Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker payudara adalah karsinoma yang berasal dari duktus atau


lobulus payudara, merupakan masalah global dan isu kesehatan internasional
yang penting. 1,2
Terapi kanker terutama terdiri atas operasi, radioterapi, kemoterapi dan
terapi biologis serta beberapa metode lainnya. Terapi operasi atau pembedahan
dapat menjadi terapi kuratif kanker yang bersifat lokal. 3,4
Saat dilakukan tindakan pembedahan pada kanker payudara, misalnya
dengan teknik mastektomi radikal modifikasi, maka pasien harus ditidurkan
dengan anestesi umum, mengingat lokasi pembedahan yang berada pada
bagian tubuh bagian atas, waktu operasi yang cukup lama, dan resiko
perdarahan yang cukup tinggi.
Anestesi umum sendiri adalah tindakan meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible, yang berarti
anestesi umum akan menyebabkan pasien bangun kembali secara fisiologis
tanpa efek samping.6,7
Ada beberapa persiapan yang harus dilakukan sebelum tindakan
anestesi dilakukan. Persiapan tersebut meliputi kunjungan pra-anestesi guna
mengetahui identitas pasien secara pasti, memperoleh informasi mengenai halhal yang berkaitan dengan tindakan anestesi, serta menentukan status fisik dan
kebugaran pasien. Sehingga dapat direncanakan dan dipilih dengan baik jenis
teknik anestesi dan obat-obatan anestesi yang cocok diberikan kepada pasien
tersebut, dengan tujuan memperoleh hasil tindakan anestesi yang efektif
dengan efek samping seminimal mungkin. Selain itu, pada kunjunga praanestesi juga diperlukan dalam hal meyakinkan pasien dan mempersiapkan
mental pasien dalam menghadapi operasi.6

Pada kasus ini dilaporkan pasien Ny. Y, perempuan, usia 47 tahun yang
telah dilakukan tindakan mastektomi radikal modifikasi atas indikasi ca
mammae. Tindakan dilakukan dengan general anestesi pada tanggal 26 mei
2015. Durante op pasien cukup stabil, meskipun ada beberapa hal perlu
menjadi perhatian dan pasca pembedahan tidak ada penyulit dari tindakan
anestesi yang telah dilakukan. Post op pasien di rawat di bangsal bedah, pasien
dipulangkan pada hari ketiga post operasi.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama

: Ny. Y

Umur

: 47 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: IRT

Alamat

: Jl. Mpu Gandring RT.17 No. 64 Kel. Solok Sipin

Agama

: Islam

MRS

: 25 Mei 2015

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis tanggal 25 Mei 2015)


Keluhan Utama :
Benjolan pada payudara kiri + sejak 2 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
+ sejak 2 tahun yang lalu, pasien mengeluh timbul benjolan pada payudara
kirinya. Benjolan awalnya hanya berukuran sebesar kelereng. Pada saat itu
pasien tidak terlalu menghiraukan benjolan tersebut karena belum terasa nyeri.
Menurut pasien benjolan tersebut semakin lama memang semakin bertambah
besar dan mulai terasa nyeri. Keluar cairan dari putting susu (+), warna putih
kekuningan dan tidak terlalu kental. Serta terdapat perubahan bentuk dari
puting susu sebelah kiri tersebut.
Keluhan disertai dengan menstruasi yang kurang lancar, pasien mengaku bisa
menstruasi sekali dalam 4 bulan. Pusing (+), Mual (-), Muntah (-). Benjolan
ditempat lain tidak ada.
Kemudian pasien memutuskan untuk berobat ke Rumah Sakit dan dilakukan
pemeriksaan biopsi, dengan hasil menunjukkan bahwa benjolan tersebut
merupakan kanker. Oleh dokter, pasien disarankan untuk dilakukan operasi

pengangkatan payudara guna mencegah keburukan dan penyebaran dari


kanker tersebut, namun pasien menolak karena merasa belum siap.
+ 1 bulan yang lalu, karena pasien merasa benjolan semakin bertambah besar
dan nyeri, maka pasien memberanikan diri untuk datang lagi ke Rumah Sakit
untuk dilakukan operasi.
Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat operasi sebelumnya (-)


Riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, batuk lama disangkal, riwayat asma

dan sesak nafas disangkal


Riwayat alergi obat (-)
Riwayat Alergi makanan (+) yaitu seafood
Riwayat di rawat di RS (+) tahun 2013 dengan malaria
Riwayat kemoterapi disangkal
Pasien tidak sedang dalam pengobatan suatu penyakit tertentu dan tidak
mengkonsumsi obat-obat apapun

Riwayat penyakit keluarga :


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti yang
dialami oleh pasien.
Riwayat penyakit DM, Hipertensi, Asma dan alergi pada anggota keluarga
disangkal.
Riwayat Kebiasaan
Tidak ada kebiasaan pasien yang berhubungan dengan keluhan yang
dialaminya.

2.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 25 Mei 2015)


Status Present
4

Keadaan Umum: Tampak Sakit Ringan

Kesadaran: Comspos mentis

Vital Sign: TD : 130/80 mmHg


Nadi : 84 x/menit
RR : 19 x/menit
T

: 36,4C

Status General:
Kepala

: normocephali

Mata

: Conjungtiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-, Pupil Isokor, RC +/+

THT

: dalam batas normal

Mulut

: Mukosa tidak anemis, lidah kotor (-), dbn

Leher

: pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), JVP 5-2 cmH2O

Thorax:
Paru:
- Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
- Palpasi

: Nyeri tekan (-), krepitasi (-), Vokarsinomal Fremitus normal


kanan = kiri

- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru


- Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
- Palpasi

: Thrill tidak teraba

- Perkusi : Batas jantung normal


- Auskultasi: S1 dan S2 regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

- Inspeksi

: Datar, soepl, sikatrik (-)

- Palpasi

: Nyeri Tekan, nyeri lepas (-), massa (-), Hepar dan lien tidak
teraba

- Perkusi

: Hipertimpani di seluruh lapangan abdomen

- Auskultasi : Bising usus (+) normal


Ekstremitas:
Superior

: akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)

Inferior

: akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)

Status Lokalis
Lokasi

: Pada payudara kiri

Inspeksi

: Payudara kiri tampak lebih besar dibandingkan payudara


kanan, hiperemis (-), sikatrik (-), peau de orange (-), retaksi
putting susu (+).

Palpasi

: pada payudara kiri kuadran kiri atas, teraba sebuah massa


dengan ukuran diameter + 8 cm, konsistensi keras, tidak dapat
digerakkan, nyeri tekan (+). Nipple discharge (+). Pembesaran
KGB axilla (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
a. Darah rutin
WBC : 5,8 x 103/mm3
RBC : 4,10 x 106/mm3
HGB : 11,6 g/dl
HCT : 35,2 %
PLT
: 245 x 103/mm3
PCT
: .251 %
CT / BT: 4/2

(3,5-10,0 103/mm3)
(3,80-5,80 106/mm3)
(11,0-16,5 g/dl)
(35,0-50%)
(150-390 103/mm3)
(0,100-0,500 %)

b. Kimia Darah Lengkap (10 februari 2015)

Faal Hati
Bilirubin Total
Bilirubin Direk

:
:

0,9 mg/dL
0,4 mg/dL
6

Bilirubin Indirek
Protein Total
Albumin
Globulin
SGOT
SGPT
Faal Ginjal

:
:
:
:
:
:

0,5 mg/dL
7,6 gr/dL
5,0 gr/dL
2,6 gr/dL
27 U/L
18 U/L

Ureum

37,5 mg/dl

Kreatinin

0,6 mg/dl

Asam Urat

4,7 mg/dL

Faal Lemak
Kolesterol
Trigliserid
HDL
LDL
GDP
GD 2 Jam PP

: 234 mg/dL
: 178 mg/dL
: 55 mg/dL
: 143 mg/dL
: 118 mg/dL
: 178 mg/dL

2. Radiologi
X Ray Thoraks : Jantung dan Paru dalam batas normal.
3. EKG
Gambaran EKG: Synus Rhytme (EKG Normal)
4. Pemeriksaan penunjang lain
Biopsi Patologi Anatomi : Invasif Papillary Karsinoma
2.5 Rencana Tindakan Anestesi
Diagnosis Pra Bedah

: Karsinoma Mammae sinistra Stadium IIB


T3N0M0

Tindakan bedah

: Mastektomi Radikal Modifikasi Sinistra

Status ASA

: ASA I

Mallampati

: 2

Jenis anestesi

: Anestesi umum

2.6 Persiapan preoperasi


a. Pasien dipuasakan 8 jam sebelum operasi

b. Memastikan kembali bahwa kondisi pasien dalam keadaan stabil


dengan tanda-tanda vital dalam batas normal
c. Menyiapkan alat yang akan digunakan
2.7 Tindakan Anesthesi
1. Kebutuhan Cairan pre-operatif
Adapun tujuan dari pemberian terapi cairan baik pre-operatif
maupun intra operatif adalah tercapainya hemodinamik pasien yang
stabil selama operasi berlangsung.
Pasien dengan kondisi cairan tubuh yang euvolume akan
menunjukkan status hemodinamik yang baik. Untuk mencapai
keadaan euvolume pada pasien yang direncanakan operasi maka
perlu diberikan pengganti cairan yang hilang selama puasa,
pemberian cairan rumatan, dan stress operasi.
Kebutuhan cairan pre-operatif pada pasien dengan BB = 70 kg
-

Maintenance (M)
2 cc/kgBB/Jam = 2 cc x 70 kg/jam = 140 cc/ Jam
Pengganti Puasa (PP)
10 x M = 10 x 140 cc/jam = 1400 cc/jam
Stress Operasi (SO)
Sedang 6 cc/kgBB = 6 cc x 70 kg = 420 cc

Input cairan pada pasien ini


RL 4 Kolf
= 2000 cc
Fima HES 1 Kolf = 500 cc
NaCl 1 Kolf
= 500 cc
Whole Blood
= 350 cc

2. Pasien di posisikan telentang pada meja operasi


3. Dilakukan pemasangan alat monitor tanda-tanda vital :

Tekanan darah

Heart rate

Respirasi rate

Saturasi oksigen

4. EKG Pemberian obat premedikasi sebelum operasi :

Ondansentron 1 amp (4mg)

Ranitidin 1 amp (50 mg)

Asam Traneksamat 2 amp (1000 mg)

Sulfas Atropine 0,7 mg

Petidin 70 mg

5. Melakukan tindakan anestesi umum


a. Melakukan tindakan induksi anestesi dengan propofol 140 mg
secara intravena
b. Cek refleks bulu mata.
c. Sungkup muka dipasang dengan metode over face mask untuk
pemberian oksigen 100% sebesar 2 l/menit dan anestesi
inhalasi sevofluran 2% selama + 3 menit
d. Setelah triple maneuver terkuasai, diberikan muscle relaxan
yaitu atracurium 35 mg intravena
e. Lakukan pemasangan ETT nonkinking no.7 dengan balon
f. Dilakukan pemasangan oropharyngeal airway (OPA) no 3
g. Fiksasi ETT dan sambungkan dengan ventilator
h. Maintenance dengan menggunakan O2 2 l/menit : N2O 4 l/menit
dan sevofluran 2 vol % serta flow 7,5 l/menit didapatkan
konsentrasi O2 sebesar 50%.
i. Respirasi dengan ventilator, tidal Volume 470 ml dan frekuensi
22 x/menit
6. Medikasi tambahan
-

