Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tubuh manusia memiliki respon imun yang bisa melindungi tubuh dari
serangan patogen apapun. Penyakit yang menyerang tubuh akan menurunkan
system imun, seperti adanya penyakit gagal ginjal. Bahkan, jika dibutuhkan, dapat
dilakukan tranfusi atau bahkan transplantasi untuk kualitas hidup yang lebih baik.
Pada skenario ini, ada istri pak Eko yang menderita gagal ginjal dan perlu
mendapatkan transfusi darah karena kadar hemoglobinnya terus menurun.
Namun, transfusi memiliki beberapa risiko, diantaranya adanya penyakit yang
bisa ditularkan melalui transfusi seperti hepatitis, malaria, sifilis bahkan
HIV/AIDS. Selain itu transfusi hanya bersifat sementara dan istri Pak Eko
diharapkan dapat menjalankan cangkok ginjal.
Menurut

dokter, daya

imunnya

juga terus

menurun,

baik

karena

perkembangan penyakit, diet ketat maupun terapi yang harus diterimanya. Apakah
sama dengan imunisasi tidak yang berhasil karena daya imun yang lemah? Lalu
bila mendonorkan darah, pernah ada kejadian setelah gatal-gatal dan sesak nafas,
yang disebabkan karena darah yang tidak cocok. Ada juga kasus keguguran yang
terjadi karena janin dan darah ibunya tidak cocok. Sebenarnya, apa yang tidak
cocok?
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hubungan antara sistem imunitas tubuh dengan transplantasi dan
transfusi?
2. Mengapa penyakit gagal ginjal dapat menyebabkan menurunnya daya imun
dan menurunnya kadar hemoglobin?
C. TUJUAN
1. Dapat menjelaskan sistem imun manusia serta komponen-komponennya.

2. Dapat menjelaskan imunohematologi dan transplantasi organ.


D. MANFAAT PENULISAN
1. Sebagai sarana pelaporan akan hasil kegiatan diskusi tutorial yang telah
berlangsung di dalam 2 (dua) sesi pertemuan.
2. Sebagai sarana pembelajaran di dalam pembuatan laporan, yang mana kelak
laporan ini merupakan suatu hal yang tidak dapat ditinggalkan dalam setiap
kegiatan.
3. Sebagai sarana pembelajaran blok imunologi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TRANSFUSI
Antigenitas dapat menyerbabkan respon imun dalam darah. Saat transfusi pertama
kali biasanya timbul aglutinasi dan hemolisis sel darah cepat atau lambat, yang
menimbulkan reaksi transfusi yang khas dan kadang-kadang menyebabkan kematian.
Kalau darah yang ditransfusikan tidak cocok maka akan terjadi aglutinasi. Aglutinin
mempunyai 2 tempat pengikatan IgG dan 10 tempat pengikatan dengan IgM. Jadi
satu aglutinin bisa melekat pada dua atau lebih sel darah merah pada waktu yang
sama sel-sel menggumpal (aglutinasi) menyumbat pembuluh darah kecil di
seluruh sistem sirkulasi gangguan fisik sel dan serangan sel darah putih fagositik
menghancurkan sel-sel yang teraglutinasi melepas Hb ke plasma hemolisis sel
darah merah.
REAKSI CEPAT
Terjadi karena inkompabilitas golongan darah ABO yang di[pacu IgM. Biasanya
terjadi hemoglobinuria. Hemoglobin yang ada di dalam bilirubin bersifat toksik.
Gejala yang terjadi : demam, menggigil, nausea, bekuan pembuluh darah,
hemoglobinuria, nyeri pinggang bawah.
REAKSI LAMBAT
Terjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan darah kompatibel
ABO tapi inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi terjadi setelah 2-6
hari setelah transfusi. Darah transfusi memacu pembentukan IgG terhadap
berbagai antigen membran golongan darah (Rhesus, Kidd, Kell, Duffy)
Pada sistem imun ABO, aglutinin plasma bertanggung jawab atas terjadinya reaksi
transfusiu yang timbul secara spontan. Pada sisem imun Rh, reaksi aglutinin spontan
hampir tidak pernah terjadi.orang mula-mula harus terpajan antigen Rh secara masif
baru bisa mempunyai cukup aglutinin untuk menyebbakan reaksi transfusi yang
bermakna.
Jika orang Rh- belum pernah terpajan transfusi Rh+ akan menyebabkan reaksi
transfusi lambat dan ringan. Reaksi ini terjadi setelah terbentuk aglutinin anti Rh

