Hendrik
Nim
1307045016
BAB II
KASUS PHARMACEUTICAL CARE
MYELODISPLASTIC SYNDROMME REFRACTORY ANEMIA
A. Defenisi
Sindroma Dismielopoetik (SDM) primer adalah suatu sindrom yang di
tandai oleh displasi dari sistem hemopoetik (dysmyelopoesis, dyserthoropoesis,
dan dysthrombopoesis), baik tunggal maupun campuran, disertai dengan gangguan
maturasi dan diferensiasi yang sebelumnya belum diketahui. Jika penyebabnya
diketahui disebut SDM sekunder, misalnya defisiensi vitamin B 12 atau defisiensi
asam folat, pengobatan sitostatik, dan sebagainya (Ningrum, 2009).
SDM pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan rerata umur 60-75
tahun; laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan dan penyebabnya sampai
saat ini masih belum diketahui (Ningrum, 2009).
SDM primer ini meliputi penyakit-penyakit yang sebelumnya disebut
sebagai preleukemia, smouldering leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic
dysplasia, sindrom mielodisplastik, primary acquired sideroblastic anemia.
Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanya sitopeni, baik tunggal maupun
kombinasi, yaitu keluhan-keluhan anemi yang menetap, perdarahan karena
trombopeni, dan adanya granulositopeni dengan segala akibatnya (Ningrum,
2009).
B. Etiologi
Faktor resiko untuk berkembangnya MDS antara lain :
a. Usia
Studi populasi di Inggris menemukan bahwa secara kasar insiden meningkat
dari 0,5 dalam 100.000 populasi yang berusia dibawah 50 tahun menjadi 89
dalam 100.000 populasi pada orang yang berusia 80 tahun atau lebih.
b. Predisposisi genetik
Sindrom familial telah dilaporkan, namun jarang.
c. Paparan lingkungan
Khususnya dengan Benzene dan pelarut kimia lainnya.
d. Terapi sebelumnya
(anomali
tulang
dapat
memberikan
informasi
prognosis
dan
adanya
pada feses juga mungkin terjadi. Adanya riwayat kemoterapi atau paparan
radiasi merupakan fakta yang penting (Young, 2008).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda anemia, seperti kulit dan
membran mukosa pucat. Bisa ditemukan petechie atau ekimosis pada kulit
akibat trombositopenia. Pada sekitar 20% penderita MDS ditemukan adanya
splenomegali. Lesi pada kulit yang langka seperti Sweets syndrome (febrile
neutrophilic dermatosis), juga mungkin muncul pada MDS. Sedangkan sindrom
autoimun jarang ditemukan (Harrison) (Young, 2008).
2. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien dengan myelodysplastic syndrome, ditemukan perubahan yang
signifikan pada perhitungan sel-sel darah tepi, dan abnormalitas pada sumsum
tulang.
a. Pemeriksaan Darah
Pada perhitungan sel-sel darah tepi, anemia muncul pada sebagian besar
kasus, baik berdiri sendiri maupun sebagai bagian dari bisitopeni atau
pansitopenia. Adanya neutropenia atau trombositopenia tanpa disertai
anemia jarang terjadi. Biasanya merupakan anemia makrositik, dan pada
pemeriksaan darah tepi biasanya tampak adanya bimorfik eritrosit dengan
ukuran besar dan jumlah kurang dari normal. Trombosit juga ditemukan
dalam ukuran besar dengan jumlah granula minimal.. neutrofil juga
ditemukan mengalami hipogranulasi, adanya hiposegmentasi, bentuk
melingkar, atau segmen abnormal pada nucleus, meliputi badan Dohle, dan
mungkin mengalami penurunan fungsi. Adanya mieloblast pada sirkulasi
berhubungan dengan banyaknya blast pada sumsum tulang, dan jumlah ini
penting untuk klasifikasi dan prognosis. Jumlah total sel darah putih
biasanya normal atau rendah, kecuali pada leukemia mielomonositik kronik.
