Anda di halaman 1dari 12

1

BAB III
KAFAAH DALAM PERSPEKTIF IMAM SYAFII

A; Konsep Kafaah Menurut Imam Syafii

Kafaah atau kufu menurut bahasa artinya seimbang atau keserasian kesesuaian,
serupa, sederajat atau sebanding. Kafaah berasal dari bahasa arab,dari kafaa berarti sama
atau setara.1
Maksud dari kafaah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan antara sisuami
dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang dengan isterinya di
masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan isteri
akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan.
Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafaah.
Sedangkan secara spesifik Imam Syafii tidak membahas tentang pengertian kafaah
baik secara etimologi maupun terminologi, hal ini penulis temukan dalam Ringkasan Kitab
Al-Umm mengakatakan :Saya tidak mengetahui bagi para penguasa (wali) suatu perkara
yang mempunyai hubungan dengan wanita, kecuali hendaknya menikahkan itu dengan lakilaki sekufu (sepadan).2
B. Hukum Kafaah menurut Imam Syafii
Islam adalah agama yang fitrah yang condong kepada kebenaran. Islam tidak
membuat aturan tentang kafaah. Maka dari itulah pembicaraan mengenai kafaah menjadi
pembicaraan dikalangan ulama, karena tidak ada dalil yang mengaturnya dengan jelas dan

1 Ahmad Warson Munawir, Al Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1567
2 Imam Syafii Ibnu Abdullah Muhamad bin Idris, Ringkasan Kitab Al Umm (Jakarta: Pustaka Azzam; 2009). h.442.

spesifik, baik dalam Al-Quran maupun Hadist. Bila demikian halnya, wajar bila beberapa
ulama berbeda pendapat tentang hukum kafaah dan pelaksanaannya.
Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan perempuan yang
bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja
menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang
kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak
32 sama kedudukannya dengan kedudukan wali
memintakan cerai meskipun laki-laki tadi tidak

yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan.


Begitu pula halnya dengan ulama Syafii yang mengakui adanya kafaah masih dalam
ruang lingkup keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan
nikah.3
Imam syafii berkata : boleh bagi bapak menikahkan perawan apabila pernikahan itu
menguntungkan atau tidak merugikan dirinya,namun tidak diperbolehkan apabila pernikahan
itu merugikan atau berdampak negatif baginya.apabila seorang bapak menikahkan anak
perempuan dengan seorang budak miliknya atau milik orang lain,maka pernikahan ini tidak
diperbolehkan,sebab tidak sepadan(tidak sekufu) denganya dan hal ini menibumbulkan
kerugian bagi wanita yang dinikahkan. Begitu pula hukumnya apabila bapak menikahkan
anak perempuanya dengan laki-laki tidak sekufu(sepadan),namun ia menderita penyakit
kusta,belang,gila,atau kemaluanya dikebiri,maka pernikahanya tidak diperbolehkan,karena
apabila anak perempuanya ini telah baligh,maka ia memiliki hak untuk memilih antara
menerima pernikahan itu menolaknya disaat ia mengetahui si laki-laki menderita salah satu
penyakit tersebut.4
3 Imam Syafii Ibnu Abdullah Muhamad bin Idris, Op. Cit. h.442
4 Ibid h 444