cukup (2-4 minggu). Jika orang tersebut ditransfusi lagi maka reaksi akan segera
timbul dan sangat kuat. Reaksi transfusi aglutinasi yang terjadi ketika sel darah
transfusi masih di sirkulasi setelah aglutinin anti Rh terbentuk cukup. Kemudian sel
darah transfusi dihemolisis sel makrofag.
Perbedaan Rh pada ibu dan anak dapat menyebabkan eritoblastosis fetalis. Penyakit
ini terjadi pada janin yang baru lahir karena adanya fagositosis dan aglutinasi sel
darah merah. Biasanya bapak Rh+,ibu Rh -. Aglutinin ibu ke janin akan beraglutinasi
jika janin Rh+. Jadi akan terjadi aglutinasi di janin hemolisis Hb dilepas di darah
makrofag janin mengubah Hb menjadi bilirubin bayi ikterik. Antibodi ibu bersirkulasi
di darah bayi selama 1-2 bulan dan menyerang sel-sel tubuh lainnya dan dapat
menyebakan keguguran pada kehamilan. Insidens penyakit terus meningkat secara
progresif pada kehamilan berikutnya.
(Guyton & Hall, 2007)
C. TRANSPLANTASI
Setiap sel dan jaringan tubuh mempunyai komplemen tambahan masing-masing
terhadap antigen yang menyebabkan transplantasi sel asing akan diinvasi resipien
dengan sistem imunnya
ISTILAH
Autograft
Isograft/syngeneic

ARTI
Memakai jaringan sendiri
Identitas genetik antara donor

Allograft/allogeneic

dan resipien sama


Donor dan resipien dari
spesies sama, tetapi genetik

Xenograft/xeno-geneic

tidak identik
Donor dan resipien dari
spesies berbeda

(Baratawidjaja, 2006)
D. REAKSI PENOLAKAN
Sistem imun yang berperan pada proses penolakan adalah system imun yang
juga berperan terhadap mikroba. Transplantasi adalah memindahkan alat atau

jaringan tubuh dari satu orang ke orang lain. Hal tersebut merupakan tindakan pilihan
bila suatu alat atau jaringan tubuh yang vital rusak permanen akibat proses penyakit.
Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian utama adalah antigen golongan
darah ABO, sistem HLA yang polimorfik, antigen minor yang menyangkut golongan
darah non-ABO, dan antigen yang berhubungan dengan kromosom sex.
(Baratawidjaja, 2007).
Permasalahan yang dapat terjadi dalam transplantasi adalah penolakan alat
atau jaringan tubuh donor oleh resipien atau sebaliknnya. Yang terjadi dalam
mekanisme penolakan ini adalah hipersensitivitas tipe IV yaitu reaksi dari sistem
imun tubuh yang berlebihan yang diperantarai oleh sel T. Berdasarkan kecepatan
terjadinya penolakan pada tubuh resipien, maka reaksi penolakan di bagi menjadi tiga
yaitu:
a) Penolakan hiperakut: tejadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah
transplantasi. Hal ini disebabkan oleh destruksi oleh antibodi yang sudah ada pada
resipien terhadap tandur/antigen donor, akibat transplantasi/transfusi darah atau
kehamilan sebelumnya. Antibodi tersebut mengaktifkan komplemen yang
menimbulkan edem dan perdarahan interstitial dalam jaringan tandur sehingga
mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan.
b) Penolakan akut: penolakan akut terlihat pada resipien yang sebelumnya tidak
disensitasi terhadap tandur. Penolakan dapat terjadi sesudah beberapa minggu
sampai bulan setelah tandur tidak berfungsi sama sekali dalam waktu 5-21 hari.
c) Penolakan kronik: adalah hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara
perlahan beberapa bulan setelah organ berfungsi normal. Hal tersebut disebabkan
oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen tandur oleh karena timbulnya
intoleransi terhadap sel T. Terkadang juga diakibatkan sesudah pemberian
imunosupresan dihentikan (Baratawidjja, 2006).
Untuk mengurangi reaksi penolakan dalam transplanstasi organ yang dalam
kasus ini dalah transplantasi ginjal maka perlu dilakukan beberapa prosedur baik
untuk resipien maupun untuk donor. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari
resipien adalah sebelum pasien gagal ginjal dicalonkan sebagai calon resipien

