Anda di halaman 1dari 18

FERMENTASI SUBSTRAT CAIR

FERMENTASI NATA DE COCO


LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun oleh:
Nama: Hengky Kurniawan
NIM: 12.70.0075
Kelompok: B4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
1

2015
1. HASIL PENGAMATAN
1.1. Ketebalan Lapisan Nata de Coco
Hasil pengamatan ketebalan lapisan nata de coco yang terbentuk dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de coco
Tinggi Media
Awal (cm)
2
1,5
2,9
2
1,5

Kel
B1
B2
B3
B4
B5

Tinggi Ketebalan Nata (cm)


0
7
14
0
0,3
0,8
0
0,5
0,6
0
0,3
0,5
0
0,4
0,5
0
0,5
0,8

0
0
0
0
0
0

% Lapisan Nata
7
14
15
40
13,33
40
10,34
17,24
20
25
33
53

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa tinggi nata dan persentase nata pada
hari ke-0 adalah 0 cm pada semua kelompok. Pada hari ke-7 tinggi nata paling
maksimum adalah kelompok B2 dan B5 yaitu sebesar 0,5 cm sedangkan persentase nata
Paling maksimum pada kelompok B5. Untuk hari ke-14 tinggi nata paling maksimum
pada kelompok B1 dan B5 yaitu sebesar 0,8 cm dan untuk persentase nata paling
maksimmum pada kelompok B1 dan B2 yaitu sebesar 40%. Dari tabel diatas dapat
diketahui bahwa akan terjadi peningkatan ketinggian nata dan persentase nata dari hari
ke hari.
2. PEMBAHASAN
3.
4. Praktikum yang dilakukan kali ini adalah tentang fermentasi substrat cair pada
nata de coco. Tujuan dari dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui
dan memahami prinsip pembuatan nata de coco, dapat memanfaatkan limbah air
kelapa sebagai bahan baku, serta untuk mengetahui proses fermentasi nata de
coco. Nata de coco sendiri termasuk hasil dari fermentasi air kelapa yang
2

dilakukan oleh bakteri Acetobacter xylinum (Rahman, 1992). Hakimi & Daddy
(2006) juga menyatakan, bahwa nata de coco termasuk produk fermentasi dari
substrat cair oleh bakteri Acetobacter xylinum, dimana mempunyai bentuk gel
dan mengandung gula serta asam yang terapung pada permukaan mediumnya.
Menurut Anastasia & Afrianto (2008), pada umumnya nata de coco memiliki
bentuk yang padat, berwarna putih transparan, serta tekstur yang kenyal. Nata
de coco memiliki kandungan air yang cukup tinggi dan sudah banyak dikenal
orang sebagai makanan ringan.
5.
6. Nata pada umumnya dihasilkan dari air kelapa (nata de coco) melalui sebuah
proses fermentasi yang akan dibantu oleh jasad renik (mikrobia), dimana sering
dikenal sebagai bibit nata (Anastasia & Afrianto, 2008). Pada pembuatan nata
de coco ini, bakteri yang digunakan adalah Acerobacter xylinum. Bakteri
Acetobacter xylinum ini termasuk genus Acetobacter gram negatif yang bersifat
aerob dan berbentuk batang pendek atau kokus (Moat, 1986). Menurut
Jagannath et al. (2008) dalam jurnal The effect of pH, sucrose, and ammonium
sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco)
by Acerobacter xylinum bahwa biomassa nata dapat dihasilkan oleh
Acerobacter xylinum yang mengalami pertumbuhan selama proses fermentasi
cairan berlangsung karena adanya kandungan gula dan asam. Biomassa tersebut
akan muncul pada bagian permukaan dari media yang digunakan. Hal tersebut
didukung oleh pernyataan Awang (1991), bahwa bakteri Acetobacter xylinum ini
mempunyai sifat yang spesifik yaitu kemampuannya untuk dapat membentuk
selaput tebal pada permukaan substrat cair yang menjadi komponen selulosa.
7.
8. Bakteri Acetobacter xylinum termasuk menguntungkan karena dapat digunakan
untuk menghasilkan produk yang bermanfaat. Menurut Halib et al. (2012) dalam
jurnal Physicochemical Properties and Characterization of Nata de coco from
Local Food Industries as a Source of Cellulose bahwa Acetobacter xylinum
termasuk bakteri asam asetat dimana memiliki kemampuan untuk dapat
mengoksidasi alkohol dan gula. Sumber karbon saat pembuatan nata de coco
adalah gula atau glukosa. Menurut Anastasia & Afrianto (2008), gula dalam
3

