Indonesia Raya
WR. Soepratman
Hari Musik Nasional ditetapkan 9 Maret, diusulkan tahun lalu oleh Persatuan
Artis, Pencipta dan Rekaman Musik Indonesia (PAPRI) sebagai penghargaan
atas Wage Rudolf Supratman – sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia
Raya– yang lahir pada hari Selasa Wage, 9 Maret 1903 di Dusun Trembelang,
Kelurahan Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo.
Tidak banyak catatan hidup tentang komponis besar ini, Supratman mendapat
pendidikan musik dari kakaknya yang di Makassar. Ketika masih bayi
Supratman bersama keluarganya pindah ke Tangsi Messter Cornelis Jatinegara
dan bersekolah atas diusahakannya tunjangan orang tuanya yang pernah
menjadi KNIL. Surat keterangan lahirnya akhirnya dibuat dan diberi nama
Wage Supratman.
Pada tahun 1924 Supratman menulis lagu Indonesia Raya atas anjuran dari H.
Agus Salim yang ditulis di harian Fajar Asia agar komponis Indonesia
membuat lagu kebangsaan. Dengan biolanya lagu Indonesia Raya pertama kali
dikumandangkan pada penutupan acara Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 di
Jakarta. Selain lagu kebangsaan tersebut ia menciptakan lagu lain yang tak
asing bagi kita, seperti “Ibu Kita Kartini”, “Di Timur Matahari” dan “Bendera
Kita”.
Indonesia Raja
CHORUS:
Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka
Tanahku, negriku jang kutjinta.
Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka
Hiduplah Indonesia Raja.
Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka
Tanahku, negriku jang kutjinta.
Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka
Hiduplah Indonesia Raja.
Indonesia! Tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya.
Disanalah aku berada
Untuk slamalamanya.
Indonesia, Tanah pusaka,
Psaka Kita semuanya.
Marilah kita mendoa,
“Indonesia bahagia!”
Suburlah Tanahnja,
Suburlah jiwanja,
Bansanya, Rakyatnya semuanja.
Sadarlah hatinja,
Sadarlah budinja
Untuk Indonesia Raja.
CHORUS
Rasio: 2:3
Bendera yang dinamakan Sang Merah Putih ini pertama kali digunakan
oleh para pelajar dan kaum nasionalis pada awal abad ke-20 di bawah
kekuasaan Belanda. Setelah Perang Dunia II berakhir, Indonesia merdeka dan
mulai menggunakan bendera ini sebagai bendera nasional.
Arti Warna
Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan
putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula
jawa/gula aren dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini
adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa.
Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang
digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu
warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara
selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim
berupa bubur yang diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa
kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu
darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai
lambang ayah, yang ditanam di gua garba.
Atas dasar uraian itu, bahwa dalam kerajaan Majapahit warna merah dan
putih merupakan warna yang dimuliakan.
3
6) Dalam babat tanah Jawa yang bernama babab Mentawis (Jilid II hal
123) disebutkan bahwa Ketika Sultan Ageng berperang melawan
negri Pati. Tentaranya bernaung di bawah bendera Merah Putih
“Gula Kelapa”. Sultan Ageng memerintah tahun 1613-1645.
5) Mulai tahun 1969 Bndera Pusaka itu tidak lagi dapat dikibarkan
karena sudah tua. Sebagai gantinya dikibarkan duplikatnya yang
dibuat dari sutera alam Indonesia.
5
Bendera ini mirip dengan bendera negara Bendera Monako dan Solothum
yang mempunyai warna sama namun rasio yang berbeda, selain itu bendera ini
juga mirip dengan Bendera Polandia yang mempunyai warna yang sama namun
warnanya terbalik.
Bendera Vorarlberg,
Austria
KEPPRES 150/1959
tentang
KEMBALI KEPADA UNDANG UNDANG DASAR 1945
SOEKARNO.
Piagam Jakarta & Dekrit Presiden
Posted on June 26, 2007.
PIAGAM JAKARTA
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ke-Tuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan berada, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ir. Soekarno
Drs. Mohammad Hatta
Mr.A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakkir
H.A. Salim
Mr. Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Mr. Muhammad Yamin
————————————————–
Jumat, 22 Juni 2007
Oleh :
M Fuad Nasar
Anggota Badan Amil Zakat Nasional
Tanggal 22 Juni mempunyai arti istimewa bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada
tanggal itu dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tercapai sebuah konsensus nasional dan
gentlemen agreement tentang dasar negara Republik Indonesia. Konsensus
nasional yang mendasari dan menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 itu dituangkan dalam suatu naskah yang oleh Mr Muhammad Yamin
disebut Piagam Jakarta.