transplantasi ginjal, harus dipastikan terlebih dahulu apakah pasien memang sudah
mengalami gagal ginjal tahap akhir. Karena tranplantasi ginjal merupakan suatu
tindakan medik yang sangat beresiko. Dari pihak donor yang perlu diperhatikan
adalah pada seleksi calon donor mengenai transplantasi ginjal adalah untuk
identifikasi adanya masalah dari segi faktor imunologi yaitu berupa golongan darah
ABO resipien harus sama dengan donor agar tidak tejadi penolakan akut dan
hiperakut. Selain golongan darah ABO, kompleks histokompabilitas mayor (HLA)
juga mempunyai peran yang penting. Kesesuaian HLA antara donor dan resipien
dapat mempengaruhi keberhasilan transplantasi. Jika donor adalah saudara kandung
yang mempunyai HLA identik, maka ketahanan hidup ginjal transplant 1 tahun
adalah 90-95%. (Sudoyo, Aru W., 2006)
Pada transplantasi autograph dan isograph biasanya memberikan hasil yang baik,
sedang allograft sering ditolak. Telah dibuktikan bahwa penolakan allograft
disebabkan karena reaksi imun yang ditimbulkan oleh limfosit. Reaksi tersebut terjadi
dengan memori,sehingga jaringan kedua yang dicangkokkan dari donor yang sama
akan menimbulkan penolakan yang lebih cepat.
Histokompatibilitas adalah kemampuan seseorang utnuk menerima tandur dari
orang lain, suatu keadaan bila tidak terjadi respons imun. Yang menentukan apakah
tandur dapat diterima ialah gen histokompabilitas, yang terpenting adalah gen MHC.
Kompabilitas golongan darah ABO merupakan hal yang pertama harus dilakukan.
Antigen ABO yang merupakan golongan darah utama, ditemukan pada permukaan sel
darah merah, dan gen yang member kodenya adalah polimorfik.Antigen karbohidrat
itemukan pada sel darah merah dan beberapa jaringan lain. Kebanyakan orang
mempunyai antibody (isohemaglutinin) yang mengenal antigen tersebut.
Tissue typing adalah identifikasi antigen MHC. MHC-I menentukan antigen
permukaan semua sel dalam tubuh yang memiliki nucleus yang dapat menjadi sasaran
penolakan pada transplantasi atas pengaruh sel CTL/Tc antibodi dan komplemen.
Gen-gen yang memberi kode molekul MHC adalah polimorfik. Antigen MHC-II atau
antigen Ia merupakan antigen yang mengaktifkan sel Th. Antigen MHC-II merupakan
antigen terpenting pada penolakan tandur. Pada umumnya tandur tidak akan hidup

bila donor dan resipien tidak memiliki satu haplotip DR pun yang sama. Sel Th
resipien akan memberikan respons terhadap antigen donor sedang sel TH donor akan
memberikan respons yang sama terhadap antigen resipien dangan akibat matinya
tnadur. Kemungkinan antigen HLA dari 2 individu akan sama sanagat kecil (1 dalam
10 juta).
Antigen histokompabilitas minor antara lain adalah golongan non ABO dan
antigen yang berhubungan dengan kromosom seks. Antigen tersebut biasanya lebih
lemah dibanding antigen MHC, dan diduga merupakan antigen yang dijadikan
sasaran pada penolakan dengan awitan lambat.
Sel passenger adalah sel leukosit donor yang terdapat dalam jaringan tandur. Sel
Th resipien dapat memberikan respons terhadap antigen donor. Interaksi dapat pula
terjadi antara sel-sel system imun donor dan resipien karena keduanya memiliki profil
MHC-II. Leukosit donor dapat bermigrasi ke luar dari tandur dan meusk ke dalam
system limfoid resipien.
Cross-matching

