Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu bentuk hubungan antara
pria dan wanita yang melibatkan hubungan seksual di
dalamnya. Dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
menjelaskan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha esa. Pengertian tersebut sesuai dengan pola pikir
yang berkembang di masyarakat pada umumnya yaitu
perkawinan bertujuan dalam membentuk keluarga yang
bahagia dan sejahtera.
Pernikahan

atau

perkawinan

bukanlah

sekedar

bersatunya dua individu, akan tetapi lebih pada persatuan


dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan
sebuah sistem yang baru. Artinya, perbedaan-perbedaan
yang

ada

perlu

disesuaikan

satu

sama

lain

untuk

membentuk sistem baru bagi keluarga mereka (Wuryandari


dkk, 2005).
Dalam masalah perkawinan, erat kaitannya dengan
masalah seksualitas. Sebagaimana yang telah dikatakan
Papalia, Sterns, Feldman, & Camp (dalam Syakbani, 2008),
kehidupan seksual dalam sebuah perkawinan bukan sematamata sebagai media pemuas kebutuhan biologis saja, akan
tetapi

seks

juga

memiliki

peranan

penting

dalam

perkawinan. Dalam kasus ini, suami istri diharapkan dapat


memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, salah satunya adalah
dorongan atau kebutuhan seksualitasnya. Oleh karena itu,
perkawinan dalam hal ini telah memberikan kesempatan
bagi individu untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan
esensial seperti keintiman, persahabatan, perhatian atau
kasih sayang, kebutuhan seksual, serta kebersamaan.
Sedangkan menurut Freud, seks atau libido seksualitas
merupakan bagian dari struktur jiwa yang disebut Id. Id
merupakan sistem kepribadian yang asli. Id merupakan
rahim, tempat ego dan superego berkembang. Id berisikan
segala sesuatu secara psikologis diwariskan dan telah ada
sejak lahir, termasuk insting-insting, merupakan sumber
energi, untuk menjalankan sistem yang lain. Id juga
berfungsi

meredakan

ketegangan

sebagai

akibat

rangsangan stimulasi dari dalam maupun dari luar. Id juga


berprinsip pleasure principle (prinsip kenikmatan), dan
menghindari rasa sakit.
Di samping itu, Id juga selalu terdapat pemenuhan
segala hasrat. Oleh karena itu, dorongan seksual yang
merupakan salah satu dorongan yang bersifat instingtif dan
terdapat dalam Id menuntut untuk dipuaskan. jika dorongan
seks tersebut tidak dapat dipuaskan maka akan timbul
ketegangan. Pada orang yang sudah menikah seks menjadi
salah satu kebutuhan penting, apabila kebutuhan itu dapat
diperoleh dari pasangan (suami atau istri) maka hubungan
suami istri pun akan berjalan secara baik. Akan tetapi
apabila kebutuhan seks ini tidak dapat terpuaskan

oleh

suami atau istri maka salah satu atau kedua pasangan


tersebut akan mencari pemuasan di luar. Oleh karena itu
masalah seks, hubungan seksual dan perilaku seksual pada
orang yang sudah menikah seringkali menjadi dasar atau
pemicu terjadinya masalah-malasah dalam perkawinan,
yang dapat menimbulkan ketidakharmonisan rumah tangga.
Selain
seksual

itu,

dalam

tersebut,

pemuasan

terutama

kebutuhan-kebutuhan

berkaitan

dengan

perilaku

seksual baik dengan suami atau istri, atau pun dengan


orang lain, sangat erat berhubungan dengan norma ataupun

nilai yang dianut oleh seseorang. Dalam hal ini yaitu


berkaitan

dengan

nilai

perkawinan.

Apabila

seseorang

memiliki nilai perkawinan yang kuat, maka orang itu akan


terus

mencoba

dijalaninya,

serta

mempertahankan
mencari

jalan

perkawinan

pemecahan

yang

masalah-

masalah yang terjadi, terutama masalah seksual dan


perilaku seksual dengan pasangan (Yudiati, 2003).
Wismanto

(2004)

mengatakan

bahwa

perkawinan

dalam kehidupan nyata, tidak semuanya dapat berjalan


sebagaimana mestinya. Banyak di antara mereka yang tidak
sejalan, yaitu antara suami dan istri tidak dapat saling
menyesuaikan dan bahkan tidak dapat menerima lagi suami
atau istri sebagai pasangan hidupnya. Salah satunya adalah
munculnya perubahan dalam perkawinan. Perubahan-perubahan tersebut
yaitu perubahan natural dan perubahan yang tiba-tiba saja terjadi.
Perubahan natural berkaitan dengan perubahan yang terjadi secara
perlahan-lahan dalam kehidupan normal, dan perubahan ini dapat dipahami
dan diterima oleh individu. Perubahan-perubahan ini muncul seiring dengan
bertambahnya jumlah usia dan jumlah anak, tuntutan peran sebagai ibu dan
ayah. Perubahan yang kedua adalah perubahan yang terjadi secara tiba-tiba
dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Perubahan ini akan menyebabkan
ketidakseimbangan

