Anda di halaman 1dari 30

A-PDF WORD TO PDF DEMO: Purchase from www.A-PDF.

com to remove the watermark

Indonesia Raya
WR. Soepratman
Hari Musik Nasional ditetapkan 9 Maret, diusulkan tahun lalu oleh Persatuan
Artis, Pencipta dan Rekaman Musik Indonesia (PAPRI) sebagai penghargaan
atas Wage Rudolf Supratman – sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia
Raya– yang lahir pada hari Selasa Wage, 9 Maret 1903 di Dusun Trembelang,
Kelurahan Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo.

Tidak banyak catatan hidup tentang komponis besar ini, Supratman mendapat
pendidikan musik dari kakaknya yang di Makassar. Ketika masih bayi
Supratman bersama keluarganya pindah ke Tangsi Messter Cornelis Jatinegara
dan bersekolah atas diusahakannya tunjangan orang tuanya yang pernah
menjadi KNIL. Surat keterangan lahirnya akhirnya dibuat dan diberi nama
Wage Supratman.

Setelah ibunya meninggal Supratman mengikuti kakaknya yang menikah


dengan seorang tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) ke
Makassar. Di sana ia meneruskan sekolahnya di Normaal School hingga selesai,
dan untuk keperluan administratif namanya menjadi Wage Rudolf Supratman.
Selama di Makassar Supratman diajari musik dan biola oleh kakaknya hingga
benar-benar tertarik dengan musik, selain juga senang dalam bidang sastra.
Rasa tidak senangnya terhadap penjajahan Belanda pernah dituangkannya
dalam bukunya yang berjudul “Perawan Desa”. Buku yang mengandung nilai-
nilai nasionalisme Indonesia dan menyinggung pemerintahan Belanda itu
akhirnya disita dan dilarang beredar.

Selepas bekerja di Makassar bidang jurnalistik membawa dirinya dalam gejolak


pergerakan Indonesia, karena minatnya ini Supratman memutuskan pindah ke
Bandung dan bekerja sebagai pembantu di harian Kaoem Moeda. Setahun
kemudian berpindah ke harian Kaum Kita, sebagai pimpinan redaksi. Pekerjaan
tersebut tetap dilakukannya sewaktu ia pindah kembali ke Jakarta sebagai
wartawan Sin-Po, harian Tionghoa-Melayu. Di Jakarta itulah, ia banyak bergaul
dengan tokoh-tokoh pergerakan, hingga ia mulai menulis lagu.

Pada tahun 1924 Supratman menulis lagu Indonesia Raya atas anjuran dari H.
Agus Salim yang ditulis di harian Fajar Asia agar komponis Indonesia
membuat lagu kebangsaan. Dengan biolanya lagu Indonesia Raya pertama kali
dikumandangkan pada penutupan acara Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 di
Jakarta. Selain lagu kebangsaan tersebut ia menciptakan lagu lain yang tak
asing bagi kita, seperti “Ibu Kita Kartini”, “Di Timur Matahari” dan “Bendera
Kita”.

Sayang sejuta sayang, Supratman tak sempat menikmati dentuman proklamasi


dan gaungnya lagu Indonesia Raya, ia meninggal dunia di Surabaya pada
tanggal 17 Agustus 1938.
Lirik asli lagu Indonesia Raya

Indonesia Raja

Indonesia tanah airku,


Tanah tumpah darahku.
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan Tanah Airku.
Marilah kita berseru
“Indonesia bersatu.”
Hiduplah tanahku,
Hiduplah negriku,
Bangsaku, Rakyatku, se’mwanya.
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raja.

CHORUS:
Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka
Tanahku, negriku jang kutjinta.
Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka
Hiduplah Indonesia Raja.
Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka
Tanahku, negriku jang kutjinta.
Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka
Hiduplah Indonesia Raja.
Indonesia! Tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya.
Disanalah aku berada
Untuk slamalamanya.
Indonesia, Tanah pusaka,
Psaka Kita semuanya.
Marilah kita mendoa,
“Indonesia bahagia!”
Suburlah Tanahnja,
Suburlah jiwanja,
Bansanya, Rakyatnya semuanja.
Sadarlah hatinja,
Sadarlah budinja
Untuk Indonesia Raja.

CHORUS

Indonesia! Tanah yang sutji,


Tanah kita yang sakti.
Disanalah aku berdiri
Ndjaga ibu sedjati.
Indonesia! Tanah berseri,
Tanah yung aku sayangi.
Marilah kita berjanji:
“Indonesia abadi!”
Slamatlah Rakyatnja,
Slamatlah putranja,
Pulaunya, lautnya semuanja.
Majulah Negrinja,
Majulah Pandunja
Untuk Indonesia Raja.
Bendera Indonesia

Rasio: 2:3

Bendera nasional Indonesia adalah sebuah bendera berdesain sederhana


dengan dua warna yang dibagi menjadi dua bagian secara mendatar
(horizontal). Warnanya diambil dari warna Kerajaan Majapahit. Sebenarnya
tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih
sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai
panji-panji merah putih.

Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun


memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang
kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan
putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar
melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII.[1]

Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan


bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di
bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan
bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.[2]

Di jaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka,


bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan
Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.[3]

Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai


panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda.

Bendera yang dinamakan Sang Merah Putih ini pertama kali digunakan
oleh para pelajar dan kaum nasionalis pada awal abad ke-20 di bawah
kekuasaan Belanda. Setelah Perang Dunia II berakhir, Indonesia merdeka dan
mulai menggunakan bendera ini sebagai bendera nasional.

Arti Warna

Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti berani, putih


berarti suci. Merah melambangkan tubuh manusia, sedangkan putih
melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan
menyempurnakan untuk Indonesia.
2

Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan
putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula
jawa/gula aren dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini
adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa.
Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang
digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu
warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara
selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim
berupa bubur yang diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa
kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu
darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai
lambang ayah, yang ditanam di gua garba.

Peraturan Tentang Bendera Merah Putih

UUD '45 pasal 35

Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.

Peraturan Pemerintah No.40/1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik


Indonesia [1]

SEJARAH BENDERA MERAH PUTIH

1. PENGGUNAAN DAN ARTI WARNA MERAH PUTIH DI BUMI INDONESIA

1) Dalam sejarah Indonesia terbukti, bahwa Bendera Merah Putih


dikibarkan pada tahun 1292 oleh tentara Jayakatwang ketika
berperang melawan kekuasaan Kertanegara dari Singosari (1222-
1292). Sejarah itu disebut dalam tulisan bahwa Jawa kuno yang
memakai tahun 1216 Caka (1254 Masehi), menceritakan tentang
perang antara Jayakatwang melawan R. Wijaya.

2) Prapanca di dalam buku karangannya Negara Kertagama


mencerirakan tentang digunakannya warna Merah Putih dalam
upacara hari kebesaran raja pada waktu pemerintahan Hayam
Wuruk yang bertahta di kerajaan Majapahit tahun 1350-1389 M.

3) Menurut Prapanca, gambar-gambar yang dilukiskan pada kereta-


kereta raja-raja yang menghadiri hari kebesaran itu bermacam-
macam antara lain kereta raja puteri Lasem dihiasi dengan gambar
buah meja yang berwarna merah.

