Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Alasan paling umum bahwa dokter mata memilih untuk melebarkan pupil
adalah untuk memudahkan pemeriksaan keadaan segmen belakang bola mata dan
untuk persiapan tindakan operasi katarak ekstraksi yang baik..1
Melihat melalui pupil yang tidak berdilatasi dapat disamakan dengan
mengintip melalui lubang kunci, dengan situasi diperparah oleh miosis dipicu oleh
cahaya tingkat tinggi yang dihubungkan dengan sebagian besar teknik
pemeriksaan. Pada keadaan seperti ini

tentu mungkin untuk mendapatkan

pandangan melalui pupil yang tidak berdilatasi pada kebanyakan pasien,


setidaknya dengan satu mata, tetapi pelebaran selalu memberikan pandangan yang
lebih baik dengan meningkatkan cakupan dan kejelasan. Secara khusus, tanpa
dilatasi tidak mungkin untuk secara optimal memvisualisasikan retina perifer,
vitreous, atau untuk mencapai apresiasi stereoscopic dari saraf optik atau makula..
Dapat dikatakan bahwa pemeriksaan dilatasi okular merupakan hal yang ideal
dokter mata harus tawarkan pada setiap pasien.2
Iris mempunyai dua otot polos yaitu otot sfingter pupil dan dilator pupil
yang embriologinya berasal dari neuro ektoderm. Otot sfingter pupil dipersarafi
oleh parasimpatis, bila terangsang akan dilepaskan transmiter asetilkolin yang
menyebabkan konstriksi pupil. Sedang otot dilator pupil dipersarafi oleh saraf
simpatis, perangsangan pada saraf tersebut akan dilepaskan norefinefrin. 1, 2
Dalam keadaan normal diameter pupil kedua mata sama lebar, sekitar 2,54 mm. Diameter pupil ditentukan oleh keseimbangan rangsangan saraf simpatis
dan parasimpatis pada otot-otot iris. Oleh karena, itu untuk dapat mempengaruhi
agar diameter pupil melebar diperlukan obat yang berefek pada saraf otonom yaitu
yang

bersifat

simpatomimetik

(midriatikum)

misalnya

fenilefrin

dan

parasimpatolitik (siklopegik) misalnya sulfas atropin, skolopamin hidrobromid,


homatropin hidrobromid, siklopentolat hidroklorid dan tropikamid .3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 ANATOMI DAN FISIOLOGI IRIS DAN PUPIL


Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa
permukaan pipih dengan apertura bulat di tengahnya yang disebut dengan
pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang
memisahkan kamera okuli anterior dan kamera okuli posterior, yang masingmasing berisi humor aqueus. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otototot dilator.3, 4

Gambar 1. Anatomi iris dan pupil


Secara histologis terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya
terdapat lekukan-lekukan di permukaan anterior yang berjalan radier yang
dinamakan kripta. Di dalam stroma terdapat sel pigmen yang bercabang,
banyak pembuluh darah dan serabut saraf. Di permukaan anterior ditutupi
oleh endotel, terkecuali pada kripta, di mana pembuluh darah pada stroma
dapat berhubungan langsung dengan kamera okuli anterior. Di bagian
posterior dilapisi oleh dua lapisan epitel, yang merupakan lanjutan epitel

