2)
Danau
Hutan
Ladang/Tegalan
Permukiman
Sawah
Semak/Belukar
Lahan Terbuka
Lainnya
JUMLAH
(Hektar)
(3)
112.834,50
73.067,09
40.967,87
1.839,75
27.823,57
141.642,37
641,25
174,63
398.991,03
(%)
(4)
28,28
18,31
10,27
0,46
6,97
35,50
0,16
0,04
100,00
TAHUN 2006
(Hektar)
(5)
112.836,91
72.057,58
41.390,02
1.864,70
28.432,51
142.119,99
125,32
164,00
(%)
(6)
28,28
18,06
10,37
0,47
7,13
35,62
0,03
0,04
100,00
TAHUN 2006
(Hektar)
(%)
(5)
(6)
112.836,91
28,75
70.195,25
17,88
40.932,31
10,43
1.858,84
0,47
28.257,77
7,20
138.174,58
35,20
124,56
0,03
163,96
0,04
392.544,18
100,00
PERUBAHAN LUAS
Hektar
(7)=(5)-(3)
2,41
-1.009,51
422,15
24,95
608,94
477,62
-515,93
-10,63
0,00
(8)=(6)-(4)
0,00
-0,25
0,10
0,01
0,15
0,12
-0,13
0,00
0,00
APLIKASI INDERAJA
608,94
800,00
422,15
477,62
600,00
24,95
400,00
200,00
0,00
-10,63
-200,00
-400,00
-515,93
-600,00
-800,00
-1.000,00
-1.009,51
-1.200,00
Ladang/Tegalan
Lahan Terbuka
Permukiman
Lainnya
Sawah
Gambar 5. Hitogram Perubahan Luas Penutup Lahan di DTA Danau Toba. Tahun 2001-2006.
Gambar 6. Penutup Lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba Tahun 2001.
27
APLIKASI INDERAJA
Gambar 7. Penutup Lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba Tahun 2006.
tan yang luasnya mencapai 1.009,51 hektar. Berkurangnya luas lahan yang bervegetasi di daerah tangkapan
air tersebut, terutama tegakan hutan, akan memberikan
dampak negatif terhadap siklus hidrologi yang bermuara
di Danau Toba, karena sebelum berkurang (2001) luas
hutannya sudah lebih kecil dari 30 %.
Pada Keppres No. 32/1990 Pasal 17 dinyatakan secara eksplisit bahwa perlindungan terhadap kawasan
di sekitar danau/waduk dilakukan untuk melindungi
danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau/waduk. Pengawasan
pemanfaatan lahan di kawasan danau/waduk agar tidak
menyimpang dari peraturan yang berlaku dapat dibantu
dengan menggunakan data satelit inderaja, yaitu untuk
memantau penutup/penggunaan lahan dan mengetahui
perubahan yang terjadi.
APLIKASI INDERAJA
APLIKASI INDERAJA
hujan dari OLR, GPCP, dan
TRMM, juga hasil uji akurasi
antara curah hujan dari TRMM
dibandingkan dengan data curah
hujan hasil pengukuran stasiun
meteorologi di lapangan.
Satelit TRMM merupakan
misi kerjasama antara NASA
dan Japan Aerospace Exploration
Agency (JAXA) dalam memantau
dan mempelajari curah hujan di
wilayah tropik. TRMM diluncurkan pada tanggal 28 November
1997 pada ketinggian 403 km,
dan dapat memantau permukaan
bumi wilayah tropik (50LU
50LS) sebanyak 16 kali sehari
setiap 92.5 menit (Gambar 1). Jenis sensor TRMM dapat dilihat
pada Tabel 1.
Data TRMM tersedia dalam
berbagai produk dengan resolusi
spasial dan temporal yang berbeda-beda. Masing-masing produk
dihasilkan dari sensor berbeda.
Contoh beberapa produk data
TRMM dapat dilihat pada Tabel 2. Produk data TRMM dapat
diakses melalui website Goddard
Space Flight Center NASA (GSFC
NASA) di http://trmm.gsfc.nasa.gov
serta website Earth Observation
Research Center JAXA (EORC)
di http://www.eorc.java/TRMM/
index_e.htm. Berbagai penelitian,
validasi, serta aplikasi data TRMM
telah banyak dilakukan (Meneghini et al. 2004, Mori et al. 2004, Wolff
et al. 2005, Ichikawa and Yasunari
2006, Shige et al. 2007).
Data yang digunakan pada
analisis perbandingan hasil pemantauan dan prediksi curah hujan di
Indonesia adalah TRMM, OLR,
GPCP. Pada analisis perbandingan hasil pemantauan curah hujan digunakan periode data pada
saat kondisi iklim ekstrim yaitu
kejadian El Nio pada bulan Oktober 2006, dan La Nia pada
bulan Desember 2007. Peristiwa
El Nio dikenal sebagai suatu
periode dimana curah hujan di
Indonesia mengalami penurunan
dari kondisi normalnya sehingga
menimbulkan kekeringan yang
lebih parah daripada biasanya, sebaliknya curah hujan di Indonesia
pada kondisi La Nia cenderung
lebih tinggi dibanding kondisi nor-
Resolusi spasial
Lebar sapuan
5 km
5.1 km
247 km
878 km
Kemampuan
menyediakan profil vertikal hujan/salju dari
permukaan hingga ketinggian 20 km
2 km
4 km
720 km
600 km
25 km
seluruh bumi
SSM/I: Special Sensor Microwave Imager (satelit Defense Meteorological Satellite Program)
AMSR-E: Advanced Microwave Scanning Radiometer - Earth Observing System (satelit Aqua)
***
AMSU-B: Advanced Microwave Sounding Unit B (satelit NOAA)
**
30
APLIKASI INDERAJA
Tabel 2. Contoh produk data TRMM yang tersedia.