Atas dasar uraian itu, bahwa dalam kerajaan Majapahit warna merah dan
putih merupakan warna yang dimuliakan.
3

4) Dalam suatu kitab tembo alam Minangkabau yang disalin pada


tahun 1840 dari kitab yang lebih tua terdapat ambar bendera alam
Minangkabau, berwarna Merah Putih Hitam. Bendera ini
merupakan pusaka peninggalan jaman kerajaan Melayu-
Minangkabau dalam abad ke 14, ketika Maharaja Adityawarman
memerintah (1340-1347).

Warna Merah = warna hulubalang (yang menjalankan perintah)

Warna Putih = warna agama (alim ulama)

Warna Hitam = warna adat Minangkabau (penghulu adat)

5) Warna merah putih dikenal pula dengan sebutan warna Gula


Kelapa. Warna Merah Putih disebut Gula Kepala tidak berarti
“Merah” lambing gula dan “Putih” lambing buah nyiur yang telah
dikupas. Di Kraton Solo terdapat pusaka berbentuk bemdera Merah
Putih peninggalan Kyai Ageng Tarub, putra Raden Wijaya, yang
menurunkan raja-raja Jawa.

6) Dalam babat tanah Jawa yang bernama babab Mentawis (Jilid II hal
123) disebutkan bahwa Ketika Sultan Ageng berperang melawan
negri Pati. Tentaranya bernaung di bawah bendera Merah Putih
“Gula Kelapa”. Sultan Ageng memerintah tahun 1613-1645.

7) Juga di bagian lain dari kepulauan Indonesia terdapat bendera yang


berwarna Merah Putih, misalnya di Aceh, Palembang, Maluku dan
sebagainya meskipun sering dicampuri gambar-gambar lain.

8) Pada umumnya warna Merah Putih merupakan lambang


keberanian, kewiraan sedangkan warna Putih merupakan lambang
kesucian.

2 MERAH PUTIH DALAM ABAD XX

1) Bendera Merah Putih berkibar untuk pertama kali dalam abad XX


sebagai lambang kemerdekaan ialah di benua Eropa. Pada tahun
1922 Perhimpunan Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih di
negeri Belanda dengan kepala banteng ditengah-tengahnya.

2) Tujuan perhimpunan Indonesia Merdeka semboyan itu juga


digunakan untuk nama majalah yang diterbitkan.

3) Pada tahun 1924 Perhimpunan Indonesia mengeluarkan buku


peringatan 1908-1923 untuk memperingati hidup perkumpulan itu
selama 15 tahun di Eropa. Kulit buku peringatan itu bergambar
bendera Merah Putih kepala banteng.

4) Dalam tahun 1927 lahirlah di kota Bandung Partai Nasional


Indonesia (PNI) yang mempunyai tujuan Indonesia Merdeka. PNI
mengibarkan bendera Merah Putih kepala banteng.
4

5) Pada tanggal 28 Oktober 1928 berkibarlah untuk pertama kalinya


bendera ,erah Putih sebagai bandera kebangsaan yaitu dalam
Konggers Indonesia Muda di Jakarta. Sejak itu berkibarlah bendera
kebangsaan Merah Putih di seluruh kepulauan Indonesia.

3 SANG SAKA MERAH PUTIH DI BUMI INDONESIA MERDEKA

1) Pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta


bertempat di Pegangsaan Timur 56 (JL.Proklamasi) Jakarta, atas
nama bangsa Indonesia. Sesaat kemudian bendera kebangsaan
Merah Putih dikibarkan di gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta.
Bendera Merah Putih berkibar ntuk pertama kalinya di bumi
Indonesia Merdeka.

2) a. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan


Indonesia (PPKI) yang dibentuk pada tanggal 9 Agustus 1945
mengadakan siding yang pertama dan menetapkan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia yang kemudian dikenal
sebagai Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

b. Dalam UUD 1945, Bab I, pasal I, ditetapkan bahwa Negara


Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik.
Dalam UUD 1945 pasal 35 ditetapkan pula bahwa bendera
Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Denagn demikian itu,
sejak ditetapkannya UUD 1945 , Sang Merah Putih merupakan
bendera kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3) Dengan ditetapkannya UUD 1945 dan bendera kebangsaan Sang


Merah Putih, maka serntak seluruh rakyat Indonesia dan pemuda
Indonesia, menegakkan, mengibarkan dan mempertahankan Sang
Merah Putih di bumi Indonesia. Pertempuran-pertempuran dengan
serdadu colonial Belanda yang didukung oleh tentara sekutu
berkobar di seluruh Indonesia. Ribuan rakyat dan pemuda
Indonesia gugur sebagai pahlawan bangsa mempertahankan
kemerdekaan Sang Merah Putih. Karena pengorbanan mereka kini
Sang Merah Putih tegak berkibar dibumi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka dan berlandaskan Pancasila.

4) Sang Merah Putih dikibarkan pada Hari Proklamasi tanggal 17


Agustus 45 di gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta disebut
Bendera Pusaka. Bendera Pusaka itu selalu dikibarkan di tiang
yang tingginya 17 m di depan Istana Merdeka Jakarta pada tiap
perayaan peringatan Hari Prokalamasi Kemerdekaan.

5) Mulai tahun 1969 Bndera Pusaka itu tidak lagi dapat dikibarkan
karena sudah tua. Sebagai gantinya dikibarkan duplikatnya yang
dibuat dari sutera alam Indonesia.
5

Dalam sejarah perjuangan kemrdekaan Indonesia, Bendera Pusaka tidak


pernah jatuh ke tangan musuh, meskipun tentara colonial Belanda menduduki
Ibukota Negara Republik Indonesia.

Kemiripan dengan bendera negara lain

Bendera ini mirip dengan bendera negara Bendera Monako dan Solothum
yang mempunyai warna sama namun rasio yang berbeda, selain itu bendera ini
juga mirip dengan Bendera Polandia yang mempunyai warna yang sama namun
warnanya terbalik.

Bendera Salzburg, Bendera Vienna,


Bendera Monako Bendera Kanton Solothum di Austria Austria
Swiss

Bendera Vorarlberg,
Austria

KEPPRES 150/1959
tentang
KEMBALI KEPADA UNDANG UNDANG DASAR 1945

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN


PERANG.

Dengan ini menyatakan dengan khidmat : Bahwa anjuran Presiden dan


Pemerintah untuk kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, yang
disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada
tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar Sementara; Bahwa
berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-anggota Sidang
Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang,
Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh
Rakyat kepadanya:
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang
membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta
merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan
makmur; Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan
didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi; Bahwa kami berkeyakinan
bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang
Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan
Konstitusi tersebut, Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,

Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

Menetapkan pembubaran Konstituante; Menetapkan Undang-undang Dasar


1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak
berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara. Pembentukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959

Atas nama Rakyat Indonesia : Presiden Republik Indonesia/ Panglima Tertinggi


Angkatan Perang,

SOEKARNO.
Piagam Jakarta & Dekrit Presiden
Posted on June 26, 2007.

PIAGAM JAKARTA

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada


saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia
ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ke-Tuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan berada, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 22 Juni 1945

Ir. Soekarno
Drs. Mohammad Hatta
Mr.A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakkir
H.A. Salim
Mr. Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Mr. Muhammad Yamin
————————————————–
Jumat, 22 Juni 2007

Menjaga Spirit Piagam Jakarta

Oleh :

M Fuad Nasar
Anggota Badan Amil Zakat Nasional

Tanggal 22 Juni mempunyai arti istimewa bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada
tanggal itu dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tercapai sebuah konsensus nasional dan
gentlemen agreement tentang dasar negara Republik Indonesia. Konsensus
nasional yang mendasari dan menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 itu dituangkan dalam suatu naskah yang oleh Mr Muhammad Yamin
disebut Piagam Jakarta.