Sedangkan pertimbangan Imam syafii dalam permasalahan kafaah berdasarkan


pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum adalah terkait kepentingan
pihak wanita agar tidak dirugikan. Dalam hal ini Imam Syafii cenderung menggunakan
konsep maslahah mursalah atau cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat
ketentuannya baik di dalam Al-Quran maupun dalam kitab hadis sebagaimana perkataan
beliau:
Menikahkan dengan yang tidak sekufu bukan perkara haram tapi sekedar
merugikan wanita yang dinikahkan. Adapun para penguasa, bila wanita tela ridha
bersama walinya dengan kekurangan yang ada, maka penguasa tidak berhak menolak
pernikahan tersebut.5
Sedangkan pendapat beliau yang dapat penulis analisis secara Qiyas adalah mengenai
penolakan Nabi SAW. terhadap pernikahan Khansa (Putri Khudzam) ketika dinikahkan oleh
bapaknya secara paksa. Nabi SAW tidak memberikan reaksi selain mengatakan, apabila
engkau mau berbakti kepada bapakmu dengan merestui pernikahan yang dilakukannya.6
Dalam hal ini secara tidak langsung pengaruh kafaah tidak dominan dan lebih cenderung
terhadap kerelaan pihak wanita.
Pernikahan yang berdasarkan atas kesetaraan baik status sosial, nasab atau yang lain
sebenarnya tidaklah berpengaruh dalam keabsahan atau sah-nya pernikahan .Karena menurut
pendapat Syafii kafaah merupakan syarat kelaziman.7
Imam Syafii lebih cenderung terhadap keridhoan wanita yang akan dinikahkan,
sekufu ataupun tidak jika pihak perempuan menyetujui maka pernikahannya adalah sah.
Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa persepsi Imam syafii lebih mengacu kepada

5Ibid
6 Ibid. h. 469.
7 Ibid.

substansi nilai-nilai Islam Universal. Sehingga pengertian kafaah tidak mengacu kepada
ranah Ushul melainkan cenderung kepada masalah Furu.

C .Ukuran Kafaah
1; Ukuran Kafaah Menurut Imam Syafii

Kufu artinya sama atau sepadan, yang dimaksud ialah kesepadanan antara suami
dan istri, baik status sosialnya, ilmunya, akhlaknya maupun hartanya.
Sebagaimana yang dikatakan imam syafii bahwa ukuran kesepadan ini dilihat
dari lima hal yaitu, agama( pengamalannya,)ststus(merdeka/budak)
nasab(asal/usul),hasab(siafat terdahulu) dan profesi. Kondisi fisik atau mental.dalam
literatur fikih dewasa ini dinyatakan bahwa kafaah dapat dinilai dari adat istiadat yang
berlaku,dan hanya menjadi hak perempuan dan walinya,sehingga jika suami tidak
sepadan dan wanita belum hamil,mereka(perempuan dan wali)mempunyai hak untuk
membatalkanya.
Ibnu Hazm berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu, beliau berkata: semua
orang islam asal saja tidak berzina, berhak kawin semua wanita muslimah asal tidak
tergolong perempuan lacur. Dan semua orang islam adalah bersaudara. Walaupun ia anak
seorang hitam yang tidak dikenal umpamanya, namun tidak dapat diharamkan kawin
dengan anak Kholifah Bani Hasyim. Walau seorang muslim yang sangat fasiq, asalkan
tidak berzina ia adalah kufu untuk wanita Islam yang fasiq, asal bukan wanita pezina.8
Masalah kufu yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sifat hidup
yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, kekayaan dan sebagainya .Imam Malik

8 H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah, (Pustaka Amani, Jakarta, 1989 h.103

tidak berbeda pendapat jika seorang gadis dinikahkan dengan seorang peminum khomer
atau lelaki fasiq maka ia wajib menolaknya dan hakim hendaknya membatalkannya. 9
Adapun segi-segi yang diperhitungkan dalam kafa'ah, para ulama' besar berbeda
pendapat. Sebagaian diantara mereka mengatakan, bahwa kafa'ah itu diukur dengan
nashab (keturunan), kemerdekaan, ketaatan agama, pangkat, pekerjaan profesi dan
kekayaan. Pendapat lain mengatakan, bahwa kafa'ah diukur dengan ketaatan
menjalankan agama. Laki-laki yang tidak patuh menjalankan agama, tidak kufu' dengan
perenpuan yang patuh menjalankan agamanya. Laki-laki yang akhlaknya buruk tidak
kufu dengan perempuan yang akhlaknya mulia. Hal ini berdasarkan kepada teks Al
Qur'an. Allah SWT berfirman:

Artinya:"Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum


mereka beriman, sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih baik dari pada
wanita yang musyrik walaupun ia memikat hatimu. Janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik( denganwanita-wanitamukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari pada orang musyrik meskipun
menarik hatimu" (Al Baqoroh :22).10
2; Standarisasi Kafaah Imam Syafii

