Anda di halaman 1dari 11

SEMINAR HASIL PENELITIAN

PROGRAM STUDI PENGOLAHAN SUMBER DAYA PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN
UNIVERSITAS ISLAM OKI
Judul
Nama
Pembimbing
Waktu

: Struktur Komunitas Plankton di perairan Sekitar Sungsang


Kecamatan Sungsang Kabupaten Banyuasin
: Herman
: 1. Dr. Moh. Rasyid Ridho, M.Si
2. Allamanda Catharica, SPi,MSi
: Selasa, 30 Juni 2015

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem perairan yang kompleks dipengaruhi oleh keberadaan organisme yang
saling berinteraksi satu sama lain maupun lingkungan abiotik nya. Salah satu kelompok
organisme yang memegang peranan penting dalam kehidupan di perairan adalah Plankton.
Plankton dibedakan atas fitoplankton (plankton tumbuhan) dan zooplankton (plankton
hewan). Fitoplankton (sebagai produsen primer) mempunyai kemampuan mengubah
senyawa anorganik menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis dan mampu
menyumbang oksigen bagi lingkungannya, sedangkan zooplankton tidak dapat
memproduksi zat-zat organik dari zat-zat anorganik, oleh karena itu mereka harus
mendapatkan bahan organik sebagai bahan makanannya. Secara langsung makanan
beberapa jenis zooplankton tergantung dari fitoplankton. Sifat ketergantungan zooplankton
terhadap fitoplankton tersebut membentuk mata rantai makanan ekosistem laut.
Perairan Sungsang merupakan perairan muara dimana pertemuan antara air sungai
dan air laut terjadi. Aktivitas penduduk Sungsang cenderung lebih banyak di perairan, baik
itu untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti minum, mandi dan mencuci.
Oleh karena itu, berkaitan dengan perkembangan pembangunan maka dianggap perlu
dilakukan penelitian struktur komunitas plankton di perairan sekitar Sungsang, Banyuasin,
Sumatera Selatan.
Tujuan dan manfaat Penelitian:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas plankton yang
mencakup jenis-jenis, kelimpahan, keanekaragaman, plankton serta hubungannya dengan
beberapa parameter fisika-kimia di perairan Sungsang Kabupaten Banyuasin.
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi berupa data dasar Perairan
Sungsang, kepada pihak-pihak yang membutuhkan mengenai struktur komunitas plankton
dan faktor-faktor fisika dan kimia yang mempengaruhinya.

.
METODE PENELITIAN
A.

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Perairan sekitar Sungsang Kecamatan Sungsang Kabupaten


Banyuasin, Sumatera Selatan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 1 kali yaitu pada
bulan September 2014.
Sampel plankton dan air diambil pada masing-masing 10 titik lokasi, masing-masing
diambil 1 kali

Gambar 3.2 Peta Lokasi Penelitian

B.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1 :
1. Bahan

Tabel 3.1 Bahan-bahan yang digunakan


No
Nama Bahan
1
2
3
4
5
6
2.

Sampel plankton
Formalin
Larutan RO
MnO2SO4
Asam Sulfat (H2SO4) Pekat
Air bersih

Fungsi
Objek penelitian
Bahan pengawet plankton
Mengikat DO
Mengikat DO
Mengikat sifat fisika-kimia air
Sterilisasi

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.2 :

Tabel 3.2 Alat-alat yang digunakan


No
Nama Alat
1
Plankton net
2
Botol film
3
Centong
4
Cool Box
5
Termometer
7
Kertas pH
8
Secchi disk
9
Pipet tetes
10 Mikroskop binokuler

Fungsi
Mengambil sampel plankton
Wadah sampel
Wadah menyaring air
Wadah alat dan bahan
Mengukur suhu
Mengukur pH
Mengukur kedalaman kecerahan air
Mengambil sampel dalam botol
Mengamati sampel

11
12
13
14
15
C.