Dokumen politik tanggal 22 Juni 1945 itu disusun dan ditandatangani oleh
panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI. Anggotanya adalah Ir Soekarno, Drs
Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar
Moezakir, HA Salim, Mr Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Mr Mohammad
Yamin. Waktu itu, Ir Soekarno selaku pimpinan rapat dengan segenap
kegigihannya mempertahankan Piagam Jakarta sebagaimana dapat dibaca
dalam risalah sidang BPUPKI.
Bung Hatta yang menerima kabar penting itu, masih punya waktu semalam
untuk berpikir. “Karena opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh
menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula
semboyan yang selama ini didengung-dengungkan ‘bersatu kita teguh dan
berpecah kita jatuh’, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandangan saya.
Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun lamanya,
dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka
bersatu dan tidak terbagi-bagi. Karena begitu serius rupanya, esok paginya
tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang panitia Persiapan bermula, saya ajak
Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku
Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk
membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami
mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum
Kristen itu dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.” ungkap
Hatta.
Tetap hidup
Perjanjian luhur pun disepakati antara golongan Islam dan golongan
kebangsaan serta golongan lainnya yang telah dicapai melalui Piagam Jakarta
22 Juni 1945. Pada 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret
kata-kata, ‘dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya’, setelah kata ‘ke-Tuhanan’. Ini merupakan cermin sikap
kenegarawanan dan komitmen pada persatuan bangsa yang tiada bandingnya
sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa spirit Piagam Jakarta sebagai dokumen ideologis
dan historis tetap terpatri dalam konstitusi negara kita. Meski telah 4 kali
diamandemen UUD 1945 di masa reformasi dan saat ini kembali bergulir
usulan amandemen kelima, diharapkan spirit Piagam Jakarta tetap hidup
dalam hati sanubari para pemimpin dan segenap warga bangsa yang
Jumat, 22 Juni 2007
Oleh :
Ahmad Sumargono
Ketua Pelaksana Harian KISDI
Tanggal 22 Juni 1945, merupakan saat yang sangat bersejarah bagi bangsa
Indonesia, karena saat itu atau 62 tahun yang lalu telah lahir Piagam Jakarta
yang merupakan ruh dalam meletakkan landasan hukum pembangunan
bangsa ini. Piagam Jakarta adalah naskah otentik Pembukaan UUD 45. Naskah
tersebut disusun oleh Panitia Sembilan bentukan BPUPKI yang terdiri dari Ir
Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar
Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muhammad
Yamin. Dalam alinea keempat naskah itu tercatat kalimat: “…. kewadjiban
mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja….’’
Pakar minyak, Qurtubi dalam diskusi bertema ‘UUD 1945 vs UUD 2002′ di
kantor Institute for Policy Studies Jakarta membenarkan masuknya paham
liberalisme dalam UU Migas dan UU Sumber Daya Air. Belakangan juga
disahkan UU Penanaman Modal yang memberikan karpet merah bagi kekuatan
asing untuk menguasai 100 persen kekayaan Indonesia untuk kemudian
melakukan repatriasi.
Dampaknya mulai terasa
Dampak nyata dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, Pertamina,
yang notabene perusahaan milik rakyat, saat ini bukan lagi pemain tunggal.
Pertamina harus bersaing dengan perusahaan minyak asing seperti Shell,
Exxon Mobil, Mobil Oil, dan sebagainya. Dalam kasus pengelolaan ladang
minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina harus kalah melawan Exxon Mobil.
Semua ini adalah merupakan musibah nasional, karena elite politik dan para
pemimpin bangsa ini telah kehilangan rasa kebangsaan dan religiusitas. Mereka
terlalu mudah menggadaikan kepentingan bangsa untuk kepentingan kelompok
dan golongan melalui pendekatan pragmatis. Rasa idealisme dan keagamaan
telah tenggelam disapu oleh badai liberealisme, kapitalisme, dan hindonisme
yang materialistis, sehingga tidak ada satu kekuatan pun di negeri ini yang
akan mampu membendung gelombang korupsi dan manipulasi.