Jenis
Deskripsi
Spasial
Resolusi
Temporal
Periode
3A11
5.0 x 5.0
bulanan
3A25
5.0 x 5.0
dan
0.5 x 0.5
bulanan
5.0 x 5.0
bulanan
5.0 x 5.0
bulanan
1.0 x 1.0
bulanan
0.25 x 0.25
setiap 3 jam
0.25 x 0.25
setiap 3 jam
3A26
3A31
3A46
3B42
3B46
APLIKASI INDERAJA
32
APLIKASI INDERAJA
Gambar 4. Prediksi curah hujan dan anomali curah hujan untuk bulan April 2009 yang diperoleh dari model statistik yang
dibangun dari data suhu permukaan laut Pasifik tropik dan data OLR tahun 1982 - 2003 (a dan b)
dan data TRMM tahun 1998 - 2008 (c - d)
Gambar 5. Prediksi curah hujan dan anomali curah hujan untuk bulan Mei 2009 yang diperoleh dari model statistik yang
dibangun dari data suhu permukaan laut Pasifik tropik dan data OLR tahun 1982 - 2003 (a dan b)
dan data TRMM tahun 1998 - 2008 (c - d)
BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
33
APLIKASI INDERAJA
Curah Hujan Bulanan di Indramayu (1998 - 2004)
600
CH TRM M
CH O B S E RV A S I
500
r = 0.807
400
300
200
100
0
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
CH TRM M
CH O B S E RV A S I
600
r = 0.779
500
400
300
200
100
0
19 9 8
19 9 9
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Gambar 6. Hubungan curah hujan bulanan antara yang diperoleh dari data TRMM dan
dari stasiun meteorologi untuk a) Kabupaten Indramayu dan b) Kota Palngkaraya.
APLIKASI INDERAJA
ampir pada setiap tahun di wilayah Pulau Sumatera dan Kalimantan terjadi kebakaran hutan
dan lahan, terutama sekali pada musim kemarau
yang umumnya terjadi pada bulan-bulan sekitar April
hingga Oktober. Terjadinya Kebakaran hutan dan lahan dapat diakibatkan oleh faktor-faktor alami dan juga
faktor manusia. Faktor alami berupa iklim dalam kondisi kering, kondisi tutupan vegetasi berupa rumput dan
semak belukar kering, serta tanah yang mengandung
bahan organik tinggi (tanah gambut) yang sangat berpotensi memicu terjadinya kebakaran. Faktor manusia
yang merupakan pemicu utama terjadinya kebakaran
hutan dan lahan adalah dengan pembukaan lahan (landclearing) baik untuk ladang maupun perkebunan dengan
cara membakar. Kebakaran hutan dan lahan akan semakin diperparah apabila terjadi El Nino. Dalam kurun
waktu 1997 2008, di Indonesia telah terjadi empat kali
El Nino, yaitu pada tahun 1997, 2002, 2004 dan 2006. Menurut prediksi International Research Institute (IRI), di
Indonesia pada tahun 2009 akan mengalami peristiwa El
Nino lagi.
Salah satu upaya untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan ini adalah dengan melakukan
deteksi dini lokasi-lokasi daerah yang terbakar dengan
menggunakan satelit penginderaan jauh. Indikator yang
digunakan untuk mengetahui adanya kebakaran hutan
dan lahan dari data satelit adalah titik panas (hotspot).
Hotspot merupakan suatu lokasi di permukaan bumi
yang mempunyai suhu relatif lebih panas dibandingkan
daerah sekitarnya. Data satelit yang dapat digunakan
untuk kegiatan pemantauan dan deteksi titik panas kebakaran hutan dan lahan adalah data satelit penginderaan jauh NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration), MODIS (Moderate Imaging Resolution
Spectroradiometer) dan ATSR (Along Track Scanning
APLIKASI INDERAJA
15, 16, 17, 18 dan 19), MTSAT (Multi-functional Transport Satellite) dan Feng Yun. Stasiun Bumi di Pare-pare
mengakuisi data satelit MODIS dan SPOT (seri 2 dan
4). Stasiun Bumi di Bogor mengakuisisi data satelit MODIS. Sedangkan stasiun bumi di Biak mengakuisisi data
satelit NOAA (seri 15, 16, 17, 18 dan 19) dan Feng Yun.
LAPAN memperoleh informasi hotspot dengan memanfaatkan data satelit NOAA seri 18 dan MODIS. Pada saat
ini operasional dari mulai akusisi data satelit, pengolahan data untuk mendapatkan informasi hotspot hingga
penyebarluasan informasi melalui situs internet memerlukan waktu kurang lebih 90 menit. Setiap harinya hasil
informasi hotspot dapat diunduh oleh masyarakat luas
sekitar pukul 15.00 16.00 WIB pada situs internet LAPAN di http://www.rs.lapan.go.id/SIMBA.