Kaca preparat
Buku identifikasi plankton
Kamera digital
Ketas tissue
Alat tulis

Media menghitung kepadatan plankton


Mengidentifikasi sampel plankton
Dokumentasi
Membersihkan peralatan
Mencatat hasil pengamatan

Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan sekunder.
1. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung (observasi) di
lapangan dengan melakukan pengambilan sampel plankton di sekitar Perairan Sungsang.
2. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen hasil
penelitian atau studi mengenai struktur komunitas plankton, peraturan perundangan dan data
pendukung lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dari
dinas atau instansi terkait dengan penelitian.
D. Cara Kerja
1. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel plankton dilakukan di 10 stasiun dengan metode Purposive
sampling.
2.

Parameter Fisika-Kimia

Parameter fisika kimia perairan yang dianalisis terdiri dari 8 parameter di antaranya
suhu, pH, kekeruhan, kecerahan, oksigen terlarut (DO), nitrat (NO3) dan Amonia (NH3).
Pengambilan sampel air dilakukan pada saat penelitian dengan memasukkan botol
gelas ke dalam air masing-masing pada 10 stasiun penelitian. Untuk pengukuran kadar nitrat
(NO3) dan amonia (NH3-N) sampel air ditambahkan larutan asam sulfat pekat (H2SO4)
sebanyak 4 tetes. Sedangkan untuk pengukuran kadar oksigen terlarut (DO) menggunakan
sampel air terpisah yang ditambahkan larutan RO dan MnO 2SO4 masing-masing 1 ml.
Selanjutnya sampel air di bawa ke Laboratorium PT. Sucofindo, Palembang, Sumatera
Selatan.
3. Parameter Biologi
Parameter biologi yang dianalisis adalah fitoplankton dan zooplankton. Sampel
plankton diambil dengan cara menyaring air lapisan permukaan sebanyak 50 liter dengan
menggunakan ember volume 5 liter. Sampel tersebut disaring menggunakan plankton net
nomor 20 dengan ukuran 25 mikron, air sampel yang tersaring dimasukan dalam botol
sampel volume 30 ml dan diawetkan dengan menggunakan pengawet formalin sebanyak 2
tetes untuk menghindari kerusakan pada bentuk plankton. Saat analisis, diambil sebanyak 3

tetes menggunakan pipet dan diamati dengan menggunakan kaca preparat dan mikroskop
binokuler perbesaran 40 kali (lensa okuler 10 kali perbesaran dan lensa objektif 4 kali
perbesaran) dan dilanjutkan dengan perbesaran 100 kali kali (lensa okuler 10 kali perbesaran
dan lensa objektif 10 kali perbesaran).
4.
Analisis Kelimpahan Plankton
Kelimpahan plankton didefinisikan sebagai jumlah individu atau sel persatuan
volume (dalam L). Untuk fitoplankton dinyatakan dalam sel/L, sedangkan zooplankton
dinyatakan dalam ind/L. Metode perhitungan menggunakan metode penyapuan dan
diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi Sachlan (1982). Perhitungan analisis
data kelimpahan plankton menggunakan rumus modifikasi APHA (1989) dalam Rahmawati
(2002) :
1 Vt
x
xF
N = Vd Vs
Dengan ketentuan :
N
Vd
Vt
Vs
F

= Jumlah total individu atau sel plankton per L (ind/L)


= Volume air yang disaring (liter)
= Volume air tersaring (30ml)
= Volume sampel di bawah gelas penutup (ml)
= Jumlah plankton yang tercacah

5.
Analisis Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman jenis adalah suatu pernyataan atau penggambaran secara
matematik yang melukiskan struktur kehidupan dan dapat mempermudah menganalisa
informasi-informasi tentang jenis dan jumlah organisme. Penghitungan indeks
keanekaragaman fitoplankton dan zooplankton dilakukandengan menggunakan Indeks
Shannon-Wiener (Basmi, 1999dalam Asmara, 2005) yaitu :
n

H =

i=0

pi ln pi; dengan pi = ni/N

Dengan ketentuan :
H
= Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (nits/individu)
ni
= Jumlah individu jenis ke-i
N
= Jumlah total individu
Penggolongan kriteria komunitas plankton berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon
adalah (Southwood, 1989 dalam Arifah, 2006) :
H <1 = Keanekaragaman kecil dan kestabilan komunitas rendah.
H = 1 3 = Keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang.
H >3 = Keanekaragaman tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Komposisi Jenis dan Kelimpahan Plankton