Piagam Jakarta seperti yang termaktub dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli
1959 , dengan keputusan Presiden No150 tahun 1959, sebagaimana
ditempatkan dalam Lembaran Negara No75/1959 mengakui hak tersebut.
Keputusan Presiden ini sah berlaku, dan tak dapat dibatalkan melainkan harus
bertanya dahulu kepada rakyat lewat referendum (Ridwan Saidi, Piagam
Jakarta ,Tinjauan Hukum dan Sejarah, 2007).
Ikhtisar
- Piagam Jakarta yang sangat bersejarah semakin diingkari oleh para elite masa
kini.
- Ruh keagamaan dan kebangsaan yang terkandung dalam dokumen tersebut
tidak lagi menjadi pijakan dalam mengelola negara.
- Hal ini pun membuka pintu bagi masuknya intervensi asing secara bebas.
- Dampak dari intervensi yang terlampau bebas itu pun terasa sangat
menyusahkan.
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=297525&kat_id=16
SOEKARNO.
xx
Dalam menangkap kembali peran Bung Karno tersebut akan penulis sajikan
tinjauan tentang studi dan aktivitas sosial- politiknya, yang kemudian berujung
pada sumbangnya menggali nilai-nilai budaya yang menjadi causa materialis
bagi keberadan dasar filsafat negara Pancasila.
Maka pengetahuan Bung Karno sangat luas. Andai saja Bung Karno hanya
memperlajari ilmu teknik melulu, Indonesia tidak akan mengenal pemimpin
nasional bernama Sukarno (Bung Karno).
Hal penting lain yang terbukti kelak menjadi unggulan Bung Karno adalah
kepandaiannya berpidato. Salah seorang yang dapat disebut sebagai guru
berpidatonya adalah HOS Tjokroaminoto. Kebetulan selama di HBS, Bung
Karno muda mondok di rumah Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam
terkemuka.
Di sekitar PNI Dengan bekal yang begitu besar tidaklah mustahil Bung Karno
dapat berbuat begitu banyak untuk bangsanya dalam perjuangan
kemerdekaan. Dimulai dengan pendirian Algemene Studie Club di Bandung
pada tahun 1925. Perkumpulan itu seperti kelompok diskusi yang banyak
didirikan oleh para mahasiswa dan cendekiawan sekarang. Kelompok diskusi
itu memang baru merupakan perkumpulan akademis-teoritis (academic
exercise). Dalam aktivitasnya Algemene Studie Club 1925 sampai Juni 1927
memang masih terbatas pada studi teori. Hal itu juga karena PKI masih jaya
dan sanggup memegang "komando" pergerakan kebangsaan. Tetapi sesudah
kegagalan pemberontakan rakyat yang digerakkan PKI November 1926 -
Februari 1927 terjadilan "kekosongan" pimpinan pergerakan kemerdekaan.
Oleh karena itu perlulah "kekosongan" itu diisi, dan sudah saatnya Algemene
Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Menarik perhatian bahwa peresmian berdirinya PNI berlangsung pada tanggal 4
Juli 1927.
Tanggal kelahiran PNI jelas bukan suatu kebetulan. Almarhum Adam Malik
dalam bukunya Adam Malik Mengabdi RI pernah menjelaskan bahwa pilihan
tanggal 4 Juli ada kaitannya dengan hari kemerdekaan Amerika Serikat.
Bung Karno berharap bangsa Indonesia dapat bersatu padu, karena hanya
dengan cara begitu mereka dapat menang menghadapi penjajah. Untuk itu
paham atau ideologi yang berbeda perlu dipersatukan lewat persamaan-
persamaan yang ada. Demikianlah Bung Karno pada tahun 1926 mengajak
pendukung ideologi Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme untuk dapat dan
mau bersatu. Perbedaan- perbedaan yang ada mestinya dikesampingkan.
Memang kehendak Bung Karno mempersatukan ketiga paham itu sesuatu yang
mungkin. Perekat persatuannya adalah kesamaan umur. Ketiga paham itu anti
kapitalisme dan imperialisme, pro kemerdekaan dan kesejahteraan umum.