Phentanyl 100 mcg

Atracurium maintenance 10 mg

7. Monitoring Intra operatif


Jam
08.45
09.00
09.15
09.30
09.45
10.00
10.15
10.30
10.45
11.00
11.15

TD
(mmHg)
130/89
156/96
168/106
152/101
149/98
136/92
136/90
136/88
134/89
137/91
135/89

Nadi
(x/i)
95
102
106
99
98
98
96
97
96
94
98

RR
(x/i)
21
22
21
23
19
20
20
20
19
21
21

Saturasi
O2 (%)
100
99
100
100
100
100
100
99
100
100
100

O2
l/m
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2

N 2O
l/m
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4

Sevofluran
%
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2

Urin

Keterangan

Dikosongkan
Penthanyl 100 mcg
50 cc
Atracurium 10 mg
150 cc
200 cc

8. Hitung output selama selama pembedahan

Urin output
Perdarahan

: 200 cc
: 620 cc

9. Pemberian obat analgetik drip pasca pembedahan :

Ketorolac

30 mg

Tramadol

100 mg

10. Pemindahan ke Recovery Room (RR) pasca operasi dan dilakukan


monitoring

Masuk Jam
: 11.30 WIB
Keadaan Umum : Kesadaran Compos Mentis, GCS:15
Tanda Vital
:
TD
: 130/90 mmHg
RR
: 23 x/mnt
N
: 94 x/mnt
T
: 36,1 oC
Pernafasan
: baik

Monitoring di RR:
a.

TTV

10

Jam
11.30
11.50
12.10

TD (mmHg)
130/90
130/80
130/80

b. Skoring Alderete
Aktifitas
Pernafasan
Warna Kulit
Sirkulasi
Kesadaran
Jumlah

Nadi (x/i)
94
93
96

RR (x/i)
23
23
21

Saturasi O2
99 %
100%
100%

:
: 2 ( 4 anggota tubuh gerak aktif/ diperintah)
: 2 (dapat di minta bernapas dalam dan batuk)
: 2 (merah muda, CRT < 2 detik)
: 2 (tekanan darah naik/ turun berkisar 20%)
: 2 ( baik)
: 10

11. Memberikan instruksi anestesi pasca operasi

Observasi keadaan umum, vital sign, perdarahan dan

diuresis tiap 15 menit selama 24 jam pertama post operasi


Pantau balance cairan
Tidur tanpa bantal sampai sadar penuh
Makan dan minum setelah bising usus (+)
Cek HB post op, jika < 9 gr/dL transfuse PRC 1 kolf
Terapi lain sesuai dokter ahli bedah.
Rawat bersama dengan bedah

2.7 Diagnosa Post-op


Post. op Mastektomi Radikal Modifikasi Sinistra a/i Karsinoma Mammae
sinistra stadium IIB, T3N0M0

11

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Karsinoma Mammae


3.1.1 Definisi
Kanker payudara adalah karsinoma yang berasal dari duktus atau
lobulus payudara, merupakan masalah global dan isu kesehatan international
yang penting. Karsinoma mammae adalah keganasan paling serius pada
wanita di negara maju dan nomor dua setelah kanker yang di diagnosis tiap
tahun. Secara keseluruhan merupakan penyebab kematian nomor dua karena
kanker, setelah kanker paru.3
3.1.2 Faktor Risiko
Penyebab secara pasti belum diketahui, namun terdapat faktor resiko
untuk menderita kanker payudara, adalah:
1. Jenis kelamin wanita
Insiden wanita dibanding pria lebih dari 100:1.
2. Usia

12

Wanita usia 60-79 tahun mempunyai kemungkinan menderita kanker


payudara 1:14 dibanding wanita usia kurang dari 39 tahun, yang
mempunyai kemungkinan 1:14.
3. Riwayat keluarga
Pasien dengan riwayat keluarga tingkat pertama (ibu dan saudara kandung)
mempunyai resiko 4-6 kali dibanding wanita yang tidak punya faktor
resiko ini. Pasien dengan keluarga tingkat pertama premenopause
menderita kanker payudara bilateral, mempunyai resiko 9 kali. Pasien
dengan keluarga tingkat pertama post menopause menderita kanker
payudara bilateral mempunyai resiko 4-5,4 kali. Riwayat keluarga juga
merupakan faktor resiko kanker payudara pada laki laki yaitu sekitar
15%.
4. Usia melahirkan anak pertama
Jika usia 30 atau lebih resiko 2 kali dibanding wanita yang melahirkan usia
kurang dari 20 tahun.
5. Riwayat menderita kanker payudara
Juga merupakan faktor resiko untuk payudara kontralateral. Resiko ini
tergantung pada usia saat diagnosis. Resiko ini meningkat pada wanita usia
muda.
6. Predisposisi genetikal
Resiko ini berjumlah kurang dari 10% kanker payudara. Pada laki laki
adanya mutasi reseptor androgen, sindrom Li-fraumeni, sindrom Cowden.
7. Ductal carsinoma in situ (DCIS) dan labular carsinoma in situ (LCIS) pada
biopsi. Hal ini merupakan marker untuk terjadinya lesi invasif.
8. Radiasi
Pada usia di bawah 16 tahun mempunyai resiko 100 kali, radiasi sebelum
umur 20 tahun mempunyai resiko 18 kali, usia 20 -29 tahun resiko 6 kali,
radiasi setelah usia 30 tahun resiko tidak bermakna.
9. Perubahan gaya hidup
Diet tinggi kalori, diet tinggi lemak, konsumsi alkohol merokok dan
obesitas pada menopause. Terdapat data yang menunjukkan orang yang
gemuk sesudah berusia 50 tahun berpeluang lebih besar terkena kanker
mamae.
10. Hormonal

13

Menarche dibawah 12 tahun resiko 1,7-3,4 kali, usia menopause diatas 55


tahun resiko 1,5 kali. Penggunaan kontrasepsi oral lebih dari 8-10 tahun
juga meningkatkan resiko.
11. Penggunaan obat di masa lalu
Penggunaan jangka panjang reserpin, metildopa, analgesik trisiklik dapat
menyebabkan kadar prolaktin meninggi yang beresiko karsinogenik bagi
mamae.1

3.1.3 Patofisiologi
Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit
yang disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi:
1.

Fase Inisiasi
Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel
yang memancing sel menjadi ganas.Perubahan dalam bahan genetik sel
ini disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen, yang bisa
berupa

bahan

kimia,

virus,

radiasi

(penyinaran)

atau

sinar

matahari.tetapi tidak semua sel memiliki kepekaan yang sama terhadap


suatu karsinogen. kelainan genetik dalam sel atau bahan lainnya yang
disebut promotor, menyebabkan sel lebih rentan terhadap suatu
karsinogen. bahkan gangguan fisik menahun pun bisa membuat sel
menjadi lebih peka untuk mengalami suatu keganasan.
2. Fase Promosi
Pada tahap promosi, suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan
berubah menjadi ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak
akan terpengaruh oleh promosi. karena itu diperlukan beberapa faktor
untuk terjadinya keganasan (gabungan dari sel yang peka dan suatu
karsinogen).1,2,3
3.1.4 Manifestasi Klinis
1. Massa Tumor

14

Sebagian besar bermanifestasi sebagai massa mamae yang tidak nyeri,


sering kali ditemukan secara tidak sengaja. Lokasi massa kebanyakan
di kuadran lateral atas, umumnya lesi soliter, konsistensi agak keras,
batas tidak tegas, permukaan tidak licin, mobilitas kurang (pada
stadium lanjut dapat terfiksasi ke dinding toraks). Massa cenderung
membesar secara bertahap, dalam beberapa bulan bertambah besar
secara jelas.2
2. Perubahan Kulit
a. Tanda lesung: Ketika tumor mengenai glandula mamae, ligamen
memendek hingga kulit setempat menjadi cekung.
b. Perubahan kulit jeruk (peau dorange): ketika vasa limfatik
subkutis

tersumbat

sel

kanker,

hambatan

drainase

limfe

menyebabkan udem kulit, folikel rambut tenggelam ke bawah


tampak sebagai tanda kulit jeruk.
c. Nodul satelit kulit: ketika sel kanker di dalam vasa limfatik
subkutis masing masing membentuk nodul metastasis, disekitar
lesi primer dapat muncul banyak nodul tersebar.
d. Invasi, ulserasi kulit: ketika tumor menginvasi kulit, tampak
perubahan berwarna merah atau merah gelap. Bila tumor terus
bertambah besar, lokasi itu dapat menjadi iskemik, ulserasi
membentuk bunga terbalik, disebut tanda kembang kol.
e. Perubahan inflamatorik: keseluruhan kulit mamae berwarna merah
bengkak, mirip peradangan. Tipe ini sering ditemukan pada kanker
mamae waktu hamil atau laktasi.2
3. Perubahan Papila Mamae
a. Retraksi dan distorsi papila mamae, umumnya akibat tumor
menginvasi jarigan subpapilar.
b. Sekret papilar, sering karena tumor mengenai duktus besar.
c. Perubahan eksematoid, manifestasi spesifik dari kanker
eksematoid. Klinis tampak: papila mamae erosi, berkrusta, sekret,
deskuamasi, sangat mirip eksim.2

15

3.1.5 Penegakan Diagnosis


1. Anamnesis
Adanya benjolan pada payudara merupakan keluhan utama dari
penderita. Pada mulanya tidak merasa sakit, akan tetapi pada
pertumbuhan selanjutnya akan timbul keluhan sakit.2
Menkarsinomakup status haid, perkawinan, partusm laktasi,
riwayat kelainan mamae sebelumnya, riwayat keluarga kanker, waktu
timbulnya massa dan kecepatan pertumbuhan. Tanda dan gejala kanker
payudara adalah:
a. Ada benjolan yang keras di payudara dengan atau tanpa rasa sakit.
b. Bentuk puting berubah (retraksi nipple atau terasa sakit terus menerus) atau puting mengeluarkan cairan / darah (nipple
discharge).
c. Ada perubahan pada kulit payudara diantaranya berkerut seperti
kulit jeruk (peau dorange), melekuk ke dalam (dimpling) dan
borok (ulkus).
d. Adanya benjolan benjolan kecil di dalam atau kulit payudara
e.
f.
g.
h.