Seperti pada anemia aplastik, MDS dapat dihubungkan dengan populasi
klonal sel PNH (Young, 2008).
b. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Sumsum tulang biasanya normal atau hiposeluler, tetapi pada 20% kasus
hiposeluler ini dibingungkan dengan aplasia. Tidak ada karakteristik tunggal
dari sumsum tulang yang dapat membedakan MDS, tetapi berikut ini perlu
diperhatikan: perubahan diseritropoetik (terutama abnormalitas nuclear) dan
sideroblast cincin pada erythroid lineage; hipogranulasi dan hipopigmentasi
pada precursor granulositik, dengan peningkatan mieloblast; dan jumlah
megakariosit menurun dengan inti yang tidak teratur. Nucleus megaloblastik
berhubungan dengan hemoglobulinisasi pada erythroid lineage sering
ditemukan. Prognosis sangat dipengaruhi proporsi dari blast sumsum tulang.
Analisis sitogenik dan fluoresen in situ hibridisasi dapat menidentifikasi
abnormalitas kromosom (Young, 2008).
E. Klasifikasi
Penggolongan MDS oleh WHO adalah :
Penyakit
Frek.
Temuan
Darah
Anemia
tanpa atau
sedikit blast
1 Refractory
Anemia
(RA)
5-10%
2 Refractory
Anemia with
Ringed
Sideroblast
(RARS)
10-12%
Anemia
tanpa blast
3 Refractory
cytopenia
with
multilineage
dysplasia
(RCMD)
24%
4 RCMD with
ringed
sideroblasts
(RCMD-RS)
15%
Sitopeniatan
pa atau
sedikit blast
tanpa Auer
rods
<1109/L
monosit
Sitopenia
tanpa atau
sedikit blast
tanpa Auer
Temuan Sumsung
Tulang
Hanya displasia
eritroid < 5%
blast <15%
sideroblast cincin
Hanya displasia
eritroid < 5%
blast >15%
sideroblast cincin
Displasia pada
10% se < 5%
blast
tanpa Auerrods
<15% sideroblast
cincin
Displasia pada
10% se < 5%
blast
tanpa Auerrods
Prognosis
Memperpanjang
perawatan 6%
berubah menjadi
leukemia
Memperpanjang
perawatan 1-2%
berubah menjadi
leukemia
Tergantung klinis
11% berubah
menjadi leukemia
5 Refractory
anemia with
excess
blasts-1
(RAEB-1)
6 Refractory
anemia with
excess
blasts-2
(RAEB-2)
7 Myelodyspla
stic
syndrome,
unclassified
(MDS-U)
8 MDS with
isolated del
(5q)
40%
(RAEB1+2)
Belum
diketahui
Belum
diketahui
rods
<1109/L
monosit
Sitopenia
< 5% blast
tanpa
Auerrods
<1109/L
monosit
15% sideroblast
cincin
Displasia
unilineage atau
multilineage
5-9% blast tanpa
Auerrods
Kegagalan
sumsum tulang
progresif 25%
berubah menjadi
leukemia
Sitopenia
5-19% blast
Auerrods
<1109/L
monosit
Sitopenia
tanpa atau
sedikit blast
tanpa Auer
rods
Anemia
<5% blast
Platelet
normal atau
meningkat
Displasia
unilineage atau
multilineage
10-19% blast
Auerrods
Displasia pada
myeloid atau
platelet lineage
< 5% blast tanpa
Auer rods
Normal atau
peningkatan
megakariosit
dengan nucleus
hipolobulated
< 5% blast tanpa
Auerrods
Isolated del(5q)
Kegagalan
sumsum tulang
progresif 33%
berubah menjadi
leukemia
Belum diketahui
Belum diketahui
(Young, 2008)
F. EPIDEMIOLOGI DAN PREVALENSI
MDS idiopatik merupakan penyakit pada usia tua, usia rata-rata saat onset
mulai muncul adalah 68 tahun. Jumlah penderita pria sedikit lebih banyak
dibandingkan penderita perempuan. MDS merupakan bentuk gagal sumsum tulang
yang umum, dengan angka laporan insiden 35 hingga lebih dari 100 penderita dari
setiap satu juta penduduk pada populasi umum, dan 120 hingga lebih dari 500
penderita dari setiap satu juta penduduk usia lanjut. MDS jarang diderita anakanak, namun leukemia monositik dapat terjadi. MDS yang terkait dengan terapi
tidak berhubungan dengan tingkatan usia dan terjadi pada sekitar 15 % pasien
yang tengah menjalani terapi kombinasi modalitas kanker. Angka kejadian MDS
terus meningkat, seiring semakin dikenalnya sindrom ini oleh dokter dan
meningkatnya usia harapan hidup (Young, 2008).