Dalam persoalan pernikahan yang didasarkan pada konsep kafaah,imam syafii


mengatakan bahwa sabagaimana yang dikutip oleh assegaf 11 adalah bahwa kriteria
kafaah ini terbagi menjadi 5 kriteria:
1; Nasab,
2; Agama,
3; Kemerdekaan,

9 Muhammad Jawad Mughniyah, Figih Lima Mazhab (edisi lengkap), (Jakarta ,Lentera,1996) h.350
10Tohar, Muhammad Shohib, Al Hikmah Al Quran dan Terjemah. (Bandung: CV.PenerbitDiponegoro, 2005), h.47
11 Hasyim Assegaf, Derita Putri-putri Nabi studi Historis Kafaah Syarifah (Bandung, PT Remaja
Rosdakarya,2000) h 47

4; Profesi,
5; Terhindar dari cacat

Orang Arab adalah kufu antara satu dengan lainnya.


Begitu pula halnya
dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena itu orang
yang bukan Arab
tidak sekufu dengan perempuan Arab. Orang arab tetapi bukan dari
golongan
Quraisy, tidak sekufu dengan/bagi perempuan Quraisy,beliau
mengukur kufudengan keturunan tersebut diatas.
Diriwayatkan oleh imam Syafii bahwa kufu sesama
bangsa-bangsa bukan Arab, di ukur dengan bagaimana keturunanketurunan
diqiaskan kepada antara suku-suku bangsa Arab dengan yang
lainnya. Karena mereka juga menganggap tercela apabila seorang
perempuan dari
satu suku kawin dengan laki-laki dari lain suku yang lebih rendah
nasabnya. Jadi
hukumnya sama dengan hukum yang berlaku dikalangan bangsa
Arab karena
sebabnya adalah sama.
Imam syafii dalam ringkasan Kitab Al-Umm menjelaskan mengenai
pembagian kriteria kafaah yang berkaitan dengan kemerdekaan dan terhindar dari

cacat secara umum digambarkan dalam Bab Pernikahan dengan sub-bab Bapak
Menikahkan Perawan Dengan Laki-Laki Tidak Sekufu.
Apabila seorang bapak menikahkan anak perempuannya dengan budak
miliknya atau milik orang lain, maka pernikahan ini tidak diperbolehkan, sebab
budak tidak sekufu (sepadan) dengannya dan hal ini menimbulkan kerugian bagi
wanita yang dinikahkan. Begitu pula hukumnya apabila bapak menikahkan anak
perempuannya dengna laki-laki tidak sekufu, karena hal ini juga membawa
kerugian pada diri si anak. Jika bapak mengawinkan anak perempuannya dengan
laki-laki sekufu (sepadan) namun ia menderita kusta, belang, gila, atau
kemaluannya telah dikebiri, maka pernikahan inipun tidak diperbolehkan. Karena
apabila anak perempuan tadi telah baligh, maka ia memiliki hak untuk memilih
antara menerima pernikahan itu atau menolaknya di saat ia mengetahui si laki-laki
menderita salah satu di antara penyakit tersebut.
Pada kutipan perkataan Imam Syafii di atas dapat diketahui pula bahwa kriteria
nasab dan pekerjaan termasuk dalam ranah sekufu, perkataan beliau sebab budak tidak
sekufu dan perkataan beliau, mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki sekufu
(sepadan) namun ia menderita kusta,...dst, menurut analisis penulis bahwa sekufu
termasuk didalamnya nasab dan pekerjaan, indikasinya adalah perkataan budak tidak
sekufu berarti bahwa orang merdeka adalah sekufu jika dikerucutkan lagi salah satu
bagian orang merdeka yaitu menyangkut nasab/klan/kabilah ataupun pekerjaan yaitu
perdangan menurut kebiasaan orang arab azam. Sedangkan perkataan laki-laki sekufu
(sepadan) namun ia menderita kusta, adalah pengecualian terhadap orang merdeka yang
mempunyai cacat tubuh.
Sedangkan sekufu dalam hal agama Imam Syafii mengutip Q.S. An-Nuur ayat 3
sebagai landasan namun beliau menyatakan bahwa ayat tersebut telah mansukh dengan
Q.S. An-Nuur ayat 3212 pendapat ini beliu ambil dari periwayatan Ibnu Al-Musayyib.