Berdasarkan hasil analisis fitoplankton dan zooplankton di perairan sekitar Sungsang


Kecamatan Sungsang Kabupaten Banyuasin, ditemukan 5 kelas fitoplankton yang terdiri dari 21
jenis, kelas Cyanophyta (6 jenis), Chlorophyta (5 jenis), Bacillariophyceae (8 jenis), Desmidiacae
(1 jenis), Phyrophyta (1 jenis). Zooplankton ditemukan 3 kelas terdiri dari kelas Rhizopoda (1
jenis), Rotatoria (1 jenis) Entomostraca (3 jenis). Hasil identifikasi plankton dan zooplankton
berdasarkan kelas disajikan pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Hasil identifikasi plankton selama penelitian
Jenis Plankton
Kelas
Genus
Fitoplankton
Cyanophyta
Microcystus flosaqua Kirch. Anabaenopsi
raciborskii , Oscillatoria saneta, Lyngbya
spirulinoides, Colothrix, Trichodesnium
cruthreum
Chlorophyta
Polyedrium trigonum, Eudorina wallichii,
Volvox sp. , Raphidium polymorphum,
Scenedesmus obliquas
Bacillariophycea Cyclotella
operculata,
Gyrosygma
e
kuctzingii, Nitzchia curvula, Nitzchia
closterium, Chaetoceros perivianum,
Chaertoceros pseudocurviactum, Navicula
cliptica, Nitzchiz lorenziana
Penium spirotriolatum Baker.
Desmidiacae
Gonyaulax xanthenella
Phyrophyta
Zooplankton
Rhizopoda
Euglypha rotunda
Rotatoria
Rotifer neptunius
Entomostraca
Daphnia
longispinae,
Bosmina
longirostris, Diapthonus gracillis
Spesies terbanyak dari fitoplankton yang paling banyak dijumpai yaitu pada kelas
Bacillariophyceae sebanyak 8 jenis, dan untuk zooplankton yang paling banyak dijumpai
yaitu kelas Entomostraca sebanyak 3 jenis. Pada setiap pengamatan kelas Bacillariophyceae
yang sering djumpai memiliki kelimpahan yang relatif tinggi adalah jenis Nitzchiz
lorenziana , dari kelas Cyanophyta yang sering dijumpai adalah jenis Anabaenopsi
raciborskii, dan dari kelas Chlorophyta yang sering dijumpai adalah jenis Volvox sp. Hal ini
disebabkan karena kelas Bacillariophyceae mampu menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan sekitarnya dibandingkan dengan kelas lainnya. Menurut Arinardi et al (1997),
kelas Bacillariophyceae lebih mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada,
kelas ini bersifat kosmopolitan serta mempunyai toleransi dan daya adaptasi yang tinggi.
Sedangkan untuk zooplankton yang memiliki kelimpahan relatif tinggi dari kelas
Entromostraca yaitu jenis Daphnia longispinae.
Komposisi jenis fitoplankton pada setiap stasiun pengamatan didominasi oleh Kelas
Cyanophyta kecuali pada Stasiun 9 dan 10 yaitu berkisar antara 49 169 %. Menurut
Nontji (2007) yang menyatakan bahwa kelas Cyanophyta biasanya jarang dijumpai, tetapi
kadang-kadang akan muncul tiba-tiba dalam ledakan populasi yang amat besar dan tak lama
kemudian akan menghilang lagi dengan sangat cepat. Sedangkan pada Stasiun 9 dan 10
didominasi oleh Kelas Bacillariophyceae yang mempunyai komposisi yaitu berkisar 50
59 %. Kelas Chlorophyta, Desmidiacae dan Phyrophyta mempunyai kisaran komposisi jenis
terendah (Gambar 4.3).