G. PATOFISIOLOGI
MDS disebabkan oleh paparan dari lingkungan seperti radiasi dan benzene,
beberapa factor risiko yang lain telah dilaporkan secara tidak konsisten. MDS
sekunder terjadi sebagai efek toksik dari terapi kanker, biasanya dengan kombinasi
radiasi dan radiomimetic alkylating agent seperti busulfan, nitrosourea, atau
prokarbazin (dengan masa laten 5-7 tahun) atau DNA topoisomerase inhibitor (2
tahun) (Young, 2008).
Baik anemia aplastik yang didapat setelah terapi yang imunosupresif
maupun anemia Fanconi, keduanya dapat berkembang menjadi MDS. MDS
merupakan kelainan stem sel hemopoitik klonal yang mengarah pada gangguan
proliferasi dan diferensiasi sel. Abnormalitas sitogenik ditemukan pada sekitar
separuh pasien, dan beberapa spesifik lesi yang sama juga terlihat pada leukemia
yang sesungguhnya, aneuploid lebih sering terjadi disbanding translokasi.
Manifestasi hemtologik merupakan hasil dari akumukasi dari lesi genetic multiple:
hilangnya tumor supresor gen, aktifnya mutasi onkogenik, atau perubahan
merugikan lainnya. Abnormalitas sitogenik tidak terjadi secara acak (hilangnya
semua atau 5,7,dan 20, trisomi 8) dan berhubungan debgan etiologi (11q23
following topoisomerase II inhibitors); leukemia mielomonositik kronik sering
berhubungan dengan t(5;12) yang menghasilkan gen chimeric tel-PDGF. Jenis dan
jumlah abnormalitas sitogenik berhubungan kuat dengan kemungkinan berubah
menjadi leukemia dan harapan hidup. Mutasi dari N-ras (onkogen), p53 dan IRF-I
(tumor supresor gen), Bcl-2 (antiapoptotik gen), dan beberapa yang lain telah
dilaporkan namun terjadi lambat pada rangkaian yang berkembang menjadi
leukemia. Apoptosis pada sel sumsum tulang meningkat pada MDS, agaknya
berhubungan dengan perubahan genetik ini atau sebagai respon imun.
Patofisiologi imun diduga berhubungan dengan trisomi 8 MDS, yang sering
memberi reaksi secara klinis terhadap terapi imunosupresif (Young, 2008).
H. Penatalaksaan
dikumpulkan dari kelompok yang besar dari kasus MDS yang termasuk dalam
0
<5%
Bagus
0 atau 1
0,5
5-10%
Sedang
2 atau 3
Skor
1
Jelek
1,5
11-20%
2
21-30%
Kelompok
Skor
0
0,5 - 1
1,5 -2,0
>2,5
Rendah
Sedang 1
Sedang 2
Tinggi
PHARMACEUTICAL CARE
1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama
: Tn. Rs
b. TTL
: 08 Oktober 1975
c. Umur
: 38 tahun 8 bulan 9 hari
d. BB
: 68 kg
e. TB
: 167 cm
f. Ruangan
: Cempaka 505 02 Kelas III A
g. Tgl MRS
: 04 Juni 2014
h. No. RM
: 317406300-16-43-99
i. Jaminan
: JKN non PBI
2. DIAGNOSA MASUK
Myelodisplastic Syndromme Refractory Anemia (MDS RA)
3. RIWAYAT PENYAKIT TERDAHULU
Hepatitis B Kronik
4. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Myelodisplastic Syndromme Refractory Anemia (MDS RA)
5. DATA OBYEKTIF
A. Pemeriksaan Laboratorium
Parameter
Nilai Normal
Tanggal
04/06/14 05/06/14 06/06/14 08/06/14
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
6,3
23,4
3,38
3,66
65
7,4
25,8
3,6
4,91
67
9,5
30,8
4,24
5,04
37
Natrium
Kalium
Klorida
140
3,4
108
SGOT
SGPT
Ureum Creatinin