merupakan suatu tindakan untuk menguji serum resipien

terhadap antibody HLA performed donor. Bila serum pasien tidak menghancurkan
limfosit donor, Mixed Lymphocyte Reaction (MLR) dapat dilakukan tunuk
menentukan apakah sel donor merangsang blastogenesis dengan adanya linfosit
resipien. Untuk mencegah penolakan tandur, pertama jenis jaringan donor dan
resipien harus disesuaikan dalam golongan darah ABO. Antigen ABO adalah penting
oeh karena antigen itu diekspresikan pada banyak jenis sel. Antibodinya yang sudah
ada pada resipien yang inkompatibel dapat menimbulkan kerusakan jaringan tandur,
misalnya pada ginjal. Berikutnya adalah antigen histokompabilitas mayor dan minor.
MHC merupakan induksi terkuat dari reaksi penolakan yang ditimbulkan melalui sel
T. Keseulitan dengan MHC adalah bentuknya yang sangat polimorfik,sehingga untuk
menemukan donor an resepien yang cocok sangat sulit, kecuali pada kembar identik.
Masa hidup tandur ditentukan oleh banyaknya spesifisitas yang dimiliki bersama oleh
donor dan resipien. (Baratawijadja, 2006)
E. IMUNOSUPRESI

Imunosupresi merupakan suatu tindakan untuk menekan respon imun. Kegunaannya


di klinik terutama pada transplantasi dalam usaha mencegah reaksi penolakan dan
berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan.
A. Steroid
1. Efek Inflamasi
Steroid seperti glukokortikoid atau kortikosteroid adalah molekul lipofilik
yang ditemukan dalam darah dan kebanyakan diikat oleh globulin dan
albumin. KS merupakan antiinflamasi terefektif. Namun kegunaannya
terbatas oleh efek samping yang ditimbulkannya. Efeknya terhadap
metabolisme otot, kulit, lemak, tulang dan perilaku diduga disebabkan
oleh efek reseptor KS jalur yang berbeda dari jalur inflamasi.
2. Efek Imunosupresi
KS menimbulkan redistribusi sel B dan T matang dari sirkulasi ke limpa
dan sumsum tulang. Aktivasi farmakologis KS adalah meningkatkan
sintesis protein anti-inflamasi dan menurunkan sintesis protein proinflamasi. Dalam pencegahan sintesis protein anti-inflamasi ada 2
mekanisme molecular:
a.Mekanisme direk yang mengikat kompleks GC-R pada tempat GRE
yang terletak dalam DNA, mengakibatkan represi gen yang menyandi
protein transkriptasi untuk protein pro-inflamasi.
b. Mekanisme indirek, melibatkan interaksi kompleks GC-R dengan
sasaran gene transcription factor, mencegah transcription coding untuk
sintesis protein pro-inflamasi.
B. Siklofosfamid
Siklofosfamid merupakan alkylating agent yang semula dibuat sebagai analog
nitrogen mustard dalam pengobatan kanker. Dewasa ini SP banyak digunakan
dalam pengobaatan penyakit imun sebagai kemoterapi kanker dan pada
transplantasi

sumsum

tulang.

SP

diabsorbsi

baik

oleh

usus

dan

metabolismenya terjadi di hati.Bahan aktif utama SP ialah metabolitnya


berupa phosphoramide mustard dan akrolein. Phosporamide merupaka
alkylating agent yang mengikat makromolekul selular antara lain DNA, RNA

dan protein. SP dapat pula menimbulkan komplikasi pada jantung berupa


miokarditis hemoragi dan pada paru-paru berupa pembengkakan endotel.
C. Antagonis Purin
1. Azatioprin
Kegunaannya dalam klinik yaitu pada transplantasi, arthritis rheumatoid,
LES, IBD, penyakit saraf. Efek samping potensial AT dapat berupa
mielotoksik dan toksik terhadap hati dan gastrointestinal. Efek samping
yang sering berupa nausea, muntah, leucopenia.
2.Mikofenolat Mofetil
Merupakan inhibitor inosin monofosfat dihidrogenase yang berperan pada
sintesis guanosin dan tidak menghambat enzim yang berperan dalm sintesis
DNA atau merusak kromosom. Efek samping MM berupa gastrointestinal
seperti muntah, sakit perut dan diare. Jadi MM dapat meningkatan risiko
terhadap infeksi berbagai virus seperti herpes, CMV, Epstein-Barr dan jamur
oportunistik.
D. Siklosporin-A
Siklosporin diisolasi dari jamur Tolypocladium Inflatum Gams dapat
mencegah proliferasi sel T reaktif. Dewasa ini banyak digunakan untuk
mencegah penolakan pada transplantasi antara lain sumsum tulang.
E. Takrolimus
Diisolasi dari mikroorganisme asal tanah dan dapat mencegah aktifasi sel T
aloreaktif.

