260112090513
260112090535
Astiany Nurjanah
260112090543
Mia Fitriana
260112090547
Nanih Ratnawati
260112090555
260112090559
Sandhi Hasan
260112090589
Anita Nurdiyani S
260112090560
Deasy Ariyani
260112090565
260112090575
Andreas Wahyu C
260112090591
260112090595
Indry Mylanti
260112090596
Hairunnisa
260112090604
I. PENDAHULUAN
Kosmetik saat ini telah menjadi kebutuhan manusia yang tidak bisa
dianggap sebelah mata lagi. Jika disadari bahwa wanita maupun pria, sejak dari
bayi hingga dewasa, lahir hingga ajal tiba, semua membutuhkan kosmetik.
Lotions untuk kulit, powder, sabun, depilatories, deodorant merupakan salah satu
dari sekian banyak kategori kosmetik. Dan sekarang semakin terasa bahwa
kebutuhan adanya kosmetik yang beraneka bentuk dengan ragam warna dan
keunikan kemasan serta keunggulan dalam memberikan fungsi bagi konsumen
menuntut industri kosmetik untuk semakin terpicu mengembangkan teknologi
yang tidak saja mencakup peruntukkannya dari kosmetik itu sendiri namun juga
kepraktisannya didalam penggunaannya. Sebagai contoh, keberadaan sabun cair
dalam kemasan yang unik dan praktis dibawa atau dari sisi formulasinya seperti
sediaan tabir surya telah ada kandungan pelembabnya sehingga bagi pengguna
terasa praktis dan hal ini akan menjadi alternatif bagi masyarakat yang senang
bepergian.
A. Kosmetik
1. Definisi
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik, dinyatakan bahwa definisi
kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada
bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital
bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan,
mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau
melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik. Ini berarti bahwa sesuatu
dimasukkan ke dalam kosmetik jika memenuhi maksud dan fungsi sebagaimana
tersebut di atas.
Menurut PERMENKES 220/1976 kosmetik merupakan bahan atau
campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan atau
disemprotkan pada, dimasukkan dalam, dipergunakan pada badan atau bagian
badan manusia dimaksudkan untuk membersihkan, memelihara, menambah daya
tarik atau mengubah rupa dan tidak termasuk golongan obat.
Wewenang Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
termasuk pengaturan untuk klaim pada kosmetik. Kosmetik hanya dapat
mengklaim manfaat sebagai kosmetik. Dan tidak mengklaim pengobatan ataupun
terapetik. Klaim manfaat kosmetik harus secara internasional dapat diterima dan
didasarkan pada data dan atau sesuai dengan formulasi kosmetik. Perusahaan atau
orang yang bertanggungjawab pada peredaran kosmetik dapat mengklaim manfaat
kosmetik tersendiri dengan menggunakan protokol yang secara ilmiah dapat
diterima disertai data teknis dan data klinis yang pasti.
2. Tujuan Kosmetika
Dahulu :
a. Melindungi tubuh dari alam (panas dari sinar matahari menyebabkan kulit
terbakar, dingin menimbulkan kekeringan, iritasi karena gigitan nyamuk).
b. Tujuan Religius : Bau dari kayu tertentu contohnya cendana, dipercaya
dapat mengusir mahluk halus
Sekarang : Personal hygiene, meningkatkan daya tarik - make up, meningkatkan
kepercayaan diri dan ketenangan, melindungi kulit rambut dari sinar ultraviolet
Bahan kosmetik adalah bahan atau campuran bahan yang berasal dari alam
dan atau sintetik yang merupakan komponen kosmetik. Maksud dan tujuan
adanya peraturan bahan kosmetik antara lain bahwa kosmetik yang beredar di
wilayah Indonesia harus menggunakan bahan kosmetik yang memenuhi
persyaratan keamanan, mutu dan manfaat.
Produsen penghasil kosmetik diwajibkan secara hukum untuk memenuhi
produksi mereka dengan prinsip - prinsip dan panduan - panduan CPKB (Cara
Pembuatan Kosmetika yang Baik). Kesesuaian dengan panduan CPKB harus
menjamin bahwa produk kosmetik dengan kualitas yang konsisten haruslah
diproduksi dan diuji sesuai dengan standar kualitas baku tertentu. Standar dan cara
produksi kosmetika yang baik di Indonesia diatur oleh Keputusan Menteri
Kesehatan RI no. 965/MENKES/SK/XI/1992 dan Kepala Badan POM RI no.