Titik kompromi dimaksud terutama tercermin dalam kalimat, ‘negara Republik


Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ke-Tuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Kalimat ini merupakan rumusan pertama lima prinsip falsafah negara yang
oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 dinamakan Pancasila.

Dokumen politik tanggal 22 Juni 1945 itu disusun dan ditandatangani oleh
panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI. Anggotanya adalah Ir Soekarno, Drs
Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar
Moezakir, HA Salim, Mr Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Mr Mohammad
Yamin. Waktu itu, Ir Soekarno selaku pimpinan rapat dengan segenap
kegigihannya mempertahankan Piagam Jakarta sebagaimana dapat dibaca
dalam risalah sidang BPUPKI.

Prawoto Mangkusasmito dalam bukunya Pertumbuhan Historis Rumus Dasar


Negara dan Sebuah Proyeksi (1970), menulis, “Timbul sekarang satu historische
vraag, satu pertanyaan sejarah, apa sebab rumus Piagam Jakarta yang
diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari
oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di dalam rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 di dalam beberapa
menit saja dapat diubah.”

Dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (diterbitkan


1969), Bung Hatta menceritakan apa yang dialaminya pada sore hari 17
Agustus 1945 sebagai berikut. “Pada sore harinya saya menerima telepon dari
tuan Nisyijima, pembantu Admiral Mayeda menanyakan, dapatkah saya
menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut), karena ia mau
mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nisyijima sendiri
akan menjadi juru bahasanya. Saya persilakan mereka datang. Opsir itu yang
saya lupa namanya datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan
dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam
daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat
terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang
berbunyi ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya’. Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak
mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi
tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok
Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan
minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di
luar Republik Indonesia.

Bung Hatta yang menerima kabar penting itu, masih punya waktu semalam
untuk berpikir. “Karena opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh
menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula
semboyan yang selama ini didengung-dengungkan ‘bersatu kita teguh dan
berpecah kita jatuh’, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandangan saya.
Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun lamanya,
dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka
bersatu dan tidak terbagi-bagi. Karena begitu serius rupanya, esok paginya
tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang panitia Persiapan bermula, saya ajak
Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku
Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk
membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami
mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum
Kristen itu dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.” ungkap
Hatta.

Tetap hidup
Perjanjian luhur pun disepakati antara golongan Islam dan golongan
kebangsaan serta golongan lainnya yang telah dicapai melalui Piagam Jakarta
22 Juni 1945. Pada 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret
kata-kata, ‘dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya’, setelah kata ‘ke-Tuhanan’. Ini merupakan cermin sikap
kenegarawanan dan komitmen pada persatuan bangsa yang tiada bandingnya
sepanjang sejarah Republik Indonesia.

Dalam perkembangan di kemudian hari, sehubungan Dekrit Presiden 5 Juli


1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dalam
konsiderans dekrit, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan
bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang
Dasar. Pertanyaan yang mendasar diajukan oleh dua orang anggota DPR yaitu
Anwar Harjono (Masyumi) dan HA Sjaichu (NU) kepada pemerintah yang
diwakili Perdana Menteri Juanda menyangkut rencana kembali ke UUD 1945
serta maksud dari pengakuan Piagam Jakarta dan pengaruhnya dalam UUD
1945. Jawaban resmi pemerintah yang disampaikan oleh Perdana Menteri
Juanda adalah bahwa pengaruh Piagam Jakarta tersebut tidak mengenai
Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945. Dengan
demikian perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan
arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan
syari’atnya sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi
para pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan syari’at Islam’.

Tidak dapat dipungkiri bahwa spirit Piagam Jakarta sebagai dokumen ideologis
dan historis tetap terpatri dalam konstitusi negara kita. Meski telah 4 kali
diamandemen UUD 1945 di masa reformasi dan saat ini kembali bergulir
usulan amandemen kelima, diharapkan spirit Piagam Jakarta tetap hidup
dalam hati sanubari para pemimpin dan segenap warga bangsa yang
Jumat, 22 Juni 2007

Jangan Ingkari Piagam Jakarta

Oleh :

Ahmad Sumargono
Ketua Pelaksana Harian KISDI

Tanggal 22 Juni 1945, merupakan saat yang sangat bersejarah bagi bangsa
Indonesia, karena saat itu atau 62 tahun yang lalu telah lahir Piagam Jakarta
yang merupakan ruh dalam meletakkan landasan hukum pembangunan
bangsa ini. Piagam Jakarta adalah naskah otentik Pembukaan UUD 45. Naskah
tersebut disusun oleh Panitia Sembilan bentukan BPUPKI yang terdiri dari Ir
Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar
Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muhammad
Yamin. Dalam alinea keempat naskah itu tercatat kalimat: “…. kewadjiban
mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja….’’

Pada 9 Juli 1945, Soekarno menyebut Piagam Jakarta sebagai gentlemen’s


agreement antara kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Muslim. Tapi
pada 18 Agustus 1945, tujuh kata vital tadi akhirnya didrop. Alasannya, umat
Kristen di Indonesia Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik
Indonesia yang baru saja diproklamirkan bila tujuh kata itu tetap dicantumkan
dalam Pembukaan UUD 45 sebagai Dasar Negara.

Mengomentari ultimatum itu, Dr M Natsir mengatakan, “Menyambut hari


Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18
Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa.” Upaya
kekuatan Islam untuk merehabilitasi Piagam Jakarta pada Sidang Majelis
Konstituante 1959 disabotase oleh Presiden Soekarno dengan menerbitkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Gagal lah usaha tersebut hingga sekarang.

Meskipun demikian, tokoh Masyumi Prof Kasman Singodimedjo dalam


biografinya mengingatkan, “Piagam Jakarta sebenarnya merupakan gentlemen’s
agreement dari bangsa ini. Sayang, kalau generasi selanjutnya justru
mengingkari sejarah.” memasuki era reformasi, UUD 45 memang mengalami
amandemen. Hingga ini telah diamandemen sebanyak 4 kali, yakni pada tahun
1999 hingga yang terakhir tahun 2002.

Amandemen itu menimbulkan kontroversi. Ada yang menginginkan kembali ke


UUD 45 yang asli (versi Dekrit). Sebagian lagi ingin mempertahankan UUD yang
sudah diamandemen yaitu UUD 2002, dan ada yang menginginkan UUD yang
sudah diamandemen ini diamandemen kembali untuk kelima kalinya. Untuk
yang terakhir ini, sebagian mengusulkan amandemen terbatas, dan sebagian
lagi amandemen overwhole atau keseluruhan. Tapi dalam kenyataannya
jangankan merehabilitasi Piagam Jakarta, pembahasan amandemen UUD 45
malah sempat menggugat eksistensi Pasal 29 yang menegaskan landasan
ketuhanan bangsa.
Makin liar
Amandemen berikutnya cenderung semakin liar. UUD Amandemen 2002 adalah
kran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan. Secara umum
modus operandi imperialisme lewat jalur UU dapat dikategorikan dalam
beberapa cara (Al Wa’ie No70 Tahun VI, 1-30 Juni 2006). Pertama, intervensi
G2G (government to government), yakni pemerintah asing secara langsung
menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu klausul atau
agenda dalam perundangannya dan model G2G seperti ini. Contohnya
pernyataan bahwa Indonesia sarang teroris, baik yang dilontarkan AS,
Australia, maupun Singapura bertujuan untuk mendesak agar Indonesia
menerapkan UU antiteroris yang lebih ketat.