Takrolimus

meningkatkan

kadar

mencegah
kalsium

sinyal

bebas

jalur

intraseluler

transduksi
sehinggan

dengan
akan

mengaktifkan transkripsi limfokin dan gen lain yang esensial untuk


ploriferasi sel T.
F. Rapamisin
Rapamisin diisolasi dari Streptomyces hygroscopius dapat mencegah
proliferasi sel T. Repamisin mencegah jalur sinyal proliferasi selular yang
tidak tergantung dari kadar Ca.
G. Metotreksat

Merupakan antagonis asamfolat yang sudah digunakan untuk lebih dari 40


tahun yang semula dibuat sebagai anti kanker. Efek toksik yang sering
terjadi pada system gastrointestinal berupa anoreksia, nausea, muntah dan
diare.
F. REAKSI HIPERSENSITIFITAS
Reaksi hipersensitifitas adalh reaksi inflamasi, dapat humoral atau selular. Ada
4 tipe reaksi, yaitu (Baratawidjaja, 2009)
a. Reaksi tipe I
Diperankan oleh IgE yang diikat Fc-R pada sel mast atau basofil. Ikatan silan
antara IgE pada sel mast atau basofil dan alergen yang melepas sejumlah
mediator farmakologis aktir. Efek utama mediatu tersebut adalah kontraksi
otot polis dan vasodilatasi.
b. Reaksi tipe II
Terjadi bila antibodi bereaksi dengan determinan antigen pada permukaan sel
yang menimbulakn kerusakan sel atau kematian melalui lisis dengna bantuan
komplemen atau ADCC. Reaksi transfusi dan penyakit hemolitik pada bai
baru lahir merupakan reaksi tipe II.
c. Reaksi tipe II
Terjadi

mlalui

pembentukan

kompleks

imun

yang

mengaktifkan

komplemen.Aktivasi komplemen menghasilkan melokul efektor yang


menimbulkan vasodilatasi lokal dan menarik neutrofil. Endapan kompleks
imun di dekat antigen masuk dapat menginduksi reaksi Arthus; akumulasi
neutrofil yang melepas enzim litik, aktivasi komplemen yang menimbulkan
kerusakan jaringan setempat.
d. Reaksi tipe IV
Merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagain besar oleh
reaktivitas sel T terhadap antigen.

BAB III
PEMBAHASAN
Bu Eko menderita gagal ginjal, yang membuatnya perlu mendapatkan
transfusi darah dan diharapkan dapat menjalani operasi cangkok ginjal. Pada
pencangkokan organ, dapat terjadi rejection atau reaksi penolakan. Hal ini terjadi
karena organ yang ditransplantasi tersebut dianggap sebagai benda asing oleh tubuh.
Maka, terjadi reaksi imun baik humoral maupun seluler, yang merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Pada mekanisme humoral Sel T akan merangsang sel B
dengan mengeluarkan beberapa sitokin yaitu IL-2, IL-4, IL5, IL-6. Sel B akan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian mengeluarkan antibodi terhadap
antigen sel donor sehingga merangsang aktivasi komplemen, dan ADCC yang
menimbulkan apoptosis atau lisinya sel donor. Pada mekanisme seluler sel T akan
mengeluarkan IFN- untuk merangsang makrofag mengeluarkan zat toksik seperti
NO, H2O2, dan enzim protease yang dapat melisiskan sel donor. Selain itu sel T juga
mengeluarkan IL2 yang dapat mengaktifkan sel Tc dan Th untuk mengenali sel donor
melalui MHCI dan MHCII sehingga sel dapat dilisiskan, begitu pula pada sel donor
terhadap resipien. Untuk mengurangi reaksi penolakan tersebut, maka diberikanlah
imunosupresan untuk menekan sistem imun tubuh.
Keadaan hemoglobin yang terus menurun disebabkan karena keadaan gagal
ginjal itu sendiri, yang menyebabkan kadar eritropoiesis yang menurun. Keadaan
turunnya hemoglobin ini dapat diatasi dengan diberikannya transfusi darah. Namun,
seperti yang dikatakan dalam skenario, transfusi ini hanya penatalaksanaan
sementara. Yang diharapkan dapat dilakukan ialah melakukan pencangkokan ginjal,
sehingga eritropoiesis dapat dihasilkan dengan normal kembali dan keadaan
hemoglobin darah membaik.
Pemberian transfusi pada istri pak Eko merupakan suatu upaya medis untuk
memperbaiki penyakit ginjal kronik yang diderita ibu tersebut. Transfusi dapat
diberikan apabila terdapat indikasi medis yang jelas dan telah melalui berbagai
prosedur untuk melaksanakan trasfusi darah yaitu diantaranya tes Coombs indirek