HK.00.05.4.1745.
1. Bahan Baku Sangat Peka Terhadap Serangan Mikroba
Telah diketahui bahwa berdasarkan asal dan cara prosesnya, bahan baku
dapat memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi atau rendah atau sensitif terhadap
kontaminasi mikroba selanjutnya. Air yang bebas bahan padat sintetik biasanya
mengalami problem pembusukan mikroba yang rendah. Hal yang sama juga
terjadi pada air bebas minyak, lilin dan lemak sintetik, sebagaimana pula
pengemulsi, surfaktan dan agen aktif - permukaan (surface agent), yang
sepertinya tidak mendukung kemampuan mikroorganisme untuk berkembang.
Kondisi ini dapat berubah secara dramatis dengan segera apabila mereka
dicampur dengan bahan baku bersifat cair (aqueous). Bahkan bahan baku alami
dalam bentuk air yang bebas serbuk atau granula, dapat menjadi tempat
tumbuhnya mikroorganisme, virus ataupun toksin mikroba.
Analisa terhadap materi/bahan-bahan ini, dapat menunjukkan keberadaan
bakteri, spora Clostridium, Staphylococci, kapang dan khususnya toksik
fungi/jamur. Lebih jauh lagi, kemungkinan keberadaan spora bakteri tidak dapat
dihindari, karena keberadaan mereka bisa jadi telah ada semenjak tahap persiapan
produksi dengan prosentase alkohol yang tinggi. Bahan mentah alami yang
diekstrak, diproduksi ataupun disediakan dalam bentuk cairan, juga sensitif
dapat
menyebabkan
bahan
baku
ini
mendukung
pertumbuhan
Organisme
D. Kualitas Kosmetik
Untuk mengenali kosmetik yang aman, bermutu dan bermanfaat,
masyarakat harus membaca semua keterangan pada label kosmetik. Label atau
penandaan kosmetik sekurang - kurangnya mencantumkan nama dan alamat
produsen, nama, kegunaan kecuali untuk kosmetk yang sudah jelas kegunaannya
(contoh: lipstik), cara penggunaan kosmetik kecuali untuk kosmetik yang sudah
jelas cara penggunaannya (contoh: bedak), komposisi bahan penyusun kosmetik
tersebut dengan menggunakan nama International Nomenclature Cosmetic
Ingredient (INCI) (contoh aqua dan bukan water) dan diurutkan dari presentase
besar ke kecil, nama dan alamat perusahaan yang bertanggungjawab terhadap
peredaran kosmetik, netto atau berat bersih, no batch dan tanggal daluwarsa serta
peringatan bila ada (contoh : bahan aluminum fluorida untuk sediaan higiene
mulut pada penandaannya harus dicantumkan mengandung aluminium
fluorida).
1. Karakteristik mutu kosmetik
Kosmetik mempunyai mutu yang baik apabila kepuasan konsumen
tercapai. Pencapaian kepuasan konsumen terdiri dari design, manufaktur dan
sales. Persyaratan kualitas dasar meliputi safety, stability, efficacy, usability.
Safety: tidak ada iritasi kulit, sensitivitas kulit, toksisitas oral, bercampur
(reologi)
Efficacy: uji efikasi untuk setiap produk
perlindungan
isi
(uji
perlindungan
terhadap
cahaya,
dan didisinfeksi. Jendela dan pintu yang ada haruslah dalam keadaan tertutup
untuk menghindari debu, tanah, burung, rodent (binatang pengerat semisal tikus),
insekt (serangga). Sistem ventilasi eksternal haruslah cocok dengan filter yang
tepat dan diinspeksi secara rutin berkala. Secara khusus, dianjurkan untuk menguji
kandungan mikroorganisme udara secara rutin. Untuk hampir keseluruhan area
produksi, perhitungan mikroba yang diterima adalah kurang dari 500 cfu/m 3.
untuk sistem ventilasi pada tangki penyimpanan, dianjurkan untuk menggunakan
filter yang tidak permeabel terhadap debu dan mikroorganisme. Sebagai
tambahan, drum dan kontainer-kontainer kecil pada area filling harus dilindungi
dari debu dan tanah selama penyimpanan dan proses filling berlangsung.
(Diadaptasi dari Good Manufacturing Practice for Producers of Cosmetic
Ingredients).
