Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang memiliki karakteristik
khusus. Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III), definisi schizofrenia dijelaskan sebagai gangguan jiwa yang ditandai
dengan distorsi khas dan fundamental dalam pikiran serta persepsi yang disertai
dengan adanya afek yang tumpul atau tidak wajar. (Dewi S et all., 2013)
Data dari WHO tahun 2000 menunjukkan pravelensi skizofrenia adalah
0,5%, sedangkan berdasarkan National Institute of Mental Health, pravelensi
skizofrenia di seluruh dunia adalah 1,1% dari seluruh populasi di atas usia 8
tahun, atau sekitar 51 juta orang diseluruh dunia menderita skizofrenia. Data
yang

diperoleh

dari

Riset

kesehatan

dasar

(Riskesdas)

tahun

2007,

menunjukkan prevalensi masyarakat indonesia yang mengalami gangguan


emosi sebesar 11,6% pada penduduk berusia diatas 15 tahun. (Dewi S et all.,
2013)
Skizofrenia di diskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit tunggal,
skizofrenia terdiri dari sekumpulan gangguan dengan etiologi yang heterogen
dan mencakup pasien dengan presentasi klinis, respon terkadap terapi, dan
perjalanan penyakit yang bervariasi. Gejala skizofrenia dibagi menjadi 3 garis
besar, yaitu gejala positif, gejala negatif dan gejala disorganisasi. Gejala positif
mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi afek datar atau
menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, blocking, kurang merawat diri,
kurang

motivasi,

anhedonia

dan

penarikan

diri

secara

sosial.

Gejala

disorganisasi mencakup pembicaraan kacau (gangguan isi pikir), perilaku kacau,


defek kognitif, dan defisit atensi. (Kaplan et al., 2010)
Selain gejala psikotik, disfungsi kognitif merupakan salah satu gelaja inti
skizofrenia. Sebanyak 40-60% pasien skizofrenia mengalami gangguan fungsi
kognitif. Pasien skizofrenia tersebut mengalami gangguan perhatian, memori dan
fungsi eksekutif yang berhubungan dengan konsekuensi psikososial. Gangguan
fungsi kognitif berpengaruh terhadap fungsi kerja dan fungsi sehari-hari seperti
intelegensi, perencanaan, proses belajar, dan pemecahan masalah. Semakin
besar disfungsi kognitif, semakin kecil kemungkinan seorang pasien skizofrenia
mendapatkan pekerjaan atau memainkan peran sosialnya. (Herdaetha A, 2009)

Tiga pengamatan tentang skizofrenia perlu diperhatikan saat klinisi


mempertimbangkan penanganan gangguan ini. Pertama, tanpa memandang
kausanya, skizofrenia terjadi pada seseorang dengan profil psikologis individu,
keluarga, dan sosial yang unik. Kedua, seperti halnya agen farmakologis yang
digunakan

