Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya,
Enkidu, meninggal dunia.Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang
raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta
anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras, begitu
tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.
Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku.
Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur, kata Gilgamesh sambil
meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan
mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan
yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia
hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam.
Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang
menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke
dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi
pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya
meneruskan perjalanan:
O Gilgamesh, whither do you fare?
O Gilgamesh, apa yang akan kau kerjakan?
The life you seek, you will not find
Hidup yang kau cari, tak akan kau temukan
When the gods created man,
Saat tuhan menciptakan manusia
They apportioned death to mankind;
Mereka menunjukkan mati pada umat manusia
And retained life to themselves
Dan memberi pemahaman pada hidup mereka
O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night;
Kawinilah siang dan malam
Make of each day a festival of joy,
Buatlah setiap hari sebuah festifal hura-hura
Dance and play, day and night!
Berdansa dan bermainlah, setiap siang dan malam
Let your raiment be kept clean,
Jagalah kesuciannya
Your head washed, body bathed,
Kepala dan tubuh yang bersih dan tercuci
Pay heed to the little one, holding onto your hand,
Pegang dengan tanganmu
Let your wife delighted your heart,
Biarkan isterimu memegang jiwamu
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis
dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah
contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu
dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui
keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng
Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi
dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal
pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun,
dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam
seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit;
warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang
mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai
berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan
menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan
terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek
exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat
kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang
penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke
empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah
tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko
guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat
diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi
bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan
manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan
terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.
Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas
mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau
Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga
Surakarta,Yosodipuro berjudul:Serat Dewaruci Kidung yang disampaikan dalam bentuk
macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi,
Sanskerta dan Jawa Kuna.
Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin
menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke
dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru
Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena
diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan
Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh
oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun
sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya
sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar
musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati
Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena,
Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para
sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci
itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama
makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya.
Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana,
di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan
prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum,
membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang
tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan
bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua
disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut,
marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua
raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi
perkelahian .Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang,
dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan
mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana
mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon
beringin.
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih
Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa,
dan lain-lainnya, terkejut.! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang
perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat
air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk
meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi.., yang sebelumnya ia
sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di
Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada
prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan
datang ke Ngamarta.
akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu
memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin
ditemukan.
Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang
Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para
raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya
berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai
penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah
Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari
air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau
laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya, lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum
tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa
tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam
hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas
kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat
yang harus disembah.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan Segeralah
kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena
bertanya :Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk,
kelingking pun tidak mungkin masuk.Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:besar mana
dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua
isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan
tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur
dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci,
memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih.
Lalu berkatalah Dewa Ruci: Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya,
Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya
hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu
sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal,
mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam,
kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi
tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar
dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya
suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran
ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah
penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat
yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci),
yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang
menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak,
tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di
dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut
merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum,
tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal,
badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma,
ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati
ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan
suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguhsungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal
ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan
diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami
hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam
pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu
dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak
dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan
kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan
pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan
berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang
digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguhsungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang
kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia
bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara.
Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah
menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul
itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini
karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik,
untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam
mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan
secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima
dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan
kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak
ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian,
kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah
dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya,
dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang
berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya,
seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui
kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa
petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan
mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh
dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat
duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu
yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung,
di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung
matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi
sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan
diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang
yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu
hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu,
ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang
yang kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian
pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya,
sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk
memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak
kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya
bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar
samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan
tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu
kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu,
lalu Kresna berkata :Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah
terjadi ini.
terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa
menghapus halangan-halangan tersebut.
- Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar
samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan
Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti
luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan
yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan
sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia
harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifatsifat sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak
akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan
kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar
antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya,
tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian
yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak
perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada
waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu
sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh
terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci
Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan
Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga
Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat
dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
- Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya,
memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.
- Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu
bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka
untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran
terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu
dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini
dalam istilah spiritual disebut mati dalam hidup dan juga disebut hidup dalam mati.
Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau
pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan
kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai
kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan
kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah
menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.
Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih.
Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini
menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk
kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan :
1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang
yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah
banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan
magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.