4. Peralatan
Peralatan harus sedemikian rupa sehingga rancang bangun, pemasangan
dan penempatan peralatan serta pemeliharaannya ditempatkan sesuai dengan
produk yang dibuat.
Yang perlu diperhatikan pada produksi dimulai dari bahan awal yang
meliputi air yang digunakan harus sekurang-kurangnya berkualitas air minum,
verifikasi bahan sesuai dengan spesifikasi standar yang ditetapkan dan bila tidak
sesuai maka dilakukan reject terhadap bahan tersebut,pencatatan bahan, sistem
pemberian nomor bets, penimbangan dan pengukuran, prosedur dan pengolahan
sesuai dengan bentu kosmetik yang dibuat, pelabelan dan pengemasan, serta
produk jadi, karantina dan pengiriman ke gudang produk jadi.
Kualitas Bahan Baku
Perhatian khusus perlu diberikan terhadap produksi ingredient kosmetik
yang sangat peka terhadap serangan mikrobial. Ingredient ini haruslah ditangani
dengan penanganan khusus. Dikarenakan ingredient ini biasanya diawetkan, maka
proses produksi haruslah didesain sedemikian rupa untuk menjamin bahwa aksi
bahan pengawet ini tidak mudah rusak pada setiap tahap produksi atapun selama
masa penyimpanan. Persyaratan krusial produksi ingredient kosmetik dengan
kandungan mikroorganisme rendah adalah dengan menggunakan bahan baku yang
memiliki kandungan mikroorganisme rendah pula. Pengujian selanjutnya adalah
haruslah memeriksa kandungan mikroorganisme pada bahan kritis sebagaimana
pemeriksaan kesesuaian bahan dengan spesifikasi kimia dan fisika yang telah
ditentukan (Diadaptasi dari Good Manufacturing Practice for Producers of
Cosmetic Ingredients)
7. Pengawasan Mutu
Pengawasan mutu merupakan jaminan konsistensi mutu produk kosmetik
yang dihasilkan, yang meliputi antara lain pengambilan contoh (sampling) dan
program pemantauan lingkungan, tinjauan dokumentasi bets, dan pemantauan
mutu produk di peredaran.
8. Dokumentasi
Sistem dokumentasi merupaka riwayat setiap bets, mulai dari bahan awal
sampai produk jadi, spesifikasi bahan baku dan bahan pengemas, spesifikasi
produk ruahan dan produk jadi, dokumen produksi yang meliputi dokumen induk,
catatan pembuatan bets, catatan pengawasan mutu.
9. Audit Internal
Audit internal terdiri dari kegiatan penilaian dan pengujian seluruh atau
sebagian dari aspek produksi dan pengendalian mutu dengan tujuan untuk
meningkatkan sistem mutu. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh pihak luar, atau
auditor profesional atau tim internal yang dirancang oleh manajemen untuk
keperluan ini.
10. Penyimpanan
Area penyimpanan hendaknya cukup luas untuk memungkinkan
penyimpanan bahan baku, produk jadi, produk karantina, produk yang lulus uji,
ditolak, dikembalikan atau ditarik dari peredaran.
Area penyimpanan haruslah bersih dan kering dan bahan yang disimpan
haruslah dapat diidentifikasi dengan jelas. Panduan CPKB juga mengindikasikan
bahwa bahan yang dikarantina dan yang dikeluarkan haruslah dipisahkan dan
diberi label. Berikutnya, bagi bahan baku yang tersedia, penghitungan
mikroorganisme pada produksi air secara khusus merupakan suatu hal yang
krusial dan penting. Di dalam istilah volume, produksi air seringkali menjadi
komponen utama bagi suatu formulasi dan oleh karena alasan inilah air haruslah
diuji kandungan mikrobanya secara rutin. Apabila memungkinkan, sejumlah
pengukuran (filtrasi bakteri, irradiasi ultaviolet, ozonisasi, dll) dapat dilakukan
untuk mengurangi jumlah mikroorganisme sehingga dapat mencapai level yang
dapat diterima. (Diadaptasi dari Good Manufacturing Practice for Producers of
Cosmetic Ingredients)
11. Kontrak produksi dan pengujian
Pelaksanaan kontrak produksi dan pengujian dijabarkan, disepakati dan
diawasi sedemikian rupa sehingga semua aspek pekerjaan yang dikontrakkan
ditetapkan secara rinci pada dokumen kontrak. Dalam hal kontak pengujian,
keputusan akhir terhadap hasil pengujian suatu produk, tetap merupakan
tanggungjawab pemberi kontrak. Penerima kontrak hanya bertanggungjawab
terhadap pelaksanaan pengujian sampai diperoleh hasil pengujian.