untuk

mengatasi

ketidakseimbangan

kimiawi,

strategi

non

farmakologis harus dapat menangani masalah non biologis. Ketiga, kompleksitas


skizofrenia biasanya membuat pendekatan terapeutik tunggal maupun tidak
memadai untuk mengatasi gangguan multiaspek ini. (Kaplan et al., 2010)
Meski obat antipsikotik tetap merupakan penanganan utama skizofrenia,
penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial termasuk psikoterapi
dapat mempercepat perbaikan klinis. Terapi psikososial mencakup berbagai
metode untuk meningkatkan kemampuan sosial, kecukupan diri, ketrampilan
praktis, dan komunikasi interpersonal pada pasien skizofrenik. Tujuannya adalah
memungkinkan orang yang sakit parrah untuk membangun keterampilan sosial
dan keterampilan pekerjaan untuk hidup yang mandiri. (Kaplan et al., 2010)
Remediasi kognitif merupakan salah satu bentuk rehabilitasi psikiatri.
Secara umum remediasi kognitif atau rehabilitasi kognitif adalah suatu bentuk
terapi rehabilitasi yang digunakan untuk menangani individu yang mengalami
gangguan otak. Tujuan dari rehabilitasi kognitif adalah membantu pasien
mengembangkan keterampilan baru yang dapat mereka terapkan dalam situasi
sosial, vokasional, atau akademis. Rehabilitasi kognitif berfokus pada usaha
mengurangi gejala psikotik. Pelatihan program rehabilitasi kognitif ini dapat
dibedakan menjadi 3 grup, yaitu Program peningkatan kognitif, Program
penyeimbang rehabilitasi dan Program pelatihan menggunakan komputer.
(Herdaetha A, 2009 ; Tomas P et all., 2010)
Maka dari itu, penelitian ini digunakan untuk meninjau program
rehabilitasi kognitif yang telah dikembangkan untuk meningkatkan fungsi kognitif
dari pasien yang didiagnosa dengan skizofrenia. Dengan menjelaskan komponen
dan prosedur serta melihat hasil yang paling relevan diantaranya. (Tomas P et
all., 2010)
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada referat ini adalah:
1. Bagaimana menegakkan diagnosis skizofrenia?
2. Bagaimana peran program rehabilitasi kognitif pada terapi skizofrenia?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah:
1. Untuk memahami proses penegakkan diagnosis skizofrenia.
2. Untuk memahami peran program rehabilitasi kognitif pada terapi
skizofrenia
3. Untuk memahami macam-macam program rehabilitasi kognitif pada
terapi skizofrenia

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Skizofrenia


Eugen bleuler yang merupakan salah satu tokoh psikiatri (1857-1939)
mencetuskan istilah skizofrenia, yang menggantikan demensia prekoks dalam
literatur. Istilah tersebut untuk menunjukkan adanya siksme (perpecahan) antara
pikiran, emosi dan perilaku pada pasien dengan gangguan ini. Tak seperti
konsep Kraepelin tentang demensia prekoks, skizofrenia tak harus memiliki
perjalanan penyakit yang memburuk. (Kaplan et al., 2010)
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis)
yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh
genetik, fisik, sosial dan budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan
yang bersifat fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh
afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu
dapat berkembang kemudian. (Maslim R, 2001)
Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama
pada proses pikir serta disharmonisasi antara proses pikir, afek atau
emosi,kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataaan terutama karena
waham dan halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul inkoherensi, afek
dan emosi inadekuat, psikomotor menunjukkan penarikan diri, ambivalensi dan
perilaku bizar. (Maramis, 2009)
2.2 Epidemiologi Skizofrenia
Skizofrenia adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia yang
paling banyak menimbulkan beban personal dan ekonomi. Skizofrenia diderita
oleh kurang lebih 1% populasi di dunia. Jika spektrum skizofrenia dimasukkan
dalam perkiraan prevalensi, maka jumlah individu penderita menjadi sekitar 5%.
(Herdaetha A, 2009)
Skizofrenia cukup banyak ditemukan di Indonesia, sekitar 99% pasien di
rumah sakit jiwa di Indonesia adalah 0,3-1% dan biasanya dialami pada usia
sekitar 18-45 tahun, bahkan ada juga yang berusia 11-12 tahun sudah