Adanya berbagai sumber data satelit yang digunakan untuk menghasilkan informasi hotspot tentu
saja terdapat perbedaan antara informasi hotspot yang
satu dengan lainnya. Umumnya perbedaan hasil informasi hotspot tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan nilai ambang batas suhu yang digunakan, jenis
data yang digunakan dan perbedaan jam perekaman
oleh satelit pada daerah yang sama. Sebagai contoh,
penggunaan ambang batas suhu pada data NOAA seri
36
APLIKASI INDERAJA
37
APLIKASI INDERAJA
38
APLIKASI INDERAJA
LATITUDE
LONGITUDE
PROVINSI
BANGKABELITUNG
BANGKABELITUNG
BANGKABELITUNG
BANGKABELITUNG
BANGKABELITUNG
BANGKABELITUNG
BANGKABELITUNG
KABUPATEN
-1.77
105.60
-1.90
105.58
-1.90
105.60
-1.92
105.26
-1.93
105.26
-1.93
105.27
-2.04
105.44
-1.74
102.15
JAMBI
BUNGO
-1.75
102.15
JAMBI
BUNGO
-2.27
102.43
JAMBI
SAROLANGUN
0.78
108.91
0.78
108.92
0.68
108.94
0.67
108.94
0.67
108.96
0.60
108.97
0.59
108.96
0.59
108.97
-0.85
109.60
-0.86
109.60
-0.87
109.60
-0.87
109.61
-0.87
109.61
1.49
109.08
1.49
109.10
1.48
109.08
1.48
109.10
1.45
109.11
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
LATITUDE
BANGKA BARAT
116.73
0.23
BANGKA BARAT
116.59
0.62
BANGKA BARAT
116.58
0.63
BANGKA BARAT
116.31
-1.57
BANGKA BARAT
114.91
-2.41
BANGKA BARAT
114.69
-2.25
BANGKA BARAT
114.68
-2.25
114.68
-2.24
114.67
-2.24
114.96
-2.06
115.20
-1.99
115.10
-1.64
113.49
-1.03
113.01
-0.98
114.25
-2.97
114.30
-2.92
114.63
-2.77
114.58
-2.75
114.59
-2.74
114.62
-2.65
114.76
-2.59
114.40
-2.47
114.39
-2.23
114.49
-1.95
113.41
-2.95
113.42
-2.94
113.41
-2.94
113.60
-2.22
BENGKAYANG
BENGKAYANG
BENGKAYANG
BENGKAYANG
BENGKAYANG
BENGKAYANG
BENGKAYANG
BENGKAYANG
PONTIANAK
PONTIANAK
PONTIANAK
PONTIANAK
PONTIANAK
SAMBAS
SAMBAS
SAMBAS
SAMBAS
SAMBAS
LONGITUDE
PROVINSI
KALIMANTAN
TIMUR
KALIMANTAN
TIMUR
KALIMANTAN
TIMUR
KALIMANTAN
TIMUR
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
TENGAH
KABUPATEN
KUTAI TIMUR
KUTAI TIMUR
KUTAI TIMUR
PASIR
BARITO SELATAN
BARITO SELATAN
BARITO SELATAN
BARITO SELATAN
BARITO SELATAN
BARITO TIMUR
BARITO TIMUR
BARITO TIMUR
GUNUNGMAS
GUNUNGMAS
KAPUAS
KAPUAS
KAPUAS
KAPUAS
KAPUAS
KAPUAS
KAPUAS
KAPUAS
KAPUAS
KAPUAS
KATINGAN
KATINGAN
KATINGAN
KATINGAN
APLIKASI INDERAJA
40
rencanaan, inventarisasi, monitoring, dan sistem pendukung pengambilan keputusan (decission support system).
Bidang aplikasi SIG yang demikian luas, dari urusan
perencanaan tata ruang wilayah sampai pada persoalan
bagaimana membagi jalur jalan untuk menentukan rute
kendaraan umum, pembuatan jaringan pipa distribusi air
dan sebagainya, menghendaki penanganan pekerjaan
yang dilakukan secara terpadu (integrated) dan multidisiplin ilmu. Dengan semakin berkembangnya pemanfaatan SIG, kegiatan pengadaan data spasial semakin meningkat. Data spasial akan memberikan informasi secara
keruangan, letak dan posisi, sesuai dengan tema yang
dikembangkan. Pengadaan data merupakan salah satu
kegiatan yang memerlukan biaya tinggi dan alokasi waktu yang cukup lama. Mengingat besarnya investasi yang
harus dikeluarkan untuk pengadaan dan pemeliharaan,
maka diperlukan adanya suatu upaya untuk menekan biaya. Pertukaran data spasial (spatial data exchange) atau
menggunakan data spasial secara bersama-sama (spatial
data sharing), merupakan salah satu upaya untuk mengurangi biaya yang diperlukan. Setiap pengguna (users)
yang memerlukan data spasial di lokasi tertentu, dapat
menggunakan data dari institusi penyedia data atau dari
pengguna lain yang telah memiliki data spasial di lokasi
tersebut dan contohnya dapat dilihat seperti pada gambar
1, yaitu: informasi peta citra satelit.
Institusi penyedia data spasial umumnya menyimpan
dan mengelola data spasial dalam model/ format yang
berbeda-beda. Akibatnya para pengguna akan menemui
kesulitan apabila ingin menggunakan data tersebut, dan
memerlukan konversi data yang nanti akan dipergunakan dalam aplikasi yang diinginkan, maka diperlukan
suatu standar data yang akan digunakan.
BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
APLIKASI INDERAJA
Gambar 1. Tampilan data spasial daerah detil (dengan peta citra satelit)
bentuk basis nasional atau suatu kawasan administrasi dan untuk tujuan analisa meliputi cakupan spasial dan cakupan informasi yang luas dan berkaitan
mengenai sosial, ekonomi dan lingkungan.
Kabupaten Biak Numfor memiliki data dan informasi spasial yang masih relatif sangat terbatas, terfragmentasi dan tersedia dalam skala kecil. Melihat kondisi
seperti ini diperlukan sebuah sistem informasi data
spasial yang dapat digunakan untuk model pengelolaan
dan penyimpanan data. Pembangunan infrastruktur data
spasial daerah sangat berguna dalam menyusun suatu
perencanaan pengembangan daerah. Model dan desain
sistem informasi spasial daerah dihimpun berdasarkan
standar tertentu dalam bentuk basis data spasial, aturan
atau prosedur, bentuk dan aturan kerjasama antar instansi pengguna data tersebut.