12. Penanganan keluhan
III. LAMPIRAN
1. CPKB 2003
Menimbang :
a. bahwa kosmetik merupakan suatu produk yang pada saat ini sudah sangat
dibutuhkan oleh masyarakat;
b. bahwa untuk melindungi masyarakat terhadap hal-hal yang dapat
merugikan kesehatan, maka perlu dicegah beredarnya kosmetik yang tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan;
c. bahwa agar produksi kosmetika dalam negeri dapat tetap memiliki daya
saing di tingkat internasional khususnya AFTA, maka perlu adanya
peningkatan mutu, keamanan dan kemanfaatan kosmetik produksi dalam
negeri;
d. bahwa langkah utama untuk menjamin mutu, keamanan dan kemanfaatan
kosmetik bagi pemakainya adalah penerapan Cara Pembuatan Kosmetik
yang Baik pada seluruh aspek dan rangkaian kegiatan produksi;
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB) merupakan salah satu
faktor penting untuk dapat menghasilkan produk kosmetik yang memenuhi
standard mutu dan keamanan. Mengingat pentingnya penerapan CPKB maka
pemerintah secara terus menerus memfasilitasi industri kosmetik baik skala besar
maupun kecil untuk dapat menerapkan CPKB melalui langkah-langkah dan
pentahapan yang terprogram. Penerapan CPKB merupakan persyaratan kelayakan
dasar untuk menerapkan sistem jaminan mutu dan keamanan yang diakui dunia
internasional. Terlebih lagi untuk mengantisipasi pasar bebas di era globalisasi
maka penerapan CPKB merupakan nilai tambah bagi produk kosmetik Indonesia
untuk bersaing dengan produk sejenis dari Negara lain baik di pasar dalam negeri
maupun internasional.
Dalam pembuatan kosmetik, pengawasan yang menyeluruh disertai
pemantauan sangat penting untuk menjamin agar konsumen memperoleh produk
yang memenuhi pesyaratan mutu yang ditetapkan. Mutu produk tergantung dari
bahan awal, proses produksi dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan
personalia yang menangani. Hal ini berkaitan dengan seluruh aspek produksi dan
pemeriksaan mutu.
2. T u j u a n
2.1. Umum:
2.1.1 Melindungi masyarakat terhadap hal-hal yang merugikan dari penggunaan
kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan standar mutu dan keamanan.
2.1.2. Meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk kosmetik Indonesia
dalam era pasar bebas.
2.2. Khusus :
2.2.1. Dipahaminya penerapan CPKB oleh para pelaku usaha industri Kosmetik
sehingga bermanfaat bagi perkembangan industri Kosmetik.
2.2.2. Diterapkannya CPKB secara konsisten oleh industri Kosmetik
3. Sistem Manajemen Mutu
3.1. Sistem mutu harus dibangun, dimantapkan dan diterapkan sehingga kebijakan
yang ditetapkan dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai. Hendaknya
dijabarkan struktur organisasi, tugas dan fungsi, tanggungjawab, prosedurprosedur, instruksi-instruksi, proses dan sumber daya untuk menerapkan
manajemen mutu.
3.2. Sistem mutu harus dibentuk dan disesuaikan dengan kegiatan perusahaan,
sifat dasar produk-produknya, dan hendaknya diperhatikan elemen-elemen
penting yang ditetapkan dalam pedoman ini.
Kombinasi
pemeriksaan
dan
penyetelan
suatu
instrumen
untuk
Status bahan atau produk yang tidak boleh digunakan untuk diolah,
dikemas atau didistribusikan.
18. Produk (kosmetik)
Suatu bahan atau sediaan yang dimaksud untuk digunakan pada berbagai
bagian dari badan (epidermis, rambut,kuku, bibir, dan organ genital kesternal)
atau atau gigi dan selaput lendir di rongga mulut dengan maksud untuk
membersihkannya, membuat wangi atau melindungi supaya tetap dalam
keadaan baik, mengubah penampakan atau memperbaiki bau badan.