mengalami skizofrenia. Umumnya skizofrenia mulai dialami rentang usia 16-30


tahun dan jarang terjadi diatas 35 tahun. Apabila penduduk indonesia sekitar 200
juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa mengalami skizofrenia. Data yang
ditemukan di rumah sakit brebes menunjukkan sebagaimana yang ditemukan
melalui laporan triwulan pertama tahun 2008, dari 135 orang pasien rawat jalan,
ditemukan 124 orang pasien dengan kasus skizofrenia. (Juniarty P et all., 2010)
Menurut hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Tampan
Riau pada tahun 2012 dengan besar sampel 50 orang dan diambil secara acak,
menunjukan rata-rata usia penderita skizofrenia di tempat tersebut adalah 40
tahun. Jumlah penderita skizofrenia laki-laki sama banyak dengan jumlah
penderita skizofrenia perempuan yaitu masing-masing 25 orang (50%) dari
keseluruhan responden. Pada umumnya penderita skizofrenia merupakan
tamatan SD (21,42%). (Fadli MS et all., 2013)
2.3 Etiologi Skizofrenia
Belum banyak diketahui agen kausal pasti dan proses bagaimana agen
kausal tersebut menyebabkan patofisiologi skizofrenia. Masalah konseptua
penting dalam etiologi skizofrenia adalah, apakah skizofrenia merupakan
gangguan neurodevelopmental atau neurodegeneratif. Beberapa faktor yang di
duga berperan dalam etiologi skizofrenia adalah : (Herdaetha A, 2009)
-

Komplikasi obstetirk

Faktor prenatal spesifik, yakni infeksi, nutrisi, inkompatibilitas rhesus


dan stress prenatal

Status sosioekonomi

Usia orang tua saat melahirkan penderita skizofrenia

Penyalahgunaan obat

Cedera otak traumatik

Infeksi virus

Stress kehidupan

2.4 Klasifikasi Skizofrenia


DSM-IV-TR

mengklasifikasi

subtipe

skizofrenia

sebagai

paranoid,

hebrefrenik, katatonik, tak terdifrensiasi dan residual, terutama berdasarkan


presentasi klinisnya. Sebaliknya, revisi kesepuluh International Statistical
Classification Of Diseases and Related Health Problems (ICD-10) menggunakan

sembilan subtipe, yaitu skizofrenia paranoid, hebrefrenik, katatonik, tak


terdeferensiasi, residual, simpleks, lainnya dan YTT serta depresi pasca
skizofrenia. (Kaplan et al., 2010)
2.4.1 Skizofrenia Tipe Paranoid
Skizofrenia tipe paranoid ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau
lebih waham atau halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku
spesifik yang sugestif untuk tipe hebrefrenik atau katatonik. Secara klasik
skizofrenia tipe paranoid terutama ditandai dengan waham kejar atau kebesaran.
Pasien skizofrenia paranoid biasanya mengalami episode pertama penyakit pada
usia yang lebih tua dibandingkan pasien skizofrenia katatonik atau hebrefrenik.
(Kaplan et al., 2010)
Pasien skizofrenia paranoid menunjukkan regresi kemampuan mental,
respons emosional dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan tipe yang lain.
Pasien ini biasanya tegang, mudah curiga, berhati-hati dan kadang bersifat
bermusuhan atau agresif, namun kadang dapat mengendalikan diri mereka
secara adekuat pada situasi sosial. (Kaplan et al., 2010)
2.4.2 Skizofrenia Tipe Hebrefrenik
Skizofrenia tipe hebrefrenik biasanya ditandai dengan regresi nyata ke
perilaku primitif, tak terinhibisi, dan kacau serta dengan tidak adanya gejala yang
memenuhi kriteria katatonik. Awitan subtipe ini biasanya dini, sebelum usia 25
tahun. Pasien hebrefrenik biasanya aktif, namun dalam sikap yang nonkonstruktif
dan tidak bertujuan. Gangguan pikir menonjol dan kontak dengan realitas buruk.
Penampilan pribadi dan perilaku sosial berantakan dan respon emosional
mereka tidak sesuai. (Kaplan et al., 2010)
2.4.3 Skizofrenia Tipe Katatonik
Skizofrenia tipe katatonik, yang lazim di jumpai beberapa dekade lalu.
Kini telah jarang di Eropa dan Amerika utara. Gambaran klasik pada tipe ini
adalah gangguan fungsi motorik. Gangguan ini dapatberupa stupor, negativisme,
rigiditas,

eksitasi

atau

berpostur.