12 Imam Syafii Ibnu Abdullah Muhamad bin Idris, Op. Cit. h.442

Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan


yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin. (Q.S. An-Nuur ayat 3)13
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di
antara kamu.( Q.S. An-Nuur ayat 32).

Imam Syafii berkata : Kami mendapati petunjuk dari Rasulullah SAW tentang
wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina dari kelangan kaum muslimin. Kami tidak
mengenal beliau mengharamkan kepada salah satu dari keduanya untuk menikahi selain
pezina, dan tidak pula mengharamkan kepada salah satu dari keduanya terhadap
pasangannya. Telah datang kepada beliau Maiz bin Malik, lalu berulang kali mengaku
dihadapan beliau bahwa ia telah berzina. Akan tetapi Rasulullah tidak memerintahkan
kepadanya pada setiap pengakuannya itu untuk menjauhii istrinya bila ia beristri, dan
tidak pula memerintahkan kepada kepada Istri Maiz untuk menjauhi suaminya.
Seandainya perbuatan zina menjadikan suami haram atas istrinya, niscaya beliau
mengatakan kepada Maiz saat itu, apabila engkau memiliki istri, niscaya telah haram
atasmu.14
Penjelasan Imam Syafii di atas menandai bahwa perbuatan zina tidak termasuk
penghalang bagi pernikahan. adapun hal ini menjadi standar atau tidak dalam kafaah
secara umum dapat penulis simpulkan bahwa zina tidak menghalangi karena hal ini
dilandasi oleh ayat dan hadits yang lebih spesifik. Substansi dari pendapat Imam Syafii
di atas adalah bahwa dalam hal agama tidak menyangkut keshalehan namun lebih
menitikberatkan pada hal seagama.
13 Ibid. h. 462.
14 Ibid. h. 463

A; Kontekstualisasi Hukum Kafaah Imam Syafii dalam Hukum Perkawinan di

Indonesia
Berhubungan adanya konsep kafaah dalam hukum perkawinan Islam, pembahasan
tentang kantekstualisasi hukum kafaa di Indonesia perlu dikaji mengenai latar sosial atau
adat istiadat keluarga di Indonesia dan Mazhab yang berkembang.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa adat istiadat keluarga di Indonesia
merupakan hal yang kompleks. Selain terpencar dalam berbagai pulau, Indonesia merupakan
negara yang mempunyai keanekaragaman adat istiadat termasuk di dalamnya mengenai
transformasi hukum Islam di Indonesia. Walaupun demikian status sosial dalam perkawinan,
terutama yang berkaitan dengan adat-istiadat hampir bisa dikatakan sama, yaitu menyangkut
kesetaraan kedudukan dalam masyarakat baik pada adat-istiadat tingkat kerajaan (keraton
atau kerajaan) maupun tingkat kesukuan (dewan adat).
Beberapa literatur berpendapat tentang keberadaan Hukum Islam di Indonesia
tersebar secara tidak langsung atau tertransformasi melalui adat istiadat setempat. Relevansi
terhadap perkembangan pemikiran Imam Syafii adalah sebagian besar fiqih yang diterapkan
oleh ulama-ulama di Indonesia bermazhab syafii.
Konsep kafaah dari pemikirann Imam Syafii yang tidak menekankan
pada kewajiban sebagai syarat syahnya pernikahan diakui keberadaannya di
Indonesia pada tatanan hukum positif. Ini terbukti dari ketentuan yang
tercantum dalam UU No.1/1974 Pasal 2 dan KHI Pasal 6115.

15 Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hokum Islam, Cet. III (Bandung.
Citra Umbara). h. 2 dan 340.