Serum Creatinin
E - GFR
0-38 u/L
0-41 u/L
19-44 mg/dl
< 1,17 mg/dl
> 60 ml/min/1,73 m2
30
26
21
0,76
122
Hematologi
Gambaran Sumsum Tulang
Keterangan Klinik
Morfologi
Sediaan dipulas
Partikel
Kepadatan Sel
Sel Lemak
Jumlah Sel
Trombopoesis
Jumlah Megakariosit
Bentuk Muda
Bentuk Abnormal
Pembetukan Trombosit
Hitung Jenis
Seri Mieloid
Blast
Progranulosit
Mielosit
Metamielosit
Hasil
Rujukan
0.0 %
0.0 %
3.5 %
2.5 %
Batang
Segmen
Basofil
Eosinofil
Total Mieloid
Seri Eritroid
Rubriblast
Prorubrisit
Rubrisit
Metarubrisit
Total Eritroid
M : E Ratio
Seri Lain
Limfosit
Monosit
Plasmosit
Histiosit
Mistosis
Megaloblas
Seri Eritrosit Berinti
Sel Tidak Dikenal
Kelainan Morfologi
Morfologi Eritrosit
Kesan
6.5 %
20.0 %
0.0 %
1.0 %
33.5 %
0.0 %
0.5 %
10.0 %
49.0 %
59,5 %
1 : 8
7%
0%
0%
0%
(-)
(-)
> 1 (+)
(-)
(-)
Mikrostik - Hipokromik
Anisopoikilositosis
Ovalosit (+)
Sel Target (+)
Deseritropoesis
Distrombopoesis
Sesuai dengan MDS - RA
6. PROTOKOL KEMOTERAPI
1) Diagnosa :
Myelodisplastic Syndromme Refractory Anemia
2) Protokol :
Premedikasi : Inj. Diphenhidramin dan Inj. Dexamethasone masing
masing 1 Ampul.
Premedikasi : Inj. Ondansetron 8 mg i.v Bolus sebelum pemberian
Sitarabine 100 mg
Obat di Bangsal
NaCl 0,9 %
Inj. Dipenhidramin
Inj. Dexamethasone
Inj. Ondansetron
Inj. Cytarabine
Obat Pulang
Ondansetron
Dosis
Tanggal
4
10
11
12
13
14
15
12 Jam
1 Ampul
1 Ampul
1 x 8 mg
100 mg
v
-
v
-
v
v
v
-
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
V
v
v
8 mg
8. ANALISIS KASUS
1) Perhitungan Dosis
Terapi
(BSA= 1,78 M2)
Dosis Rujukan
(BCCA 2014)
Penilaian
100 mg
100 mg/m2
8 mg/hari
8 mg/hari
Diphenhidramin
10 mg/ml
(1 ampul @ 1ml)
25 50 mg i.v/hari
Dexamethasone
5 mg/ml
(1 ampul @ 1 ml)
12 mg i.v/hari
Cytarabine
Ondansetron
2) Pembahasan
perhitungan dosis, karena pemberian suatu obat untuk pasien kanker seringkali
menggunakan dan mempertimbangkan kondisi yang spesifik, seperti tinggi
badan dan berat badan terbaru untuk menghitung BSA, nilai klirens terbaru,
nilai SGPT, SGOT untuk mempertimbangkan dosis kanker, apakah perlu
direduksi ataupun tidak, mengingat obat kanker memiliki sifat yang toksik
terhadap sel kanker juga toksik terhadap sel normal dari pasien.
a)
Berat badan Pasien: 68 kg
b)
Tinggi badan:167 cm
c)
BSA : 1,78 m2
d)
Hb : 9,5 (tgl 8/6/14)
e)
e - GFR (tgl 5/6/14) 122 ml/min
f)
SGOT (tgl 5/6/14) 30 mg/dL
g)
SGPT (tgl 5/6/14) 26 mg/dL
Dari data di atas semua parameter telah memenuhi syarat untuk dilakukannya
Kemoterapi. Kemoterpai dimulai pada tanggal 9 Juni 2014 seiring dengan
kondisi pasien yang semakin baik, pasien akan menjalani terapi kemo selama 7
hari. Protokol yang digunakan sesuai dengan BA Cancer Agency tahun 2012
tentang Penatalaksanaan Acute Myeloid Leukimia menggunakan dosis rendah
Cytarabine. Dosis yang direkomendasikan adalah antara 100 200 mg/m2
(BCCA, 2012)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan terapi dengan
menggunakan dosis rendah Cytarabine memberikan keberhasilan sebesar
antara 24 s/d 79 %.