Kadang-kadang

pasien

menunjukkan

perubahan yang sangat cepat antara eksitasi dan stupor ekstrem. Mutisme
terutama lazim ditemukan pada tipe ini. Perawatan medis mungkin diperlukan
karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia atau cedera yang disebabkan
diri sendiri. (Kaplan et al., 2010)

2.4.4 Skizofrenia Tipe Tak Terdiferensiasi


Seringkali, pasien yang jelas-jelas skizofrenia tidak dapat mudah
simasukkan ke satu atau tipe lain DSM-IV-TR mengklasifikasi pasien ini sebagai
skizofrenia tak terdiferensiasi. (Kaplan et al., 2010)
2.4.5 Skizofrenia Tipe Residual
Menurut DSM-IV-TR, skizofrenia tipe ini ditandai dengan bukti kontinu
dengan adanya gangguan skizofrenik tanpa serngkaian lengkap gejala aktif atau
gejala yang memadai untuk memenuhi diagnosis skizofrenia tipe lain. Emosi
menumpul, penarikan sosial, perilaku eksentrik, pemikiran tidak logis dan
asosiasi longgar ringan seringkali nampak pada gejala tipe residual ini. Jika
terjadi waham atau halusinasi biasanya tidak prominen atau tidak disertai oleh
afek yang kuat. (Kaplan et al., 2010)
2.7 Prognosis
Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10
tahun setelah rawat inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar
10 sampai 20% pasien yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik.
Lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk,
dengan rawat inap berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood mayor
dan percobaan bunuh diri. Meski demikian,perjalanan penyakit skizofrenia tidak
selalu berakhir dengan buruk. (Kaplan et al., 2010)
Tabel 1. Ciri untuk mempertimbangkan prognosis pada skizofrenia
Prognosis Baik
Awitan lambat
Faktor presipitasi jelas
Awitan akut
Riwayat sosial, seksual dan pekerjaan

Prognosis Buruk
Awitan muda
Tidak ada faktor presipitasi
Awitan insidius
Riwayat sosial, seksual dan pekerjaan

premorbid baik
Gejala gangguan

premorbid buruk
Perilaku autistik, menarik diri

mood

(Terutama

depresi)
Menikah

Lajang,

Riwayat keluarga dengan gangguan

menduda
Riwayat keluarga dengan skizofrenia

mood
Sistem pendukung yang baik
Gejala positif

Sistem pendukung yang buruk


Gejala negatif

cerai

atau

menjanda

Tanda dan gejala neurologis

dan

Riwayat trauma perinatal


Tanpa remisi dalam 3 tahun
Berulang kali relaps
Riwayat melakukan penyerangan
DAFTAR PUSTAKA
Dewi S, Elvira DS, Budiman R. 2013. Gambaran Kebutuhan Hidup Penyandang
Skizofrenia. Jurnal Indonesia Medical Association. Vol 63:3. Hal. 84-86.
Fadli MS, Mitra. 2013. Pengetahuan dan Ekspresi Emosi Keluarga Serta
Frekuensi

Kekambuhan

Penderita

Skizofrenia.

Jurnal

Kesehatan

Masyarakat Nasional. Vol. 7:10. Hal. 466-467.


Herdaetha A. 2009. Keefektifan Terapi Remediasi Kognitif Dengan Bantuan
Komputer Terhadap Disfungsi Kognitif Pasien Skizofrenia Kronis Di Panti
Rehabilitasi Budi Makarti Boyolali. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hal.
1-10.
Juniarty P, Sriningsih. 2010. Terapi Keluarga Untuk Peningkatan komunikasi
Verbal Pada Orang Dengan Skizofrenia. RSUD Brebes Jawa TengahFakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Hal. 1-2.
Kaplan, Harold I, Benjamin J. Sadock dan Jack A. Grebb. 2010. Gangguan
Delusional. Dalam: synopsis psikiatri. Jilid satu. Jakarta: Binapura Aksara.
Maramis AA dan Maramis WF. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Ed.2.
Surabaya: Airlangga University Press
Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas Dari PPDGJ-III. Jakarta.
2001.

Anda mungkin juga menyukai