Komposisi jenis fitoplankton kelas Chlorophyta berkisar 1-5 %, kecuali pada Stasiun 5, 6,
9, 10 dan 12 kisaran komposisi kelas Chlorophyta yaitu 0 %. Pada Stasiun 1, 2, 4, 6, 7 dan 10
kisaran komposisi kelas Desmidiacae yaitu 0 %, sedangkan pada Stasiun 5, 8, 9 dan 12 kisaran
komposisi kelas Desmidiacae berkisar antara 1-8 %. Komposisi kelas Pyrophyta mempunyai
kisaran komposisi 0 % kecuali pada Stasiun 5 dan 6 berkisar antara 3-5 %.
Kelas Chlorophyta memiliki kelimpahan rata-rata yang paling tinggi setelah
Cyanophyta. Pada saat dilakukan penelitian ini nilai salinitas yang didapatkan adalah 0. Hal
ini diduga diakibatkan oleh adanya pengaruh dari masukan air tawar yaitu Sungai Musi dan
Sungai Telang sehingga hal ini memperkuat bahwa jenis fitoplankton yang paling banyak
ditemukan adalah jenis fitoplankton air tawar termasuk kelas Chlorophytha. Nybakken
(1992) menyatakan arus di estuaria (muara) terutama disebabkan oleh kegiatan pasang surut
dan aliran sungai, dimana pada saat pasang di daerah muara sungai mendapatkan pasokan
air laut sedangkan pada saat surut perairan muara banyak mendapatkan pasokan air tawar.
Pada saat penelitian dilakukan yang terjadi adalah surut sehingga jenis fitoplankton air tawar
termasuk kelas Chlorophyta banyak yang ikut terbawa oleh arus dari sungai dan terbawa ke
perairan estuari lalu ke arah laut, sehingga menyebabkan kelas Chlorophyta banyak
ditemukan. Hal ini sesuai dengan Sachlan (1982) yang menyatakan bahwa Chlorophyta
adalah fitoplankton yang berperan penting di perairan tawar. Kelimpahan fitoplankton
tertinggi berada pada stasiun 6 dan terendah pada stasiun 9.
Jenis-jenis zooplankton yang ditemukan di stasiun pengamatan tidak beranekaragam jika
dibandingkan dengan jenis-jenis fitoplankton diduga karena kualitas perairan tidak mampu
mendukung sebagian besar jenis zooplankton hidup dan ketidak mampuan berkembang biak.
Diduga tidak mampu beradaptasi terhadap lingkungan perairan karena tingkat kecerahan kurang
dan unsur-unsur yang terkandung rendah dan juga cara mendapatkan makanan maupun jenis
makanan yang tersedia (fitoplankton). Jumlah individu yang teridentifikasi di setiap stasiun
pengamatan berkisar 1-2 jumlah individu. Bahkan, pada stasiun 7, 9 dan 10 jumlah individu tidak
ditemukan.
B.

Indeks Keanekaragaman Plankton


Berdasarkan hasil penghitungan indeks keanekaragaman (H) dengan menggunakan
rumus Shannon-Wiener pada lokasi penelitian berkisar antara 0.331 - 1.6. Indeks
keanekaragaman tertinggi pada stasiun 9 yaitu 1.6 dan yang terendah pada stasiun 6 yaitu
0.331. Berdasarkan indeks keanekaragaman dengan nilai berkisar 0,331 1,6 kualitas
perairan Sungsang dikategorikan tercemar sedang , kriteria tersebut didasarkan pada Wilhm
(1975) dalam Rudiyanti (2009) yang menyatakan nilai keanekaragaman biota perairan
dengan kisaran 1-2 mengindikasikan perairan dalam kualitas tercemar sedang dan nilai
keanekaragaman dengan kisaran 1 3 mengindikasikan perairan dalam kualitas tercemar
ringan.
Nilai indeks keanekaragaman fitoplankton 0.331-1.6 menunjukkan bahwa adanya
dampak yang signifikan dari kegiatan-kegiatan atau Aktivitas manusia dan kondisi alam
dapat menyebabkan perubahan faktor fisika-kimia perairan yang akan mempengaruhi
kelimpahan dan pertumbuhan plankton.
Nilai indeks keanekaragaman (H) zooplankton berkisar antara 0.30-0.36, yang
tertinggi pada stasiun 3 dan terendah pada stasiun 1. Kisaran keanekaragaman zooplankton
ini tergolong keanekaragaman kecil dan kestabilan komunitas rendah. Beberapa faktor fisika
kimia yang mempengaruhi keseluruhan stasiun diduga menghambat pertumbuhan
zooplankton karena kelimpahan zooplankton secara keseluruhan dibandingkan dengan
fitoplankton dan jenis zooplankton yang tidak beragam.
Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi apabila
terdapat banyak jenis dengan jumlah individu masing-masing jenis relatif merata. Dengan