media yang digunakan akan dipecah oleh A. xylinum sehingga polisakarida


(selulosa) akan sedikit demi sedikit membentuk benang-benang serat yang
semakin hari dapat terus menebal sehingga terbentuk jaringan kuat (pelikel
nata). Umumnya, untuk dapat menciptakan pH medium yang sesuai dengan
kebutuhan A. Xylinum, maka dapat dibantu dengan menambahkan zat bersifat
asidulan yang dicampurkan ke dalam media yang akan digunakan. Menurut
Santosa et al. (2012) dalam jurnal Dextrin Concentrations and Carboxy Methyl
Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco
menambahkan, bahwa bakteri Acetobacter xylinum yang akan mengubah
komponen gula pada air kelapa menjadi selulosa. Selulosa yang terbentuk itulah
sering dikenal sebagai nata de coco. Teori Czaja et al (2004) menyatakan,
bahwa

selulosa

sendiri

merupakan

bipolimer

yang

dihasilkan

dari

mikroorganisme. Selulosa yang mempunyai kualitas terbaik serta terdiri dari


banyak myofibril, umumnya dihasilkan dari bakteri golongan Acetobacter.
Bakteri tersebut akan membuat selulosa yang dihasilkan memiliki kekenyalan
yang cukup tinggi, kemampuan mengikat air yang tinggi, rongga yang besar, dan
kemampuan mengkristal yang baik.
9.
10. Nata de coco dikenal sangat bermanfaat karena memiliki kandungan serat yang
tinggi. Kandungan serat tinggi tersebut akan membantu penyerapan lemak dan
mineral dengan lebih sempurna dalam proses metabolisme. Sesuai dengan
peryataan Astawan & Astawan (1991), bahwa nata de coco memiliki kandungan
serat kasar dalam bentuk selulosa yang dibutuhkan oleh manusia dimana juga
berperan dalam proses fisiologi. Akan tetapi, sebenarnya nata de coco
merupakan bahan makanan yang memiliki nutrisi rendah karena sebagian besar
nata de coco terdiri dari air, dimana air tersebut memiliki jumlah yang sangat
tinggi dibanding zat gizi lainnya. Kandungan selulosa yang tinggi pada nata de
coco, membuatnya sering diaplikasikan sebagai sumber selulosa murni dalam
keperluan-keperluan industri. Mesomya et al (2006) dalam jurnal Effects of
health food from cereal and nata de coco on serum lipids in human menyatakan
bahwa nata de coco dapat dikonsumsi dengan tujuan untuk menjaga berat badan.
Konsumsi nata de coco juga dapat mencegah kanker kolon dan rektum. Nilai
4

fungsional tersebut dikarenakan adanya kandungan selulosa yang cukup tinggi,


kandungan lemak dan kalori yang rendah, serta tidak adanya kandungan lemak
kolesterol yang mengganggu kesehatan.
11.
12. Pada praktikum ini, air kelapa menjadi bahan utama yang digunakan dalam
pembuatan nata de coco. Seperti pernyataan Pambayun (2002), bahwa nata
sendiri umumnya dapat dibuat dari bahan dengan kandungan gula, protein, dan
mineral yang tinggi seperti air kelapa (nata de coco), sari kedelai (nata de soya),
sari buah mangga (nata de mango), dan sari buah nanas (nata de pina). Menurut
Rahman (1992), air kelapa sering digunakan dalam pembuatan nata dalam
industri komersial karena mempunyai beberapa kelebihan. Kelebihan dari air
kelapa sendiri, antara lain harganya terjangkau dan potensi kontaminasinya
minimal karena termasuk produk alami, serta ketersediaannya yang melimpah.
Almeida et al. (2013) dalam jurnal Mineral Consumption by Axetobacter
xylinum on Cultivation Medium on Coconut Water menyatakan, bahwa nutrisi
dalam air kelapa terbukti menstimulus produksi bakteri selulosa Acetobacter
menjadi lebih optimal. Selain gula yang ditambahkan bertindak sebagai sumber
nitrogen, ada juga asam cuka glasial yang ditambahkan hingga pH 4-5. Menurut
Pambayun (2002), Acetobacter xylinum