pada

perkawinan

dan

bisa

menjadi

bayangan

kehancuran. Misalnya ketika terjadi kecelakaan, bencana alam, dan

serangan penyakit. Salah satu penyakit yang tiba-tiba terjadi adalah stroke
(Pasaribu, 2009).
Penyakit stroke telah menjadi masalah kesehatan yang dapat
mengganggu kualitas hidup. Stroke menduduki urutan ketiga sebagai
penyebab utama kematian setelah penyakit jantung koroner dan kanker di
negara-negara berkembang. Negara berkembang juga menyumbang 85,5%
dari total kematian akibat stroke di seluruh dunia. Dua pertiga penderita
stroke terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Terdapat sekitar
13 juta korban stroke baru setiap tahun, dimana sekitar 4,4 juta di antaranya
meninggal dalam 12 bulan (WHO, 2006).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, Di
Indonesia, prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk pada
tahun 2007 dan menjadi 12,1 per 1.000 penduduk pada tahun 2013. Dari
prevalensi stroke tersebut paling banyak di derita pada kaum perempuan
sebesar 12,1% dibandingkan dengan laki-laki yang hanya sebesar 12,0% .
Tingginya pravalensi stroke tersebut menjadi masalah yang menyita
perhatian karena tidak hanya terjadi pada orang tua saja, tetapi juga pada
usia pertengahan ketika mereka masih dalam usia produktif. Hal ini
dibuktikan dengan data dari Depkes RI 2013, pada umur 15-24 sebesar
2,6%, sedangkan pada umur 25-34 sebesar 3,9%, pada umur 35-44 sebesar
6,4%, pada umur 45-54 sebesar 16,7%, pada umur 55-64 sebesar 33,0%,
pada umur 65-74 sebesar 46,1% dan pada umur 75> sebesar 67,0%. Dari

data di atas, menunjukkan bahwa semakin bertambahnya umur seseorang


maka akan semakin beresiko dan memicu tingginya angka kejadian stroke.
Dwidjo (2013) mengungkapkan bahwa stroke juga dapat mengganggu
fungsi seksual dan hasrat (desire) dengan berbagai cara. Beberapa penderita
pria dan wanita ragu untuk melanjutkan aktivitas seksual pasca stroke,
karena takut, bahwa akan menyebabkan suatu serangan stroke lagi.
Walaupun demikian, lain-lain penderita stroke masih ada hasrat seksual,
namun mengalami berbagai problematik dalam segi pelaksanaannya; untuk
pria dalam segi ereksi, orgasme dan ejakulasi dan untuk wanita dalam hal
pelumasan bagian intim wanita dan orgasme. Posisi seks yang biasanya
menyenangkan, menjadi sukar atau tak mungkin.
Djeno (2005) juga menambahkan bahwa penderita pasca stroke
banyak yang merasa ragu, bahkan berhenti untuk memulai lagi aktivitas
seksual, karena merasa tidak diinginkan, hilangnya rasa percaya diri, cemas,
kesulitan akan posisi (canggung) atau takut bahwa ini akan memicu stroke
ulang, tetapi ada juga sejumlah penderita yang keinginan seksualnya
semakin meningkat. Hal ini senada dengan apa yang di ungkapkan oleh ibu
ZB yaitu istri dari bapak AN yaitu sebagai subjek wawancara awal peneliti.
Ibu ZB yang berusia 51 tahun dan mendapati serangan
stroke sejak berusia 47 tahun. Menurut ibu ZB yang
mengaku

bahwa

sebelum

terserang

stroke

biasanya

melakukan hubungan intim satu kali dalam seminggu.


