Anda di halaman 1dari 5

Etika Katolik untuk Pelayanan Kesehatan

BAGIAN SATU
Tanggung Jawab Sosial Pelayanan Kesehatan Katolik
Pengantar
Dengan menjunjung misi penyembuhan Kristus Yesus, pelayanan kesehatan Katolik di Amerika
Serikat telah didorong secara institusional untuk menjadi bagian integral dari sistem pelayanan
kesehatan nasional. Dewasa ini, sistem pelayanan kesehatan yang kompleks ini berhadapan dengan
berbagai tantangan ekonomi, teknologi, sosial, serta moral.
Respon dari institusi pelayanan kesehatan Katolik dan pelayanan terhadap tantangan tersebut diatas
dipandu oleh prinsip-prinsip normatif yang menginformasikan pelayanan penyembuhan yang berasal
dari Gereja.
Pertama, pelayanan kesehatan Katolik berakar pada komitmen untuk mempromosikan dan membela
martabat manusia, ini adalah dasar dari perhatian mereka untuk menghormati kesucian dari setiap
kehidupan manusia sejak saat pembuahan berlangsung hingga kematian.
Hak pertama dari seorang manusia, hak untuk hidup,
memerlukan hak sarana untuk pengembangan yang tepat dari kehidupan, seperti kesehatan yang
memadai.
Kedua, mandat alkitabiah untuk memberikan perhatian dan melayani orang miskin mengharuskan kita
untuk mengungkapkan hal ini dalam tindakan konkrit di semua tingkat pelayanan kesehatan Katolik.
Mandat ini mendorong kita untuk bekerja untuk memastikan kita bahwa sistem pemberian pelayanan
kesehatan kita menjamin pelayanan kesehatan yang layak bagi orang miskin. Di institusi-institusi
Katolik, perhatian semacam itu harus diberikan kepada kebutuhan orang miskin akan pelayanan
kesehatan, mereka yang tidak dilindungi oleh (tidak memiliki) asuransi, maupun mereka yang memiliki
perlindungan asuransi yang tak menyeluruh (inadekuat).
Ketiga, pelayanan kesehatan Katolik selalu berkontribusi untuk kesejahteraan masyarakat luas.
Kesejahteraan bagi masyarakat luas akan terwujud ketika kondisi ekonomi, politik serta sosial
menjamin perlindungan bagi hak mendasar dari seluruh individu dan menjamin terlaksananya tujuan
umum dan mencapai target secara umum.
Keempat, pelayanan kesehatan Katolik melatih diri dalam tanggung jawab untuk tersedianya selalu
sumber pelayanan kesehatan.
Sistem pelayanan kesehatan yang baik dan adil secara moral, memerhatikan baik upaya
mempromosikan keadilan dalam pemberian pelayanan kesehatanuntuk memastikan bahwa hak
setiap orang untuk perawatan kesehatan dasar dihormati-serta mempromosikan kesehatan kepada
seluruh
masyarakat.
tanggung jawab dari pendampingan dari pelayanan kesehatan dapat terpenuhi dengan baik dengan
cara berdialog dengan orang-orang dari berbagai level di dalam struktur masyarakat; merujuk pada
prinsip subsidiaritas dan dengan penuh penghormatan terhadap prinsip moral yang menjadi panduan
baik institusi maupun individu.
Kelima, dalam sebuah masyarakat yang plural, pelayanan kesehatan Katolik akan menghadapi
permintaan-permintaan terkait prosedur medis yang bertentangan dengan ajaran moral Gereja.
Pelayanan kesehatan Katolik tidak melawan hak dan hati nurani individu dengan menolak untuk
memberikan atau mengizinkan prosedur medis yang dinilai salah secara moral oleh otoritas mengajar
yang dimiliki oleh Gereja Katolik.

Aturan-aturan

1. Sebuah layanan kesehatan institusi Katolik adalah sebuah komunitas yang memberikan
pelayanan kesehatan kepada mereka yang membutuhkan hal tersebut. Layanan ini harus
dijiwai oleh Injil Yesus Kristus dan dipandu oleh tradisi moral Gereja.

2. Kesehatan Katolik harus ditandai oleh semangat saling menghormati antara pelayan
yang membuat mereka untuk menunjukkan kepada pasien dan keluarga yang dilayaninya
dengan kasih sayang Kristus, serta peka terhadap kelemahan mereka yang memiliki
kebutuhan khusus.