19. Produksi
Semua kegiatan dimulai dari pengolahan sampai dengan pengemasan
untuk menjadi produk jadi.
20. Produk Antara
Suatu bahan atau campuran bahan yang telah melalui satu atau lebih tahap
pengolahan namun masih membutuhkan tahap selanjutnya.
21. Produk Jadi
Suatu produk yang telah melalui semua tahap proses pembuatan.
22. Produk Kembalian (returned)
Produk jadi yang dikirim kembali kepada produsen.
23. Produk Ruahan
Suatu produk yang sudah melalui proses pengolahan dan sedang menanti
pelaksanaan pengemasan untuk menjadi produk jadi.
24. Sanitasi
Kontrol kebersihan terhadap sarana pembuatan, personil, peralatan dan
bahan yang ditangani.
25. Spesifikasi Bahan
Deskripsi bahan atau produk yang meliputi sifat fisik kimiawi dan biologik
yang menggambarkan standar dan penyimpangan yang ditoleransi.
26. Tanggal Pembuatan
Adalah tanggal pembuatan suatu bets produk tertentu.
III. PERSONALIA
dalam
pembuatan
kosmetik.
Ia
harus
mempunyai
V. PERALATAN
Peralatan harus didisain dan ditempatkan sesuai dengan produk yang dibuat.
1. Rancang Bangun
1.1. Permukain peralatan yang bersentuhan dengan bahan yang diolah tidak boleh
bereaksi atau menyerap bahan.
1.2. Peralatan tidak boleh menimbutkan akibat yang merugikan terhadap produk
misalnya melalui tetesan oli, kebocoran katub atau melalui modifikasi atau
adaptasi yang tidak salah/tidak tepat.
1.3. Peralatan harus mudah dibersihkan.
1.4. Peralatan yang digunakan untuk mengolah bahan yang mudah terbakar harus
kedap terhadap ledakan.
2. Pemasangan dan Penempatan
2.1. Peralatan/mesin harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak
menyebabkan kemacetan aliran proses produksi dan harus diberi penandaan
yang jelas untuk menjamin tidak terjadi campur baur antar produk.
2.2. Saluran air, uap, udara bertekanan atau hampa udara, harus dipasang
sedemikian rupa sehingga mudah dicapai selama kegiatan berlangsung.
Saluran ini hendaknya diberi label atau tanda yang jelas sehingga mudah
dikenali.
2.3. Sistem-sistem penunjang seperti sistem pemanasan, ventilasi, pengatur suhu
udara, air (air minum, air murni, air suling), uap, udara bertekanan dan gas
harus berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuannya dan dapat
diidentifikasi.
3. Pemeliharaan
3.1. Peralatan untuk menimbang mengukur, menguji dan mencatat harus
dipelihara dan dikalibrasi secara berkala. Semua catatan pemeliharaan dan
kalibrasi harus disimpan.
3.2. Petunjuk cara pembersihan peralatan hendaknya ditulis secara rinci dan jelas
diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dengan jelas.
VI. SANITASI DAN HIGIENE
Sanitasi dan higiene hendaknya dilaksanakan untuk mencegah terjadinya
kontaminasi terhadap produk yang diolah..Pelaksanaan sanitasi dan hygiene
hendaknya mencakup personalia, bangunan, mesin-mesin dan peralatan serta
bahan awal.
1. Personalia
1.1. Personalia harus dalam keadaan sehat untuk melaksanakan tugas yang
dibebankan kepadanya. Hendaknya dilakukan pemeriksaan kesehatan secara
teratur untuk semua personil bagian produksi yang terkait dengan proses
pembuatan.
1.2. Semua personil harus melaksanakan higiene perorangan.
1.3. Setiap personil yang pada suatu ketika mengidap penyakit atau menderita
luka terbuka atau yang dapat merugikan kualitas tidak diperkenankan
menangani bahan baku, bahan pengemas, bahan dalam proses dan produk
jadi.
1.4. Setiap personil diperintahkan untuk melaporkan setiap keadaan (sarana,
peralatan atau personil) yang menurut penilaian mereka dapat merugikan
produk, kepada penyelia..
1.5. Hindari bersentuhan langsung dengan bahan atau produk yang diproses untuk
mencegah terjadinya kontaminasi. Personil harus mengenakan pakaian kerja,
tutup kepala serta menggunakan alat pelindung sesuai dengan tugasnya.