Kedua, intervensi W2G (world to government), yakni lembaga internasional


(seperti PBB, WTO, IMF) yang mengambil peran penekan. Contohnya agenda UU
yang terkait globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan (UU perbankan,
UU migas, UU tenaga listrik, UU sumber daya air). Ketiga, intervensi B2G
(bussines to government). Para pengusaha dan investor menekan pemerintah
agar meluluskan berbagai kepentingan mereka dalam undang-undang.
Contohnya agenda UU yang terkait dengan investasi, perpajakan, dan
perburuhan.

Keempat, intervensi N2G (non government organization to government). Pihak


non government organization ini dapat berupa orang asing atau lokal murni tapi
disponsori asing. Mereka bisa mendatangi para penyusun UU (teror mental)
hingga demo besar-besaran. Contoh pada UU tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga(UU KDART) dan penolakan RUU antipornogarfi dan
pornoaksi.

Kelima, intervensi I2G (intellectual to government). Kaum intelektual, para


ilmuwan, bahkan tokoh agama dapat dipakai untuk menekan pemerintah agar
meloloskan suatu agenda dalam perundangannya. Jenis ini merupakan
intervensi paling rapi dan paling sulit dideteksi. Contohnya terlihat pada agenda
penyusunan UU Otonomi Daerah

LSM asing yang terlibat aktif dalam penyusunan UU adalah National


Democration Institute (NDI) yang dalam operasionalnya didukung CETRO.
Mereka mempunyai program constitutional reform. Ditengarai ada dana 4,4
miliar dolar AS dari Amerika Serikat (AS) untuk membiayai proyek tersebut.
Bahkan NDI dan CETRO mendapat fasilitas di Badan Pekerja (BP) MPR hingga
dengan mudah mengikuti rapat-rapat di MPR.

Sebagai konsekuensinya, undang-undang yang berada di bawah UUD 45


Amandemen itu pun bersifat liberal. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik
(meski kemudian dibatalkan oleh MK), UU Sumber Daya Air (SDA), dan UU
Kekerasan Dalam Rumah Tangga(UU KDRT).

Pakar minyak, Qurtubi dalam diskusi bertema ‘UUD 1945 vs UUD 2002′ di
kantor Institute for Policy Studies Jakarta membenarkan masuknya paham
liberalisme dalam UU Migas dan UU Sumber Daya Air. Belakangan juga
disahkan UU Penanaman Modal yang memberikan karpet merah bagi kekuatan
asing untuk menguasai 100 persen kekayaan Indonesia untuk kemudian
melakukan repatriasi.
Dampaknya mulai terasa
Dampak nyata dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, Pertamina,
yang notabene perusahaan milik rakyat, saat ini bukan lagi pemain tunggal.
Pertamina harus bersaing dengan perusahaan minyak asing seperti Shell,
Exxon Mobil, Mobil Oil, dan sebagainya. Dalam kasus pengelolaan ladang
minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina harus kalah melawan Exxon Mobil.

Semua ini adalah merupakan musibah nasional, karena elite politik dan para
pemimpin bangsa ini telah kehilangan rasa kebangsaan dan religiusitas. Mereka
terlalu mudah menggadaikan kepentingan bangsa untuk kepentingan kelompok
dan golongan melalui pendekatan pragmatis. Rasa idealisme dan keagamaan
telah tenggelam disapu oleh badai liberealisme, kapitalisme, dan hindonisme
yang materialistis, sehingga tidak ada satu kekuatan pun di negeri ini yang
akan mampu membendung gelombang korupsi dan manipulasi.

Piagam Jakarta seperti yang termaktub dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli
1959 , dengan keputusan Presiden No150 tahun 1959, sebagaimana
ditempatkan dalam Lembaran Negara No75/1959 mengakui hak tersebut.
Keputusan Presiden ini sah berlaku, dan tak dapat dibatalkan melainkan harus
bertanya dahulu kepada rakyat lewat referendum (Ridwan Saidi, Piagam
Jakarta ,Tinjauan Hukum dan Sejarah, 2007).

Ikhtisar
- Piagam Jakarta yang sangat bersejarah semakin diingkari oleh para elite masa
kini.
- Ruh keagamaan dan kebangsaan yang terkandung dalam dokumen tersebut
tidak lagi menjadi pijakan dalam mengelola negara.
- Hal ini pun membuka pintu bagi masuknya intervensi asing secara bebas.
- Dampak dari intervensi yang terlampau bebas itu pun terasa sangat
menyusahkan.

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=297525&kat_id=16

KEPPRES 150/1959, KEMBALI KEPADA UNDANG UNDANG DASAR 1945

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:150 TAHUN 1959 (150/1959)

Tanggal:5 JULI 1959 (JAKARTA)

Kembali ke Daftar Isi

Tentang:KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN


PERANG.
Dengan ini menyatakan dengan khidmat : Bahwa anjuran Presiden dan
Pemerintah untuk kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, yang
disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada
tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar Sementara; Bahwa
berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-anggota Sidang
Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang,
Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh
Rakyat kepadanya:

Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang


membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta
merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan
makmur; Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan
didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi; Bahwa kami berkeyakinan
bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang
Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan
Konstitusi tersebut, Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,

Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

Menetapkan pembubaran Konstituante; Menetapkan Undang-undang Dasar


1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak
berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara. Pembentukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Ditetapkan di Jakarta *28512 pada tanggal 5 Juli 1959

Atas nama Rakyat Indonesia : Presiden Republik Indonesia/ Panglima Tertinggi


Angkatan Perang,

SOEKARNO.

xx

Bagaimana membuat nilai-nilai ini bisa kembali menjadi pedoman dan


pengamalan dalam keseharian kehidupan kita? Saya rasa perlu suatu
pemerintahan otoriter di Indonesia untuk memprogram ulang otak bangsa kita
dengan suatu dokrin nilai - nilai sosial dalam kehidupan berbangsa, bernegara,
dan bermasyarakat di negara Indonesia yang nyata - nyata sangat plural ini.
Pemerintahan otoriter sangat diperlukan ketika berhadapan dengan masyarakat
yang tak bermoral, tak terkendali, tak mau diatur, dan merasa dirinya adalah
kebenaran itu sendiri tanpa sadar bahwa mereka hidup bersama dengan orang
lain. Semoga saja bangsa Indonesia tidak separah itu ;))
Tanggal 1 Juni 1945, Soekarno memberikan dasar filosofi negara Indonesia
yang belum merdeka. Ia menyebutkan lima dasar utama, yaitu Kebangsaan
Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi,
Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan atau Ketuhanan
Yang Mahaesa.

Tanggal 22 Juni 1945, dirumuskan kembali menjadi Ketuhanan dengan


kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Mohammad Yamin kemudian menamakan rumusan
baru itu sebagai Piagam Djakarta.

Dalam sidangnya sehari setelah proklamasi, 18 Agustus 1945 PPKI


memutuskan menghapus tujuh kata dalam Piagam Djakarta, yaitu mengganti
rumusan “dengan berdasarkan pada ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” menjadi “dengan
berdasarkan pada Ketuhanan Yang Mahaesa”. Pada sidang itu PPKI sekaligus
meresmikan UUD 1945 yang pembukaannya memuat rumusan resmi Pancasila
yang telah diperbarui.