(nodul satelit).
Ada luka puting di payudara yang sulit sembuh
Payudara terasa panas, memerah dan bengkak.
Terasa sakit/ nyeri (bisa juga ini bukan sakit karena kanker).
Benjolan yang keras itu tidak bergerak (terfiksasi) dan biasanya

pada awal awalnya tidak terasa sakit.


i. Apabila benjolan itu kanker, awalnya biasanya hanya pada satu
payudara.
j. Adanya benjolan di aksila dengan atau tanpa massa di payudara.2,5
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik payudara harus dikerjakan secara halus, tidak
boleh kasar dan keras. Tidak jarang palpasi yang keras menimbulkan
perdarahan atau nyeri yang hebat dari penderita, tumor ganas tidak boleh
dilakukan pemeriksaan fisik yang berulang-ulang karena kemungkinan
dapat mempercepat penyebaran.
a) Inspeksi

16

Inspeksi pada payudara wanita. Yaitu berupa simetris, ukuran dan


bentuk payudara dinilai, adanya edema (peau dorange), retraksi
papilla mamae, eritema.
b) Palpasi
Sebagai bagian dari pemeriksaan fisik, payudara dipalpasi secara hatihati. Pemeriksaan pasien dalam posisi berbaring merupakan posisi
yang terbaik. Ahli bedah akan melakukan palpasi secara lembut dari
sisi ipsilateral, memeriksa seluruh kuadran payudara dari sternum
bagian lateral sampai m. Latissimus dorsi, dan dari clavicula inferior
sampai rectus bagian atas. Secara sistematis menkarsinomari
pembesaran KGB.2,5
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto thorax
Foto thorax dapat membantu mengetahui adanya keganasan dan
mendeteksi adanya metastase ke paru-paru.
b. Mammografi
Kelebihan mammografi adalah dapat menampilkan nodul yang
sulit dipalpasi atau terpalpasi atipikal, dapat menemukan lesi
mamae

tanpa

nodul

namun

terdapat

berkarsinomak

mikrokalsifikasi, dapat digunakan untuk analisis diagnostik dan


rujukan tindak lanjut. Ketepatan diagnosis sekitar 80%. Adanya
proses keganasan akan memberikan tanda-tanda primer dan
sekunder.

1) Tanda primer, berupa:


- fibrosis reaktif
- comet sign yaitu batas tumor yang tidak teratur oleh karena
adanya proses infiltrasi ke jaringan sekitarnya atau batas
-

tidak tegas.
gambaran transusen disekitar tumor
gambaran stelata
adanya mikrokalsifikasi
Ukuran klinis tumor lebih bsar dari radiologis.
17

2) Tanda sekunder berupa:


Retraksi, penebalan kulit,

bertambahnya

vascularisasi,

perubahan posisi papilla dan areola, adanya bridge of tumor,


keadaan daerah tunika dan jaringan fibroglanduler tidak teratur,
infiltrasi jaringan lunak belakang mamae dan adanya metastasis
ke kelenjar.
c. USG (Ultrasonografi)
Dengan USG selain dapat membedakan tumor padat atau kistik,
juga dapat membantu untuk membedakan suatu tumor jinak atau
ganas. Karsinoma mamae yang klasik pada USG akan tampak
gambaran suatu lesi padat, batas ireguler, tekstur tidak homogen.
Posterior dari tumor ganas mamae terdapat suatu Shadowing.
Selain itu USG juga dapat membantu staging tumor ganas mamae
dengan menkarsinomari dan mendeteksi penyebaran lokal
(infiltrasi) atau metastasis ke tempat lain, antara lain ke KGB
regional atau ke organ lainnya (misalnya hepar).
d. Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
FNAB dilanjutkan dengan FNAC (Fine Needle Aspiration
Cytology) merupakan teknik pmeriksaan sitologi dimana bahan
pemeriksaan diperoleh dari hasil punksi jarum terhadap lesi
dengan maupun tanpa panduan USG. Cara pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, namun tidak
dapat memastikan tidak adanya keganasan. Hasil negatif pada
pemeriksaan ini dapat berarti bahwa jarum biopsi tidak mengenai
daerah keganasan sehingga biopsi eksisi tetap diperlukan untuk
konfirmasi hasil negatif tersebut.1,3
3.1.6 Penatalaksanaan
Pengobatan

kanker

payudara

bertujuan

untuk

mendapatkan

kesembuhan yang tinggi dengan kualitas hidup yang baik. Oleh karena itu
terapi dapat bersifat kuratif atau paliatif.
a. Terapi kuratif dilakukan pada kanker payudara stadium I, II dan III.

18

b. Terapi paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup tanpa adanya


periode bebas penyakit, umumnya dilakukan pada stadium IV.
Kesembuhan yang tinggi dengan kualitas hidup yang baik akan
tercapai bila kanker diterapi pada stadium dini. Keuntungan penatalaksanaan
tumor stadium dini adalah:
a. Kemungkinan tidak dilakukan kemoterapi bila tidak ada metastasis
kelenjar getah bening aksila daan tergolong resiko rendah.
b. Tidak perlu dilakukan eksisi aksila jika sentinel negatif, sehingga resiko
terjadinya limpadem berkurang.
c. Tidak diperlukan radiasi
d. Biaya penatalaksaan jauh lebih ekonomis
e. Disease free interval dan overall survival lebih baik (lama).1,5,8,9
Adapun modalitas terapi kanker payudara secara umum meliputi
operasi, kemoterapi, radioterapi, terapi hormonal dan terapi target.
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan modalitas utama untuk penatalaksanaan
kanker payudara. Modalitas ini memberikan kontrol lokoregional yang dapat
dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi dan dari spesimen operasi dapat
ditentukan tipe dan grading tumor, status kelenjar getah bening aksila, faktor
prediktif dan faktor prognosis tumor. Jenis operasi pada kanker payudara,
yaitu:
a. Classic Radical Mastectomy (CRM)
Operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara beserta tumor, nipple
areola komplek, kulit diatas tumor, otot pektoralis mayor dan minor, serta
diseksi aksila level I III. Operasi ini dilakukan jika ada infiltrasi tumor ke
fasia atau otot pektoral tanpa metastasis jauh. Jenis operasi ini mulai
ditinggalkan karena morbiditas tinggi sementara nilai kuratifitas sebanding
dengan MRM.
b. Modified Radical Mastectomy (MRM)
Operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara beserta tumor, nipple
areola komplek, kulit diatas tumor, fasia pektoral serta diseksi aksila level I
-III. Operasi ini dilakukan pada stadium dini dan lokal lanjut.
MRM mempertahankan baik M. pectoralis mayor and M. pectoralis
minor, dengan pengangkatan KGB aksilla level I dan II tetapi tidak level III.

19

Modifikasi Patey mengangkat M. pectoralis minor dan diseksi KGB axilla


level III. Batasan anatomis pada Modified radical mastectomy adalah batas
anterior M. latissimus dorsi pada bagian lateral, garis tengah sternum pada
bagian medial, bagian inferiornya 2-3 cm dari lipatan infra-mamae dan bagian
superiornya m. subklavia.
c. Skin Sparing Mastectomy (SSM)\
Operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara beserta tumor, nipple
areola komplek dengan mempertahankan kulit sebanyak mungkin serta diseksi
aksila level I II. Operasi ini harus disertai rekonstruksi payudara secara
langsung umumnya TRAM flap, LD flap. Operasi ini dilakukan pada stadium
dini dengan jarak tumor ke kulit jauh (>2cm) atau stadium dini yang tidak
memenuhi syarat untuk BCT.
d. Nipple Sparing Mastectomy (NSP)
Operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara beserta tumor dengan
mempertahankan nipple areola komplek dan kulit serta diseksi aksila level I
II. Operasi ini juga harus disertai rekonstruksi payudara secara langsung yang
umumnya adalah TRAM flap.
e. Breast Conserving Treatment (BCT)
Terapi yang komponennya terdiri dari lumpektomi atau segmentomi
atau kuadrantektomi dan diseksi aksila serta radioterapi. Terapi ini
memberikan hasil yang sama dengan MRM namun rekurensinya lebih besar.1,5
Operasi pada mammae, terutama tipe mastektomi, biasanya akan
beresiko untuk terjadinya perdarahan, hal ini dikarenakan robeknya pembuluh
darah di sekitar mammae. Agar proses penghentian perdarahan dapat
berlangsung secara baik, maka diperlukan suatu keadaan yang homeostasis.
Faal hemostasis akan berjalan dengan normal tergantung dari beberapa
komponen berikut, yaitu :
a. Fase vascular
Terjadi karena akibat dari adanya trauma pada pembuluh darah maka
respon yang pertama kali adalah respon dari vaskuler/kapiler yaitu terjadinya
kontraksi dari kapiler disertai dengan extra-vasasi dari pembuluh darah, akibat

20

dari extra vasasi ini akan memberikan tekanan pada kapiler tersebut (adanya
timbunan darah disekitar kapiler).
b. Fase Platelet/trombosit
Pada saat terjadinya pengecilan lumen kapiler (vasokontriksi) dan extra
vasasi ada darah yang melalui permukaan asar (jaringan kolagen) dengan
akibatnya trombosit. Akibat dari bertemunya trombosit dengan permukaan
kasar maka trombosit tersebut akan mengalami adhesi serta agregasi.
Setelah terjadinya adhesi maka dengan pengaruh ATP akan terjadilah agregasi
yaitu saling melekat dan desintegrasi sehingga terbentuklah suatu massa yang
melekat.
Peristiwa trombosit yang mulai pecah/lepas- lepas hingga menjadi
suatu massa yang melekat disebut Viscous metamorphosis. Akibat dari
terjadinya semua proses ini maka terjadilah gumpalan plug (sumbatan) baru
kemudian terjadi fase yang ketiga.
c. Fase koagulasi
Fase ini terdiri dari tiga tahapan yaitu :
-

Pembnetukan prothrombinase/prothrombin activator.


Perubahan prothrombine menjadi trombone.
Perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
Proses pembekuan darah terjadi karena adanya Jalur intrinsik dan Jalur

ekstrinsik.
a) Jalur Intrinsik
Jalur intrinsik, yaitu semua zat yang terikat dengan pembekuan darah berasal dari
darah. Jalur ini memerlukan faktor IX, faktor X, faktor XI, dan faktor XII,
selain itu juga memerlukan prekalikrein dan HMWK, begitu juga ion
kalsium dan fosfolipid yang disekresi dari trombosit. Darah yang
mengalami kontak dengan serat kolagen pembuluh darah yang kasar secara
bertahap akan mengaktifkan faktor XII, XI, dan IX. Selanjutnya faktor IX
akan mengaktifkan faktor X yang aktif bereaksi dengan faktor V, Ca2+ dan
fosfolipid dari trombosit untuk mengatur aktifator protrombin.