pigmen retina. Warna dari iris tergantung dari sel-sel pigmen yang bercabang
yang terdapat di dalam stroma yang jumlahnya dapat berubah-ubah dan juga
epitel pigmen yang jumlahnya tetap.1
Ada 2 otot yang ada di dalam iris antara lain otot sfingter pupil (M.
sphincter pupillae) yang berjalan sirkuler, yang terletak di dalam dekat pupil
dan dipersarafi oleh saraf parasimpatis (N. III), dan otot dilatator pupil (M.
dilatator pupillae) yang berjalan radier dari akar iris ke pupil, terletak di
bagian posterior stroma dan disarafi oleh saraf simpatis.1
Pasokan darah ke iris berasal dari circulux major iris. Kapiler-kapiler
iris memiliki lapisan endotel yang tak berlubang sehingga normalnya tidak
membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara intravena. Persyarafan iris
adalah melalui serat-serat nervus siliare. Iris mengendalikan banyaknya
cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan
oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatik yang
dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh
aktifitas simpatik.3
Cahaya yang mengenai mata diterima oleh sel-sel batang dan kerucut di
retina, diteruskan oleh N. II ke kiasma optikum, radiasio optika, setinggi
korpus genikulatum lateral, serat pupilomotor melepaskan diri ke brachium
kolikulus superior, ke midbrain, komisura posterior di daerah pretektalis,
kemudian mengadakan semidikusasi dan keduanya menuju ke nucleus
Edinger Westphal di kedua sisi. Dari sini keluar saraf eferen (saraf
parasimpatis) yang memasuki N. III, ke ganglion siliaris, serat saraf
postganglioner melalui Nn. siliaris brevis.1,3
Diameter pupil orang dewasa normal 2,5-4 mm rata-rata 3,5 mm.
Dilingkungan dengan penerangan ruangan, pupil disebut miosis bila ukuran
diameter pupil kurang dari 2 mm, dan disebut midriasis bila ukuran diameter
lebih besar dari 5 mm, dapat mencapai sekitar 9 mm pada saat dilatasi
maksimal.

Pada posisi primer ukuran kedua pupil sama, meskipun beda variasinya
kurang lebih 1 mm satu dengan lainnya.
Ukuran pupil bervariasi tergantung umur, status refraksi dan iluminasi.
Pada bayi umumnya pupil kecil dan semakin melebar dengan bertambahnya
umur dan mengecil lagi pada orang tua. Pupil relatif lebih besar pada
penderita miopia, iris berwarna dan pada ruangan gelap. Sedangkan pada saat
tidur, diruangan terang dan inflamasi iris pupil mengecil.3

2.2 SARAF OTONOM


Saraf otonom dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu saraf
preganglioner, ganglioner dan saraf post ganglioner yang menghubungkan
dengan sel efektor . serabut post ganglioner parasimpatis menuju ke otot
sfingter pupil dan otot siliaris melalui saraf nasosiliaris dan saraf siliaris
longus.5
Serat eferen dari saraf otonom yang terbagi menjadi sistem simpatis
dan parasimpatis mempunyai fungsi antagonis. Bila yang satu menghambat
suatu fungsi, maka yang lain memacu fungsi tersebut. contoh yang jelas
adalah persarafan pupil dengan saraf simpatis menyebabkan midriasis dan
saraf parasimpatis untuk menyebabkan miosis. Dengan keseimbangan kedua
sistem tersebut maka tonus otot iris dapat mempertahankan keadaan pupil
yang normal.
Serat preganglioner simpatis maupun parasimpatis dan saraf ganglioner
parasimpatis bersifat kolinergik. Ini berarti bahwa saraf tersebut pada
ujungnya melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmiter. Serat postganglion
simpatis bersifat adrenergik. Ini berarti bahwa disini norepinefrin yang
berperan.5

2.2.1 Transmisi kolinergik


Asetilkolin merupakan neurotransmiter, zat ini berdifusi dan
mencapai bagian distal dari sinaps, yang kemudian bergabung dengan
reseptor pada membran pasca sambungan yang mengakibatkan
depolarisai saraf post ganglioner, atau disebut potensial eksitasi post
sinaps. Sehingga akan terjadi aksi potential yang mempengaruhi otot
atau sel efektor dengan jalan melalui pelepasan transmiter. Bila
transmiter tidak diinaktifkan maka transmisi sinaps akan berlangsung
terus pada sel efektor, oleh karena itu mekanisme ini dihentikan oleh
suatu enzim kolinesterase dengan cara menghidrolisa asetilkolin
menjadi kolin dan asam asetat secara cepat. Kolinesterase ini terdapat
disemua tempat asetilkolin dilepaskan, baik dijaringan maupun dicairan
tubuh.4
2.2.2 Transmisi adrenergik
Norepinefrin disintesa dalam saraf post ganglioner simpatis, dan
di sinaps pada ujung akson saraf simpatis. Norepinefrin yang dilepas
pada perangsangan saraf akan mengalami beberapa perubahan yaitu,
60% akan diambil kembali oleh saraf, 20% hilang dalam jaringan
ekstrasel, 15% dimetabolisme oleh enzim katekol O- metiltransferase
(COMT) dan 5% akan diambil oleh sel efektor. Mekanisme ini juga
terjadi bila norepinefrin di berikan dari luar, dan pengambilan ini dapat
dihambat oleh obat seperti kokain dan imipramin.4