Pemikiran Bung Karno Menuju Pancasila

Catatan Bung Karno Seratus Tahun

Oleh: G Moedjanto TANGGAL 6 Juni 1901 adalah hari kelahiran pejuang


penggalang persatuan, Bung Karno. Maka tanggal 6 Juni 2001 merupakan HUT
kelahirannya yang ke seratus. Tanggal 6 Juni merupakan momentum yang
tepat karena dalam situasi negara dan bangsa Indonesia dalam ancaman
disintegrasi, perjuangan Bung Karno, bersama pemimpin Indonesia lainnya
dalam pergerakan kemerdekaan dapat membangkitkan kembali semangat
kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan semangat baru diharapkan integrasi
bangsa Indonesia dapat dipertahankan. Apa yang penulis sajikan merupakan
ungkapan atas kekaguman terhadap Bung Karno sebagai penggalang persatuan
bangsa yang terbesar.

Dalam menangkap kembali peran Bung Karno tersebut akan penulis sajikan
tinjauan tentang studi dan aktivitas sosial- politiknya, yang kemudian berujung
pada sumbangnya menggali nilai-nilai budaya yang menjadi causa materialis
bagi keberadan dasar filsafat negara Pancasila.

Pengetahuan yang diperlukan Bung Karno memang lahir di Surabaya, tetapi


masa remajanya dihabiskan di Mojokerto. Di kota kecil itu ia belajar ELS
(Europeesch Lagere School/sekolah dasar buat anak-anak Eropa).

Masuknya Bung Karno kecil di ELS tersebut mengisyaratkan bahwa dirinya


lebih dibandingkan anak orang kebanyakan. Untuk dapat belajar di sekolah itu
ia harus mampu berbahasa Belanda, dan SPP sekolah tersebut mahal.

Dari ELS ia meneruskan pendidikannya di HBS (Hogere Burger School, SLTP


dan SLTA disatukan). Tentu biayanya lebih mahal lagi. Meski demikian
ayahnya, yang Kepala Sekolah Rakyat (Volkschool), dapat membiayainya
dengan mengabaikan pendidikan saudara-saudara perempuannya.

Ia menyelesaikan studi di HBS pada tahun 1921, lalu melanjutkan studinya di


Sekolah Tinggi Tehnik (Technische Hofe School dan akhirnya mendirikan dan
memimpin PNI tahun 1927.

Untuk mendukung posisi kepemimpinannya Bung Karno belajar banyak,


dengan membaca buku-buku di perpustakaan Teheosophie di Surabaya dan
STT Bandung. Ia juga belajar dari kehidupan alam dan lingkungan sosial
setempat.

Maka pengetahuan Bung Karno sangat luas. Andai saja Bung Karno hanya
memperlajari ilmu teknik melulu, Indonesia tidak akan mengenal pemimpin
nasional bernama Sukarno (Bung Karno).

Hal penting lain yang terbukti kelak menjadi unggulan Bung Karno adalah
kepandaiannya berpidato. Salah seorang yang dapat disebut sebagai guru
berpidatonya adalah HOS Tjokroaminoto. Kebetulan selama di HBS, Bung
Karno muda mondok di rumah Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam
terkemuka.

Bung Karno memang mampu berpidato selama berjam-jam tanpa pendengarnya


bosan. Kepandaiannya berpidati bukan saja diakui di Indonesia, tetapi juga di
luar negeri, seperti di Australia dan Amerika.

Di sekitar PNI Dengan bekal yang begitu besar tidaklah mustahil Bung Karno
dapat berbuat begitu banyak untuk bangsanya dalam perjuangan
kemerdekaan. Dimulai dengan pendirian Algemene Studie Club di Bandung
pada tahun 1925. Perkumpulan itu seperti kelompok diskusi yang banyak
didirikan oleh para mahasiswa dan cendekiawan sekarang. Kelompok diskusi
itu memang baru merupakan perkumpulan akademis-teoritis (academic
exercise). Dalam aktivitasnya Algemene Studie Club 1925 sampai Juni 1927
memang masih terbatas pada studi teori. Hal itu juga karena PKI masih jaya
dan sanggup memegang "komando" pergerakan kebangsaan. Tetapi sesudah
kegagalan pemberontakan rakyat yang digerakkan PKI November 1926 -
Februari 1927 terjadilan "kekosongan" pimpinan pergerakan kemerdekaan.
Oleh karena itu perlulah "kekosongan" itu diisi, dan sudah saatnya Algemene
Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Menarik perhatian bahwa peresmian berdirinya PNI berlangsung pada tanggal 4
Juli 1927.

Tanggal kelahiran PNI jelas bukan suatu kebetulan. Almarhum Adam Malik
dalam bukunya Adam Malik Mengabdi RI pernah menjelaskan bahwa pilihan
tanggal 4 Juli ada kaitannya dengan hari kemerdekaan Amerika Serikat.

Sejarah mencatat proklamasi kemerdekaan Amerika berlangsung pada tanggal


4 Juli 1776 di Philadelpia. Dengan memilih 4 Juli sebagai hari berdirinya PNI,
para pemimpin PNI berharap semangat, siasat dan keberhasilan revolusi
kemerdekaan Amerika akan mengilhami semangat, siasat dan keberhasilan
perjuangan bangsa Indonesia di bawah pimpinan PNI.

Bung Karno berharap bangsa Indonesia dapat bersatu padu, karena hanya
dengan cara begitu mereka dapat menang menghadapi penjajah. Untuk itu
paham atau ideologi yang berbeda perlu dipersatukan lewat persamaan-
persamaan yang ada. Demikianlah Bung Karno pada tahun 1926 mengajak
pendukung ideologi Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme untuk dapat dan
mau bersatu. Perbedaan- perbedaan yang ada mestinya dikesampingkan.

Memang kehendak Bung Karno mempersatukan ketiga paham itu sesuatu yang
mungkin. Perekat persatuannya adalah kesamaan umur. Ketiga paham itu anti
kapitalisme dan imperialisme, pro kemerdekaan dan kesejahteraan umum.

Mungkinkah hal itu? Bagi pemikiran Bung Karno hal itu memang sesuatu yang
mungkin, karena Bung Karno menyederhanakan persoalan. Hal itu dapat Bung
Karno lakukan, menurut Berhhard Dahm dalam bukunya Sukarno dan
Perjuangan Kemerdekaan, karena pemahaman Bung Karno akan ketiga aliran
(ideologi) itu agak dangkal.

Dalam kaitan dengan judul tulisan ini yang substansial adalah pengenalan tiga
nilai dasar, yang kelak berkembang menjadi Pancasila. Ketiga nilai dasar itu
adalah: Nasionalisme, yang bermakna kebangsaan, Islamisme yang bermakna
Ketuhanan, dan Marxisme yang berawal dari sosialisme atau keadilan sosial.
Hal itu disampaikan Bung Karno pada tahun 1926 lewat SK Suluh Indonesia
Muda.

Menuju ke Pancasila Bung Karno belum menyatukan gagasannya dengan nilai


kerakyatan (demokrasi). Tampaknya menunggu sampai nilai kerakyatan itu
dicanangkan oleh Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925, sehingga Bung
Karno menemukan nilai dasar yang keempat itu.

Namun ada hal yang agak kurang konsisten dalam PNI. Sesungguhnya pada
waktu PNI sudah berdiri dan berjuang, ia sudah mengenal lima asas yaitu: 1.
Nasionalisme, 2. Islamisme, 3. Sosialisme, 4. Kerakyatan, 5. Kemanusiaan.