akan mampu berkembang/tumbuh

dikisaran antara pH 3,5-7,5. Akan tetapi, pertumbuhannya akan lebih optimal


pada pH 4,3.
13.
14. Kandungan pada air kelapa yaitu air 91,23%, protein 0,29%, lemak 0,15%,
karbohidrat 7,27%, dan abu 1,06%. Selain itu, juga terkandung sukrosa,
dextrosa, fruktosa, vitamin B kompleks dimana di dalamnya terdapat asam
niotinat 0,01 mikrogram, asam pentotenat 0,52 mikrogram, biotin 0,02
mikrogram, riboflavin 0,01 mikrogram, serta asam folat 0,003 g per mL
(Awang, 1991). Widayati et al (2002) juga menyatakan bahwa dengan adanya
nutrisi air kelapa, maka sangat berpotensi baik untuk digunakan dan
dimanfaatkan menjadi bahan dasar/utama dari fermentasi asam-asam organik
seperti pada pembuatan nata de coco. Proses pembuatan nata de coco pada
praktikum fermentasi ini akan dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu proses pembuatan
5

media fermentasi di tahapan pertama dan proses fermentasi nata de coco pada
tahapan kedua.
15.
16.
16.1. Cara Kerja
17.
Proses pembuatan nata de coco pada praktikum fermentasi ini akan dibagi
menjadi 2 tahapan, yaitu proses pembuatan media fermentasi di tahapan pertama dan
proses fermentasi nata de coco pada tahapan kedua. Penjelasan setiap tahapan dalam
pembuatan nata de coco dapat dilihat sebagai berikut:
18.
18.1.1. Pembuatan Media
19.
Pembuatan nata de coco sangat penting dan perlu untuk membuat media. Media
ini sebenarnya akan berperan sebagai sumber makanan atau nutrisi bagi pertumbuhan
bakteri Acetobacter xylinum yang digunakan. Sesuai teori Volk & Wheeler (1993) yang
menyatakan, dalam pembuatan media sendiri bertujuan supaya mensuplai makanan
untuk pertumbuhan, membuat penyuburan biakan, memperoleh kemurnian pada biakan
yang diinginkan, dan juga digunakan sebagai penunjang untuk mendapatkan kondisi
lingkungan hidup bagi organisme dengan yang jumlah besar. Pembuatan nata de coco
ini memerlukan bahan-bahan, yaitu air kelapa, gula pasir, asam cuka glasial 95%, dan
ammonium sulfat. Menurut Pato & Dwiloka (1994), proses penyaringan air kelapa
sebanyak 1 liter menjadi proses pertama yang perlu dilakukan. Tujuan dari penyaringan
tersebut adalah untuk menyaring kotoran atau cemaran yang terikut dalam air kelapa
sehingga nantinya akan mendapatkan media yang bersih dan bebas dari kontaminan.

20.
21. Gambar 1. Proses penyaringan air kelapa
22.
23. Setelah mendapatkan hasil saringan air kelapa yang bersih, air kelapa dimasak
hingga mendidih. Menurut Tortora et al. (1995), proses pemanasan tersebut
6

bertujuan supaya kontaminan yang ada pada air kelapa menjadi mati dan
mendapakan air kelapa yang bebas kontaminan. Mikroorganisme kontaminan
memang perlu untuk dimatikan terlebih dahulu sebelum proses fermentasi
berlangsung supaya proses fermentasi pada nantinya tidak akan terganggu.
Astawan & Astawan (1991) juga mendukung peryataan tesebut, bahwa
pemanasan air kelapa akan membunuh mikroba patogen yang kemungkinan
dapat mengkontaminasi produk yang dihasilkan. Apabila pemanasan awal
tersebut tidak dilakukan, maka kemungkinan terdapat mikroorganisme lain yang
secara langsung atau tidak langsung dapat mengganggu aktivitas dan
pertumbuhan dari Acetobacter xylinum.