Mungkinkah hal itu? Bagi pemikiran Bung Karno hal itu memang sesuatu yang
mungkin, karena Bung Karno menyederhanakan persoalan. Hal itu dapat Bung
Karno lakukan, menurut Berhhard Dahm dalam bukunya Sukarno dan
Perjuangan Kemerdekaan, karena pemahaman Bung Karno akan ketiga aliran
(ideologi) itu agak dangkal.
Dalam kaitan dengan judul tulisan ini yang substansial adalah pengenalan tiga
nilai dasar, yang kelak berkembang menjadi Pancasila. Ketiga nilai dasar itu
adalah: Nasionalisme, yang bermakna kebangsaan, Islamisme yang bermakna
Ketuhanan, dan Marxisme yang berawal dari sosialisme atau keadilan sosial.
Hal itu disampaikan Bung Karno pada tahun 1926 lewat SK Suluh Indonesia
Muda.
Namun ada hal yang agak kurang konsisten dalam PNI. Sesungguhnya pada
waktu PNI sudah berdiri dan berjuang, ia sudah mengenal lima asas yaitu: 1.
Nasionalisme, 2. Islamisme, 3. Sosialisme, 4. Kerakyatan, 5. Kemanusiaan.
Meski agama, khususnya agama Islam, sudah sering dipikirkan, tetapi ternyata
dalam Marhaenisme agama belum mendapatkan tempat yang mantap.
Bung Karno masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk memasukkan
ketuhanan ke dalam sistem "filsafatnya". Tampaknya ia perlu memikirkan
status agama lain supaya ia dapat memasukkan dasar ketuhanan, yang lebih
luas dari pada sekadar keislaman.
Maka dapat dipahami bahwa baru pada tahun 1945 Bung Karno selesai
merumuskan dan memadukan lima nilai, yaitu Pancasila, menjadi dasar filsafat
negara. Itulah tawaran Bung Karno dalam menjawab pertanyaan Ketua
BPUPKI, Dokter Radjiman. "Indonesia merdeka yang akan kita dirikan apa
dasarnya?" Tawaran Bung Karno diterima oleh BPUPKI yang kemudian
membahas dan merumuskannya kembali, dan PPKI menetapkannya menjadi
dasar filsafat Pancasila.
Dari uraian diatas nyata bahwa penemuan dan penetapan Pancasila menjadi
dasar filsafat itu berproses dari pemikiran 1926 sampai 1945 (lebih kurang 20
tahun).
Maka dari itu kita sekarang pantas bersyukur atas jasa Bung Karno dan para
founding fathers. Sesungguhnya merupakan suatu kesepakatan demokratis
demi hidup bersama dan bekerjasama rakyat Indonesia yang begitu bhineka.
Dengan Pancasila kebhinekaan itu disatukan, integrasi terwujudkan.
Sejarahnya, yang memberitahu istilah Pancasila ini adalah Moh. Yamin, yang
seorang ahli bahasa kepada Soekarno. Pertamakali memang tertulis sebagai
rukun agama Budha, dan Indonesianya Pancasila. --Calvin Limuel 17:00, 10
Maret 2008 (UTC)
bennylin 00:07, 30 Agustus 2007 (UTC) Saya rasa banyak penafsiran kelima
sila Pancasila yang bersifat objektif (tanpa sumber, makna tersebut hanyalah
penafsiran orang tertentu). Bagaimana menurut yang lain?
lolz... kalo mau penafsiran yang resmi kan 36 butir Pancasila alias Eka
Prasetya Pancakarsa --Quoth nevermore 00:16, 30 Agustus 2007 (UTC)
Bukannya itu sudah dihapus? Saya beruntung karena melewati SMU
tanpa harus menghafalnya ^^ bennylin 07:29, 13 September 2007 (UTC)
– komentar tanpa tanda tangan ini diberikan oleh Marsel (bicara • sumbangan) .
Saya rasa antara Garuda Pancasila sebagai lambang negara dan Pancasila
sebagai ideologi negara terjadi kekisruhan yang menyebabkan kedua subjek
tersebut (lambang dan ideologi) dicampurkan jadi satu artikel di sini. Menurut
saya sebaiknya pranala Garuda Pancasila dialihkan ke Lambang Indonesia (dan
artikelnya digabung - saat ini ada perbedaan) dan artikel tentang ideologi
ditaruh ke Pancasila (yang saat ini menjadi halaman disambiguasi, namun bisa
dipindah ke Pancasila (disambiguasi)) Bagaimana menurut Anda? Ya. Anda.
bennylinkirim pesan 12:53, 21 November 2007 (UTC)
* Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal, 170
ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan
Tambahan.