Tahapan yang dikerjakan pada pembuatan sistem informasi spasial daerah, yaitu melalui penyusunan peta
tematik dengan metode klasikasi, analisis spasial dan
survei ke dinas/ instansi terkait. Kemudian untuk menyusun peta tematik, diperlukan standarisasi data agar
dapat menyamakan format peta tematik. Hal ini juga
dimaksudkan untuk memudahkan dalam berbagi data
(data sharing). Selanjutnya membuat basis data spasial yang diintegrasikan dengan data tabular, sehingga
41
APLIKASI INDERAJA
menghasilkan peta-peta tematik dengan informasi yang
baru. Peta tersebut digunakan sebagai bahan dasar
pembentukan kerangka basis data spasial daerah Kabupaten Biak Numfor (rancangan sistem informasi spasial
daerah). Setelah itu rancangan sistem informasi spasial
daerah serta desain basis data disusun pada sebuah program sistem informasi berbasis web, dan hasilnya dapat
ditampilkan sebagai informasi peta penutup lahan pada
gambar 2.
Pengolahan data yang dilakukan adalah dengan
mengekstraksi informasi dari citra satelit Landsat 7
ETM+ tanggal perekaman 12 Mei 2002, Ikonos perekaman 2006, Quickbird perekaman 2006 dan data SRTM.
Dimana sebelum melakukan pengolahan data dilakukan
proses pra-pengolahan data, yaitu berupa rektikasi
citra melalui proses koreksi geometris, translasi dan
rotasi pada citra penginderaan jauh. Hal ini dilakukan
untuk menghasilkan citra yang sesuai dengan posisi
dan lokasi dipermukaan bumi dengan koordinat standar
(UTM Zona 53 S). Dalam melakukan koreksi geometri
terhadap data citra satelit digunakan titik kontrol tanah
(GCP) dengan titik ikat orde 4 dari BPN Biak Numfor
(terlebih dahulu diubah proyeksinya dari TM-3 menjadi
UTM). Selanjutnya untuk koreksi datanya dilakukan
pengolahan data, yaitu berupa penajaman citra (image
enhancement), pemotongan citra (cropping) berdasarkan studi area dan pengolahan digital. Sedangkan pada
tahap pengolahan SIG dilakukan interpretasi data citra
dengan cara interpretasi secara visual yang dilanjutkan
dengan proses digitasi pada layar (on screen digitation)
untuk meghasilkan data vektor sesuai dari tema (sangat
dimungkinkan untuk dilakukan analisa objek sesuai dengan tema dan kebutuhan tertentu). Tema-tema tertentu
dapat diperoleh melalui proses tumpang susun (overlay)
sehingga menghasilkan informasi baru (batas administrasi, ketinggian, kelerengan, jaringan jalan, penutup
lahan, sarana kesehatan, sarana pendidikan, kesesuaian
lahan dan sebagainya).
Perancangan sistem informasi dilakukan untuk
merancang prosedur yang akan dijalankan pada sistem
dengan membuat diagram alir yang dapat mewakili setiap proses yang akan dilaksanakan didalam sistem dan
menetapkan standar yang akan digunakan oleh sistem.
Perancangan sistem ini dibuat berdasarkan kelompok
(entity) yang berpengaruh terhadap sistem yang akan
didesain dan menjadi dasar dalam membuat basis data.
Untuk suatu sistem tertentu perlu dibuat terlebih dahulu desain Diagram alir data yang bertujuan untuk
mengetahui aliran data/ informasi yang masuk kedalam
sistem dan keluar dari sistem yang akan didesain. Hasil
Gambar 2. Halaman data spasial daerah detil (dengan peta penutup lahan)
42
APLIKASI INDERAJA
perancangan tersebut akan menjadi acuan dalam perancangan basis data spasial. Desain sistem informasi spasial daerah yang akan dibuat ditunjukkan pada gambar
3. Diagram level 0 adalah diagram level tertinggi dari
DFD yang menggambarkan hubungan sistem dengan
lingkungan luarnya, dilanjutkan dengan level 1 yang
berisi proses/prosedur yang terjadi/dirancang didalam
sistem, pada level selanjutnya diuraikan proses-proses
pada level 1 menjadi proses yang lebih detail.
sain sistem yang akan dibuat yaitu sistem informasi spasial daerah dengan mengkonstruksi model data konseptual, yang mencerminkan struktur dan batasan dari basis
data (Eddy Prahasta, 2005). Kegiatan ini menghasilkan
tabel-tabel kelompok dalam sistem dan tabeltabel yang
mencerminkan proses-proses yang akan berjalan pada
sistem dan pembentuk basis data. Hasil kegiatan desain
basis data dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu desain
model relasi antar tabel yang telah dibuat menggunakan
model entity-relasional data. Hubungan yang terjadi dari
tabel-tabel tersebut dibuatkan model hubungan yang terjadi pada basis data dan akan menjadi dasar untuk tahap
selanjutnya yaitu pemrograman sistem informasi.
Tahap pemograman sistem informasi web dilakukan
proses penerjemahan algoritma model, alur kerja sistem,
integrasi tiap komponen sistem dan antarmuka sistem
kedalam bahasa komputasi. Bahasa pemrograman yang
digunakan adalah PHP/ Mapscript. Hasil proses ini
berupa perangkat lunak sistem informasi berbasis web.
Untuk dapat menampilkan data spasial (raster dan vektor) dalam bentuk peta dihalaman web memiliki prosedur/ aturan tersendiri, data raster atau data vektor yang
diakses pengguna akan dikonversikan kedalam format
le gambar (JPG/PNG/GIF) kemudian dikirimkan kembali ke pengguna, dapat dilihat arsitektur umum aplikasi
pemetaan di web pada gambar 4.
APLIKASI INDERAJA
pilan peta seperti denisi layer, denisi proyeksi peta,
pengaturan legenda, skala dan sebagainya. Di dalam le*.
map layer-layer yang ada akan diproses oleh mapserver,
kemudian akan dikirimkan hasilnya berupa data spasial
dan data citra dalam format le gambar (PNG), yang
memiliki kompresi data yang kecil (loss-less compretion)
yang tergabung dalam le html/ php ke komputer client
(Ruslan Nuryadin, 2005).