2.3 OBAT OTONOM


Obat otonom merupakan obat yang berefek pada berbagai susunan
saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai sel efektor dan mempengaruhi
secara spesifik serta bekerja pada dosis kecil. Dapat mempengaruhi transmisi
neurohumoral dengan cara menghambat atau mengintensifkan. Terdapat

beberapa kemungkinan pengaruh obat pada transmisi sistem kolinergik


maupun adrenergik yaitu penghambat pelepasan neurotransmiter, penyebab
pelepasan transmiter, penghambat destruksi transmiter, perangsangan atau
penghambatan pasca sambungan.4
Menurut efek utamanya maka obat otonom dapat dibagi 5 golongan
1. Parasimpatomimetik atau kolinergik, efeknya menyerupai aktifitas
sususnan saraf parasimpatis.
2. Simpatomimetik atau adrenergik, efeknya menyerupai aktifitas
susunan saraf simpatis.
3. Parasimpatolitik
atau

penghambat

kolinergik,

kerjanya

menghambat timbulnya efek aktifitas saraf parasimpatis.


4. Simpatolitik atau penghambat adrenergik, menghambat timbulnya
efek aktifitas saraf simpatis.
5. Penghambat ganglion, dengan kerja menghambat penerus impuls
pada sinap yang terdapat dalam ganglion.

2.4 MIDRIATIK DAN SIKLOPLEGIK


Obat-obat midriatik adalah obat yang digunakan untuk membesarkan
pupil mata. Selain itu, digunakan untuk sikloplegik dengan melemahkan otot
akomodasi (pasien tidak dapat melihat benda-benda dekat). Obat ini biasa
dipakai dalam oftalmologi, sendiri atau dikombinasi. Kegunaan utamanya
adalah : melebarkan pupil untuk keperluan oftalmoskopi; melumpuhkan otototot akomodasi, terutama pada pasien muda, untuk membantu pemeriksaan
refraksi; dan melebarkan pupil dan melumpuhkan otot akomodasi pada
uveitis untuk mencegah pembentukan sinekia serta meredakan nyeri dan
fotofobia. Karena midriatik dan sikloplegik melebarkan pupil, pemakaiannya
harus hati-hati pada mata dengan sudut bilik mata depan yang sempit, baik
midriatik maupun sikloplegik dapat menimbulkan glaucoma sudut sempit
pada mata yang demikian.5

2.4.1 KLASIFIKASI OBAT MIDRIATIK DAN SIKLOPLEGIK


a. Agen parasimpatolitik ( sikloplegik)
Contoh: atropin, homatropin, skopolamin, siklopentolat, tropikamid,
oxipenonium
b. Agen simpatomimetik (midriatik)
Kerja langsung: epinefrin, penilefrin,
Kerja tidak langsung: hidroxiamfetamin, kokain, efedrin

2.4.2 AGEN PARASIMPATOLITIK


2.4.2.1 ATROPIN5
Atropin adalah alkaloid derivat solanasid dari atropa belladonna
yaitu suatu ester organik asam tropik dan tropin. Atropin merupakan
anti muskarinik pertama yang digunakan sebagai obat. Atropin bekerja
dengan memblokade aksi saraf parasimpatis dan kerja obat kolinergik.
Atropine merupakan sikloplegik yang efektif dan bekerja lama.
Selain sebagai sikloplegik pada anak, atropine dipakai secara topical
dua atau tiga kali sehari dalam pengobatan iritis. Obat ini juga dipakai
untuk mempertahankan pupil agar tetap lebar setelah tindakan operasi
intraocular.
Mulai kerja obat dalam 30-40 menit. Efek maksimum tercapai
kira-kira dalam 2 jam. Efek obat bertahan sampai 2 minggu pada mata
normal; pada radang akut, obat harus diteteskan dua sampai tiga kali
sehari untuk mempertahankan efeknya.