24.
25. Gambar 2. Proses pemanasan air kelapa
26.
27.

Air kelapa yang sudah bersih dan dipanaskan, maka ditambahkan gula sebanyak

10% dan diaduk hingga semuanya terlarut. Menurut Hayati (2003), penambahan gula
sebanyak 10% akan membuat kondisi yang optimal untuk pertumbuhan bakteri
Acetobacter xylnium. Jadi penambahan gula pada praktikum ini sudah tepat, karena
apabila kosentrasinya berlebihan maka Acetobacter xylinum tidak dapat memanfaatkan
media tersebut dengan optimal (Sunarso, 1982). Penambahan gula sesuai dengan teori
dari Awang (1991), dimana disebutkan bahwa gula termasuk sumber karbon organik
yang biasa digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Menurut Pambayun (2002), sukrosa
adalah yang paling sering digunakan sebagai sumber karbon dalam pembuatan nata de
coco. Hal tersebut dikarenakan sukrosa memiliki harga ekonomis dan mudah dalam
mendapatkannya. Jagannath et al. (2008) dalam jurnal The effect of pH, Sucrose and
Ammonium Sulphate Concentrations on The Production of Bacterial Cellulose (Natade-coco) by Acetobacter xylinum, menyatakan penambahan gula pada pembuatan
7

media rentan terkontaminasi dengan yeast sehingga sangat perlu dilakukan dalam
kondisi lingkungan yang bersih. Penambahan gula selain berfungsi sebagai sumber
karbon bagi pertumbuhan bakteri juga berfungsi untuk mengawetkan, memberikan
tekstur, memperbaiki penampakan, dan flavor bagi nata de coco.
28.
29. Apabila gula sudah ditambahkan, maka kemudian ditambahkan juga ammonium
sulfat sebanyak 0,5% dan asam cuka glasial hingga pH-nya berada antara 4-5.
Setelah semua sudah ditambahkan, maka air kelapa dipanaskan lagi hingga gula
terlarut sempurna dan disaring lagi. Setelah penambahan gula, pada air kelapa
tersebut

selanjutnya

ditambahkan

ammonium

sulfat

sebanyak

0,5%.

Penambahan dari ammonium sulfat dalam praktikum ini sudah tepat dan sesuai
dengan teori yang ada. Menurut Pambayun (2002), penambahan ammoinum
sulfat ini bertujuan sebagai seumber nitrogen bagi bakteri Acetobacter xylinum.
Selain mengandung sumber karbon, menurut Awang (1991) syarat medium yang
baik digunakan dalam proses fermentasi juga perlu mengandung sumber
nitrogen. Hal tersebut dikarenakan nitrogen ini akan mendukung pertumbuhan
aktivitas bakteri yang terlibat dalam pembuatan nata de coco. Menurut
Pambayun (2002), terdapat beberapa yang dapat digunakan sebagai sumber
nitrogen, yaitu protein, ekstrak yeast (nitrogen organik), ammonium fosfat (ZA),
urea, dan ammonium sulfat (nitrogen anorganik). Ammonium sulfat dalam
penggunaannya sebagai sumber nitrogen memiliki keuntungan tersendiri, sebab
penambahannya akan dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter acesi.
Bakteri tersebut merupakan pesaing dari Acetobacter xylinum.
30.
31. Penambahan asam cuka glasial juga dilakukan karena berfungsi untuk mengatur
keasaman media supaya pH akhir dari air kelapa dapat menurun. Namun, perlu
diperhatikan dalam pengaturan pH karena berdasarkan teori oleh Atlas (1984),
Acetobacter xylinum tidak dapat tumbuh dengan baik pada pH yang terlalu
rendah. Hal itu karena energi yang berlebihan akan dapat mengakibatkan
aktivitas fermentasinya nanti akan menjadi terhenti. Proses pemanasan pada
media juga dilakukan karena bertujuan untuk membunuh mikrooraganisme
kontaminan serta melarutkan gula pasir yang ditambahkan tadi (Astawan &
8