44
APLIKASI INDERAJA
mengelola data spasial disuatu daerah, dimungkinkannya untuk pertukaran data spasial (spatial data
exchange), menggunakan data spasial secara bersamasama (spatial data sharing), serta kemudahan pengguna (user) untuk mencari informasi mengenai data spa-
45
pada dua kanal spektral (merah dan inframerah), menghasilkan citra dengan lebar liputan 890 km dengan suatu
pandangan sinoptik dengan resolusi spasial 260 meter.
Permukaan bumi secara lengkap diliput dalam 5 hari.
Sensor pencitra berupa Kamera CCD Resolusi Tinggi
(High Resolution CCD Camera HRCC) menghasilkan
citra dengan lebar liputan 113 km dan resolusi spasial 20
meter. Kamera HRCC beroperasi dalam 5 kanal spektral
yang terdiri dari: tiga kanal tampak, satu kanal inframerah dekat, dan satu kanal Pankromatik. Kedua kanal
spektral WFI juga terdapat dalam kamera HRCC untuk
melengkapi data dari dua jenis citra inderaja tersebut.
Karena kamera ini memiliki kemampuan pengarahan
ke samping (sideways pointing) sebesar 32 derajad,
menjadikannya mampu mengambil citra stereoskopik
pada suatu wilayah tertentu. Di samping itu, fenomena
apapun yang dideteksi oleh WFI dapat diperbesar dengan pandangan oblique kamera CCD dengan maksimum
Ketinggian Orbit: 778 km, Inklinasi: 98.504
waktu tunda tiga hari. Satu siklus cakupan lengkap kaPeriode: 100,26 min.
mera HRCC membutuhkan waktu 26 hari.
Gambar 1. Konfigurasi satelit dan Karakteristik teknis orbit
Sensor pencitra Infrared Multispectral Scanner
serial satelit satelit CBERS
(IRMSS) hanya terdapat dalam CBERS-1 dan 2, tetapi
tidak ada dalam CBERS-2B. IRMSS beroperasi dalam 4
Tabel 1. Karakteristk Teknis Satelit Cbers-1, 2, dan 2B
kanal spektral, termasuk di dalamnya satu
Satelit
CBERS-1, 2 , 2B
kanal Pankromatik, dan memperluas cakuNegara
China, Brazil
pan spektral citra hingga kisaran inframJenis/ Aplikasi
Observasi Bumi
erah termal. IRMSS menghasilkan citra
Massa Total
1450 Kg
dengan lebar liputan 120 km dengan resoluMenghasilkan Power
1100 W
si spasial 80 meter (160 meter untuk kanal
Baterei
2 X 30 Ah Nicd
inframerah termal). Dalam 26 hari mampu
Dimensi Tubuh Satelit
(1.8 X 2.0 X 2.2) M
memperoleh cakupan lengkap permukaan
Dimensi Panel Matahari
6.3 X 2.6 M
bumi yang dapat dikorelasikan dengan ciKetinggian Orbit Sinkron Matahari
778 Km
tra-citra kamera CCD. Karakteristik teknis
CCD, WFI, IRMSS (#1, 2) HRC
sensor-sensor: kamera WFI, kamera CCD
Sensor
(#2B)
dan IRMSS pada seri satelit CBERS, serta
Propulsi Hydrazine
16 X 1 N; 2 X 20 N
karakteristik data citranya ditunjukkan
Stabilisasi
3 Axis
pada Tabel 2. Contoh citra satelit CBERS
Supervisi Pada Satelit ( Onboard)
Didistribusikan
menggunakan kamera WFI, kamera CCD
Komunikasi Pelayanan (TT&C)
Kanal UHF Dan S
dan Kamera IRMSS ditunjukkan masingUmur Satelit ( Lifetime) (0.6 Reliabilitas) 2 Tahun
masing pada Gambar 3, 4 dan 5.
Kamera Pankromatik Resolusi Tinggi
Karakteristik yang unik dari satelit CBERS-1,2 dan
(High Resolution Panchromatic Camera - HRC) berop2B adalah payload multi-sensornya dengan resolusi spaerasi dalam kanal spektral tunggal: 0,50 0,80 m (Pansial dan frekuensi pengumpulan citra yang berbeda. Senkromatik). HRC hanya ada dalam CBERS-2B (tidak ada
sor berupa Kamera Pencitra Medan Luas (Wide Field
dalam CBERS-1 dan 2). HRC menghasilkan citra dengan
Imager - WFI) (pada satelit CBERS-1, 2, 2B) beroperasi
lebar liputan 27 km dengan resolusi spasial 2.7 meter,
48
1. Modul Pelayanan
2. Sensor Matahari
3. Kumpulan Pendorong
(Thruster Assembly) 20N
4. Kumpulan Pendorong
(Thruster Assembly) 1N
5. Dinding Bagian Tengah
6. Antenna Penerima UHF
7. Infrared Scanner (IRMSS)
8. AntennaPemancar IR
9. AntennaPemancar VHF
Kanal Spektral
Resolusi spasial
Resolusi Suhu
Resolusi temporal
Lebar liputan satu citra di
permukaan bumi.
Kemampuan pointing
cermin
Kecepatan bit data citra
Frequensi pembawa RF
EIRP
Umur satelit
8.3
0,51 0,73 m (pan)
0,45 0,52 m (biru)
0,52 0,59 m (hijau)
0,63 0,69 m (merah)
0,77 0,89 m (inframerah dekat)
0.5- 0.8 m (PanKro HRC, hanya pd.
CBERS-2B)
20 x 20 m
PanKro HRC 2.7x2.7 m
2.1
60
260 x 260 m
26 hari
5 hari
120 km
890 km
6.13 Mbit/detik
1.1 Mbit/detik
8216.84 MHz
8203.35 MHz
32
2 x 53 Mbit/detik
8103 MHz and 8321 MHz
43 dBm
Dua tahun
49
50
Gambar 4. Contoh citra kamera CCD resolusi tinggi - CBERS-2: Wilayah Man.