Gambar 2. Atropin sulfat

a. Indikasi
1. Atropin digunakan sebagai agen midriatik dan sikloplegik.
atropin sangat berguna pada orang muda yang mempunyai
daya akomodasi sangat aktif
2. Berguna dalam iritis untuk:
a. Mencegah rasa sakit
b. Rilis sinekia
c. Mengistirahatkan jaringan yang meradang
3. Atropin berguna dalam terapi glaukoma
4. Penggunaan pre operasi dan pasca operasi pada banyak operasi
intraokular
5. Atropin digunakan untuk mencegah respon vagal yang tidak
semestinya dalam tes tensilon
6. Atropin digunakan untuk mengobati amblyopia dengan metode
yang disebut penalisasi
7. Berguna dalam kasus spasme akomodatif
b. Sediaan
larutan tetes mata konsentrasi 0,5% sampai 4%, sediaan yang
biasa digunakan adalah 1%, atropin sulfat dalm bentuk salep.
suntikan intramuskular tersedia 0, 3, 0,4 dan 0,6 mg /ml.
c. Efek samping

Tetesan

atropine

harus

dipakai

dengan

hati-hati

untuk

menghindari reaksi toksik akibat absorbsi sistemik. Gelisah, kulit


muka kering dan kemerahan, mulut kering, demam, kurang
berkeringat dan takikardi adalah gejala-gejala toksik, khususnya
pada anak.
d. Perhatian
Solusio atropin tidak boleh digunakan pada anak-anak karena
menyebabkan

penyerapan

sistemik

melalui

nasolakrimalis

mukosa. penggunaan atropin salep lebih baik. atropin tidak boleh


digunakan pada pasien dengan glaukoma sudut sempit.

2.4.1.2 HOMATROPIN5
Homatropin adalah alkaloid semisintetik yang dibuat dari
kombinasi asam mandelat dengan tropin. Durasi kerja homatropin
lebih pendek dibanding dengan atropin. Kerja dari

homatropin

dimulai dalam 30 menit, berlangsung selama 24 jam hingga 48 jam.

Gambar 3. Homatropin

a. Indikasi
Homatropin terutama digunakan dalam refraksi. Dan juga
berguna dalam tatalaksana iritis dan pada kondisi post operasi
untuk meringankan spasme siliaris.
10

b. Sediaan
Tersedia dalam larutan tetes mata homatropin hidrobromida
konsentrasi 2%.

2.4.2.2 SIKLOPENTOLAT
Siklopentolat adalah agen spasmolitik sintetis yang mempunyai
efek sikloplegik dengan waktu kerja dalam 20 sampai 45 menit.
Durasi kerja juga pendek mulai dari 12 sampai 24 jam. Siklopentolate
lebih sering digunakan daripada homatropin karena durasi kerjanya
lebih pendek.
a. Indikasi
Siklopentolat digunakan terutama untuk refraksi siklopegik dan
untuk meringankan spasme ciliary pada kasus pasca operasi dan
iridosiklitis. Pada pasien dengan perubahan lensa sentral,
siklopentolat dapat diberikan untuk penggunaan sehari-hari
sampai pasien siap untuk operasi.
b. Efek samping
Efek samping yang umum setelah penggunaan larutan tetes mata
2%,

efek

neurotoksik

sementara,

halusinasi

visual

dan

inkoherensi sangat jarang terjadi.


c. Kontraindikasi
Hindari penggunaan obat ini pada pasien yang menderita
glaukoma sudut sempit.
d. Sediaan
Biasa digunakan larutan tetes mata konsentrasi 1%. Orang dengan
pigmentasi yang berat mungkin memerlukan larutan konsentrasi
2%.