Astawan, 1991). Perlu dipastikan bahwa semua gula yang ditambahkan sudah
larut sempurna, karena apabila gula yang tidak larut maka akan sulit diserap oleh
bakteri sehingga proses fermentasinya terhambat dan menghasilkan selaput
tebal. Menurut Almeida et al (2012) dalam jurnal Minerals Consumption by
Acetobacter xylinum on Cultivation Medium on Coconut Water menambahkan
bahwa media tidak hanya mengandung sumber karbon dan nitrogen saja yang
digunakan untuk proses fermentasi. Media fermentasi perlu mengandung nutrisi
lain seperti karbohidrat, lemak, protein, garam anorganik, Na, K, Ca, Mg, dan
Fe. Pentingnya keberadaan senyawa-senyawa tersebut karena merupakan
kofaktor enzimatis pada produksi polisakarida.

33.

32.
Gambar 3. Bahan yang ditambahkan dalam pembuatan media (kiri-kanan: gula,
amonium sulfat, asam cuka glasial)

36.

34.
35.
Gambar 4. Pengukuran pH saat penambahan asam cuka glasial
Setelah itu air kelapa dipanaskan kembali, disaring, dan diambil sebanyak 100

ml dan dimasukkan kedalam wadah untuk pembuatan nata de coco.


37.
37.1.1. Proses Fermentasi
38. Tahapan yang kedua dalam praktikum ini adalah proses fermentasi. Proses
fermentasi diawali dengan mengambil 100 ml larutan media steril ke dalam
9

wadah plastik dan setelah itu ditutup rapat. Kemudian, biang nata (starter)
ditambahkan ke dalam media yang sudah disiapkan tadi sebanyak 10% secara
aseptis dan dikocok perlahan hingga tercampur homogen. Pada pembuatan nata
de coco dalam praktikum ini, biang nata yang digunakan adalah Acetobacter
xylinum. Fardiaz (1992) menyatakan, bahwa kelompok Acetobacter memiliki
sifat anaerobik dan dapat mengoksidasi etanol menjadi asam asetat. Selain itu,
bakteri ini juga memiliki kemampuan dalam mengoksidasi asam amino menjadi
CO2 dan H2O dengan pembebasan kandungan amonia, namun juga terkadang
mampu melepaskan H2S apabila asam aminonya terdiri dari kelompok sulfidril.
Sesuai dengan teori Rahayu et al. (1993), bahwa jumlah penambahan inokulum
dalam pembuatan nata umumnya berkisar 1-10%. Penambahan biang atau
inokulum tersebut akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan nata pada
permukaan substrat. Proses tahapan penginokulasian ini harus secara aseptis
supaya tidak terjadi kontaminasi mikroba pathogen atau yang tidak diinginkan
ke dalam media nata. Menurut Hadioetomo (1993) menambahkan, biasanya
digunakan alkohol yang disemprotkan ke tangan praktikan dan meja percobaan
untuk dapat menghindari kontaminasi pada media yang dibuat. Penggunaan api
bunsen juga dapat membantu mencegah dan mematikan mikroorganisme
kontaminan yang ada.

40.

39.
Gambar 5. Proses penambahan biang nata

41.
42. Setelah penambahan biang, maka larutan diinkubasi selama 2 minggu pada suhu
ruang. Pada proses inkubasi, wadah ditutup rapat dengan kertas coklat. Menurut
Wijayanti et al. (2010), proses inkubasi tersebut dilakukan pada suhu ruang
untuk mendapatkan kondisi suhu yang optimum supaya memungkinkan
10

fermentasi nata de coco berlangsung pada suhu 28-30oC. Pambayun (2002)


menjelaskan, bahwa proses inkubasi akan memberikan kesempatan pada bakteri
untuk beradaptasi, beraktitivas serta mampu membantu menumbuhkan nata yang
ada pada substrat dengan pengubahan gula hingga menjadi selulosa sehingga
nantinya akan terbentuk lapisan nata de coco. Suhu inkubasi harus diperhatikan,
karena menurut Rahayu et al. (1993) bahwa suhu yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan sebagian bakteri mati, namun apabila terlalu rendah maka akan
menyebabkan teksturnya terlalu lunak sehingga lapisan nata de coco tidak
terbentuk. Selama waktu inkubasi, sebaiknya wadah berisi larutan diusahakan
tidak dipindahkan ataupun digoyang-goyangkan supaya lapisan nata de coco
dapat terbentuk dengan stabil dan tidak terpisah-pisah. Kemudian, pengamatan
pada pembentukan lapisan nata akan dilakukan pada hari ke-7 dan ke-14 untuk
mengetahui ketebalan lapisan nata de coco. Persentase untuk kenaikan ketebalan
pada nata de coco dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Tinggi Ketebalan Nata
x 100%
Tinggi
Media
Awal
43. Persentase Lapisan Nata =

45.
46.
47.