51
Gambar 6. Peta Citra Negara bagian Sao Paulo dalam skala jutaan memperlihatkan mosaik WFI
(940 km) dengan luas sekitar 240.000 km persegi. Waktu antara akuisisi bingkai pertama dan
terakhir adalah 30 hari atau 6 rekaman berurutan
52
Center
frequency (GHz)
Max.
bandwidth
(GHz)
Center
frequency
stability (MHz)
Temp.
sensitivity
NEDT (K)
Calibration
accuracy (K)
Static
beamwidth ()
Quasi
polarization
Characterization at nadir
(reference only)
23.8
0.27
10
0.9
2.0
5.2
QV
Window-water
Vapor 100 mm
31.4
0.18
10
0.9
2.0
5.2
QV
Window-water
Vapor 500 mm
50.3
0.18
10
1.20
1.5
2.2
QH
Window-surface
Emissivity
51.76
0.40
0.75
1.5
2.2
QH
Window-surface
Emissivity
52.8
0.40
0.75
1.5
2.2
QH
Surface air
53.596 0.115
0.17
0.75
1.5
2.2
QH
4 km ~700 mb
54.40
0.40
0.75
1.5
2.2
QH
9 km ~ 400 mb
54.94
0.40
10
0.75
1.5
2.2
QH
11 km ~ 250 mb
55.50
0.33
10
0.75
1.5
2.2
QH
13 km ~ 180 mb
10
57.290344
0.33
0.5
0.75
1.5
2.2
QH
17 km ~ 90 mb
11
57.290344 0.217
0.078
0.5
1.20
1.5
2.2
QH
19 km ~ 50 mb
12
57.290344 0.3222
0.048
0.036
1.2
1.20
1.5
2.2
QH
25 km ~ 25 mb
56
57.290344 0.3222
0.022
0.016
1.6
1.50
1.5
2.2
QH
29 km ~ 10 mb
14
57.290344 0.3222
0.010
0.008
0.5
2.40
1.5
2.2
QH
32 km ~ 6 mb
15
57.290344 0.3222
0.0045
0.003
0.5
3.60
1.5
2.2
QH
37 km ~ 3 mb
16
87-91
2.0
200
0.5
2.0
2.2
QV
17
166.31
2.0
200
0.6
2.0
1.1
QH
H2O 18 mm
18
183.317.0
2.0
100
0.8
2.0
1.1
QH
H2O 8 mm
19
183.314.5
2.0
100
0.8
2.0
1.1
QH
H2O 4.5 mm
20
183.313.0
1.0
50
0.8
2.0
1.1
QH
H2O 2.5 mm
21
183.311.8
1.0
50
0.8
2.0
1.1
QH
H2O 1.2 mm
22
183.311.0
0.5
30
0.9
2.0
1.1
QH
H2O 0.5 mm
57
Gambar 9. Perbandingan citra simulasi sensor satelit NOAA17 (kiri) dan satelit NPP (kanan).
Sea Surface Temperature (SST) merupakan pengukuran suhu air laut pada lapisan batas permukaan (skin)
dan 1 meter lebih atas (bulk).
Aerosol Optical Thickness (AOT) merupakan pemunahan (hamburan + penyerapan) suspensi partikel cair
atau padat di atmosfer pada narrow band sekitar panjang
gelombang tertentu.
59
Siklon Tropis
Memasuki Wilayah Indonesia
Oleh: Nanik Sur yo Har yani*, Any Zubaidah*, Totok Suprapto**
* Peneliti Iklim dan Cuaca, Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan - Pusbangja LAPAN
** Kepala Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan - Pusbangja LAPAN
dari dasar awan comulunimbus atau cumulus (dalam beberapa kejadian) dan sering (tidak selalu) tampak seperti corong awan. Sebuah pusaran angin dapat dianggap
sebagai tornado jika pusaran angin tersebut menyentuh
tanah dari dasar awan comulunimbus.
Daerah pertumbuhan siklon tropis paling subur di
dunia adalah Samudra Hindia dan perairan barat Australia. Pertumbuhan siklon di kawasan tersebut ratarata mencapai 10 kali per tahun (Biro Meteorologi
Australia, 1960). Siklon tropis di Selatan Indonesia ini
selalu muncul setiap tahun. Penyebabnya adalah tingginya suhu muka laut di timur laut Australia. Wilayah
Indonesia tidak dilalui pusat badai tropis, hanya terkena imbas dari ekor badai tersebut. Imbasnya berupa
angin kencang, hujan deras, dan tingginya gelombang
laut. Pemunculan siklon diawali pusat tekanan rendah
di barat laut Australia dan bergerak menuju barat daya.
Efek yang biasa terjadi di wilayah pantai selatan Indonesia di pengaruhi oleh ekor siklon, bukan akibat pusat
badai tropis. Fenomena siklon tropis memang sangat
menarik, karena walaupun kehilangan energi ketika
melewati daratan, siklon tropis masih membawa sejumlah moisture/uap air di atas daratan yang menyebabkan
munculnya thunderstorms yang berkolaborasi dengan
banjir dan tanah longsor.
Siklon mempunyai bagian-bagian antara lain: kumpulan hujan, dinding mata dan mata (pusat dari pusaran
Gambar 1. Siklon.
BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
61
63
64
65
BERITA RINGAN
Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN
Mengikuti Pameran Static Show di Mabes TNI Cilangkap Jakarta
66
BERITA RINGAN
Kunjungan Siswa Pendidikan Spesialis Per wira Hidro
Oseanogra (DIKSPESPA HIDROS - TNI AL)
Ke Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN
Pekayon, 3 Februari 2009
elasa, 3 Februari 2009, Kedeputian Bidang
Penginderaan Jauh LAPAN menerima rombongan tamu dari Siswa DIKSPESPA HIDROS TNI
Angkatan Laut yang didampingi oleh Pelatih
dan Pembantu Pelatih dengan jumlah keseluruhan rombongan adalah sebanyak: 29 orang.