IV. Sejarah
Sejarah Awal
Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta yang kelak menjadi
naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah rancangan konstitusi Indonesia
disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18
Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia.
Periode 1945-1949
Periode 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling
tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru,
maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai
undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950
waktu itu.
Periode 1966-1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali
menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun
dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang
mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”,
diantara melalui sejumlah peraturan:
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar
seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan,
eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai
dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945
dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas
sistem presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
Eksistensi dan posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sangat perlu
dipahami di antara sepak terjang ideologi-ideologi besar dunia. Pemahaman ini
sangat penting dalam rangka pemantapan ideologi Pancasila yang menjadi
dasar dan pedoman hidup bangsa. Dengan demikian bangsa Indonesia semakin
mampu memainkan peranannya di dalam gerak maju mencapai cita-citanya,
yang tidak lain dari masyarakat Pancasila itu sendiri.
Di sini perhatian hanya difokuskan pada demokrasi politik yang akan dikaji
dari sudut batasan dan cirinya; mekanisme dan gerak dinamikanya dengan
suatu latar belakang sikap dan pemikiran bahwa demokrasi Pancasila itu harus
terkait dengan keamanan (security) dan kemakmuran (prosperity).
Apabila keempat hal yang prinsipil dan fundamental tersebut ditinjau sebagai
operasional ideologi, maka yang dimaksudkan dengan manusia Indonesia
seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia adalah masyarakat karya yang
“mandireng pribadi” dan bertanggungjawab, dalam arti manusia dan
masyarakat yang profesional, idealis dan bermoral Pancasila.
Untuk dapat mewujudkan manusia dan masyarakat yang demikian itu, maka
sistem serta proses pembaharuan dan pembangunan politik di Indonesia harus
mampu menciptakan suasana dan iklim sedemikian rupa, sehingga setiap
warga negara dan seluruh rakyat Indonesia mampu “mengolah diri”nya.
Mengolah diri di sini mempunyai arti yang sangat luas, yakni mencakup
beberapa aspek gerak hidup manusia, seperti: (1) mengolah raganya, (2)
mengolah kecerdasannya, (3) mengolah budi luhurnya, (4) mengolah jiwa
kebangsaan dan kepatriotannya, (5) mengolah profesinya, dan (6) mengolah jiwa
kepemimpinannya.
Apa yang dimaksud dengan ‘lautan negara Pancasila’?
Sebagai suatu sistem politik yang utuh, negara Pancasila merupakan puncak
organisasi kekuasaan dari seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia yang
berbentuk negara hukum dan demokratis. Karena penyelenggaraannya harus
dilaksanakan secara konstitusional dan demokratis serta berorientasi pada
kehidupan yang tata-tenteram, dan karta raharja. Dalam proses
operasionalnya, dalam negara Pancasila bekerja suatu kekuasaan yang
manunggal dengan rakyat yang berpuncak pada Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dan berpusat bobot pada Presiden.
Dari uraian di atas, jelas tampak bahwa negara hukum yang didasarkan pada
Pancasila dan UUD 1945 atau singkatnya, negara berpusat bobot pada Presiden
sebagai panutan tunggal. Ini berarti bahwa pemerintahan negara harus:
pertama, secara hukum (dalam arti luas) bertindak sebagai pengemban
kesejahteraan atau welfare state. Kedua, secara konstitusional bertindak
sebagai abdi rakyat yang mampu menciptakan negara yang melayani
kepentingan rakyat umum (social service state). Ketiga, secara demokratis
sebagai pamong pembangunan yang dapat menciptakan suatu administrative
state. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa penyelenggaraan negara
Pancasila sebagai negara hukum harus dilaksanakan di atas dasar administrasi
yang demokratis atau democratic administration.
Menurut hemat penulis, demokrasi adalah suatu bentuk, sistem dan proses
usaha pemanunggalan antara pemerintah dengan rakyat yang didasarkan pada
persamaan hak dan derajat yang tidak mengenal batas-batas suku, agama, ras
dan antar golongan (SARA). Karena itu, demokrasi dapat dilihat dari dua segi,
yaitu tentang metoda pengambilan keputusan, dan tentang isi serta jiwa dari
pengambilan keputusan tersebut.