44.
Gambar 6. Proses pengukuran ketebalan nata.

Proses inkubasi untuk fermentasi ini dilakukan selama 14 hari karena sesuai

dengan teori dari Rahman (1992), bahwa untuk mendapatkan pembentukan ketebalan
nata yang optimal dibutuhkan waktu dalam melakukan proses fermentasi berkisar antara
1014 hari, sedangkan untuk suhu yang sesuai sekitar 2832C. Menurut Rahman
(1992), proses fermentasi dinyatakan berakhir dengan ditandai terbentuknya lapisan
putih. Proses pembentukan lapisan putih tersebut dimulai dengan pembentukan
miofibril panjang dari glukosa karena adanya komponen selulosa selama proses
11

fermentasi berlangsung. Lapisan nata dapat terbentuk pada bagian permukaan media.
Sesuai dengan Hamid et al. (2011) dalam jurnal Pengaruh Penambahan Sumber
Karbon Terhadap Kondisi Fisik Nata De Coco, adanya pembentukan lapisan pada
permukaan dikarenakan saat proses fermentasi juga dihasilkan gas karbondioksida yang
menyebabkan lapisan dapat nata terangkat ke permukaan. Pembentukan tersebut dapat
digambarkan secara singkat, sebagai berikut: Glukosa (Glukokinase) Glukosa-6fosfat (Fosfoglukomutase) Glukosa-1-fosfat (UDP-Glukosa Pirofosforilase) UDPGlukosa (Sintesis selulosa) Selulosa. Pambayun (2002) menambahkan, saat proses
fermentasi berlangsung akan tumbuh jutaan mikroorganisme pada media dan pada saat
itulah akan terbentuk lembaran benang-benang selulosa. Lembaran benang selulosa
yang terbentuk secara bertahap akan memadat dan berwarna putih atau transparan.
48.
48.1. Hasil Fermentasi Substrat Cair pada Nata de Coco
49. Berdasarkan hasil pengamatan, tingkat ketebalan dan persentase lapisan nata
yang didapatkan memperoleh hasil yang berbeda-beda. Ketinggian media awal
yang diperoleh berbeda-beda dikarenakan volume tempat yang dipakai juga
berbeda-beda, sehingga nantinya akan mempengaruhi hasil akhirnya. Hasil
pengamatan dari hari ke-0 sampai hari ke-7 dan ke-14, didapatkan peningkatan
tinggi ketebalan pada semua kelompok. Hasil yang didapat sesuai dengan teori
yang ada, dimana semakin lama waktu fermentasi maka ketebalan nata dan
persentase lapisannya akan semakin meningkat. Menurut Lapuz et al. (1967),
ketebalan nata akan dipengaruhi oleh lamanya waktu inkubasi selama proses
fermentasi berlangsung. Semakin lama waktu inkubasi dalam proses
fermentasinya, maka ketebalan lapisan nata akan semakin meningkat.
50.
51. Semua hasil nata de coco pada semua kelompok memperlihatkan bahwa
memiliki ketinggian yang kurang optimal. Menurut Seumahu et al. (2007),
ketinggian nata yang optimal yaitu sekitar 1,5-2 cm dengan selulosa gel yang
homogen dan mempunyai transparansi yang tinggi. Menurut Wijayanti et al.
(2010), hal tersebut disebabkan oleh kandungan oksigen yang kurang saat proses
fermentasi nata sehingga pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum terhambat.
Adanya penambahan presentase tinggi ketebalan nata menurut Anastasia &
12

Afrianto (2008), karena kemampuan dari bakteri Acetobacter xylinum selama


proses fermentasi berlangsung yang akan terus melakukan pemecahan gula yang
ada pada media. Pemecahan tersebut menyebabkan selulosa akan membentuk
seperti benang-benang serat yang terus semakin menebal dalam membentuk
jaringan seiring dengan lamanya waktu inkubasi.
52. KESIMPULAN
53.