21

Jalur intrinsik terjadi apabila prekalikrein, HMWK, faktor XI dan faktor


XII terpapar ke permukaan pembuluh darah adalah stimulus primer untuk
fase kontak. Kumpulan komponen-komponen fase kontak merubah
prekallikrein menjadi kallikrein, yang selanjutnya mengaktifasi faktor XII
menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa kemudian dapat menghidrolisa
prekallikrein lagi menjadi kallikrein, membentuk kaskade yang saling
mengaktifasi. Faktor XIIa juga mengaktifasi faktor XI menjadi faktor XIa
dan menyebabkan pelepasan bradikinin, suatu vasodilator yang poten dari
HMWK. Dengan adanya Ca2+, faktor XIa mengaktifasi faktor IX menjadi
faktor IXa, dan faktor IXa mengaktifasi faktor X menjadi faktor Xa.

b) Jalur Ekstrinsik
Jalur ekstrinsik dengan
dari darah. Jaringan

dan

menggunakan
pembuluh

zat-zat

yang rusak

yang
akan

bukan

berasal

menghasilkan

tromboplastin yang secara langsung dapat mengubah faktor X menjadi


faktor VII dan faktor V.
Jalur ekstrinsik lebih cepat dari jalur intrinsik . Jalur ekstrinsik dimulai
pada tempat yang trauma dalam respons terhadap pelepasan tissue
factor (faktor

III).Kaskade

koagulasi

diaktifasi

apabilatissue

factor dieksresikan pada sel-sel yang rusak atau distimulasi ( sel-sel


vaskuler atau monosit), sehingga kontak dengan faktor VIIa sirkulasi
dan membentuk kompleks dengan adanya ion kalsium. Tissue
factor adalah suatu kofaktor dalam aktifasi faktor X yang dikatalisa
faktor VIIa. Faktor VIIa, suatu residu gla yang mengandung serine
protease, memecah faktor X menjadi faktor Xa, identik dengan faktor
IXa dari jalurinstrinsik. Aktifasi faktor VII terjadi melalui kerja
trombin atau faktor Xa.
Tissue factor banyak terdapat dalam jaringan termasuk adventitia
pembuluh darah, epidermis, mukosa usus dan respiratory, korteks
serebral, miokardium dan glomerulus ginjal. Aktifasi tissue factor juga
dijumpai pada subendotelium. Sel-sel endotelium dan monosit juga

22

dapat menghasilkan dan mengekspresikan aktifitastissue factor atas


stimulasi dengan interleukin-1 atau endotoksin, dimana menunjukan
bahwa cytokine dapat mengatur ekspresi tissue factor dan deposisi
fibrin pada tempat inflamasi.
Kemampuan faktor Xa untuk mengaktifasi faktor VII menciptakan
suatu hubungan antara jalur instrinsik dan ekstrinsik. Selain itu
hubungan dua jalur itu ada melalui kemampuan dari tissue factor dan
faktor VIIa untuk mengaktifasi faktor IX menjadi IXa. Hal ini terbukti
bahwa ada pasien-pasien dengan defisiensi faktor VII tetapi tidak
defisiensi faktor XI, terjadi penurunan kadar dari aktifasi faktor IX,
sedangkan pasien-pasien dengan defisiensi faktor VIII atau faktor IX,
mempunyai kadar yang normal dari aktifasi faktor X dan prothrombin.
Dan pada infusion recombinant factor VIIa dengan dosis yang relatif
kecil (10-20 mg/kg BB) pada pasien-pasien dengan defisiensi faktor
VII menghasilkan suatu peningkatan yang besar pada konsentrasi
aktifasi faktor X. Faktor IXa yang baru dibentuk itu membentuk
kompleks dengan faktor VIIIa dengan adanya kalsium dan fosfolipid
membrane, dan selanjutnya juga mengaktifasi faktor X menjadi Xa.
Kompleks ini disebut tenase. Dan ternyata bukti-bukti menunjukan
bahwa jalur ekstrinsik berperan utama dalam memulai pembekuan
darah in vitro dan pembentukan fibrin.
Activated factor Xa adalah tempat dimana kaskade koagulasi jalur
intrinsik dan ekstrinsik bertemu. Faktor Xa berikatan dengan faktor Va
(diaktifasi oleh trombin),yang mana dengan kalsium dan fosfolipid
disebut kompleks prothrombinase, yang secara cepat merubah
protrombin menjadi trombin.
2. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penggunaan obat anti kanker (sitostatika) untuk
menghansurkan sel kanker. Obat ini umumnya bekerja dengan menghambat
atau mengganggu sintesa DNA dalam siklus sel. Pengobatan kemoterapi
bersifat sistemik, obat sitostatika dibawa melalui aliran darah atau diberikan

23

langsung ke dalam tumor, jarang menembus blood-brain barrier sehingga obat


sulit mencapai sistem saraf pusat. Ada 3 jenis kemoterapi yaitu adjuvant,
neoadjuvant dan primer (paliatif).1,4,5
3. Radioterapi
Terapi radiasi dapat digunakan untuk semua stadium karsinoma
mamae. Untuk wanita dengan DCIS, setelah dilakukan lumpectomy, radiasi
adjuvan diberikan untuk mengurangi resiko rekurensi lokal, juga dilakukan
untuk stadium I, IIa, atau IIb setelah lumpectomy. Radiasi juga diberikan pada
kasus resiko/kecurigaan metastasis yang tinggi. Pada karsinoma mamae lanjut
(Stadium IIIa atau IIIb), dimana resiko rekurensi dan metastasis yang tinggi
maka setelah tindakan pembedahan dilanjutkan dengan terapi radiasi adjuvan.
4. Terapi Anti-Estrogen
Dalam sitosol sel-sel karsinoma mammae terdapat protein spesifik
berupa reseptor hormonal yaitu reseptor estrogen dan progesteron. Reseptor
hormon ini ditemukan pada lebih dari 90% karsinoma duktal dan lobular
invasif yang masih berdiferensiasi baik.
Setelah berikatan dengan reseptor estrogen dalam sitosol, tamoxifen
menghambat pengambilan estrogen pada jaringan payudara. Respon klinis
terhadap anti-estrogen sekitar 60% pada wanita dengan karsinoma mammae
dengan reseptor hormon yang positif, tetapi lebih rendah yaitu sekitar 10%
pada reseptor hormonal yang negatif. Kelebihan tamoxifen dari kemoterapi
adalah tidak adanya toksisitas yang berat. Nyeri tulang, hot flushes, mual,
muntah dan retensi cairan dapat terjadi pada pengunaan tamoxifen. Resiko
jangka panjang pengunaan tamoxifen adalah karsinoma endometrium. Terapi
dengan tamoxifen dihentikan setelah 5 tahun. Beberapa ahli onkologi
merekomendasikan tamoxifen untuk ditambahkan pada terapi neoadjuvan
pada karsinoma mammae stadium lanjut terutama pada reseptor hormonal
yang positif. Untuk semua wanita dengan karsinoma mammae stadium IV,
anti-estrogen (tamoxifen), dipilih sebagai terapi awal.
3.2 Anestesi Umum

24

3.2.1 Definisi
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum memiliki
karakteristik menyebabkan amnesia bagi pasien yang bersifat anterogard yaitu
hilang ingatan kedepan dimana pasien tidak akan bisa ingat apa yang telah
terjadi saat dia dianestesi/operasi. Karakteristik selanjutnya adalah reversible
yang berarti anestesi umum akan menyebabkan pasien bangun kembali tanpa
efek samping.6
3.2.2 Komponen dalam Anestesi Umum
Dahulu dikenal istilah Trias Anetesia yaitu hipnosi, analgesia, dan
arefleksia. Namun, sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai tiga
komponen itu saja. Secara umum komponen yang ada dalam anestesi umum
yaitu:6
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya nyeri)
3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien)
4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi
intubasi trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)

3.2.3 Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum


Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah
anestisia umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu
dikonversikan menjadi anestesia umum.
Keuntungan anestesia umum

25

a. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis


berlangsung.
b. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis.
c. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
d. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.

Kerugian anestesia umum


a. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
b.
c.
d.
e.

tumpul dibawah anestesia umum.


Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.

3.2.4 Persiapan pra anestesi


Pasien yang akan menjalani operasi harus disiapkan dengan baik.
Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 2-1 hari sebelumnya,
sedangkan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Tujuan dari kunjungan pra
anestesi ini yakni :
a. mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan
melakukan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

laboratorium

dan

pemeriksaan lainnya.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan keadaan dan kehendak pasien. Dengan demikian komplikasi
yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
c. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik ,
dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American society of
Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum. 6
1. Anamnesis

26

Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau


melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat
mengadakan pendekatan psikologis. Serta berkenalan dengan pasien. Hal yang
perlu diperhatikan pada anamnesis adalah:
a. Identifikasi pasien, misalnya: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll
b. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesi, anatara lain : penyakit alergi, diabetes
mellitus, penyakit paru-paru kronik, penyakit jantung dan hipertensi,
penyakit hati dan penyakit ginjal.
c. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan

interaksi

kortikosteroid,

oba

dengan

antihipertensi,

obat-obat
obat

anestetik.

antidiabetik,

Misalnya
antibiotika

golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis,


diuretika, obat anti alergi.
d. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu.
Beberapa kali dan selang waktunya di tanyakan.
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal
yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, muntah, nyeri
otot, gatal-gatal atau sesak pasca bedah, sehingga kita dapat
merankarsinomang anestesia selanjutnya.
Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan
masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya
halotan jangan digunakan ulang dalam waktu 3 bulan, suksinilkolin
yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Serta,
apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih
sadar, dan perawatan intensif pasca bedah.

27

e. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi


jalannya anestesi seperti, merokok dan peminum alkohol.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya
utnuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi,
dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan nafas dan
1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Perokok berat (diatas
20 batang/ hari ) dapat mempersulit induksi anestesi karena merangsang
batuk-batuk sekresi jalan nafas
Untuk mengurangi rasa gelisah dan takut yang mungkin ada pada
pasien atau orag tuanya, perlu diberi penerangan tentang tindakan apa
yang akan dilakukan serta perawatan pasca bedahnya, terutama bila
pasien direncanakan dirawat di unit terapi intensif.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan laboratorium dilakukan dengan teliti, bila
terdapat indikasi lakukan konsultasi dengan bidang keahlian lain seperti ahli
penyakit jantung, paru, penyakit dalam untuk mendapatkan ekspertise yang
memadai tentang pasien tersebut
Pemeriksaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi badan, berat
badan, suhu badan, keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan
darah, frekuensi nadi,pola dan frekuensi pernafasan. Perhatikan yang khusus
dan terarah ditujukan pada:
a. Keadaan psikis : gelisah, takut, kesakitan
b. Keadaan gizi

: malnutrisi atau obesitas

c. Tanda-tanda penyakit saluran pernafasan


d. Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskular
e. Sistem-sistem :

28

Mulut : gigi palsu, gigi goyah, gigi menonjol, lapisan tambahan


pada gigi, kebersihan mulut.

Mandibula : sikatrik, fraktur, perhatkan sendi temporo


mandibula, dagu kecil dan trismus.

Leher : pendek/panjang, struma, sikatrik, mobilitas dari sendisendi servikal.

f. Kulit : perabaan hangat, dingin, berkeringatan, tanda-tanda infeksi di


regio vertebrae lumbalis dan sakralis.
g. Sistem persyarafan : hemiparesis atau paralisis, distrofi otot, neuropati,
system saraf tepi, besar hidrosefalus.
h. Pemeriksaan laboratorium dan uji lain :
Pemeriksaan laboratorium ada 2 yaitu pemeriksaan rutin dan khusus.
Pemeriksaan laboratorium rutin :
-

Darah : Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, golongan darah,


masa pembekuan darah, masa perdarahan

Urine : protein, reduksi, sedimen

Foto thoraks : terutama untuk bedah mayor.