Tetapi Bung Karno dalam tulisan-tulisannya yang dimuat dalam Dibawah


Bendera Revolusi (DBR) menyatakan asas/ideologi PNI adalah Marhaenisme,
yaitu asas/ideologi kerakyatan yang memperjuangkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Nilai dasar yang terkandung di dalamnya adalah
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah rasa cinta
bangsa yang diimbangi dengan rasa kemanusiaan. Sedangkan sosio-demokrasi
adalah kerakyatan yang diimbangi dengan kesejahteraan. Sosio- demokrasi
dapat diartikan pula sebagai demokrasi politik disertai demokrasi ekonomi.

Meski agama, khususnya agama Islam, sudah sering dipikirkan, tetapi ternyata
dalam Marhaenisme agama belum mendapatkan tempat yang mantap.

Bung Karno masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk memasukkan
ketuhanan ke dalam sistem "filsafatnya". Tampaknya ia perlu memikirkan
status agama lain supaya ia dapat memasukkan dasar ketuhanan, yang lebih
luas dari pada sekadar keislaman.

Maka dapat dipahami bahwa baru pada tahun 1945 Bung Karno selesai
merumuskan dan memadukan lima nilai, yaitu Pancasila, menjadi dasar filsafat
negara. Itulah tawaran Bung Karno dalam menjawab pertanyaan Ketua
BPUPKI, Dokter Radjiman. "Indonesia merdeka yang akan kita dirikan apa
dasarnya?" Tawaran Bung Karno diterima oleh BPUPKI yang kemudian
membahas dan merumuskannya kembali, dan PPKI menetapkannya menjadi
dasar filsafat Pancasila.

Dari uraian diatas nyata bahwa penemuan dan penetapan Pancasila menjadi
dasar filsafat itu berproses dari pemikiran 1926 sampai 1945 (lebih kurang 20
tahun).

Maka dari itu kita sekarang pantas bersyukur atas jasa Bung Karno dan para
founding fathers. Sesungguhnya merupakan suatu kesepakatan demokratis
demi hidup bersama dan bekerjasama rakyat Indonesia yang begitu bhineka.
Dengan Pancasila kebhinekaan itu disatukan, integrasi terwujudkan.

Saya mengajak pembaca khususnya dan seluruh bangsa Indonesia pada


umumnya untuk mengamalkan Pancasila. Yakinlah hanya dengan kembali ke
Pancasila integrasi bangsa dapat dipulihkan.

[sunting] terminologi Pancasila.

Mengapa Bung Karno menggunakan terminologi Pancasila? Terutamanya ianya


adalah bahasa Sanskerta. Ketika jaman kolonial, bahasa sanskerta cukup
terbatas penggunaannya dikalangan bangsa Indonesia. Pancasila juga adalah
rukun agama Buddha, maka senang terkeliru dengan Pancasila Indonesia.
Apakah terdapat kisah disebalik penggunaan terminologi ini? 141.213.240.242
06:40, 9 Februari 2006 (UTC)

Sejarahnya, yang memberitahu istilah Pancasila ini adalah Moh. Yamin, yang
seorang ahli bahasa kepada Soekarno. Pertamakali memang tertulis sebagai
rukun agama Budha, dan Indonesianya Pancasila. --Calvin Limuel 17:00, 10
Maret 2008 (UTC)

[sunting] Makna objektif? perlu diganti

bennylin 00:07, 30 Agustus 2007 (UTC) Saya rasa banyak penafsiran kelima
sila Pancasila yang bersifat objektif (tanpa sumber, makna tersebut hanyalah
penafsiran orang tertentu). Bagaimana menurut yang lain?
lolz... kalo mau penafsiran yang resmi kan 36 butir Pancasila alias Eka
Prasetya Pancakarsa --Quoth nevermore 00:16, 30 Agustus 2007 (UTC)
Bukannya itu sudah dihapus? Saya beruntung karena melewati SMU
tanpa harus menghafalnya ^^ bennylin 07:29, 13 September 2007 (UTC)

[sunting] Asal muasal Bhinneka Tunggal Ika?

Saya menemukan ketidaksesuaian soal asal semboyan Bhinneka Tunggal Ika.


Di artikel ini disebut berasal dari Negarakertagama karya Empu Prapanca,
sementara di artikel Bhinneka Tunggal Ika [1] dan [2] disebutkan bahwa istilah
ini dari Sutasoma karya Empu Tantular.

Bukankah yang benar

1. Pancasila disebut di Negarakertagama dan Sutasoma


2. Bhinneka Tunggal Ika: disebut di Sutasoma, tidak disebut di
Negarakertagama

– komentar tanpa tanda tangan ini diberikan oleh Marsel (bicara • sumbangan) .

[sunting] Rencana Pengalihan

Saya rasa antara Garuda Pancasila sebagai lambang negara dan Pancasila
sebagai ideologi negara terjadi kekisruhan yang menyebabkan kedua subjek
tersebut (lambang dan ideologi) dicampurkan jadi satu artikel di sini. Menurut
saya sebaiknya pranala Garuda Pancasila dialihkan ke Lambang Indonesia (dan
artikelnya digabung - saat ini ada perbedaan) dan artikel tentang ideologi
ditaruh ke Pancasila (yang saat ini menjadi halaman disambiguasi, namun bisa
dipindah ke Pancasila (disambiguasi)) Bagaimana menurut Anda? Ya. Anda.
bennylinkirim pesan 12:53, 21 November 2007 (UTC)

II. Makna Lambang Garuda Pancasila

* Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia


* Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam
Pancasila, yaitu:
* Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
* Rantai melambangkan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
* Pohon beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia
* Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan

* Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia

* Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah


berarti berani dan putih berarti suci

* Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah


Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa
* Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17
Agustus 1945), antara lain:
* Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
* Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
* Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
* Jumlah bulu di leher berjumlah 45

* Pita yg dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara


Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda beda, tetapi tetap
satu jua”.

III. Naskah Undang-Undang Dasar 1945

Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang


Tubuh (16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan
Tambahan), serta Penjelasan.

Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal, 170
ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan

Tambahan.

Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai
Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

IV. Sejarah

Sejarah Awal

Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta yang kelak menjadi
naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah rancangan konstitusi Indonesia
disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18
Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia.

Periode 1945-1949

Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan


sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada
tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahu kekuasaan
legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945
dibentuk Kabinet Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan
penyimpangan UUD 1945.

Periode 1959-1966

Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling
tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru,
maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai
undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950
waktu itu.

Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:


* Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil
Ketua DPA menjadi Menteri Negara

* MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup


* Pemberontakan G 30S

Periode 1966-1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali
menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun
dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang
mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.

Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”,
diantara melalui sejumlah peraturan:

* Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR


berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan
melakukan perubahan terhadapnya

* Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain


menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih
dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
* Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan
pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

V. Perubahan UUD 1945


Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan
(amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD
1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan
MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat
besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat
menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang
semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan
konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar
seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan,
eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai
dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945
dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas
sistem presidensiil.

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:

* Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999


* Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000
* Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001
* Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999

Prof. Dr Suhardiman, SE (07)

Menuju Indonesia Raya Ketiga 2045

Eksistensi dan posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sangat perlu
dipahami di antara sepak terjang ideologi-ideologi besar dunia. Pemahaman ini
sangat penting dalam rangka pemantapan ideologi Pancasila yang menjadi
dasar dan pedoman hidup bangsa. Dengan demikian bangsa Indonesia semakin
mampu memainkan peranannya di dalam gerak maju mencapai cita-citanya,
yang tidak lain dari masyarakat Pancasila itu sendiri.