3. Sesuai dengan misinya, pelayanan kesehatan Katolik harus dapat menegaskan keberadaanya
dan berada untuk menjadi pembela mereka yang terpinggirkan dalam masyarakat : kaum
miskin, mereka yang tidak dilindungi oleh (tidak memiliki) asuransi, maupun mereka yang
memiliki perlindungan asuransi yang tak menyeluruh (inadekuat), anak-anak bahkan janin
yang belum lahir, orang tua tunggal, warga senior, orang dengan penyakit tak tersembuhkan
dan dependensi kimia, ras minoritas, imigran dan pengungsi. Secara khusus, orang dengan
kelemahan dengan cacat mental atau fisik, terlepas dari penyebab hal tersebut atau tingkat
keparahannya, harus diperlakukan sebagai pribadi yang unik dari nilai yang tak ternilai,
dengan hak yang sama untuk hidup dan perawatan kesehatan yang memadai sebagai
semua orang lain.

4. Sebuah lembaga kesehatan Katolik, terutama rumah sakit pendidikan, akan mempromosikan
penelitian kesehatan secara konsisten dengan misinya memberikan pelayanan kesehatan dan
dengan keprihatinan untuk bertanggung jawab terhadap ketersediaan dan pengelolaan
sumber daya pelayanan kesehatan. Penelitian medis tersebut harus mematuhi prinsip-prinsip
moral Gereja Katolik.

5. Pelayanan kesehatan Katolik harus mematuhi aturan-aturan ini

sebagai kebijakan,
memerlukan kepatuhan dari seluruh institusi tersebut sebagai syarat untuk hak kesehatan dan
pekerjaan, dan memberikan instruksi yang dapat dipahami untuk tenaga administrasi, seluruh
staf medis dan keperawatan, serta personil lainnya.
6. Sebuah organisasi pelayanan kesehatan Katolik harus menjamin ketersediaan dari sumber
daya untuk pelayanan kesehatan seperti yang dimaksudkan dalam artikel ini. Dengan
berkolaborasi dengan penyedia pelayanan kesehatan lainnya, namun tetap mematuhi ajaran
sosial dan moral Katolik, dapat menjadi cara yang efektif untuk menjamin ketersediaan dari
pelayanan kesehatan tersebut.

7. Sebuah institusi pelayanan kesehatan Katolik harus memperlakukan karyawan dengan hormat
dan adil. Ini Tanggung jawab meliputi: kesempatan kerja yang sama bagi siapa saja yang
memenuhi syarat untuk tugas, terlepas dari latar belakang ras seseorang, jenis kelamin, usia,
asal negara, atau kondisi cacat, tempat kerja yang mendukung adanya partisipasi karyawan,
lingkungan kerja yang menjamin keselamatan karyawan dan kesejahteraan karyawan,
kompensasi dan tunjangan yang cukup, serta pengakuan akan hak-hak karyawan untuk
berorganisasi dan berunding secara kolektif tanpa mengurangi kebaikan bersama.
8. Institusi pelayanan kesehatan Katolik memiliki hubungan yang unik baik dengan Gereja
maupun masyarakat luas yang mereka layani. Karena sifat gerejawi dari hubungan ini,
dibutuhkan hukum kanonik yang secara relevan tetap dipatuhi dengan tetap memperhatikan
fondasi dari sebuah institusi pelayanan kesehatan berlatar Katolik yang baru dibangun; revisi
subtantif dari misi lembaga/institusi, serta penjualan, bentuk donasi, dan pengakhiran dari

institusi yang telah ada.


9. Karyawan dari institusi pelayanan kesehatan Katolik harus menghormati dan menjunjung tinggi
misi dari lembaga pelayanan kesehatan dan mematuhi aturan-aturan ini. Mereka harus tetap
mempertahankan standar profesional dan mendukung komitmen lembaga untuk menjunjung
tinggi martabat manusia dan kebaikan bersama.