Penerimaan kunjungan ini mendapat sambutan langsung dari Deputi Bidang Penginderaan Jauh, Bapak Ir. Nur Hidayat, Dipl. Ing. Acara
dilaksanakan di Gedung Training pada Kantor
Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN
Pekayon.
Pada acara pembukaan, Bapak Deputi Bidang Penginderaan Jauh menyampaikan kata
sambutan yang kemudian dilanjutkan oleh Kepala Bidang Produksi Data - Pusat Data, Bapak
Ir. Agus Hidayat, M.Sc. Kepala Bidang Produksi Data pada kesempatan ini menyapaikan
penjelasan materi tentang Tugas Pokok, Fungsi
dan Fasilitas-fasilitas yang di miliki De Inderaja
LAPAN - Pekayon. Setelah penjelasan materi,
selanjutnya Rombongan TNI AL beserta Siswa
peserta DIKSPESPA HIDROS diberi kesempatan
mengadakan Tour keliling untuk meyaksikan secara lebih dekat fasilitas-fasilitas LAPAN khususnya di Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan
Jauh baik yang ada pada Pusat Data Penginderaan Jauh maupun pada Pusat Pengembangan
Pemafaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh.
Acara semacam ini merupakan bentuk kontribusi dari Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh
LAPAN dalam menyampaikan informasi perkembangan teknologi Penginderaan Jauh kepada
masyarakat dan khususnya kepada TNI AL.
Deputi Bidang Penginderaan Jauh, Ir. Nur Hidayat, Dipl Ing dan
Pengawas Latihan Letkol Laut (P) Amril.
Kepala Bidang Produksi Data Ir. Agus Hidayat, MSc memberikan penjelasan
tentang informasi Peta Citra Satelit (PCS) kepada rombongan tamu siswa
peserta Dikspespa Hidros
67
BERITA RINGAN
Sosialisasi Pilot Project Penggunaan Data ALOS
di Indonesia
Pembukaan acara oleh K. Pusbangja LAPAN Ibu Dra. Ratih Dewanti, MSc.
68
BERITA RINGAN
Daftar Narasumber:
1. Presentasi utama:
LAPAN : Dra. Ratih Dewanti, MSc, Kapusbangja
LAPAN.
JAXA : Mr. Chiyoshi Kawamoto, Planning
Manager, Satellite Applications and
Promotion Center, JAXA.
Dr. Preesan Rakwatin, Researcher,
Earth Observation Research Center,
JAXA (Possibility of ALOS/ PALSAR
data for forest monitoring in
Indonesia).
RESTEC: Mr. Makoto Ono, Advisory
Scientist, RESTEC.
2. Presentasi hasil penelitian dengan menggunakan data satelit ALOS:
a. Muzailin Affan (Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh): Aplikasi data ALOS untuk Penggunaan Lahan.
b. Dr. Baba Barus (IPB): Aplikasi data ALOS untuk Penggunaan Lahan.
c. Dr. Fahmi Amhar (BAKOSURTANAL): Aplikasi
data ALOS untuk pemetaan.
d. Retnosari (Departemen Kehutanan ): Aplikasi data ALOS untuk kehutanan.
e. Ita Carolita dan Dr. Bambang Trisakti (LABERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009
BERITA RINGAN
Bimbingan Teknis Pengolahan Data Penginderaan Jauh
Untuk Peningkatan SDM Pemda Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur
Bupati Sampang, dalam sambutannya menginformasikan bahwa dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah Kabupaten Sampang menitik beratkan pada
pembanguan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan
mengentaskan kemiskinan. Sejalan dengan dioperasikannya
Jembatan Suramadu pada tanggal 10 Juni 2009, tentunya
mempermudah akses dari Kabupaten Sampang ke Surabaya
maupun sebaliknya. Sehingga akan menjadikan Kabupaten
Sampang sebagai alternatif untuk melakukan investasi. Kabupaten Sampang sampai saat ini belum mempunyai industri, padahal daerah ini kaya dengan Sumber Daya Alam
khususnya Gas Alam. Dengan dioperasikannya Jembatan
Suramadu diharapkan akan banyak investor yang tertarik
untuk melakukan investasi di Madura khususnya Kabupaten
Sampang dan akan menjadi titik sentra pembangunan di
Pulau Madura. Selanjutnya disampaikan oleh Bupati Sampang, bahwa hasil bimtek Pengolahan dan Pemanfaatan
Data Penginderajan Jauh yang dilaksanakan 8 s/d 19 Juni
2009 (selama 11 hari), merupakan persiapan aparat supaya
selalu berinovasi untuk mengolah sumberdaya alam yang
ada agar nantinya dapat menjadi pemain jangan hanya
menjadi penonton. Dengan menjadi pemain kita tentunya
akan dapat menciptakan lapangan kerja yang tentunya akan
mengurangi ketertinggalan dari daerah lain. (AK)
Foto Bersama: Kapus Data Penginderaan Jauh Ir. Agus Hidayat, M.Sc (duduk kesatu dari kiri), Prof.Dr.Sri Hardiyanti Purwadhi (duduk ketiga
dari kiri), Bupati Sampang Noer Tjahja (duduk keempat dari kiri), Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN Ir. Nur Hidayat, Dipl.Ing (duduk kelima dari kiri), Peneliti ahli Inderaja LAPAN Ir. Mahdi Kartasasmita MS.Ph.D (duduk keenam dari kiri), dan peserta Bimtek.