Semenjak nenek moyang bangsa Indonesia menginjakkan kakinya di bumi


Nusantara, pada dasarnya nilai-nilai yang sekarang dirumuskan dalam
Pancasila sudah termaktub di dalam jiwanya, sudah melekat di dalam diri dan
pribadinya, dan sudah terpancar jelas dari perilakunya. Dengan kata lain,
Pancasila yang sekarang menjadi deologi bangsa Indonesia, bersumber pada
jiwa, kepribadian serta pandangan rakyat Indonesia yang telah bereksistensi
selama berabad-abad sebelum kemerdekaan.

Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri. Di dalam Pancasila terkandung


nilai-nilai luhur yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat-akar di
dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Budaya bangsa yang mengutamakan
keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai
pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan
dengan alam, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya; maupun dalam
mengejar kebahagiaan lahiriah dan rohaniah.

Demokrasi Politik Pancasila didasari atas perjuangan untuk kepentingan dan


keselamatan umum yang didasarkan pada prinsip “sepi ing pamrih, rame ing
gawe”. Etos kerja yang didasarkan pada keuletan dan ketekunan demi
tercapainya kehidupan yang lebih baik dan maju bagi dirinya dan keluarganya.
Ketiga etos tersebut dapat disebut juga sebagai “etos kekaryaan” yang
tridimensial atau yang bersifat dialektis-theologis.
Pembangunan nasional yang mencakup bidang-bidang Ipolek-Sosbud-hankam
sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan dari penghayatan,
pengamanan dan pengamalan Pancasila. Demikian juga halnya dengan
demokrasi yang dijiwai oleh Pancasila atau secara singkat disebut Demokrasi
Pancasila, itu pun sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan,
apakah itu demokrasi politik, demokrasi ekonomi ataupun demokrasi sosial
budaya.

Di sini perhatian hanya difokuskan pada demokrasi politik yang akan dikaji
dari sudut batasan dan cirinya; mekanisme dan gerak dinamikanya dengan
suatu latar belakang sikap dan pemikiran bahwa demokrasi Pancasila itu harus
terkait dengan keamanan (security) dan kemakmuran (prosperity).

Apabila kita hendak mengupas demokrasi Pancasila pada umumnya dan


khususnya di bidang politik, maka kita harus pula mengupas proses
penyelenggaraan kekuasaan negara dan hukum yang didasarkan pada
Pancasila yang sudah terpatrikan dalam UUD 1945. Karena politik merupakan
dimensi demokrasi, selain dimensi kekuasaan dan hukum, maka perwujudan
demokrasi Pancasila akan terkait dengan sistern kehidupan politik di Indonesia
yang telah, sedang dan akan mengalami proses pembaharuan dan
pembangunan.

Sementara itu, karena pembangunan dan pembaharuan politik merupakan


bagian integral dari pembaharuan dan pembangunan demokrasi, politik
bangsa, maka ada empat hal yang prinsipil dan fundamental yang harus
melekat di dalamnya, yaitu: 1. Pembaharuan dan pembangunan politik harus
bersumber pada manusia seutuhnya; 2. Sumber tersebut harus bermuara pada
seluruh masyarakat Indonesia; 3. Selanjutnya muara tersebut pada akhirnya
harus manunggal dengan lautan negara Pancasila; dan 4. Antara sumber,
muara dan lautan tersebut tetap mengalir suatu gerak arus kekaryaan
tridimensional yang dialektis-theologis.

Apabila keempat hal yang prinsipil dan fundamental tersebut ditinjau sebagai
operasional ideologi, maka yang dimaksudkan dengan manusia Indonesia
seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia adalah masyarakat karya yang
“mandireng pribadi” dan bertanggungjawab, dalam arti manusia dan
masyarakat yang profesional, idealis dan bermoral Pancasila.

Untuk dapat mewujudkan manusia dan masyarakat yang demikian itu, maka
sistem serta proses pembaharuan dan pembangunan politik di Indonesia harus
mampu menciptakan suasana dan iklim sedemikian rupa, sehingga setiap
warga negara dan seluruh rakyat Indonesia mampu “mengolah diri”nya.
Mengolah diri di sini mempunyai arti yang sangat luas, yakni mencakup
beberapa aspek gerak hidup manusia, seperti: (1) mengolah raganya, (2)
mengolah kecerdasannya, (3) mengolah budi luhurnya, (4) mengolah jiwa
kebangsaan dan kepatriotannya, (5) mengolah profesinya, dan (6) mengolah jiwa
kepemimpinannya.
Apa yang dimaksud dengan ‘lautan negara Pancasila’?
Sebagai suatu sistem politik yang utuh, negara Pancasila merupakan puncak
organisasi kekuasaan dari seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia yang
berbentuk negara hukum dan demokratis. Karena penyelenggaraannya harus
dilaksanakan secara konstitusional dan demokratis serta berorientasi pada
kehidupan yang tata-tenteram, dan karta raharja. Dalam proses
operasionalnya, dalam negara Pancasila bekerja suatu kekuasaan yang
manunggal dengan rakyat yang berpuncak pada Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dan berpusat bobot pada Presiden.

Dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat, negara Pancasila tidak mengenal atau


menganut sistem pemisahan kekuasaan (the sparation of power), melainkan
perbedaan/pemerataan kekuasaan. Ini berarti bahwa kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif bukanlah unsur-unsur kekuasaan yang masing-masing
terpisah. Antara ketiga kekuasaan tersebut terdapat hubungan yang saling
mendukung dan saling mengawasi. Masing-masing kekuasaan berdiri
berdampingan dan bergandengan tangan.

Dari uraian di atas, jelas tampak bahwa negara hukum yang didasarkan pada
Pancasila dan UUD 1945 atau singkatnya, negara berpusat bobot pada Presiden
sebagai panutan tunggal. Ini berarti bahwa pemerintahan negara harus:
pertama, secara hukum (dalam arti luas) bertindak sebagai pengemban
kesejahteraan atau welfare state. Kedua, secara konstitusional bertindak
sebagai abdi rakyat yang mampu menciptakan negara yang melayani
kepentingan rakyat umum (social service state). Ketiga, secara demokratis
sebagai pamong pembangunan yang dapat menciptakan suatu administrative
state. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa penyelenggaraan negara
Pancasila sebagai negara hukum harus dilaksanakan di atas dasar administrasi
yang demokratis atau democratic administration.

Hal itu berarti bahwa demokrasi Pancasila yang dikehendaki, mengandung


makna dan proses fungsional dalam bidang perencanaan, pengorganisasian,
penetapan personil, pengarahan, pengendalian, koordinasi, pengawasan, dan
penganggaran secara nasional, regional dan sektoral.
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan Demokrasi Politik Pancasila?

Tahun 1949 UNESCO menyelenggarakan suatu proyek “enquete” yang


dikirimkan ke para ilmuwan di dunia. Enquete ini dimaksudkan untuk
mengetahui berbagai pemikiran yang dapat digunakan untuk merumuskan
definisi demokrasi.
Dari hasil pengumpulan enquete tersebut mereka belum mampu menghasilkan
suatu definisi yang tepat mengenai demokrasi. Mereka baru sampai pada suatu
kesimpulan bahwa pengertian demokrasi berbeda bagi setiap masyarakat dan
negara, karena pengertian tersebut harus dikaitkan dengan kondisi sejarah dan
budaya dari negara dan masyarakat bersangkutan. Mereka baru
menggambarkan bagaimana demokrasi itu dilaksanakan dan prasarana apa
yang diperlukan untuk menjamin agar demokrasi itu dapat dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya.