1.6. Merokok, makan-minum, mengunyah atau menyimpan makanan, minuman,
rokok atau barang lain yang mungkin dapat mengkontaminasi, hanya boleh di
daerah tertentu dan dilarang di area produksi, laboratorium, gudang atau area
lain yang mungkin dapat merugikan mutu produk.
1.7. Semua personil yang diizinkan masuk ke area produksi harus melaksanakan
higiene perorangan termasuk mengenakan pakaian kerja yang memadai.
2. Bangunan
2.1. Hendaklah tersedia wastafel dan toilet dengan ventilasi yang baik yang
terpisah dari area produksi.
2.2. Hendaklah tersedia locker di lokasi yang tepat untuk tempat ganti pakaian dan
menyimpan pakaian serta barang-barang lain milik karyawan.
2.3. Sampah di ruang produksi secara teratur ditampung di tempat sampah untuk
selanjutnya dikumpulkan di tempat penampungan sampah di luar area
produlsi
2.4. Bahan
sanitasi,
rodentisida,
insektisida
dan
fumigasi
tidak
boleh
1.2.2. Contoh
bahan
awal
hendaklah
diperiksa
secara
fisik
mengenai
bahan
harus
bersih
dan
diperiksa
kemasannya
terhadap
1.2.
Nama produk
Formula per bets.
Proses pembuatan secara ringkas.
Tanggal pengujian.
Identifikasi bahan
Nama pemasok.
Tangal penerimaan.
Nomor bets asli dari bahan baku bila ada.
Nomor bets produk yang sedang dibuat.
Nomor pemeriksaan mutu.
Jumlah yang diterima.
Tanggal sampling.
Hasil pemeriksaan mutu.
X. AUDIT INTERNAL
Audit internal terdiri dari kegiatan penilaian dan pengujian seluruh atau
sebagian dari aspek produksi dan pengendalian mutu dengan tujuan untuk
meningkatkan sistem mutu. Audit internal dapat dilakukan oleh pihak luar, atau
auditor profesional atau tim internal yang dirancang oleh manajem untuk
keperluan ini. Pelaksanaan Audit Internal dapat diperluas sampai ke tingkat
pemasok dan kontraktor, bila perlu. Laporan harus dibuat pada saat selesainya tiap
kegiatan Audit Internal dan didokumentasikan dengan baik.
XI. PENYIMPANAN
1. Area Penyimpanan
1.1. Area
penyimpanan
hendaknya
cukup
luas
untuk
memungkinkan
1.5. Setelah evaluasi dan penyelidikan atas keluhan, apabila diperlukan dapat
dilakukan tindak lanjut yang memadai termasuk kemungkinan penarikan
produk.
1.6 Semua keputusan dan upaya yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari
keluhan hendaknya dicatat dah dirujuk kepada catatan bets yang
bersangkutan.
1.7. Catatan keluhan hendaknya ditinjau secara periodik untuk menemukan
masalah spesifik atau masalah yang berulang yang memerlukan perhatian dan
mungkin menjadi dasar pembenaran bagi penarikan produk di peredaran.
1.8. Apabila terjadi kegagalan produk dan kerusakan produk yang menjurus
kepada terganggunya keamanan produk, Instansi yang berwenang hendaknya
diberitahu.
2. Penarikan Produk
Hendaknya dibuat sistem penarikan kembali dari peredaran terhadap produk yang
diketahui atau diduga bermasalah.
2.1. Hendaknya ditunjuk Personil yang bertanggungjawab atas pelaksanaan dan
koordinasi penarikan kembali produk termasuk personil lain dalam jumlah
yang cukup.
2.2. Harus disusun Prosedur Tetap penarikan kembali produk yang secara periodic
ditinjau kembali. Pelaksanaan penarikan kembali hendaknya dapat dilakukan
cepat dan efektif.
2.3. Catatan pendistribusian primer hendaknya segera diterirna oleh orang yang
bertanggungjawab untuk melakukan penarikan kembali produk, dan catatan
tersebut harus memuat informasi yang cukup tentang distributor.
2.4. Perkembangan proses penarikan kembali produk hendaknya dicatat dan
dibuat laporan akhir , meliputi rekonsiliasi jumlah produk yang dikirim dan
ditemukan kembali.
2.5. Keefektifan pengaturan penarikan kembali produk hendaknya dievaluasi dari
waktu ke waktu.