Sebaiknya tepat indikasi, sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang


dicurigai. Pada usia pasien diatas 50 tahun dianjurkan pemeriksaan EKG dan
foto thoraks.
3. Kebugaran untuk Anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaaan bugar, sebaliknya pada operasi sito
penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
4. Klasifikasi Status Fisik

29

Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of


Anesthesiologists (ASA) yaitu:6,7
Kelas I

: Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

Kelas II

: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa


pembatasan aktivitas.

Kelas III

: Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin


terbatas.

Kelas IV

: Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan


aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ankarsinomaman
kehidupannya setiap saat.

Kelas V

: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa


pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

5. Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral selama periode tertentu
sebelum induksi anestesi.6
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anestesi.6
3.2.5

Premedikasi

30

Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan


tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia,
diantaranya:6
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan
3.2.6 Induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari
sadar menjadi tidak sadar, sehinggga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan.6,7
Persiapan pada anestesi meliputi kata STATICS5,6
Scope

: laryngoscope dan stethoscope

Tube

: pipa trakea disesuaikan dengan ukuran pasien sesuai umur

Airway

: orothracheal airway, untuk menahan lidah pasien disaat


pasien tidak

sadar, untuk menjaga agar lidah tidak menutupi

jalan napas
Tape

: plaster untuk memfiksasi orothrakeal airway

Introducer

: mandrin atau silet dari kawat untuk memandu agar pipa trakea
mudah untuk di masukkan

Conector

: penyambung antara pipa dan alat anestesi

31

Suction

: penyedot lender

a. Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi
sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi
dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.6
Anestesi intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk
rumatan anestesi, tambahan pada analgesia regional atau untuk membantu
prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan profopol. Untuk anestesia
intravena total biasanya menggunakan profopol.6,7
b. Anestetik Inhalasi
Obat anestetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membantu pembedahan ialah N2O. Kemudian menyusul eter, kloroform, etilklorida, etilen, divinil-eter, siklosporin, triklor-etilen, iso-propenil-vinil-eter,
propenil-metil-eter,

fluoroksan,

etil-vinil-eter,

halotan,

metoksi-fluran,

enfluran, isofluran, desfluran dan sevofluran.6


Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk
praktek klinik ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan
sevofluran. Obat-obat lain ditinggalkan karena efek samping yang tidak
dikehendaki.
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat
fisiknya:6
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
32

3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya


Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi
akan menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi
dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan
induksi dan pemulihannya.Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat
yang tidak larut dan lambat padayang larut. Kadar alveolus minimal ( KAM )
atau MAC (minimum alveolar concentration) ialah kadar minimal zat tersebut
dalam alveolus pada tekanan satu atmosfir yangdiperlukan untuk mencegah
gerakan pada 50 % pasien yang dilakukan insisi standar.Pada umumnya
immobilisasi tercapai pada 95 % pasien, jika kadarnya dinaikkan diatas 30 %
nilai KAM. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial zat anestetik dalam
alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja obat.6
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:6
1. Konsentrasi inspirasi.
Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah penuh,
maka ambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inpirasi sama dengan
alveoli. Hal ini dalam praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat
kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau
kejang laring. Induksi makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas
kedua).
2. Ventilasi alveolar
Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin tinggi dan
sebaliknya.
3. Koefisien darah/gas
Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin
rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4. Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung makin cepat uap diambil
5. Hubungan ventilasi perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik.
Jumlah uapdalam mesin anestesi bukan merupakan gambaran yang

33

sebenarnya, karena sebagian uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit


anestesi atau ke atmosfir sekitar sebelum mencapai pernafasan.

a. Eliminasi
Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru.
Sebagianlagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450.
Sisa metabolism yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.6
b. N2O
N2O (gas gelak, laughing gas , nitrous oxide, dinitrogen monooksida)
diperoleh dengan memanaskan amonium nitrat sampai 240C.
NH4NO3 --240 C ---- 2H2O + N2O.
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi,
tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk
karsinomair dalamsilinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan
tekanan 750 psi atau 50 atm.6
Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas
ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering
digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi
inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu
cairan anestesi lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesi setelah
N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi
pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya
hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit.6
c. Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya
yang enak dan tidak merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai
induksi anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan harus disimpan dalam botol

34

gelap (coklat tua) supayatidak dirusak oleh karsinomahaya dan diawetkan oleh
timol 0,01%.6
Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan dierikan analgesi
semprot lidokain 4% atau10% sekitar faring laring. Setelah beberapa menit
lidokain kerja, umumnya laringoskop intubasi dapat dikerjakan dengan
mudah, karena relaksasi otot cukup baik.6
Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas
kendalisektar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis
pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah
otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga
tidak disukai untuk bedah otak.6
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis,depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Kebalikan dari
N2O, halotananalgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi
keduanya ideal sepanjangtidak ada indikasi kontra.
Kombinasi

dengan

adrenalin

sering

menyebabkan

disritmia,

sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin dianjurkan dengan


pengenceran1:200.000 (5 g/kg). Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal
1 vol%, karena relaksasi uterusakan menimbulkan perdarahan. Halotan
menghambat pelepasan insulin, meninggikan kadar gula darah.
Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara oksidatif
menjadikomponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Secara reduktif
menjadi komponen fluorida dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat
urin. Metabolisme reduktif ini menyebabkan hepar kerja keras, sehingga
merupakan indikasi kontra pada penderita

gangguan hepar, pernah dapat

halotan dalam waktu kurang tiga bulan atau pasienkegemukan. Pasca


pemberian halotan sering menyebabkan pasien menggigil.6

35

d. Enfluran
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer
setelahada kecuriagan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada pengguanan
berulang. PadaEEG menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai
hipokapnia, karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat
epilepsi, walaupun ada yang beranggapan bukan indikasi kontra untuk dpakai
pada kasus dengan riwayat epilepsi. Kombinasi dengan adrenalin lebih aman 3
kali dibanding halotan.6
Enfluran yang dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk
non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Ssisanya dikeluarkan lewat paru
dalam bentuk asli.Induksi dan pulih dari anestesia lebih cepat dibanding
halotan. Vasodlatasi serebralantara halotan dan isofluran.6
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih
iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding
halotan, depresilebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot
lurik lebih baik dibanding halotan.6
e. Isofluran
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis
anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap
oksigen, tetapimeninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi
dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan
untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
dengan gangguan koroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus
hamil menyebabkanrelaksasi dan kurang responsif jika diantisipasi dengan
oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis

36

pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan
isofluran.6
f.Desfluran
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun
dan efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap
dibandingkan dengananestetik volatil lainnya, sehingga perlu menggunakan
vaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5C).
potensinya rendah (MAC 6.0%). Ia bersifat simpatomimetik menyebabkan
takikardia dan hipertensi. Efek depres napasnya sepertiisofluran dan etran.
Desfluran merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakan untuk
induksi anestesia.6
g.Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat
dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan
belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan
sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda
(soda lime, baralime), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh
manusia.6
3.2.7 Rumatan anestesi
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan karsinomampuran N2O dan
O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4
vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled).
Rumatan anestesi bertujuan menciptakan keadaan hypnotic, analgesia
cukup dan relaksasi otot lurik. Rumatan anestesi pasien ini mennggunakan
N2O : O2 dan ditambah sevoflurance 1-2 vol%.6-8
37

3.2.8 Pelumpuh Otot


Relaksasi otot lurik dapat dikarsinomapai dengan mendalamkam
anestesia umum inhalasi, melakukan blokade saraf regional dan memberikan
pelumpuh otot. Pendalaman anestesia berisiko depresi napas dan depresi
jantung, blokade saraf terbatas penggunaannya.6
Sebelum dikenal obat penawar pelumpuh otot, penggunaan pelumpuh
otot sangat terbatas. Sejak ditemukan penawar pelumpuh otot dan penawar
opioid, maka penggunaan pelumpuh otot dan opioid hampir rutin. Anestesia
tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar, analgesik dapat diberikan
opioid dosis tinggi dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh
otot. Ketiga kombinasi ini disebut sebagai trias anestesia dan ada yang
memasukkan ventilasi kendali.
Akibat rangsang terjadi depolarisasi pada terminal saraf. Influks ion
kalsium memicu keluarnya asetil-kolin sebagai transmiter saraf. Asetilkolin
saraf akan menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik-kolinergik di
otot. Kalau jumlahnya cukup banyak, maka akan terjadi depolarisasi dan
lorong ion terbuka, ion natrium dan calcium masuk dan ion kalium keluar,
terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh asetilkolinesterase
menjadi asetil dan kolin, sehingga lorong tertutup kembali terjadilah
repolarisasi.6,7
a. Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerjanya
seperti asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase,
sehingga cukup lama berada dicelah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi
ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik. Termasuk golongan
pelumpuh otot depolarisasi ialah suksinil kolin dan dekametonium.
Didalam vena suksinilkolin dimetabolisir oleh kolin-esterase plasma,
pseudo-kolin-esterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase

38

(prostigmin)

dikontraindikasikan,

karena

mengahambat

kerja

pseudokolinesterase.

Efek samping suksinil kolin ialah:


1. Nyeri otot pasca pemberian
Nyeri otot dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot
nondepolarisasi dosis kecil sebelumnya. Mialgia terjadi sampai 90 %,
selain itu dapat mioglobinuria.
2. Peningkatan tekanan intraokuler.
3. Peningkatan tekanan intrakranial.
4. Peningkatan tekanan intragastrik.
5. Peningkatan kadar kalium plasma.
6. Aritmia jantung
Berupa bradikardia atau ventrikular premature beat
7. Salivasi, merupakan efek samping muskarinik
8. Alergi, anafilaksis sebagai efek samping muskarinik

b. Pelumpuh Otot Nondepolarisasi


Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare)
berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan
depolarisasi,

hanya

menghalangi

asetilkolin

menempatinya,

sehingga

asetilkolin tak dapat bekerja.6


Berdasarkan

susunan

molekulnya,

maka

pelumpuh

otot

nondepolarisasi digolongkan menjadi:6-9


1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokuranin,
doksakurium, mivakurium.