10

Pada UU No. 1/19/4 Pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah


apabila dilakukan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu.16

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan tentang kafaah dalam bab 10 tentang
pencegahan perkawinan yaitu pasal pasal 61: Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk
mencegah perkawinan kecuali tidak se-kufu karena perbedaan Agama atau ikhtilaful aldien.17
Pada pasal-pasal tersebut, kriteria kafaah hanya ditetapkan dalam hal
agama saja. Adapun agama yang dimaksud adalah agama dalam arti
kepercayaan atau keyakinan, yakni antara Islam dan non Islam dan bukan
dalam hal religiusitas seseorang, misalnya orang yang taat dan tidak taat.
Walaupun dalam prakteknya banyak terjadi kasus yang tidak memandang
ketentuan pasal tersebut misalnya masih ada masyarakat yang memandang
kafaah selain dalam hal agama saja. Bahkan pandangan yang paling krusial
adalah dalam hal nasab.18
Hal ini dipertegas oleh perkataan Imam Syafii sebagai berikut :
Apabila seorang wanita masuk Islam atau dilahirkan dalam keadaan
Islam, atau salah seorang dari kedaua orang tuanya masuk Islam sementara
ia masih anak-anak dan belum mencapai usia baligh, maka haram atas
setiap laki-laki musryik, ahli kitab atau penyembah berhala musrik, lalu
disebutkan kepadanya sifat-sifat Islam dan ia memahaminya, disebutkan
kepadanya sifat-sifat Islam tapi ia tidak memahaminya, maka saya lebih
menyukai orang musyrik dilarang untuk menikahinya.19

16 Ibid.
17 Ibid.
18 Muhammad Ali Qoyyimuddin, Analisis hukum islam terhadap konsep kafaah Menurut KGPAA
Mangkunegaran IV (Skripsi Jurusan ahwal asy-syahsiyah Fakultas syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang 2008). h. 46.
19 Imam Syafii Ibnu Abdullah Muhamad bin Idris, Op. Cit. h. 467.

11

Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, dewasa ini


masyarakat Jawa umumnya dan kraton khususnya sudah mulai terbuka
dalam menyikapi kafaah dalam perkawinan. Hal ini tidak berarti bahwa
masyarakat

Jawa

sudah

tidak

lagi

mempertimbangkan

faktor-faktor

persamaan status, akan tetapi masyarakat sudah tidak kaku lagi dalam
menentukan penilaian faktor-faktor kafaah calon pendamping. Di kalangan
kraton sendiri, faktor nasab yang biasanya menjadi ukuran pertama dalam
menentukan kesepadanan mulai berubah dan tidak kaku lagi. 20

Untuk dapat membentuk dan menciptakan suatu keluarga yang sakinah, mawaddah
dan rahmah, para ulama menganjurkan agar ada keseimbangan .keserasian, kesepadanan (ada
unsur kafaah) antara calon suami isteri. Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan ditinjau dari konsep Kafa'ah maka prinsip kesejajaran hanya
berlaku dalam masalah agama yang dianut oleh masing-masing mempelai.21
Pada Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan pasal 6 ayat 1 Undang Nomor 1 Tahun
1974 memperkuat tentang istilah kafaah tidak berpengaruh substansial terhadap syah-nya
pernikahan. Dalam ayat tersebut dijelaskan, perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai, artinya pihak wanita sepatutnya rela terhadap sebuah pernikahan.
meskipun tidak ada derajat sekufu jika ada kerelaan maka pernikahan ini menjadi sah.
Imam Syafii berkata: saya tidak mengetahui ada ahli ilmu yang berbeda pendapat
tentang tidak ada hak bagi seorang pun di antara wali untuk menikahkan seorang wanita baik
perawan maupun janda kecuali atas restu darinya.22
Dalam penjelasan selanjutnya Imam Syafii mengatakan bahwa menikahkan seorang
wanita dengan yang tidak sekufu bukan perkara haram tapi sekedar merugikan wanita yang
20 Muhammad Ali Qoyyimuddin, Op.cit. h. 47.
21 Ibid.
22 Imam Syafii Ibnu Abdullah Muhamad bin Idris, Op. Cit. h. 467.

12

dinikahkan. Adapun para penguasa, bila wanita telah ridha bersama walinya dengan
kekurangan yang ada (tidak sekufu), maka para penguasa tidak berhak menolak pernikahan
tersebut. 23

23 Ibid.

Anda mungkin juga menyukai