mulut dan usus, dan folikel rambut; mengakibatkan jumlah darah rendah, luka
mulut, mual, diare, dan / atau rambut rontok. Obat yang berbeda dapat
mempengaruhi bagian-bagian tubuh yang berbeda.
Kemampuan kemoterapi untuk membunuh sel-sel kanker tergantung pada
kemampuannya untuk menghentikan pembelahan sel. Biasanya, obat bekerja
dengan merusak RNA atau DNA yang memberitahu sel bagaimana untuk
menyalin dirinya dalam divisi. Jika sel-sel tidak dapat membagi, mereka mati.
Semakin cepat sel-sel membagi, semakin besar kemungkinan kemoterapi
yang akan membunuh sel kanker. Mereka juga menyebabkan sel bunuh diri
(self-kematian atau apoptosis).
Mekanisme kerja dari Cytarabine adalah Inhibisi DNA sintesis. Sitosin
memasuki sel melalui proses carrier dan harus mengalami perubahan menjadi
senyawa aktifnya : arasitidin trifosfat. Sitosin adalah analog purin dan
bergabung ke dalam DNA, sehingga, cara kerja utamanya adalah inhibisi
DNA polimerase yang mengakibatkan penurunan sintesis dan perbaikan
DNA. Tingkat toksisitasnya mempunyai korelasi linear dengan masuknya
sitosin ke dalam DNA, bergabungnya DNA dengan sitosin berpengaruh
terhadap aktivitas obat dan toksisitasnya.
Pada pemberian Cytarabine ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
diantaranya adalah :
Cytarabine termasuk moderate emetogenik ---- premedikasi diberikan Inj.
Ondansetron 8 mg i.v bolus.
Cytarabine dapat menyebabkan terjadinya Neutropenia , sehingga harus
diwaspadai resiko terjadinya infeksi
Cytarabine dapat menyebabkan terjadinya luka pada mulut setelah
menjalani chemoterapy 1 2 siklus, rekomendasi : dosis dapat diturunkan
25-50% tergantung hasil observasi kemungkinan munculnya efek samping
penggunaan Cytarabine.
DAFTAR PUSTAKA
Ashariati, A. 2006. Sindrom Dismielopoetik. In: Sudaryono, AW., Setiyohadi, B.,
Alwi, I. (editors) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Pp: 663-5
Greenberg, PL., et al. 2004. Myelodisplatic Syndrome. In: Greenberg, PL., Attar, E.,
Battiwalla, M., Bennett, J., Bloomfield, J., DeCastro, C. (editors) Practice
Guidelines in Oncology .Vol.1. 2004. New York: National Comprehensive
Cancer Network (NCCN). Pp: 1-14
Guidelines for Prevention and Treatment of Chemotherapy-Induced Nausea and
Vomiting in Adults. BC Cancer Agency - SCNAUSEA Protocol Revised 2012
http://www.google.co.id/http://kerangijo.wordpress.com/13
http://www.google.co.id/http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2009/07/05/myelody
splasia-syndrome.
Malcovati, L., E. Hellstram-Lindberg, et al. "Diagnosis and treatment of primary
myelodysplastic syndromes in adults: recommendations from the European
LeukemiaNet." Blood 122(17): 2943-2964.
NCCN clinical practice guidelines in oncology. Cancer-and chemotherapy-induced
anemia. V. 2.2010.
NCCN clinical practice guidelines in oncology. Cancer-and chemotherapy-induced
anemia. V. 2.2014.
Young, Neals S. 2008. Aplastic Anemia, Myelodysplasia, and Related Bone Marrow
Failure Syndrome. In: Kasper, DL., Braunwald, E., Fauci, A., Hauser, S.,
Longo, D., Jameson, J. (editors) Harrisons 17th edition Principles of Internal
Medicine. New York: McGraw Hill. Pp: 668-71