39

metokurin,

atrakurium,

2. Steroid
rokuronium.

: pankuronium, pipekuronium, ropakuronium,

3. Eter-fenolik

: gallamin

4. Nortoksiferin

: alkuronium

Berdasarkan lama kerja, pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi


kerja panjang, sedang dan pendek. Gallamin ada yang memasukkan sebagai
kerja panjang dan sebagian lainnya memasukkan dalam kerja sedang.
Jenis obat
Nondepol long-acting:
D-tubokurarin (tubarin)
Pankuronium
Metakurin
Pipekuronium
Doksakurium
Alkurium(alloferin)
Nondepolintermediate acting:
1. Gallamin (flaxedil)
2. Atrakurium (tracrium)
3. Vekuronium (norcuron)
4. Rokuroniuim (esmeron)
5. Cistacuronium
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Nondepol short-acting:
1. Mivakurium (mivacron)
2. Repokuronium
Depol short-acting:
1. Suksinilkolin (scolin)
2. Dekametonium

Dosis awal
(mg/kg)

Dosis rumatan
(mg/kg)

Durasi
(menit)

Efek samping

0.40-0.60
0.08-0.12
0.20-0.40
0.05-0.12
0.02-0.08
0.15-0.30

0.10
0.15-0.020
0.05
0.01-0.015
0.005-0.010
0.05

30-60
30-60
40-60
40-60
45-60
40-60

Histamin +, hipotensi, natural


Vagolitik, takikardi, tensi >
Histamin -, hipotensi
Kardiovaskuler stabil
Kardiovaskuler stabil
Vagolitik, takikardi

4-6
0.5-0.6
0.1-0.2
0.6-1.0
0.15-0.20

0.5
0.1
0.015-0.02
0.10-0.15
0.02

30-60
20-45
25-45
30-60
30-45

Histamin +, hipotensi
Aman untuk hepar dan ginjal

0.20-0.25
1.5-2.0

0.05
0.3-0.5

10-15
15-30

Histamin +, hipotensi

3-10

Lihat teks

1.0

Isomer atrakurium

Pilihan pelumpuh otot


1. Gangguan faal ginjal

: atrakurium, vekuronium

2. Gangguan faal hati

: atrakurium

3. Miestenia gravis

: jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium

4. Bedah singkat

: atrakurium, rokkuronium, mivakuronium

5. Kasus obstetri

: semua dapat digunakan kecuali gallamin

Tanda kekurangan pelumpuh otot :


1. Cegukan (hiccup)
2. Dinding perut kaku
40

3. Ada tahanan pada inflasi paru.

3.2.9 Ekstubasi
1. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :7
- intubasi kembali menimbulkan kesulitan
- adanya resiko aspirasi
2. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan
dengan catatan tidak terjadi spasme laring
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret
dan cairan lainnya.

41

BAB IV
ANALISA KASUS
Seorang perempuan, 47 tahun datang ke RSUD Raden Mattaher Jambi
dengan keluhan timbul benjolan pada payudara kiri + sejak 2 tahun yang lalu.
Benjolan awalnya hanya berukuran sebesar kelereng. Pada saat itu pasien tidak
terlalu menghiraukan benjolan tersebut karena belum terasa nyeri. Menurut
pasien benjolan tersebut semakin lama memang semakin bertambah besar dan
mulai terasa nyeri. Keluar cairan dari putting susu (+), warna putih kekuningan
dan tidak terlalu kental. Serta terdapat perubahan bentuk dari puting susu
sebelah kiri tersebut.
Keluhan disertai dengan menstruasi yang kurang lancar, pasien
mengaku bisa menstruasi sekali dalam 4 bulan. Pusing (+), Mual (-), Muntah
(-). Benjolan ditempat lain tidak ada.
Kemudian pasien memutuskan untuk berobat ke Rumah Sakit dan
dilakukan pemeriksaan biopsi, dengan hasil menunjukkan bahwa benjolan
tersebut merupakan kanker. Oleh dokter bedah onkologi, pasien di diagnosa
dengan karsinoma mammae dan disarankan untuk dilakukan operasi
pengangkatan payudara guna mencegah keburukan dan penyebaran dari
kanker tersebut, namun pasien menolak karena merasa belum siap.
+ 1 bulan yang lalu, karena pasien merasa benjolan semakin bertambah
besar dan nyeri, maka pasien memberanikan diri untuk datang lagi ke Rumah
Sakit untuk dilakukan operasi.
Pada pemeriksaan fisik, payudara kiri tampak lebih besar dibandingkan
payudara kanan, hiperemis (-), sikatrik (-), peau de orange (-), retaksi putting
susu (+). Pada payudara kiri kuadran kiri atas, teraba sebuah massa dengan

42

ukuran diameter + 8 cm, konsistensi keras, tidak dapat digerakkan, nyeri tekan
(+). Nipple discharge (+). Pembesaran KGB axilla (-).
Hasil pemeriksaan fisik head to toe dalam batas normal. Kemudian
dilakukan pemeriksaan darah rutin dan kimia darah dengan hasil dalam batas
normal, pemeriksaan x-ray thoraks dalam batas normal, dan EKG irama sinus.
Pasien direncanakan untuk dilakukan mastektomi radikal modifikasi.
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan tersebut, pasien dikonsulkan ke
bidang penyakit dalam dan berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh
dokter spesialis penyakit dalam, maka disetujui untuk dilakukan tindakan
bedah pada pasien. Kemudian pasien juga dikonsulkan ke bidang anestesi, dari
hasil pemeriksaan didapatkan pasien dalam kategori ASA I, dengan
mallampati II. Sebelum jadwal operasi dilaksanakan, pasien di sarankan untuk
puasa minimal 6 jam sebelum operasi dan mempersiapkan darah 350 cc whole
blood.
Pembahasan:
a. Pemilihan jenis anestesi
Diketahui bahwa pasien adalah seorang perempuan berusia 47 tahun
yang di diagnosa dengan Karsinoma Mammae sinistra Stadium IIB T3N0M0.
Pasien

direncanakan

untuk

dilakukan

tindakan

pembedahan

berupa

mastektomi radikal modifikasi sinistra.


Karsinoma mammae adalah keganasan paling serius pada wanita di
negara maju. Secara keseluruhan merupakan penyebab kematian nomor dua
karena kanker. Modalitas terapi yang dianjurkan pada pasien dengan
Karsinoma mammae yaitu tindakan pembedahan, salah satunya adalah dengan
mastektomi radikal modifikasi, dimana pada teknik ini dilakukan operasi
pengangkatan seluruh jaringan payudara beserta tumor, nipple areola komplek,
kulit diatas tumor, fasia pektoral serta diseksi aksila level I III. Operasi ini
dilakukan pada stadium dini dan lokal lanjut.

43

Tindakan pembedahan ini pada umumnya akan membutuhkan waktu


yang cukup lama dan dengan resiko perdarahan serta kualitas nyeri yang
cukup tinggi.

Satu hari sebelum tindakan pembedahan dilaksanakan, telah dilakukan


kunjungan pra-anestesi. Pada kunjungan pra-anestesi ini dilakukan anamnesis
ulang dan pemeriksaan fisik head to toe pada pasien. Pada anamnesis perlu
ditanyakan identitas pasien dan dicocokkan kembali dengan gelang yang
dikenakan, perlu ditanyakan juga mengenai riwayat penyakit yang pernah atau
sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi, riwayat
obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestetik, serta kebiasaan buruk sehari-hari yang
mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti, merokok dan
peminum alkohol.
Tujuan kunjungan pre operasi bukan hanya untuk mengumpulkan
informasi yang penting dan inform consent, tetapi juga membantu membentuk
hubungan dokter-pasien. Bahkan pada interview yang dilakukan secara
empatis dan menjawab pertanyaan penting serta membiarkan pasien tahu
tentang harapan operasi menunjukkan hal tersebut setidaknya dapat membantu
mengurangi kecemasan yang efektivitasnya sama dengan regimen obat
premedikasi.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan didapatkan hasil dalam batas normal, pasien tidak
memiliki penyakit sistemik lain yang berarti dan dengan pertimbangan bahwa
Karsinoma Mammae bukanlah penyakit yang menyebabkan terbatasnya
aktivitas rutin pasien, maka pasien digolongkan ke dalam ASA I dan
klasifikasi mallampati grade 2.

44

Berdasarkan pertimbangan lamanya waktu operasi dan juga area yang


akan dilakukan pembedahan adalah tubuh bagian atas, maka jenis tindakan
anestesi yang paling baik pada pasien ini adalah jenis anestesi general. Dalam
pelaksanaannya sendiri, pada kasus ini dilakukan anestesi general, sehingga
dapat disimpulkan bahwa jenis anestesinya sudah tepat.
b. Tindakan premedikasi
Sekitar setengah jam sebelum di lakukan induksi anestesi, pada pasien
ini diberikan obat premedikasi. Adapun tujuan dari pemberian obat-obat
premedikasi ini diantaranya yaitu meredakan kecemasan, memperlancar
induksi anestesi, mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus,
meminimalkan jumlah obat-obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca
bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, serta
mengurangi refleks yang berlebihan.
Obat premedikasi pada pasien ini diberikan secara intravena berupa :
1) Ranitidine 50 mg
Ranitidine merupakan antagonis reseptor H2 berfungsi untuk
mengurangi isi cairan lambung sehingga meminimalkan terjadinya
pneumonitis asam. Obat ini memblok kemampuan histamine untuk
menginduksi sekresi asam gaster dengan konsentrasi ion hydrogen
yang tinggi. Oleh karena itu antagonis reseptor histamin meningkatkan
pH gaster. Antagonisme dari reseptor histamine terjadi dalam cara yang
selektif dan kompetitif. Penting untuk mengingat bahwa obat-obatan
ini tidak dapat diperkirakan tergantung dari volume gaster. Dibanding
dengan premedikasi, obat ini relatif memiliki efek samping yang lebih
sedikit. Karena efek sampingnya yang relatif sedikit dan karena banyak
pasien elektif memiliki resiko aspirasi pneumonitis, beberapa
anesthesiologists menyarankan penggunaan antagonis reseptor H2.
Regimen dosis multipel dapat lebih efektif dalam meningkatkan pH
gaster dibanding dosis tunggal sebelum operasi pada hari operasi.
Antagonis H2 juga dapat diberikan pada pasien alergi.

45

Pada kasus ini, dipilih antagonis H2 berupa ranitidine. Karena Ranitidin


lebih poten, spesifik, dan kerja lebih lama dibanding simetidin dan
famotidin. Ranitidin yang diberikan parenteral, akan menurunkan pH
cairan gaster dalam 1 jam. Sama efektifnya dengan simetidin dalam
mengurangi jumlah pasien yang memiliki resiko aspirasi gaster dan
memiliki sedikit efek samping terhadap kardiovaskular dan SSP. Efek
dari ranitidine berlangsung sampai 9 jam. Oleh karena itu, ranitidine
lebih superior dari cimetidin pada prosedur jangka panjang dalam
mengurangi resiko aspirasi pneumonitis selama keadaan bahaya dari
anestesi dan extubasi trakea.
Dosis:
PO: 150-300 mg.
Parenteral : 50mg/12 jam
ESO:
Kardiovaskuler : takikardi, bradikardia, debar ventrikuler premature
pada suntikan IV cepat.
Pulmonal: bronkospasme.
SSP: sakit kepala, depresi, pusing, kebingungan.
Dermatologic: eritema multiforme, alopesia.
2) Ondansentron 4 mg
Ondansteron merupakan antagonis reseptor 5HT3 yang poten dan
selektif, diberikan untuk mengurangi rasa mual dan muntah pasca
bedah. Selain itu obat ini juga dapat diberikan untuk mencegah mual
dan muntah saat kemoterapi dan radioterapi. Mual dan muntah
disebabkan oleh senyawa alami tubuh yang bernama serotonin. Jumlah
serotonin dalam tubuh akan meningkat ketika kita menjalani
kemoterapi, radioterapi, dan operasi. Seretonin akan bereaksi terhadap
reseptor 5HT3 yang berada di usus kecil dan otak, dan membuat kita
merasa mual. Ondansetron akan menghambat serotonin bereaksi pada
receptor 5HT3 sehingga membuat kita tidak mual dan berhenti muntah.
Dosis:
Pemberian dosis 4-8 mg i.v pada dewasa sebelum induksi.
ESO:
Kardiovaskuler : hipotensi, takikardi, bradikardi, angina, blok jantung
tingkat dua.