2.6. Hendaklah dibuat instruksi tertulis yang menjamin bahwa produk yang ditarik
kembali disimpan dengan baik pada daerah yang terpisah sambil menanti
keputusan selanjutnya.
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal : 20 Oktober 2003
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
H. SAMPURNO
2. Keputusan BPOM
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR HK.00.05.4.1745
TENTANG KOSMETIK
Menimbang :
a. bahwa penggunaan kosmetik pada saat ini sudah merupakan suatu
kebutuhan bagi masyarakat;
b. bahwa untuk melindungi masyarakat terhadap hal-hal yang dapat
merugikan kesehatan maka perlu dicegah produksi dan beredarnya
kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan
kemanfaatan;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu menetapkan
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3495)
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3821);
3. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Kewenangan dan Susunan Organisasi Lembaga Pemerintah Non
Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden
Nomor 46 Tahun 2002;
4. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan
Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2002;
5. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
02001/SK/KBPOM/ tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
Menetapkan :
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada
bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital
bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan,
mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau
melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
2. Kosmetik lisensi adalah kosmetik yang diproduksi di wilayah Indonesia atas
dasar penunjukan atau persetujuan tertulis dari pabrik induk di negara asalnya.
3. Kosmetik kontrak adalah kosmetik yang produksinya dilimpahkan kepada
produsen lain berdasarkan kontrak.
4. Kosmetik impor adalah kosmetik produksi pabrik kosmetik luar negeri yang
dimasukkan dan diedarkan di wilayah Indonesia.
5. Bahan kosmetik adalah bahan yang berasal dari alam atau sintetik yang
digunakan untuk memproduksi kosmetik.
6. Wadah adalah kemasan yang bersentuhan langsung dengan isi.
7. Pembungkus adalah kemasan yang tidak bersentuhan langsung dengan isi.
8. Penandaan adalah keterangan yang cukup mengenai manfaat, keamanan dan
cara penggunaan serta informasi lain yang dicantumkan pada etiket dan atau
brosur atau bentuk lain yang disertakan pada kosmetik.
9. Etiket adalah keterangan berupa tulisan dengan atau tanpa gambar yang
dilekatkan, dicetak, diukir, dicantumkan dengan cara apapun pada wadah atau
dan pembungkus.
10. Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia.
11. Deputi adalah Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan
persyaratan mutu sesuai dengan Kodeks Kosmetik Indonesia atau standar lain
yang diakui.
Pasal 5
Bahan yang digunakan harus memenuhi persyaratan :
a. Bahan yang diizinkan digunakan dalam kosmetik dengan pembatasan dan
persyaratan penggunaan sesuai dengan yang ditetapkan sebagaimana
tercantum dalam lampiran I;
b. Zat warna yang diizinkan digunakan dalam kosmetik sesuai dengan yang
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran 2;
c. Zat pengawet yang diizinkan digunakan dalam kosmetik dengan persyaratan
penggunaan dan kadar maksimum yang diperbolehkan dalam produk akhir
sesuai dengan yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran 3.
d. Bahan tabir surya yang diizinkan digunakan dalam kosmetik dengan
persyaratan kadar maksimum dan persyaratan lainnya sesuai dengan yang
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran 4.
Pasal 6
Bahan, zat warna, zat pengawet dan bahan tabir surya yang dilarang digunakan
dalam kosmetik sesuai dengan yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam
lampiran 5.
Pasal 7
Bahan yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 diatur
lebih lanjut oleh Kepala Badan.
BAB IV
PRODUKSI
Pasal 8
(1) Industri kosmetik harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik
yang Baik.
(2) Industri yang memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik
diberikan Sertifikat oleh Kepala Badan.
Pasal 9
(1) Penerapan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik dilaksanakan secara bertahap
dengan memperhatikan kemampuan industri kosmetik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Cara Pembuatan Kosmetik yang
Baik ditetapkan oleh Kepala Badan.
BAB V
IZIN EDAR
Bagian Pertama Persyaratan
Pasal 10
(1) Kosmetik sebelum diedarkan harus didaftarkan untuk mendapatkan izin edar
dari Kepala Badan.
(2) Yang berhak untuk mendaftarkan adalah :
a. produsen kosmetik yang mendapat izin usaha Industri;
b. perusahaan yang bertanggungjawab atas pemasaran;
c. badan hukum yang ditunjuk atau diberi kuasa oleh perusahaan dari negara
asal.