Berbeda lagi setelah beliau terserang stroke, beliau merasa

keinginanaya untuk melakukan hubungan seks menjadi


berkurang karena takut akan memperparah stroke-nya.
Beliau menambahkan bahwa setelah terserang stroke,
beliau tidak lagi memiliki hasrat untuk melakukan hubungan
intim lagi karena kondisi yang dialami sekarang ini, dia
merasa canggung dan merasa sudah tidak menggairahkan
lagi seperti dulu saat sebelum terserang stroke. Beliau juga
mengungkapkan hanya ingin fakus pada kesembuhannya
saja.
Hal tersebut berbeda dengan apa yang diungkapkan
oleh suami ibu ZB yaitu bapak AN yang masih memiliki
hasrat seksual yang masih tinggi. Namun, dengan keadaan
istrinya yang sedang mengalami stroke membuat hasrat
tersebut tidak dapat tersalurkan dengan baik. Menurut
beliau, sebenarnya beliau masih ingin mengeksplor hasrat
seksualnya terhadap istrinya, akan tetapi mau bagaimana
lagi dengan lumpuhnya sebagian gerak tubuh sang istri
membuat hubungan seksual tersebut sukar untuk dilakukan.
Apabila hal tersebut masih tetap dipaksakan, maka menurut
dokter yang pernah menangani istrinya tersebut bisa
memperburuk keadaan istrinya jika salah bertindak. Dengan
keadaan tersebut, beliau hanya melampiaskannya dengan
membelai,

meraba,

menyentuh

area

kemaluan

dan

payudara saja meskipun hal itu tidak dapat memuaskan


hasrat dengan sepenuhnya.
Sebagaimana yang diungkapkan Imam (2014) bahwa
keluarga seharusnya dapat menjalankan tugas kesehatan
keluarga. Dengan adanya tugas kesehatan keluarga yang
optimal maka diharapkan kualitas hidup penderita stroke
menjadi optimum pula atau dengan kata lain secara
fungsional

berada

pada

kondisi

maksimum

sehingga

memungkinkan mereka untuk bisa menikmati hidup dengan


penuh makna, membahagiakan dan berkualitas.
Jadi,

dari

hasil

wawancara

tersebut

di

atas

membuktikan bahwa stroke dapat mempengaruhi hubungan


seksualitas penderita dan pasangannya. Karena setelah
terserang stroke pasangan suami istri menjadi jarang
melakukan hubungan seksual karena berbagai alasan,
bahkan sampai takut untuk melakukan hubungan seksual
karena alasan takutnya terjadi stroke yang semakin parah.
Gambaran dari hasil wawancara tersebut membuktikan
bahwa kondisi fisik dan kondisi psikologis pada penderita
stroke memberikan pengaruh negatif pada seksualitas
(kepuasan seksual) seseorang. Penurunan hasrat seksual
pada

penderita

stroke

memungkinkan

pasangan

memunculkan perilaku seksual untuk melampiaskan hasrat

seksualnya. Beberapa literatur dan penelitian menyatakan


stroke

menyebabkan

perubahan

perilaku

seksual

baik

menurunkan libido, frekuensi seksual dan kepuasan seksual.


Penurunan

aktivitas

pasangannya

seksual

berpengaruh

bagi
terhadap

penderita

dan

keharmonisan

perkawinan, karena kebutuhan seksualnya tidak terpenuhi


(Djeno, 2005).
Berdasarkan

uraian

diatas

peneliti

tertarik

ingin

melakukan penelitian lebih lanjut tentang perilaku seksual


pada suami yang beristri penderita stroke, dan bermaksud
menuangkannya kedalam judul Perilaku Seksual Suami
Yang Beristri Penderita Stroke.

B.

Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka fokus
penelitian ini adalah :
1) Apa perubahan perilaku seksual suami yang beristri
penderita stroke?
2) Bagaimana bentuk-bentuk perilaku seksual suami yang
beristri penderita stroke?

C.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

10

1) Perubahan perilaku seksual suami yang beristri penderita


stroke.
2) Bentuk-bentuk perilaku seksual suami yang beristri
penderita stroke.

D.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi bidang-bidang ilmu dan pihak-pihak yang terkait.

1) Manfaat Teoritis
Dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin
ilmu psikologi pada umumnya dan secara khusus dapat
menambah khasanah ilmu pada bidang psikologi klinis
mengenai perilaku seksual suami yang beristri penderita
stroke.
2) Manfaat Praktis
a. Kepada subjek, dapat memberikan gambaran kepada
subjek

tentang

aktifitas

seksual

pasca

stroke,

sehingga dapat menerima dan mengatasi realitas


dalam kehidupan seksualnya dengan baik.
b. Dapat menjadi informasi untuk keluarga tentang
gambaran penyakit stroke dan pengaruhnya pada
hubungan

seksual,

Dapat

digunakan

sebagai

masukan atau informasi yang bermanfaat pada

11

masyarakat dalam memandang fenomena aktifitas


seksual pasca stroke.
c. Mendorong istitusi-institusi

yang

terkait

untuk

memberi penyuluhan dalam berbagai bentuk tentang


masalah seksual pada pasien stroke dan keluarganya.
d. Membantu merencanakan konseling seksual pada
pasien pasca stroke dan pasangannya.
e. Dapat digunakan sebagai refrensi untuk para peneliti
selanjutnya

yang

ingin

meneliti

tentang

seksual atau aktifitas sksual pasca stroke.

prilaku

Anda mungkin juga menyukai