46

Pulmonal : bronkospasme, sesak nafas.


SSP: gejala ekstrapiramidal, kejang.
GI: konstipasi, gangguan fungsi hati.
Lain: penglihatan kabur, hipokalemia, nyeri, dan kemerahan pada
tempat suntikan.
3) Asam traneksamat 1000 mg
Asam traneksamat merupakan golongan obat anti fibrinolitik yang
umum

digunakan

mengurangi

untuk

pendarahan

mencegah,

yang

masif

menghentikan,
saat

menjalani

ataupun
prosedur

pembedahan, epistaksis atau mimisan, pendarahan menstruasi yang


berat, angioedema herediter, dan beberapa kondisi medis lainnya. Saat
seseorang mengalami pendarahan tubuh akan membentuk bekuan
darah sehingga pendarahan tersebut dapat berhenti. Asam traneksamat
bekerja dengan mencegah degradasi atau pemecahan bekuan darah
tersebut sehingga dapat mencegah, menghentikan, ataupun mengurangi
pendarahan yang tidak diinginkan.
Kontraindikasi dari penggunaan obat ini adalah bagi orang yang
memiliki riwayat alergi terhadap obat ini, wanita yang mengkonsumsi
obat kontrasepsi hormonal kombinasi, pasien wanita prepubertas,
penyakit tromboemboli yang aktif, dengan riwayat resiko mengalami
trombosis atau tromboemboli, gangguan penglihatan warna yang
didapat, serta pendarahan subaraknoid. Selain itu, tidak disarankan
untuk menggunakan obat ini atau perlu perhatian kusus dalam
penggunaannya, bagi orang dengan riwayat gangguan fungsi ginjal,
kelainan pembuluh darah, penderita desseminated intravascular
coagulation(DIC), pasien dengan perdarahan saluran kemih bagian
atas, pengguan bersamaan dengan anti-inhibitor coagulant complex,
penggunaan bersamaan dengan tretinoin, penggunaan jangka panjang
pada pasien edema angioneurotik herediter, serta ibu hamil ataupun
menyusui.
Farmakologis dari asam traneksamat yaitu :
- Aktivitas antiplasminik :

47

Asam

Traneksamat

menghambat

aktivitas

dari

aktivator

plasminogen dan plasmin. Aktivitas plasminik dari Asam


Traneksamat telah dibuktikan dengan berbagai percobaan 'In vitro'
penentuan aktivitas plasmin dalam darah dan aktivitas plasma
-

setempat, setelah diberikan pada tubuh manusia.


Aktivitas hemostatis :
Asam Traneksamat mencegah degradasi fibrin, pemecahan
trombosit, peningkatan kerapuhan vaskular dan pemecahan faktor
koagulasi. Efek ini terlihat secara klinis dengan berkurangnya
jumlah perdarahan, berkurangnya waktu perdarahan dan lama

perdarahan.
Aktivitas anti alergi dan anti peradangan :
Asam Traneksamat bekerja dengan cara menghambat produksi
Kinin dan senyawa peptida aktif lainnya yang berperan dalam
proses inflamasi dan reaksi-reaksi alergi.

Penggunaan asam traneksamat :


-

Fibrinolisis lokal :
Oral : 1-1,5 gram 2-3 x sehari.
Parenteral : Dosis yang dianjurkan adalah 500-1000 mg (iv) dengan
injeksi lambat (1ml/menit) 3 x sehari. Untuk pengobatan lebih dari 3

hari dapat dipertimbangkan pemberian secara oral.


Edema angioneuritik herediter :
Oral : 1-1,5 gram 2-3 x sehari.
Perdarahan abdominal setelah operasi :
1 gram 3 x sehari (injeksi iv pelan-pelan) pada 3 hari pertama,
kemudian dilanjutkan oral 1 gram 3-4 x sehari (dimulai pada hari ke
4

setelah

operasi

sampai

tidak

tampak

hematuris

secara

makrokopis). Untuk mencegah perdarahan ulang dapat diberikan per


-

oral 1 gram 3-4 kali sehari selama 7 hari.


Khusus untuk perdarahan setelah operasi gigi pada penderita
hemofilia :
Segera
sebelum

operasi

10

mg/kg

BB

(iv)

Setelah operasi : 25 mg/kg BB (oral) 3-4 x sehari selama 6-8 hari.


(pada penderita yang tidak dapat diberikan secara oral dapat
48

dilakukan terapi pareteral 10 mg/kg BB/hari dalam dosis bagi 3-4


-

kali).
Khusus untuk penderita gangguan fungsi ginjal :

Serum kreatinin

Dosis oral

Dosis i.v.

120-250 (1,36-2,83 mg/dL)

15 mg/kg BB 2 x sehari

10 mg/kg BB 2 x sehari

250-500 (2,83-5,66 mg/dL)

15 mg/kg BB 1 x sehari

10 mg/kg BB 1 x sehari

> 500 (>5,66 mg/dL)

7,5 mg/kg BB 1 x sehari

5 mg/kg BB 1 x sehari

4) Sulfas Atropin 0,7 mg


Merupakan obat antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan
memperbaiki sistem konduksi atrioventikular, serta mengurangi
hipersalivasi.
Obat ini bekerja menghambat aksi asetilkolin pada bagian saraf
simpatik otot halus, sekresi kelenjar, SSP, meningkatkan output
jantung, serta antagonis histamine dan serotonin.
Indikasi :
- Meringankan gejala GI yang yang ditandai dengan spasme otot
-

polos
Midriasis dan cylopegic pada mata
Premedikasi untuk mengeringkan secret bronkus dan saliva

yang bertambah pada intubasi dan anestesi inhalasi


Mengembalikan takikardi yang berlebihan
Antidotum keracunan organophospor
Resusitasi jantung-paru

Kontraindikasi :
Glaucoma sudut sempit, miasteniagravis, ileus paralitik, stenosis
pylorus, pasien dengan takikardi dan curah jantung yang tinggi.
Untuk dosis premedikasi diberikan secara intravena segera sebelum
induksi dimulai yaitu 0,01-0,04 mg/kgBB.
5) Petidin 70 mg
Merupakan analgetik

golongan

narkotik

sintetik

derivate

fenilpiperidinan yang kerjanya menghambat kerja asetilkolin. Pada


49

SSP petidin menimbulkan efek analgesia, sedasi, euphoria, dan depresi


pernapasan.
Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis
reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin)
menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek
sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih
rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi
analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan
morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik.
Absorbsi petidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik.
Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan
IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan
kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian
meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2
jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang
lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme
meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami
hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian
mengalami konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit
ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin
ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.
Petidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak,
dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak
menunda

persalinan,

akan

tetapi

dapat

masuk

kefetus

dan

menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.


Indikasi
Hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang
lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin,
meperidin kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.
Dosis dan sediaan

50

Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10


mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50
mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100
mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.
Efek samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa
pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan
lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.
Pemberian obat premedikasi pada pasien ini sudah tepat, baik dari segi
kegunaan masing-masing obat maupun dosis dari masing-masing obat
tersebut.

.
c. Tindakan induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari
sadar menjadi tidak sadar, sehinggga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Tindakan induksi anestesi dapat dilakukan dengan cara
intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.
Induksi dengan cara intravena lebih mudah dikerjakan karena pada
pasien yang dilakukan tindakan pembedahan telah terpasang jalur intravena.
Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan,
lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara
30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
Beberapa obat induksi intravena yang dapat digunakan yaitu
thiopental, propofol, dan ketamin. Dari ketiga jenis obat tersebut, obat induksi
yang dipakai dan dapat menimbulkan efek induksi yang paling baik dengan
efek samping minimal adalah propofol dengan dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan

51

propofol sering menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya


diberikan analgetik.
Pada pasien ini induksi dilakukan secara intravena dengan propofol
140 mg yang sebelumnya telah diberikan terlebih dahulu analgetik berupa
petidin 70 mg. Adapun alasan diberikan secara intravena yaitu karena pada
pasien ini akses vena telah terpasang dan melalui akses ini efek dari obat akan
lebih cepat didapatkan. Kemudian dari pemeriksaan fisik diketahui bahwa
berat badan pasien adalah 70 Kg, jadi dosis propofol yang dapat diberikan
pada pasien ini adalah 140 mg 210 mg. Dapat disimpulkan bahwa pemberian
obat induksi pada pasien ini yaitu propofol sudah tepat dosis dan tepat cara
pemberian.
Propofol dipilih karena kelebihan propofol dari obat lain yaitu, pasien
terlihat lebih segar pada periode pasca bedah segera setelah pemberian
propofol dibanding anestesi intravena lainnya, muntah pasca operasi tidak
ditemukan dan dapat bersifat antiemetik. Secara khusus, penderita dapat
berjalan lebih cepat setelah pemberian propofol.
d. Rumatan anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dilakukan secara intravena, atau
dengan inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Rumatan intravena dengan
menggunakan opiod dosis tinggi, yaitu fentanil 10-50 mcg/KgBB. Dosis tinggi
opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot yaitu atracurium (tracium).
Sementara rumatan anestesi
secara inhalasi menggunakan
karsinomampuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,52 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah
pasien bernafas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan.
Pada kasus ini diberikan rumatan anestesi secara inhalasi dengan O2 2
l/mnt dan N2O 4 l/mnt, serta sevofluran 2%.

N2O sendiri dipilih karena

merupakan jenis obat inhalasi yang stabil pada tekanan dan suhu kamar.
Sementara, sevofluran merupakan jenis obat inhalasi terbaru yang induksi dan
pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan nafas serta tidak mudah menguap

52

seperti halotan, isofluran, desfluran dan metoksifluran. Serta aman digunakan,


tidak beresiko mudah terbakar seperti eter. Sementara klorofom tidak
digunakan karena toksiknya terhadap hati. Namun pada kasus ini pemberian
N2O dan O2 sebagai rumatan anestesi belum tepat, karena seharusnya diberikan
3 : 1, sedangkan pada kasus ini hanya 2 : 1.
Kemudian pada saat intraoperatif, ditemukan peningkatan tekanan
darah yang cukup tinggi pada pasien, kemudian diberikan tambahan anlagetik
berupa fentanyl 100 mcg dan atracurium 10 mg. Selain sebagai analgesia
opioid dosis tinggi juga diketahui memiliki efek samping depresi pusat napas,
dan vasodilatasi pembuluh darah, sehingga efek yang nantinya diharapkan
adalah penurunan tekanan darah pada pasien. Sedangkan untuk depresi napas
sendiri pada pasien ini masih dapat terkontrol.
Setelah pemberian fentanyl dosis tinggi tersebut tekanan darah pasien
berangsur turun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian rumatan ini
sudah cukup tepat.
e. Tindakan intubasi
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot yaitu
salah satunya atracurium besilat (Tracium) yang merupakan obat pelumpuh
otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur
benzilisoquinolon yang berasal dari tanaman. Kelebihan obat ini dari yang lain
adalah tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang, tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular secara bermakna. Dosis yang
dapat diberikan untuk dilakukan intubasi adalah 0,5-0,6mg/kgBB/iv.
Sementara pada kasus ini, atracurium di berikan dengan dosis 35 mg.
Pemberian dosis atracurium pada kasus ini sudah tepat karena rentang dosis
minimal dan maksimal yang dapat diberikan pada pasien ini adalah 35 mg - 42
mg.
Intubasi dilakukan pada operasi yang lebih dari 20 menit. Sementara
intubasi tidak diperlukan jika anestesi hanya dibutuhkan untuk waktu 10 menit
atau kurang. Pada pasien ini dilakukan intubasi karena diperkirakan waktu
yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan pembedahan mastektomi lebih
dari 20 menit. Maka dari itu, tindakan intubasi pada kasus ini sudah tepat.