Nata de coco termasuk produk hasil fermentasi dari bakteri Acetobacter xylinum
dengan menggunakan air kelapa sebagai medianya.

Nata de coco memiliki tekstur yang kenyal, berwarna putih transparan dan
berbentuk padat.

Acetobacter xylinum mampu tumbuh optimal pada pH yang berkisar antara 4-5.

Air kelapa dapat menjadi bahan dasar pembuatan nata karena air kelapa dapat
sebagai sumber isolat bakteri dan substrat untuk proses fermentasi.

Proses pembuatan nata de coco terdiri dari 2 tahap yaitu pembuatan media dan
proses fermentasi.

Proses penambahan gula akan memberikan nutrien untuk pertumbuhan Acetobacter


xylinum, memberikan flavor, serta mampu memperpanjang umur simpan.

Proses penambahan ammonium sulfat digunakan sebagai sumber nitrogen bagi


pertumbuhan bakteri selama proses fermentasi berlangsung.

Proses pemberian asam cuka glasial dapat mengatur keasaman pada larutan media
yang akan digunakan sebagai media tumbuh bakteri Acetobacter xylinum.

Pembentukan pada nata de coco akan dipengaruhi oleh kondisi media yang
digunakan, wadah yang digunakan dan gangguan selama proses fermentasi.

Semakin lama proses inkubasi nata de coco, maka meningkat juga tinggi ketebalan
dan presentase lapisan yang terbentuk.

Ketinggian nata yang terbentuk adalah 0,8 cm pada kelompok B1 dan B5

Persentase tertinggi setelah hari ke-14 pada kelompok B1 dan B2 yaitu sebesar 40%

Ketinggian nata de coco dapat dikatakan optimum apabila mencapai sekitar 1,5-2
cm.
13

Proses pembuatan nata de coco perlu dilakukan secara aseptis untuk mencegah
terjadinya kegagalan karena kontaminasi.

54.
55.

Semarang, 9 Juli 2015

Asisten Dosen,

56.

Praktikan,

- Nies Mayang

57.

Hengky Kurniawan

- Wulan Apriliana

Dewi
58.

12.70.0075

59. DAFTAR PUSTAKA


60.
61.
62. Almeida et al. 2013. Minerals consumption by Acetobacter xylinum on
cultivation medium on coconut water. Brazilian Journal of Microbiology. Vol
44(1) : 197-206
63.
64. Anastasia, N. dan Afrianto, E. 2008. Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai
Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi
II. Universitas Lampung.
65.
66. Arsatmodjo, E. 1996. Formulasi Pembuatan Nata de Pina. Skripsi Fateta. IPB.
Bogor.
67.
68. Astawan, M. dan M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati Tepat
Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
69.
70. Atlas, R.M. 1984. Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland
Publishing Company. New York.
71.
72. Awang, S.A. 1991. Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media. Yogyakarta.
73. Hakimi, R dan Daddy B. (2006). Aplikasi Produksi Bersih (Cleaner Production)
pada Industri Nata de Coco. Jurnal Teknik Mesin 3(2) : 89-98.
74.
75. Czaja W.; Dwight R; and R. Malcolm Brown, Jr. (2004). Structural
Investigations of Microbial Cellulose Produced in Stationary and Agitated
Culture. Cellulose11: 403 411.
76.
77. Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia. Jakarta.
78. Hadioetomo, R.S. (1993). Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan
Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta.
79.

14

80. Halib, N.; Mohd, C.I.M.A. and Ishak, A. 2012. Physicochemical Properties and
Characterization of Nata de Coco fromLocal Food Industries as a Source of
Cellulose. Sains Malaysiana 41(2)(2012): 205211
81.
82. Hamid, A.; Andriyani, N.A.; Wibisono, H. dan Sutopo, H. 2011. Pengaruh
Penambahan Sumber Karbon Terhadap Kondisi Fisik Nata De Coco. Jurnal
Teknik Kimia. Vol 12 (2): 74-77.
83.
84. Hayati, M. 2003. Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.
85.
86. Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa. (2008). The
effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production
of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J Microbiol
Biotechnol (2008) 24:25932599.
87.
88. Lapuz, M.M.; Gallardo, E.G. and Palo, M.A. 1967. The Nata Organism
Cultural. Requirements Characteristis and Indentity. The Philippine Journal of
Science Vol 96.