BAGIAN LIMA
Isu dalam Perawatan untuk Pasien dengan Penyakit yang Serius serta Kondisi Menjelang Ajal
Pengantar
Penebusan Yesus Kristus dan anugrahNya yang merangkul seluruh manusia, terutama dalam
penyakit, penderitaan, dan kematiannya. Pelayanan kesehatan Katolik dewasa ini dihadapkan oleh
realitas kematian dengan kepercayaan iman. Dalam menghadapi kematian; bagi banyak orang,
dimana seakan harapan sepertinya hilangGereja Katolik menjadi saksi untuk keyakinannya bahwa
Tuhan menciptakan setiap orang untuk hidup yang kekal.
Di atas semua itu, sebagai saksi iman, lembaga kesehatan Katolik (diharapkan) untuk menjadi
komunitas yang memiliki rasa hormat, cinta, dan dukungan kepada pasien dan masyarakat beserta
keluarga mereka saat mereka menghadapi realitas kematian. Bagian tersulitnya adalah bagaimana
menghadapi waktu menjelang ajal itu sendiri, khususnya ketika dihadapkan dengan ketergantungan
alat-alat medis, keadaan yang tidak mungkin lagi ada harapan untuk tertolong, dan rasa sakit yang
seringkali muncul bersamaan dengan penyakit akut. Salah satu tujuan utama dari pengobatan dan
perawatan untuk pasien menjelang ajal adalah bagaimana untuk mengurangi rasa sakit dan
penderitaan karena rasa sakit tersebut.
Fakta bahwa hidup merupakan anugerah yang berharga dari Tuhan telah menunjukkan implikasi yang
mendalam terhadap penatalayanan dari hidup manusia. Kita bukan pemilik dari kehidupan kita dan,
karenanya, tidak memiliki kekuasaan mutlak atas kehidupan. Kita memiliki kewajiban untuk
mempertahankan hidup kami dan menggunakannya untuk kemuliaan Allah, namun tugas untuk
mempertahankan hidup tidak mutlak, karena kita dapat menolak memperpanjang hidup prosedur yang
kurang menguntungkan atau sangat membebani. Bunuh diri dan euthanasia tidak pernah menjadi
pilihan yang secara moral dapat diterima.
Tugas kedokteran adalah untuk merawat, meskipun ketika penyakit itu tidak dapat disembuhkan.
Dokter dan pasien mereka harus mengevaluasi penggunaan teknologi yang mereka miliki. Berefleksi
kepada martabat yang mendasar dalam kehidupan manusia dalam semua dimensi dan pada tujuan
perawatan medis sangat diperlukan untuk merumuskan pertimbangan moral benar tentang
penggunaan teknologi untuk mempertahankan hidup.
Penggunaan teknologi/ alat bantu medis untuk mempertahankan hidup dinilai/ diadili dalam terang
makna hidup, penderitaan, dan kematian bagi orang Kristen.
Dengan begitu, dua hal yang sangat ekstrim berikut ini dihindari : di satu sisi, desakan untuk tetap
menggunakan teknologi/alat-alat medis yang memberatkan atau tidak berguna bahkan ketika pasien
yang secara sah ingin melepaskannya dan, di sisi lain, pencabutan semua teknologi/ alat bantu medis
yang dapat menyebabkan kematian.
Otoritas ajaran Gereja telah membahas isu-isu moral tentang medis seperti pemberian bantuan
nutrisi dan hidrasi bagi pasien. Dalam menghadapi masalah ini, kita dipandu oleh ajaran Katolik yang
menentang euthanasia, yang merupakan "suatu tindakan atau kelalaian karenanya atau dengan cara

tersebut menyebabkan kematian, yang bertujuan agar seluruh penderitaan dengan cara ini dapat di
eliminasi.

Sementara secara medis pemberian nutrisi dan hidrasi merupakan cara yang diwajibkan dalam kasus
tertentu; bentuk ini dari perawatan mendasar harus di dalam prinsip pemberian kepada semua pasien
yang membutuhkannya, termasuk pasien yang didiagnosis dalam kondisi Persistent Vegetative
State (PVS), yaitu kondisi penurunan kesadaran pasien yang mengalami kerusakan otak sehingga
kesadaran pasien tersebut lebih disebabkan oleh rangsangan secara parsial bukan karena kesadaran
yang alami; dan karenanya menjadi sangat lemah dan dianggap tak tertolong lagi, pasien tersebut
masih dipertahankan martabat penuhnya sebagai manusia dan berhak menerima perawatan normal
dan sepadan sesuai kondisinya.
Aturan-aturan