2.4.2.3 TROPIKAMID5

11

Tropikamid adalah derivat sintetik dari asam tropik, tersedia


sebagai obat mata pada akhir tahun 1950-an. tropikamid merupakan
obat yang sering digunakan untuk melebarkan pupil dengan tujuan
diagnostik atau persiapan operasi. Tropikamid mempunyai waktu
kerja

dan

lama

kerja

lebih

pendek

dibandingkan

dengan

antimuskarinik lainnya, sehingga mempunyai daya serapnya (difusi)


terbesar dan proporsi obat yang tersedia untuk penetrasi ke kornea
lebih tinggi. Cara kerjanya sebagai kompetitif antagonis dengan
acetylcholin binding pada reseptor muskarinik.
Efek midriasis dari tropikamid 0,5% lebih cepat atau paling
tidak sama cepat dengan fenilefrin 10%, dan tropikamid 1% efek
midriasisnya lebih kuat dan cepat dari efek sikloplegiknya. Efek
maksimal akan tercapai dalam 10-20 menit dan akan bertahan sampai
sekitar 15-20 menit, dan kembali normal setelah 5-6 jam. Karena masa
kerja tropikamid ini pendek maka ia tidak terpengaruh atau hanya
berpengaruh sangat sedikit pada sistemik.
Midriasis yang dihasilkan oleh satu tetes tropikamid 0,5%
sebesar 2,7 mm.

12

Gambar 4. Tropikamid
a. Indikasi
Pada saat diperlukannya efek

midriasis cepat dan efek

sikloplegik pendek, tropikamid dapat digunakan dalam refraksi,


pemeriksaan fundus dan fundus fotografi
b. Sediaan
Tersedia dalam larutan tetes mata 0,5% dan 1%

2.4.3 AGEN SIMPATOMIMETIK 5


2.4.3.1 Epinefrin
Epinefrin

dan norepinefrin yang terjadi secara alami agen

simpatomimetik yang bekerja langsung pada sel efektor. Epinefrin


adalah agen vasokonstriktor yang mampu menghasilkan hipotensi dan
efek midriatik di mata. Hal itu menyebabkan efek simpatomimetik
pada konsentrasi yang sangat rendah seperti 0,000001% yang cukup
untuk menghasilkan relaksasi siliaris.
Epinefrin merangsang baik alpha dan beta adrenergik reseptor,
sediaan komersial tersedia dalam konsentrasi 0,5%, 1% dan 2%.
2.4.3.2. Fenilefrin
Diperkenalkan sejak tahun 1936, merupakan suatu sintesa
amin dan 1 adrenergik agonis, yang secara prinsip sebagai
vasokonstriktor dan midriatikum. Kerjanya sebagai simpatomimetik
pada reseptor alfa, mengakibatkan pupil midriasis. Terjadinya
midriasis maksimal dalam waktu 30 menit dipertahankan selama 30
menit, kemudian efeknya akan hilang dalam 2-3 jam dengan
diameter pupil bertambah sebesar 2,3 mm.

13

Pemberian fenilefrin 10% tetes mata pada anak muda dan


orang tua tidak ada perbedaan yang bermakna. Penetrasi pada kornea
baik, dan kerjanya lebih efektif pada mata biru dari pada mata iris
berwarna. Hal ini belum jelas hubungannya dengan absorbsi atau
pengikatannya pada reseptor atau enzim simpatomimetik. Efek
terhadap susunan saraf pusat sangat minimal, oleh karena tidak
ditransport ke dalam adrenergik.
Fenilefrin pada dosis yang rendah menunjukkan aktivitas
reseptor alfa yang hampir 100%, sedikit sekali mempengaruhi
reseptor beta, oleh karena itu hampir tidak mempunyai efek
inotropik dan kronotropik pada jantung sehingga sedikit sekali
mempengaruhi jantung. Tetapi menyebabkan konstriksi pembuluh
darah kulit dan splanknikus sehingga dapat meningkatkan tekanan
darah.
Fenilefrin berbeda secara kimia dengan epinefrin yaitu tidak
adanya gugus OH pada posisi 4 dari cincin benzen, karena posisi
gugus OH pada cincin benzen sangat menentukan dari kerja
langsung non katekolamin. Bila gugus OH pada posisi 3 seperti pada
fenilefrin kerjanya langsung pada sel efektor. Sebaliknya bila gugus
OH pada posisi 4 kerjanya tidak langsung. Kerja utamanya sama
dengan norepinefrin yaitu terutama pada reseptor, bedanya dengan
norepinefrin kurang poten dan daya kerjanya lebih lama
Selain digunakan untuk midriatikum dapat juga digunakan
untuk: obat kompetitif dengan miotikum, pengobatan untuk ptosis
yang disebabkan denervasi simpatis seperti pada horners sindrom
atau reader sindrom dapat membaik bila diterapi 3 sampai 4 kali
sehari fenilefrin 0,125%. Dan untuk tes provokatif penderita sickle
sel anemia yaitu dengan ditetesi akan terlihat dengan slit lamp,