kata lain, bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit jenis dengan jumlah
individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang
rendah, itu terlihat pada stasiun 9 dan 10.
Hasil penghitungan indeks keanekaragaman plankton di perairan Sungai Lilin dapat
di lihat pada Tabel 4.4
Tabel 4. 4 Indeks Keanekaragaman Plankton
Indeks Keanekaragaman (H)
Stasiun
Pengamatan
Fitoplankton
Zooplankton
1
0.658
0.30
2
0.543
0.35
4
0.533
0.36
5
0.337
0.34
6
0.331
0.35
7
0.592
8
0.820
9
1.6
10
1.405
11
0.928
C.

Parameter Fisika Kimia Yang Berpengaruh Terhadap Plankton


Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Perairan Sungsang Kecamatan Sungsang
Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan di dapat hasil sebagai berikut :

Tabel 4.5 Hasil pengukuran parameter fisika di perairan Sungsang


Stasiun
Parameter Fisika
Kekeruhan (NTU)
Kecerahan
Pengamatan
(Meter)
1
200
4,2
2
50
3,5
4
70
4,5
5
80
2
6
30
4,9
7
80
3
8
80
3
9
50
5,5
10
30
1,8
11
20
2,6

Tabel 4.6 Hasil pengukuran parameter kimia di perairan Sungsang


Stasiun
Parameter Kimia
pH
Salinitas
Oksigen
Amonia Fospat
Pengamata
0
( /00)
Terlarut
total
(mg/L)
n
(mg/L)
(mg/L)
1

6,95

7,1

0,1

<0,1

Suhu (oC)
29
30
30
30
31
29
29
31
31
30

Nitrat
(mg/L)