55. Institusi pelayanan kesehatan Katolik menawarkan perawatan untuk orang-orang dalam
bahaya kematian dari penyakit, kecelakaan, usia lanjut, atau kondisi serupa harus memberikan
mereka kesempatan untuk mempersiapkan kematian. Orang dalam bahaya kematian harus
disediakan dengan informasi apa pun yang diperlukan untuk membantu mereka memahami
kondisi mereka dan memiliki kesempatan untuk mendiskusikan kondisi mereka dengan
anggota keluarga mereka dan penyedia layanan kesehatan. Mereka juga harus memberikan
informasi medis yang tepat yang akan memungkinkan untuk mengatasi moral pilihan yang
tersedia bagi mereka yang sah. Mereka harus memberikan dukungan spiritual serta
kesempatan untuk menerima sakramen-sakramen dalam rangka untuk mempersiapkan diri
terhadap kematian.
56. Seseorang memiliki kewajiban moral untuk menggunakan metode biasa dan sepadan untuk
tetap mempertahankan hidup pasien. Sepadan berarti mereka yang secara medis dapat
merawat pasien menawarkan pengharapan yang masuk akal secara manfaat dan tidak
memerlukan beban berlebihan atau memaksakan beban yang berlebihan pada keluarga atau
masyarakat sekitar.
57. Seseorang boleh melepaskan metode yang tidak biasa atau tidak sepadan dalam upaya untuk
tetap mempertahankan kehidupan pasien.Tidak sepadan berarti mereka yang menurut
penilaian pasien tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal manfaat atau memerlukan
beban yang berlebihan, atau memaksakan beban yang berlebihan pada keluarga atau
masyarakat.
58. Pada prinsipnya, ada kewajiban untuk menyediakan pasien dengan makanan dan air,
termasuk bantuan nutrisi dan hidrasi secara medis bagi mereka yang tidak dapat menerima
makanan secara oral. Kewajiban ini harus diberikan kepada pasien dengan kondisi kronis dan
mungkin tidak dapat sembuh/ ireversibel (misalnya, pada kasus PVS seperti tersebut diatas)
yang cukup dapat diharapkan untuk hidup tanpa batas dengan perawatan tersebut.
Pemberian bantuan nutrisi dan hidrasi secara medis menjadi opsi moral ketika mereka
dipertimbangkan tidak ada alasan lagi untuk memperpanjang hidup atau ketika mereka
menjadi "sangat terbeban atau [akan] menyebabkan ketidaknyamanan fisiknya dengan sangat
signifikan, misalnya akibat komplikasi karena treatment yang dikenakan padanya.
Misalnya, dengan semakin dekatnya pasien dengan kematian tak terelakkan dengan kondisi
progresif dan fatal yang mendasari, langkah-langkah tertentu untuk memberikan nutrisi dan
hidrasi dapat menjadi terlalu memberatkan dan karena itu tidak wajib cahaya kemampuan
mereka sangat terbatas untuk memperpanjang hidup atau memberikan kenyamanan.
59. Pengambilan keputusan yang diinformasikan secara bebas dibuat oleh pasien dewasa yang
kompeten mengenai penggunaan atau penarikan prosedur/ alat bantu medis dalam upaya
untuk mempertahankan hidup harus selalu dihormati dan biasanya dipenuhi, kecuali

bertentangan dengan ajaran moral Katolik.


60. Eutanasia adalah tindakan yang dilakukan untuk meringankan penderitaan yang menyebabkan
kematian dirinya akibat tindakan yang lalai itu sendiri atau dengan tujuan tersebut. Institusi
pelayanan kesehatan Katolik tidak akan pernah berpartisipasi dalam eutanasia atau tindakan
bunuh diri yang dibantu dengan cara apapun.
Pasien yang sekarat yang meminta untuk di-euthanasia harus menerima kasih sayang,
dukungan psikologis dan spiritual, dan obat yang tepat untuk rasa sakit dan lainnya gejala
sehingga mereka dapat hidup dengan martabat sampai saat saatnya meninggal secara alami.
61. Pasien harus dihindarkan dari rasa sakit sedemikian rupa sehingga mereka dapat meninggal
dengan nyaman dan bermartabat, dan di tempat di mana mereka ingin beristirahat terakhir.
Karena seseorang memiliki hak untuk mempersiapkan diri atas kematiannya ketika dia
sepenuhnya sadar, ia tidak boleh kehilangan kesadaran tanpa alasan kuat. Obat yang mampu
mengurangi atau menekan rasa sakit dapat diberikan untuk pasien dalam keadaan sekarat,
bahkan jika terapi ini secara tidak langsung dapat memperpendek kehidupan seseorang
asalkan maksud bukan untuk mempercepat kematian. Pasien mengalami penderitaan yang
tidak dapat diringankan harus diberikan pemahaman mengenai makna penebusan Tuhan
(ajaran agama Kristen).
62. Penentuan kematian harus dilakukan oleh dokter atau medis yang kompeten
dan memiliki wewenang yang sesuai dengan kriteria ilmiah yang bertanggung jawab dan dapat
diterima secara umum.
63. Institusi Pelayanan Kesehatan Katolik harus mendorong dan menyediakan sarana agar
pasien yang telah sekarat yang ingin menyumbang organ dan jaringan tubuh, untuk tujuan etis
yang sah, sehingga mereka dapat digunakan sebagai sumbangan dan penelitian setelah
kematian mereka.
64. Organ tersebut tidak harus dihapus sampai telah medis menetapkan bahwa
pasien telah meninggal. Untuk mencegah adanya konflik kepentingan, dokter yang
menentukan termin kematian tidak diperkenankanmenjadi anggota tim transplantasi.
65. Penggunaan jaringan atau organ dari bayi dapat diizinkan setelah kematian dari pasien
tersebut dengan persetujuan dari orang tua atau wali.
66. Institusi pelayanan kesehatan Katolik tidak dapat menggunakan jaringan manusia yang
diperoleh dari aborsi, meskipun untuk keperluan penelitian dan terapi.

Terjemahan Bab 1 dan 5 dari artikel Ethical and Religious Directives for Catholic Health Care
Services- Fifth Edition
United States Conference of Catholic Bishops, Issued by USCCB, November 17, 2009
Copyright 2009, United States Conference of Catholic Bishops. All rights reserved.

Anda mungkin juga menyukai