15

16

89.
90. Mesomya, W.; Varapat, P.; Surat, K.; Preeya, L.; Yaovadee, C.; Duangchan, H.;
Pramote, T. and Plernchai, T. 2006. Effects of Health Food from Cereal and
Nata De Coco on Serum Lipids in Human. Journal Science Technology
28(Suppl. 1): 23-28.
91.
92. Palungkun, R. 1996. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.
93.
94. Pambayun, R. 2002. Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.
95.
96. Pato, U. dan Dwiloka, B. 1994. Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi
Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.
97.
98. Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. 1993.
Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.
99.
100.
Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.
101.
102.
Santosa, B.; Ahmad, K.; and Domingus, T. 2012. Dextrin Concentration
and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant
Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and
Technology (IJSTE), Vol. 1:6-11.
103.
104.
Seumahu, Cecilia Anna, Antonius Suwanto, Debora Hadisusanto, dan
Maggy Thenawijaya Suhartono. (2007). The Dynamics of Bacterial
Communities During Traditional Nata de Coco Fermentation. Microbiology
Indonesia, August 2007, p 65-68.
105.
106.
Soekarto. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara. Jakarta.
107.
108.
Sunarso. 1982. Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap
Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.
109.
110.
Tortora, G.J., Funke, R. and Case, C.L. 1995. Microbiology. The
Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.
111.
112.
Volk, W.A. and M.F. Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar. Erlangga.
Jakarta.
113.
114.
Widayati, Eny; Sutarno; dan Setyaningsih, Ratna. (2002). Seleksi Isolat
Bakteri untuk Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa Varietas Rubescent
(Cocos nucifera L. var. rubescent). Biosmart Volume 4 Nomor 2 Halaman 32-35.
115.
116.
Wijayanti, F; Sri K; dan Masud E. (2010). Pengaruh Penambahan
Sukrosa dan Asam Asetat Glacial terhadap Kualitas Nata dari Whey Tahu dan
Substrat Air Kelapa. Jurnal Industria 1(2) : 86-93.

117. LAMPIRAN
118.
118.1. Perhitungan
119.

Rumus:

120.

Tinggi Ketebalan Nata


x 100%
Tinggi
Media
Awal
PersentaseLapisanNata =

121.
Kelompok B1
0
x 100%
122.
H0 Persentase Lapisan Nata = 1
= 0%
0,3
x 100%
123.
H7 Persentase Lapisan Nata = 2
= 15%
0,8
x 100%
124.
H14 Persentase Lapisan Nata = 2
= 40%
Kelompok B2
0
x 100%
125.
H0 Persentase Lapisan Nata = 1
= 0%
0.5
x 100%
1,5
126.
H7 Persentase Lapisan Nata =
= 33,33%

0,6
x 100%
1,5
127.
= 40%
14 Persentase Lapisan Nata =
H
Kelompok B3
0
x 100%
1,2
128.
H0 Persentase Lapisan Nata =
= 0%
129.

0,3
x 100%
2,9
H7 Persentase Lapisan Nata =
= 10,34%
0,5
x 100%
2,9
H14 Persentase Lapisan Nata =
= 17,24%

130.
Kelompok B4

0
x 100%
131.
H0 Persentase Lapisan Nata = 1
= 0%
0,4
x 100%
132.
H7 Persentase Lapisan Nata = 2
= 20 %
0,5
x 100%
133.
H14 Persentase Lapisan Nata = 2
= 25 %
Kelompok B5

17

134.
135.

136.
137.

0
x 100%
H0 Persentase Lapisan Nata = 1
= 0%
0,5
x 100%
H7 Persentase Lapisan Nata = 1,5
= 33%

0,8
x 100%
1,5
H14 Persentase Lapisan Nata =
= 53%

137.1. Laporan Sementara


137.2. Report Viper
137.3. Abstrak Jurnal
138.

18

Anda mungkin juga menyukai