untuk donor yaitu antibodi dalam serum donor dicampur dengan sel-sel dari resipien
dan tes serologis untuk beberapa penyakit seperti HIV, hepatitis B/C, sifilis (VLDR),
dan CMV. Sedangkan untuk resipien dilakukan juga major cross match yaitu serum
dari resipien di campur dengan RBC dari donor. Beberapa prosedural dalam
pelaksanaan transfusi dilakukan untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan
salah satunya anemia hemolitik yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 2 dan
penyakit yang dapat ditularkan melalui darah dalam proses transfusi.
Pada sistem imun ABO, aglutinin plasma bertanggung jawab atas terjadinya
reaksi transfusi yang timbul secara spontan. Pada sisem imun Rh, reaksi aglutinin
spontan hampir tidak pernah terjadi.orang mula-mula harus terpajan antigen Rh
secara masif baru bisa mempunyai cukup aglutinin untuk menyebabkan reaksi
transfusi yang bermakna.
Jika orang Rh- belum pernah terpajan transfusi Rh+ akan menyebabkan reaksi
transfusi lambat dan ringan. Reaksi ini terjadi setelah terbentuk aglutinin anti Rh
cukup (2-4 minggu). Jika orang tersebut ditransfusi lagi maka reaksi akan segera
timbul dan sangat kuat. Reaksi transfusi aglutinasi yang terjadi ketika sel darah
transfusi masih di sirkulasi setelah aglutinin anti Rh terbentuk cukup. Kemudian sel
darah transfusi dihemolisis sel makrofag.
Perbedaan Rh pada ibu dan anak dapat menyebabkan eritoblastosis fetalis.
Penyakit ini terjadi pada janin yang baru lahir karena adanya fagositosis dan
aglutinasi sel darah merah. Biasanya bapak Rh+,ibu Rh -. Aglutinin ibu ke janin akan
beraglutinasi jika janin Rh+. Jadi akan terjadi aglutinasi di janin hemolisis Hb dilepas
di darah makrofag janin mengubah Hb menjadi bilirubin bayi ikterik. Antibodi ibu
bersirkulasi di darah bayi selama 1-2 bulan dan menyerang sel-sel tubuh lainnya dan
inilah yang dapat menyebabkan keguguran pada kehamilan. Insidens penyakit terus
meningkat secara progresif pada kehamilan berikutnya

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Pada transfusi dan transplantasi, dapat terjadi reaksi hipersensitifitas. Pada
transfusi, dapat terjadi reaksi hipersensitifitas tipe II, sedangkan pada
transplantasi, dapat terjadi reaksi hipersensitifitas tipe IV. Oleh karena itu,
setelah dilakukan transplantasi, perlu diberikan imunosupresif untuk menekan
sistem imun agar tidak terjadi reaksi penolakan.
2. Pada penyakit gagal ginjal, dapat terjadi hemoglobin dan daya imun yang
menurun karena gangguan atau menurunnya produksi eritropoiesis, yang
dihasilkan di ginjal.
B. SARAN
1. Perlu pelaksanaan transfusi dan transplantasi yang sesuai prosedur untuk
menghindari berbagai komplikasi yang dapat terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, Aru W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Baratawidjaja, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar Edisi ke Tujuh. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Baratawidjaja, Karnen Garna. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke Delapan. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI
Guyton, Arthur C. And Hall, John E.. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC

Anda mungkin juga menyukai