14

dilatasi vena konjungtiva yang berbentuk sakus atau segmen,


mikroaneurisma kapiler dan aliran darahnya tampak seperti lumpur
Fenilefrin mempunyai beberapa efek samping, yaitu:
a. Toksisitas sistemik
Hipertensi akut yang berat
b. Serangan akut glaukoma
Hal ini bisa terjadi bila sebelumnya penderita ini mempunyai
predisposisi glaukoma sudut tertutup atau bilik mata depan
dangkat
c. Lepasnya pigmen iris
Diduga karena stimulasi langsung m. Dilator oleh obat tersebut
sehingga menyebabkan ruptur sel epitel pigmen disertai
tersebarnya granul-granul pigmen dari neuroepitel iris. Ini
terutama terdapat pada penderita tua yang dianggap sudah
mengalami degenerasi senilis.
d. Miosis post dilatasi
Terutama terjadi pada orangtua dimana pupilnya menjadi
kurang responsif

e. Toksik pada endotel


Kornea menjadi keruh terutama terjadi bila ada kerusakan
epitel, hal ini karena dengan adanya kerusakan epitel sehingga
penetrasi fenilefrin lebih cepat dan tidak dapat dinetralisir
sistem buffer kornea, sehingga merusak endotel dan kornea
keruh.
f. Psikotik efek
Beberapa kasus

terjadi

halusinasi

pada

pemkaaian

yangberlebihan dan berkepanjangan terutama sebagai tetes


hidung
g. Efek lain
Gatal karena alergi, rasa tidak nyaman dan kemerahan pada
mata karena iritasi

15

BAB III
KESIMPULAN

Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa


permukaan pipih dengan apertura bulat di tengahnya yang disebut dengan
pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang
memisahkan kamera okuli anterior dan kamera okuli posterior, yang masingmasing berisi humor aqueus. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otototot dilator.1
Diameter pupil ditentukan oleh keseimbangan rangsangan saraf
simpatis dan parasimpatis pada otot-otot iris. Oleh karena, itu untuk dapat
mempengaruhi agar diameter pupil melebar diperlukan obat yang berefek
pada saraf otonom yaitu yang bersifat simpatomimetik (midriatikum)
misalnya fenilefrin dan parasimpatolitik (siklopegik) misalnya sulfas atropin,
skolopamin hidrobromid, homatropin hidrobromid, siklopentolat hidroklorid
dan tropikal.
Obat-obat midriatik dan sikloplegik terdiri dari: agen parasimpatolitik
( sikloplegik) Contoh: atropin, homatropin, skopolamin, siklopentolat,
tropikamid, oxipenonium dan agen simpatomimetik (midriatik), Kerja

16

langsung: epinefrin, penilefrin, Kerja tidak langsung: hidroxiamfetamin,


kokain, efedrin.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. Obat Obat dalam Penyakit Mata dalam Ilmu Penyakit
Mata. FK UI. Jakarta. 2008. Hal 286-7.
2. Johnson, M. Ophtalmic drugs. Midriatic drugs-which ones to use when
and how they work. Optician online. 2012.
3. Vaughan. Oftalmologi Umum Edisi 17. EGC. Jakarta. 2009.
4. American Academy of Ophthalmology. Fundamentals and principles of
ophthalmology. Section 2. Basic and Clinical science Course; 2008-2009.
5. Katzung, G. Farmakologi Dasar dan Terapi. Edisi VI. Jakarta. 2010. Hal:
699-737.
6. Sivakumar R.Ocular

Pharmacology and Therapeutics. Aravind eye

hospitals. India. 2006

17

18

Anda mungkin juga menyukai