Bagian Kedua Tata Cara
Pasal 11
(1) Permohonan izin edar diajukan secara tertulis kepada Kepala Badan dengan
mengisi formulir dan disket pendaftaran dengan sistem registrasi elektronik
yang telah ditetapkan, untuk dilakukan penilaian.
(2) Penilaian kosmetik golongan I dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu :
a. Proses pra penilaian merupakan tahap pemeriksaan kelengkapan dan
keabsahan dokumen;
b. Proses penilaian merupakan proses evaluasi terhadap dokumen dan data
pendukung.
(3) Penilaian kosmetik golongan II hanya dilakukan terhadap kelengkapan dan
keabsahan dokumen
(4) Kerahasiaan keterangan dan atau data dalam permohonan izin edar dijamin
oleh Kepala Badan.
Bagian Ketiga Penilaian
Pasal 12
yang
dapat
merugikan
masyarakat,
berdasarkan
hasil
(4) Bagi kosmetik kontrak, disamping nama produsen yang memproduksi, harus
dicantumkan pula nama pemberi kontrak.
Pasal 26
Alamat produsen atau importir harus sekurang-kurangnya mencantumkan nama
kota adan atau negara.
Pasal 27
(1) Ukuran, isi atau berat bersih dapat dicantumkan dengan istilah netto
(2) Pernyataan netto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjukkan
secara seksama ukuran atau isi atau berat bersih dalam wadah
(3) Pernyataan netto pada kosmetik yang berbentuk aerosol adalah isi termasuk
propelan.
(4) Pernyataan netto harus dinyatakan dalam satuan metrik, atau satuan metrik
dan satuan lainnya.
Pasal 28
Penulisan nama bahan kosmetik dalam komposisi harus mengacu pada Kodeks
Kosmetika Indonesia atau standar lain yang diakui.
Pasal 29
(1) Penandaan lain pada etiket harus dicantumkan sesuai persyaratan penandaan
bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Pada sediaan yang berbentuk aerosol harus dicantumkan peringatan sebagai
berikut :
a. Perhatian! Jangan sampai kena mata dan jangan dihirup;
b. Awas! Isi bertekanan tinggi, dapat meledak pada suhu diatas 50C. jangan
ditusuk, jangan disimpan ditempat panas, di dekat api, atau dibuang
ditempat pembakaran sampah.
BAB VII
PERIKLANAN
Pasal 30
Kosmetik hanya dapat diiklankan setelah mendapat izin edar.
Pasal 31
standardisasi,
penilaian,
sertifikasi,
pemantauan,
Pasal 36
Pemeriksa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), berwenang
untuk:
a. memasuki setiap tempat yang digunakan atau diduga digunakan dalam
kegiatan produksi, impor, distribusi, penyimpanan, pengangkutan, dan
penyerahan kosmetik untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh
segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan produksi, impor, distribusi,
penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan kosmetik;
b. melakukan pemeriksaan dokumen atau catatan lain yang memuat atau diduga
memuat
keterangan
penyimpanan,
mengenai
pengangkutan
kegiatan
dan
produksi,
penyerahan
impor,
distribusi,
kosmetik
termasuk
Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan. 2003. Tentang Pedoman Cara
Pembuatan
Kosmetik
Yang
Baik.
BPOM:
Jakarta.
www.pom.go.id/public/hukum_perundangan/pdf/Kosmetik_6.pdf
[Diakses tanggal 18 Maret 2010]
Rommy. 2008. Media Indonesia: Peraturan Kosmetik di Indonesia. BPOM:
Jakarta. www.media indonesia.com [Diakses tanggal 18 Maret 2010]
Good Manufacturing Practice. 2006. Prinsip CPKB Bagi Pengelolaan Bahan Baku
Kosmetik. Diadaptasi dari Good Manufacturing Practice for Producers
of Cosmetic Ingredients. Regine Scholtyssek. Microbiological Expert for
Cosmetic, Department of Biology/Product Safety: Henkel KgaA.
http://rachdie.blogsome.com/2006/10/18/prinsip-cpkb-bagi-pengelolaanbahan-baku-kosmetik/trackback. [Diakses tanggal 18 Maret 2010]
Joshita,
MS.
PhD
dan
Juheini,
MSi.
2008.
Teknologi
Kosmetik.