70
BERITA RINGAN
Peresmian Pengoperasian Sistem Antena X-Band AXYOM
Model 50 Di Stasiun Bumi Satelit Penginderaan Jauh
LAPAN, Parepare
abtu, 25 Juli 2009, peresmian pengoperasian sistem Antena X-Band AXYOM Model 50 di Stasiun Bumi Satelit
Penginderaan Jauh Sumber Daya Alam Parepare dilakukan
oleh Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Ir. Nur Hidayat, Dipl.Ing. Acara peresmian ini dihadiri oleh Deputi Bidang RIPTEK Kementrian Negara Riset dan Teknologi, Dr. Ir.
Teguh Raharjo, Kepala Badan Litbang Deptan, Dr. Ir. Gatot
Irianto serta Walikota Parepare yang diwakili oleh Sekretaris Kota, Drs. H. Rahim Rauf, M.M. Selain itu hadir pula dalam
acara ini Bupati Enrekang La Tinro La Tunrung, Bupati Polman Drs. Ali Baal, M.Si, Wakil Bupati Sidrap H. Dollah Mando
serta perwakilan dari 7 kabupaten/ kota di Sulawasi Barat
dan Sulawesi Selatan serta unsur pimpinan wilayah dan
MUSPIDA Kota Parepare.
Walikota Parepare dalam sambutannya yang dibacakan oleh Sekretaris Kota Parepare Drs. H. Rahim Rauf,
M.M menyambut baik kehadiran antena baru ini dan
mengharapkan antena tersebut dapat lebih meningkatkan kinerja LAPAN dalam melayani kebutuhan penyediaan
informasi geo-spasial bagi kepentingan perencanaan dan
pemantauan pembangunan, pelestarian lingkungan hidup
dan penanggulangan bencana. Walikota juga mendukung
kehadiran Stasiun Bumi Satelit Penginderaan Jauh di Parepare yang telah menjadi salah satu icon Kota Parepare sejak
Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Ir. Nur Hidayat, Dipl.Ing
saat menyampaikan sambutan pada acara peresmian
didirikannya pada tahun 1993.
Antena X-Band.
Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Ir. Nur Hidayat, Dipl.Ing dalam sambutannya mengharapkan denroket air yang merupakan kerjasama antara LAPAN dengan
gan penambahan sistem antena di Stasiun Bumi Parepare
PP IPTEK dan menugaskan Satker LAPAN Parepare untuk
dapat meningkatkan kualitas penyediaan data satelit
memfasilitasi kegiatan ini.
penginderaan jauh untuk seluruh Indonesia. Pada kesemAcara peresmian sistem Antena X-Band AXYOM Modpatan tersebut Deputi Bidang Inderaja berterima kasih
el 50, diakhiri oleh presentasi dan diskusi oleh Dr. Gatot
atas dukungan Bapak Bupati dan WaIrianto (Ka. Balitbang Deptan) yang
likota dalam pemanfaatan data satelit
membawakan topik pemanfataan data
penginderaan jauh untuk perencasatelit penginderaan jauh dalam bidang
naan dan pemantauan pembangunan
pertanian serta Dr. Bambang Semedi
di daerah. Dan juga berharap dapat
(UNHAS) dengan topik pemanfaatan
lebih meningkatkan mutu pelayanan
data satelit penginderaan jauh dalam
serta memperluas kerjasama dengan
bidang perikanan. Seluruh peserta yang
memanfaatkan hasil-hasil litbang LAhadir yang berasal dari perwakilan 11
PAN selain bidang penginderaan jauh,
Kabupaten/ Kota sangat antusias dalam
seperti dintaranya: AWS, Pembangkit
mengikuti diskusi ini dan sebagai modListrik Tenaga Hibrid, dll. Selain itu juga
erator adalah Kapusdata LAPAN, Ir. Agus
Deputi bidang inderaja LAPAN meSistem Antena X-Band AXYOM Model 50
Hidayat, M.Sc. (AK)
nyambut baik penyelenggaraan lomba
(latar belakang adalah Antena NEC)
71
PERISTIWA
Dalam Gambar
ada hari Rabu tanggal 20 Mei 2009, dilakukan Penandatanganan MoU oleh Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN
Ir.Nurhidayat, Dipl. Ing dan Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian Republik Indonesia Ir. Achmad Mangga Barani,
MM. di Gedung C, Ruang Rapat Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. Dalam sambutannya, Deputi Inderaja menginformasikan, LAPAN siap berkontribusi dalam pembiayaan dan penyediaan data satelit penginderaan jauh.
Dengan menggunakan dan memanfaatkan data satelit penginderaan jauh, dapat melakukan pemantauan sebaran tanaman kelapa
sawit, sebagai contoh adalah perkebunan kelapa sawit yang ada di
Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Sehingga diharapkan informasi
yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan perkebunan di Indonesia.
eputi Bidang Penghinderaan Jauh Ir. Nurhidayat, Dipl.Ing. menyaksikan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Kepala
LAPAN dan Rektor The International Institute for Geo-Information
Science and Earth Observation (ITC) Belanda, pada hari Senin, 1 Juni
2009, di kantor LAPAN Pusat, Rawamangun - Jakarta. Nota kesepahaman kerjasama tersebut dalam hal penelitian dan pengembangan penginderaan jauh.
ITC adalah lembaga pendidikan dan penelitian dalam bidang aplikasi teknik observasi bumi dan penggunaan informasi spasial untuk
perencanaan kota dan desa serta pengawasan dan pengelolaannya.
Kerjasama LAPAN dan ITC ini mencakup peningkatan sumberdaya
manusia, transfer teknologi, penelitian, pengembangan, dan diseminasi pengetahuan. Kerjasama keduanya mengkhususkan pada bidang
penginderaan jauh dan sistem informasi geografi serta aplikasinya.
72
PERISTIWA
Dalam Gambar
73
74
POSTER
75
POSTER
76
POSTER
77
POSTER
78