0,8

2
4
5
6
7
8
9
10
11

7,2
6,99
7,02
7,2
7,08
7,08
6,77
6,9
6,67

10
14
17
18
18
18
14
19
21

6,1
6,35
5,4
6,7
5,72
5,72
5,09
5,86
6,04

0,1
0,3
0,05
0,2
0,2
0,2
0,02
0,05
0,1

0,01
<0,01
0,01
<0,01
0,01
0,01
<0,01
0,01
<0,01

1,5
<0,008
<0,008
<0,008
<0,008
<0,008
<0,008
<0,008
1,1

Hasil pengukuran kecerahan pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 1,8-5,5
meter. Kecerahan tertinggi pada stasiun 9 yaitu 5,5. Artinya pada stasiun 9 tersebut
kecerahan tergolong coral atau sedang. Tingkat kecerahan pada stasiun pengamatan adalah
rendah sehingga tingkat keanekaragaman fitoplankton dan zooplankton juga rendah.
Kecerahan terendah pada stasiun 10 yaitu 1,8.
Hasil pengukuran terhadap suhu pada lokasi penelitian berkisar antara 29
- 31 0C
sedangkan standar baku mutu suhu menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004 untuk biota
laut adalah 28 320C, dengan suhu tertinggi terdapat pada stasiun 6, 9 dan 10 yaitu sebesar
310C dan suhu terendah terdapat pada stasiun 1, 7 dan 8 yaitu sebesar 29 0C. adanya
perbedaan suhu pada setiap stasiun penelitian tersebut dikarenakan perbedaan waktu
pengukuran serta kondisi cuaca saat pengukuran dilakukan, juga sebagai akibat dari aktivitas
pada masing-masing stasiun. Berdasarkan Tabel 4.5 dan Kep. MENLH No. 51 Tahun 2004
tentang Baku Mutu Air Laut bahwa suhu tersebut memungkinkan bagi kehidupan plankton.
Kondisi perairan yang bersifat sangat asam atau basa akan membahayakan
kelangsungan hidup organisme, karena akan mengakibatkan terjadinya gangguan
metabolisme dan respirasi. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan pada
umumnya sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH. Berdasarkan
dari data pengukuran Table 4.6 di atas dari seluruh stasiun pengamatan pH berkisar antara
6,67 - 7.2 nilai pH tersebut sesuai dengan standar baku mutu menurut Kep. MENLH No. 51
Tahun 2004 yakni 6,5 8,5.
Kehidupan yang layak bagi organisme perairan khususnya dan berdasarkan Kep.
MENLH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Laut (BML) adalah perairan yang
mempunyai kandungan oksigen terlarut <5 mg/L. Kandungan oksigen terlarut pada setiap
stasiun berkisar antara 5,40-7,10 mg/L, artinya memenuhi standar baku mutu laut. Bahwa
perairan yang mengandung oksigen terlarut 5 mg/L pada suhu 20-30 0C cukup baik untuk
kehidupan organisme dan akan mencapai kejenuhan apabila kandungan oksigen sudah
mencapai 7-9 mg/L.
Kandungan ammonia (NH3) yang terukur pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara
0,05 0,3 mg/L. Kandungan ammonia tertinggi terdapat pada Stasiun 2 (0,3 mg/L) dan kandungan
ammonia terendah terdapat pada Stasiun 10 (0,05 mg/L). Berdasarkan Tabel IV.5 dan Kep.
MENLH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut bahwa kandungan ammonia pada
perairan sebaiknya tidak melebihi 0,3 mg/L. Sesuai dengan pernyataan Effendi (2000) bahwa
kandungan ammonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang
berasal dari bahan domestik. Pada setiap stasiun pengamatan kandungan ammonia tidak melebihi
nilai Baku Mutu Laut (BML). Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat fitoplankton banyak
ditemukan. Kondisi ini diduga karena pada stasiun tersebut tidak mendapat dampak dari aktivitas
aktivitas penduduk sehingga kandungan bahan organiknya belum tercemar dan dapat dimanfaatkan
secara optimal oleh fitoplankton.

Kandungan fosfat yang terdapat di perairan umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l.
Berdasarkan Kep. MENLH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut bahwa stasiun
pengamatan di perairan Sungsang kandungan fosfat berkisar <0,01 artinya kandungan fosfat
masih masuk standar Baku Mutu Laut (BML). pada stasiun 1, 4, 6, 9 dan 11 kandungan
fosfat <0,01 mg/L dan 0,01 mg/L pada stasiun 2, 5, 7, 8 dan 10. Namun kandungan fosfat
tersebut tergolong rendah. Oleh sebab itu mempengaruhi kelimpahan zooplankton.
Berdasarkan Tabel 4.5 standar baku mutu laut untuk kandungan nitrat adalah 0,008
mg/L. Nitrat (NO3-N) merupakan bentuk nitrogen utama bagi pertumbuhan tumbuhan di
perairan alami. Nitrat bersifat mudah larut dan bersifat stabil, yang dihasilkan dari proses
oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrat bersama-sama dengan sinar matahari
dan temperatur mengontrol kelimpahan fitoplankton. Umumnya nitrat pada lapisan
permukaan berkadar rendah, karena permukaan perairan mendapat penyinaran matahari
yang penuh sehingga metabolisme fitoplankton berlangsung cepat. Pada stasiun 4, 5, 6, 7, 8,
9 dan 10 kandungan nitrat <0,008, pada stasiun 1 nitrat yang terkandung 0,8 mg/L, pada
stasiun 2 dan 11 kandungan nitrat masing-masing 1,5 dan 1,1 mg/L. Itu berarti kandungan
nitrat pada setiap stasiun tidak memenuhi standar BML ( Baku Mutu Laut) berdasarkan Kep.
MENLH No. 51 Tahun 2004. Oleh sebab itu, berpengaruh pada kehidupan fitoplankton dan
zooplankton.