Usaha-usaha seperti itu pernah juga dilaksanakan di Indonesia, yaitu ketika


para wakil rakyat di DPR RI pada tahun 1975 hendak membuat undang-
undang tentang partai politik dan Golongan Karya. Berminggu-minggu mereka
mencoba merumuskan definisi Demokrasi Pancasila. Namun mereka hanya
mampu merumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan Demokrasi Pancasila
adalah demokrasi yang didasarkan pada Pancasila. Sepuluh tahun kemudian,
yaitu pada tahun 1985, Pemerintah dan DPR kembali mencoba
menyempurnakan perumusan Demokrasi Pancasila. Pada saat itu terdapat
sedikit penambahan. Perumusan Demokrasi Pancasila sejak saat itu menjadi
“demokrasi yang didasarkan pada Pancasila sesuai dengan Pembukaan UUD
1945”.

Menurut hemat penulis, demokrasi adalah suatu bentuk, sistem dan proses
usaha pemanunggalan antara pemerintah dengan rakyat yang didasarkan pada
persamaan hak dan derajat yang tidak mengenal batas-batas suku, agama, ras
dan antar golongan (SARA). Karena itu, demokrasi dapat dilihat dari dua segi,
yaitu tentang metoda pengambilan keputusan, dan tentang isi serta jiwa dari
pengambilan keputusan tersebut.

Dengan bertitik tolak pada pertumbuhan dan perkembangan Pancasila sebagai


ideologi sebagaimana telah diuraikan terdahulu, maka penulis mencoba
memberanikan diri untuk mengemukakan bahwa demokrasi Pancasila adalah:
“Cipta, rasa dan karya untuk mewujudkan tanggung jawab, kewajiban dan hak
bersama dari setiap warganegara dan seluruh rakyat Indonesia dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi
prinsip-prinsip ketuhanan, keharmonisan, kesetiakawanan dan toleransi (temu-
gelang), keadilan, kerakyatan atas dasar musyawarah dan mufakat untuk
menuju masyarakat yang tata tenteram dan kartaraharja”.
Dari perumusan tersebut dapat dilihat bahwa Demokrasi Pancasila memiliki
ciri-ciri yang berbeda dengan Demokrasi Liberal yang didasarkan pada sistem
multi partai, atau Demokrasi Terpimpin yang didasarkan pada kekuasaan
mutlak dari seorang pemimpin.

Demokrasi Pancasila, dengan demikian adalah demokrasi yang bersifat


manunggal. Di dalamnya terdapat pemanunggalan pemerintah dengan rakyat
dengan ciri-ciri khas sebagai berikut: Pertama, Demokrasi Pancasila itu
memiliki ciri kekaryaan yang bersifat dialektis theologis, yang mencakup
kekaryaan transedental, vertikal dan internal dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai kejujuran, kebenaran, keadilan serta ketaatan.

Kedua, Demokrasi Pancasila mengandung ciri-ciri kekeluargaan yang


didasarkan pada prinsip-prinsip kebersamaan, keterbukaan, persatuan dan
kesatuan. Ketiga, Demokrasi Pancasila mempunyai sifat gotong-royong sebagai
perwujudan dari pelaksanaan tanggung jawab, kewajiban dan hak bersama dari
seluruh rakyat yang ditempuh melalui sistem perwakilan.

Karena ciri-ciri khas itulah maka Demokrasi Pancasila yang dilaksanakan


dalam sistem politik, tidak menganut sistem revolusi radikal atau perang
revolusi untuk mencapai cita-cita bangsa dan negara. Tetapi menganut sistem
pembaharuan dan pembangunan yang dilaksanakan di dalam kerangka
“revolusi damai”.

Untuk mewujudkan pelaksanaan Demokrasi Pancasila tersebut, fungsi-fungsi


komunikasi, koordinasi dan integrasi harus benar-benar dijunjung tinggi.
Untuk itu diperlukan dialog dua arah antara pemerintah dengan rakyat, antara
lembaga negara yang satu dengan yang lainnya, dan antara lembaga
masyarakat yang satu dengan lembaga masyarakat lainnya.
Dengan demikian, Demokrasi Pancasila diibaratkan dengan gambar perspektif
suatu bangunan gedung arsitektur Indonesia. Tampak agung dan anggun dari
segala sudut tinjauan. Selanjutnya, dalam bagian ini akan dikupas berbagai hal
yang berkaitan dengan perangkat, kelengkapan dan prasarana kelembagaan
yang melekat pada bangunan gedung tersebut.

Negara sebagaimana gedung-gedung adat di Indonesia dibangun secara gotong


royong dari kekuatan rakyat sendiri, oleh rakyat, dan untuk rakyat di bawah
mekanisme kepemimpinan nasional (negara) yang mampu menempatkan diri
sebagai panutan tunggal. Yaitu sebagai pengemban kesejahteraan umum, abdi
rakyat dan pamong pembangunan. Sistem panutan tunggal sebagai prinsip
operasional kepemimpinan nasional dalam negara Pancasila, harus benar-benar
mencerminkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang disalurkan melalui sistem
perwakilan di MPR, DPR dan lembaga tingggi negara lainnya.

Aspirasi, pendapat dan kepentingan rakyat tersebut akan dilaksanakan oleh


Presiden yang dibantu oleh seorang Wakil Presiden di bawah pengawasan DPR.

Dalam melaksanakan tanggung jawab kepemimpinan negara tersebut, kepada


Presiden diberikan tugas dan wewenang untuk mengamankan dan
menyukseskan pembangunan serta hak prerogatif untuk mengangkat menteri,
menteri negara, dan menteri koordinator yang tidak didasarkan pada
pengusulan golongan. Tapi mengcu pada keahlian, pengabdian, prestasi,
kejujuran serta loyalitas pada tanah air, bangsa dan negara, sebagaimana
dituntut juga dari seorang Presiden.

Pembangunan Politik yang dimulai secara mapan sejak Proklamasi


Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dewasa ini telah memasuki babakan baru.
Yakni menuju tahap ‘Masyarakat Purna’ atau ‘Indonesia Raya Ketiga’ yang
diharapkan akan mencapai puncak perjuangannya sekitar tahun 2045.
Keyakinan ini didasarkan pada pemikiran bahwa sejarah akan berulang
kembali. Hukum dinamika dan dialektika yang bersifat kodrati telah
melahirkan suatu siklus perubahan sosial di Indonesia yang berulang setiap
Tujuh Abad dengan produk-produk yang lebih baru dan sempurna pada
jamannya. Orang Perancis mengatakan: historia se repete.

Sejarah perjalanan bangsa di Nusantara menunjukkan bahwa pada abad ke- 7


nenek moyang kita telah mengalami masa kejayaan yaitu, Sriwijaya, yang kita
sebut di sini sebagai Indonesia Raya Pertama. Setelah itu kita temukan lagi
Indonesia Raya Kedua, yaitu masa kejayaan Majapahit pada abad ke-14. Dan
sekarang kita sedang berlayar menuju Indonesia Raya Ketiga yang akan kita
capai pada awal milenium ke-3 ini. (Dari Buku “Ideologi Pancasila dan Ideologi-
Ideologi Dunia”) ► mti/tum

Anda mungkin juga menyukai