53

Setelah induksi anestesi berhasil, selanjutnya di lakukan intubasi endotrakea


untuk menjaga patensi jalan napas, mempermudah ventilasi positif dan
oksigenasi, serta mencegah aspirasi dan regurgitasi.
Pada pasien ini intubasi berjalan sempurna dan lancer tanpa ada faktor
penyulit seperti leher tidak pendek, gigi depan tidak menonjol, dan pada
pasien ini merupakan mallampati grade 2.
Pada pasien dewasa perempuan endotrakeal tube yang digunakan adalah
endotrakeal tube ukuran 6,5 8,5 dengan balon, karena bagian tersempit akan
tepat menutupinya dan berukuran kecil. Pada pasien ini endotrakeal yang
digunakan sudah tepat yaitu endotrakeal berukuran 7 dengan balon.
f. Ekstubasi
Sejalan dengan berkurangnya efek anestesi, dilakukan suction pada
pasien dan endotrakeal tube dicabut setelah terlebih dahulu diberikan ventilasi
tekanan positif untuk memberikan kesempatan pengeluaran atau sekret keluar
dari glottis. Ekstubasi sebaiknya ditunda sampai pasien benar-benar sadar.
Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan
dengan catatan tidak terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan
rongga mulut, laring, faring, dari sekret dan cairan lainnya.
Pada pasien ini, ekstubasi secara tepat telah dilakukan dimana
ekstubasi dilakukan ketika efek anestesi sudah ringan dan pasien sudah mulai
bernafas spontan, serta tidak ditemukan kesulitan saat dilakukan ekstubasi.
g. Terapi cairan perioperasi
Hasil

pemeriksaan

penunjang

yang

telah

dilakukan

berupa

pemeriksaan darah rutin dan kimia darah menunjukkan hasil yang baik. Tidak
ada malasah yang cukup berarti dari hasil pemeriksaan tersebut.
Pada saat pemeriksaan fisik perioperatif juga tidak ditemukan adanya
tanda-tanda dehidrasi pada pasien ini. Meskipun pada kenyataannya pasien
sudah menghentikan asupan lebih dari seharusnya, yaitu dimana pasien
berpuasa lebih dari 8 jam. Pasien berpuasa mulai dari jam 23.00 wib malam
sebelumnya, dan dilakukan operasi pada sekitar pukul 09.00 wib.

54

Pengembalian volume cairan dalam jumlah yang cukup besar melalui


intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin dan status
hemodinamik tubuh dalam keadaan tetap stabil. Pada pembedahan dengan
resiko kehilangan cairan dan perdarahan yang cukup tinggi maka perlu
dilakukan resusitasi cairan sebagai pengganti kehilangan tersebut. Dan apabila
diperlukan dapat diberikan transfusi intraoperatif guna mengganti volume
darah yang hilang agar hemodinamik pasien tetap stabil.
Sementara pada pasien ini terapi cairan perioperasi yang diberikan
dengan berat badan (BB) 70 Kg adalah :
-

Maintenance (M)
2 cc/kgBB/Jam = 2 cc x 70 kg/jam = 140 cc/ Jam
Pengganti Puasa (PP)
10 x M = 10 x 140 cc/jam = 1400 cc/jam
Stress Operasi (SO)
Sedang 6 cc/kgBB = 6 cc x 70 kg = 420 cc
Perdarahan
Total = Kassa + duk
Total = 120 cc + 500 cc = 620 cc
Kebutuhan cairan selama operasi :
Jam 1 = PP + M + O
700 + 70 + 420 cc = 1190 cc
Jam 2 = PP + M + O
350 + 70 + 420 = 840 cc
Jam 3 = PP + M + O
350 + 70 + 420 = 840 cc
Input cairan pada pasien ini
RL 4 Kolf
= 2000 cc
Fima HES 1 Kolf
= 500 cc
NaCl 1 Kolf
= 500 cc
Whole Blood
= 350 cc

55

Berdasarkan perhitungan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa


rehidrasi perioperatif dan intraoperatif pada pasien ini kurang lebih sudah
sesuai dengan kebutuhan pasien. Hal ini tercermin dari status hemodinamik
pasien selama operasi berlangsung.
Terapi cairan intravena sendiri dapat terdiri dari infus kristaloid,
koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion
low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan
koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma
dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan
ekstraseluler.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik,
cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik,
menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk
menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek
yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan
menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.
Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan kristaloid
sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang atau dengan
kristaloid sebanyak darah yang hilang.
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit and
estimated blood volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya
ditransfusi hanya apabila kehilangan lebih dari 20% dari volume darah.
Karena Kehilangan darah sebanyak > 20% dari estimasi volume darah dapat
menyebabkan gangguan pengangkatan oksigen.
Estimasi volume darah pada dewasa perempuan (EBV) :
65 cc/ kgBB
65 cc x 70 kg = 4.550 cc

56

Berdasarkan perhitungan diatas diketahui bahwa EBV (estimed blood


volume) pasien adalah senilai 4.550 cc, dimana pada pasien ini terjadi
perdarahan + 620 cc, jumlah ini belum mencapai 20% dari EBV dan dari hasil
pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil dalam batas normal, maka pada
pasien ini sebenarnya belum perlu diberikan transfusi darah. Terlebih lagi pada
pasien ini sudah diberikan cairan koloid berupa HES sebanyak 500 cc. Seperti
yang diketahui bahwa cairan koloid ini sebenarnya sudah dapat menggantikan
jumlah perdarahan pada pasien. Dimana pemberiannya sama dengan jumlah
darah yang hilang.
Apabila diperlukan, pemberian transfusi pada pasien ini sebaiknya
dilakukan setelah pengecekan ulang kadar HB pasca pembedahan. Kecuali
bila pada intra operatif terjadi ketidakstabilan hemodinamik akibat perdarahan
akut yang terjadi.
h. Recovery Room (RR)
Pasien masuk ke recovery room (RR) pada Jam 11.30 WIB.
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran Compos Mentis dengan GCS 15
Tanda Vital
:
TD : 130/90 mmHg
RR : 23 x/mnt
N
: 94 x/mnt
T
: 36,1 oC
Pernafasan
: baik
Skoring Alderete :
Aktifitas
: 2 ( 4 anggota tubuh gerak aktif/ diperintah)
Pernafasan
: 2 (dapat di minta bernapas dalam dan batuk)
Warna Kulit : 2 (merah muda, CRT < 2 detik)
Sirkulasi
: 2 (tekanan darah naik/ turun berkisar 20%)
Kesadaran
: 2 ( baik)
Jumlah
: 10

Instruksi anestesi pasca operasi, yaitu :


Observasi keadaan umum, vital sign, perdarahan dan diuresis tiap 15

menit selama 24 jam pertama post operasi


Pantau balance cairan
Tidur tanpa bantal sampai sadar penuh
57

Makan dan minum setelah bising usus (+)


Cek HB post op, jika < 9 gr/dL transfuse PRC 1 kolf
Ikuti instruksi selanjutnya sesuai dokter ahli bedah.
Rawat bersama dengan bedah
Instruksi yang diberikan sudah tepat, perlunya obsevasi keadaan

umum, vital sign 24 jam pertama post operasi sangat penting untuk menilai
apakah ada komplikasi yang terjadi pasca pembedahan. Pada kasus
pembedahan mastektomi, bukan tidak mungkin menimbulkan terjadinya
berbagai perubahan terhadap tanda vital, maka dari itu penting untuk
memantau balance cairan dan output pasien pasca pembedahan.
Selain itu, pengecekan Hb pasca pembedahan juga perlu di lakukan
mengingat selama tindakan pembedahan jumlah perdarahan yang keluar cukup
banyak, sehingga harus di waspadai pasien mengalami anemia dan perlu
transfusi darah tambahan.

BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan atau kunjungan pra-anestesi memiliki peranan yang


cukup penting pada setiap operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan
harus dilakukan secara teliti agar memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin akan timbul pada saat
58

tindakan pembedahan dilakukan, sehingga kita dapat mengantisipasi segala


kemungkinan tersebut.
Pasien Ny.Y usia 47 tahun datang ke RSUD Raden Mattaher Jambi
dengan keluhan tibul benjolan pada payudara kiri, setelah dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, maka oleh dokter
ahli bedah onkologi pasien didiagnosis dengan Karsinoma Mammae dan telah
dilakukan tindakan pembedahan berupa mastektomi radikal modifikasi dengan
jenis anestesi umum atau general.
Dalam kasus ini, selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di
ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung
dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian selama
pasien dilakukan tindakan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Suyatno, Pasaribu ET. Bedah Onkologi Diagnosis dan Terapi. Jakarta:
Sagung Seto; 2010.hal.35-79.
2. Editor: Desen W. Buku Ajar Onkologi Klinis. Jakarta: FKUI;
2008.hal.22-48, 366-382.
3. Editor: Sjamsuhidajat, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Payudara.
Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2003.hal.143-145,388-402.

59

4. Schwartz SI, Shires TS, Spencer FC. Intisari Prinsip prinsip Ilmu
Bedah. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2000.hal.230-231.
5. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi. Edisi ke -7.
Jakarta:EGC; 2004.hal.791-802.
6. Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R. Eds. Anestesi umum.
Dalam:

Petunjuk

Praktis

Anestesiologi.

Edisi

ke-2.

Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta; 2009. Hal : 29-69


7. Dahlan MR, Soenarto RF. Anestesi umum. Dalam: Buku ajar
anestesiologi.

Jakarta:

Departemen

anestesiologi

dan

Intensif

Karsinomare FKUI; 2012 hal 291-311


8. Dobson MB. Anestesi umum. Dalam: Penuntun Praktis Anestesi.
Jakarta.: EGC. 1994 hal. 53-88
9. S.M, Darto. & Thaib, R. Obat Anestetik Intravena. Dalam:

Anestesiologi. Muhiman, M. Thaib, R. Eds. Bagian Anestesiologi dan


Terapi Intensif FKUI. Jakarta: FKUI. 1989. hal : 65-71

60

Anda mungkin juga menyukai