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Fitoplankton yang ditemukan di lokasi perairan sekitar Sungsang Kecamatan Sungsang
Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 5 kelas fitoplankton yang terdiri
dari 21 jenis, kelas Cyanophyta (6 jenis), Chlorophyta (5 jenis), Bacillariophyceae (8 jenis),
Desmidiacae (1 jenis), Phyrophyta (1 jenis). Zooplankton ditemukan 3 kelas terdiri dari kelas
Rhizopoda (1 jenis), Rotatoria (1 jenis) Entomostraca (3 jenis) dengan kelimpahan
fitoplankton berkisar antara 42-136,5 ind/L dan kelimpahan zooplankton pada setiap stasiun
berkisar 0,75-1,5 ind/L.
2. Nilai indeks keanekaragaman fitoplankton berkisar antara 0,331-1,6. Sedangkan nilai indeks
keanekaragaman zooplankton hanya terdapat pada stasiun 8 iatu 1,386. Keanekaragaman
zooplankton tersebut disebabkan juga karena sedikitnya jumlah individu yang teridentifikasi.
3. Secara keseluruhan nilai parameter fisika kimia di perairan sekitar Sungsang masih tergolong
baik untuk pertumbuhan dan perkembang- biakan plankton.
B. Saran
1. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk memperluas daerah pengamatan dan perlu
dilakukan penelitian lanjutan dengan beberapa kali pengulangan
2. Mempertimbangkan kondisi pasang surut air dan musim karena daerah estuaria sangat
dipengaruhi oleh pasang surut air.
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2011. Nitrat dan Nitrit. (Online) (http://www.scribd.com/doc/61789

527/Laporan-Akhir-Nitrat-Dan-Nitrit ; Diakses 27 April 2012).


Arifah. 2006. Keanekaragaman Plankton di Sungai Cikaniki. Skripsi tidak diterbitkan. Bogor :
Institut Pertanian Bogor.
Arinardi OH, Sutomo AB, Yusuf SA, Trimaningsih, Asnaryanti E, dan Riyono SH. 1997. Kisaran
Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta.
Asmara, Anjar. 2005. Hubungan Struktur Komunitas Plankton Dengan Kondisi Fisika Kimia
Perairan Pulau Pramuka dan Pulau Pandan, Kepulauan Seribu. Skripsi tidak diterbitkan.
Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Effendi, Hefni. 2000. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengeloaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Endrik. 2006.Distribusi Spasial dan Temporal Struktur Komunitas Plankton di Perairan Karamba
Jaring Apung Jangarai Waduk Cirata . Skripsi tidak diterbitkan. Bogor : Institut Pertanian
Bogor.
Frandy, Y.H.E. 2009. Dinamika Komunitas Plankton Dan Potensinya Sebagai Pakan Alami Di
Kolam Pemeliharaan Larva Ikan Nilem (Osteochilus hasselti C.V.). Skripsi tidak diterbitkan.
Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Ludwig and Reynolds. 1988. Statistical Ecology, A Primer On Methods And Computing.New York :
Jhon Wiley dan Son.
Mustikasari, Meilani. 2007. Struktur Komunitas Plankton di Lokasi Perairan Kepulauan Kangean,
Jawa Timur. Skripsi tidak diterbitkan. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Edisi Kedua (Alihbahasa
Muhammad Eidman dkk.). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Patriono, dkk. 2008. Inventarisasi Spesies Ikan di Sungai Komering Kecamatan Madang Suku II
Kabupaten
Ogan
Komering
Ulu
Timur,
Sumatera
Selatan.
(Online)
(http://eprints.unsri.ac.id/1644/2/27_Inventarisasi_Spesies_Ikan_
di_Sungai_Komering-2008.pdf ; diakses 23 Mei 2013).
Rahmawati, Elis. 2002. Struktur Komunitas Plankton di Selat Malaka (Dari Kuala Tungkal-Jambi
Sampai ke Pulau Batam-Riau) Sumatera.Skripsi tidak diterbitkan. Bogor : Institut Pertanian
Bogor.
Rudiyanti, S. 2009. Kualitas Perairan Sungai Banger Pekalongan Berdasarkan Indikator Biologis.
Jurnal Saintek Perikanan Vol. 4 (2) : 46 52.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Semarang : Universitas Diponegoro.

Siregar, M. H. 2009. Studi Keanekaragaman Plankton di Hulu Sungai Asahan Porsea. Skripsi tidak
diterbitkan. Medan : Universitas Sumatera Utara.
Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika.Edisi ke-3 (Alihbahasa Bambang Sumantri). Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai