Anda di halaman 1dari 9

I.

HUKUM PIDANA DI INDONESIA


Sampai saat ini di Indonesia, di samping berlaku hukum pidana tertulis, masih
diakui pula berlakunya hukum pidana tidak terulis yaitu hukum pidana adat yang masih
hidup.
Induk peraturan hukum pidana Indonesia terdapat dalam KUHP (Wetboek Van
Strafecht Voor Nederlansch Indie). KUHP yang berlaku di Indonesia dewasa ini masih
tetap KUHP peniggalan colonial yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. Materi
yang diatur dalam KUHP ini pada prinsipnya merupakan salinan dari KUHP Belanda
yang berlaku pada tahun 1886.
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, KUHP sebagaimana
tersebut di atas diadakan perubahan-perubahan disesuaikan dengan alam kemerdekaan.
Setelah Indonesia kembali menjadi Negara kesatuan mulai tanggal 17 Agustus
1950 keadaan kwasi dualisme terjadi,dimana berlaku dua KUHP yang sama dengan
beberapa perubahan yang berbeda.
Untuk mengakhiri keadaan kwasi dualisme ini dikeluarkan undang-undang No.
73 tahun 1958 yang isinya antara lain berbunyi: KUHP yang berlaku untuk seluruh
Indonesia adlah KUH berdasarkan undang-undang No. 1 tahun 1946.
Suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana dan ada bandingannya dalam KUHP, maka dianggap diancam pidana yang sama
dengan pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana yang lain.

II. ASAS LEGALITAS


Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas (principle of legality). Asas
legalitas berpangkal pada asas liberalisme/individualisme, dalam arti memberi jaminan
perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
Dalam KUHP kita asas legalitas dirumuskan dalam pasal 1 (1) sebagai berikut:
tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Inti dari ketentuan
ini adalah:
1. Ketentuan hukum pidana harus tertulis (dirumuskan dalam undang-undang)
2. Ketentuan hukum pidana berlaku surut (retro aktif)
Konsekuensi dari hukum pidana harus tertulis, pertama suatu perbuatan yang
tidak dicantumkan sebagai tindak pidana dalam undang-undang tidak dapat dipidana.
Kedua dalam hukum pidana tidak boleh dilakukan penafsiran analogi. Ada penafsiran
lain yang mirip dengan analogi yaitu penafsiran ekstensif. Yang dimaksud penafsiran
ekstensif adlah memperluas arti kata pada waktu undang-undang dibuat/dibentuk
disesuaikan dengan arti kata yang bersangkutan, pada saat undang-undang diterapkan.
Arti penting bahwa hukum pidana harus tertulis dan larangan penggunaan
penafsiran analogi adalah untuk menciptakan kepastian hukum dan untuk mencegah
terjadinya tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
Rasio peraturan hukum pidana tidak boleh retro aktif. Di samping itu larangan
retro aktif dikaitkan dengan pendirian, bahwa pidana sebagai paksaan psychis
(Psychologishedwang). Ancaman pidana terkandung maksud untuk mempengaruhi calon
pelaku tindak pidana untuk tidak melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, ancaman
pidana harus sudah ada pada saat tindak pidana dilakukan. Larangan retro aktif ini,
ternyata dibuka kemungkinan dilakukan penyimpangan. Kemungkinan penyimpangan ini
terjadi sehubungan dengan ketentuan pasal 1 (2) KUHP, yang merupakan hukum
transitoir, yaitu ketentuan tentang hukum yang harus diterapkan apabila terdapat
perubahan undang-undang. Larangan retro aktif dapat disimpang apabila:
1. sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan dalam perundangundangan; dan

2. peraturan yang baru lebih meringankan terdakwa.


Mengenai arti perubahan dalam perundang-undangan terdapat beberapa
pandangan, yaitu ajaran formil, ajaran materiil terbatas dan ajaran materiil tidak terbatas.
Menurut ajaran formil, terjadi perubahan dalam perundang-undangan, apabila terdapat
perubahan dalam teks dari undang-undang pidana sendiri. Menurut ajaran materiil
terbatas terjadi perubahan undang-undang, apabila terjadi perubahan dalam keyakinan
hukum dalam hukum pidana. Menurut ajaran materiil tak terbatas, setiap perubahan
dalam perundang-undangan digunakan untuk keuntungan terdakwa.

III. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT


TEMPAT
Dalam ilmu hukum pidana dikenal empat asas berlakunya hukum pidana menurtu
tempat yaitu:
1. Asas Teritorial
Menurut asas terotorial aturan hukum pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam
wilayah Indonesia (pasal 2 KUHP). Aturan hukum pidana dalam perundangundangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia, melakukan
tindak pidana dalam perahu Indonesia (pasal 3 KUHP), pernyataan perahu dalam
pasal 95 KUHP diperluas meliputi kendaraan air dan udara (UU No. 4 tahun
1976)
2. Asas Personalitas
Menurut asas ini berlakunya hukum pidana didasarkan pada warga Negara
dari suatu Negara. Disandarkan pada kewarganegaraan pasal 5 ketentuan pidana
dalam perundang-undangan Indonesia ditetapkan bagi warga Negara yang di luar
Indonesia melakukan: salah satu kejahatan tersebut dalam bab I dan II buku kedua
pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451. Dan salah satu perbuatan yang oleh suatu
ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai
kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan
dilakukan diancam dengan pidana.

3. Asas Perlindungan
Berlakunya hukum pidana menurut asas ini disandarkan pada kepentingan
hukum satu Negara yang dilanggar. Disini KUHP dapat diberlakukan terhadap
orang (WNI/WNA) yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana
dalam pasal 4 ke 1, 2, 3. pasal 7, pasal 8.
4. Asas Universal
Berlakunya hukum pidana menurut asas ini disandarkan pada kepentingan
hukum internasional yang terlanggar atas suatu perbuatan. Berlaku bagi WNI dan
WNA yang melakukan tindak pidana di Indonesia/di luar Indonesia yang
melakukan Tindak Pidana dalam pasal 4 ke 2 dan 4 ke 4.
PERKECUALIAN TERHADAP ASAS-ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
Perkecualian terhadap asas-asas ini disebut dengan hak exteritorialitet. Golongan
orang yang mempunyai hak exteritorialitet adalah:
1. Urusan Diplomatik Negara Aasing di Indonesia
2. Kepala Negara Asing yang berada di Indonesia dengan persetujuan
pemerintah
3. Anak buah kapal perang Asing yang berada di Indonesia dengan persetujuan
pemerintah
4. Angkatan Kapal Perang asing yang berada di Indonesia dengan persetujuan
pemerintah
5. Perwakilan badan-badan Internasional
EKSTRADISI (PENYERAHAN)
Yaitu penyerahan oleh suatu Negara kepada negara yang meminta penyerahan
seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan kejahatan di luar wilayah
negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi Negara yang meminta penyerahan
karena berwenan untuk mengadili dan memidananya. Maksud dan tujuan ekstradisi ini
adalah, menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari
penuntutan atau pemidanaan.
Beberapa asas penting ekstradisi antara lain:

a. Asas kejahatan rangkap (double criminality), yaitu bahwa perbuatan yang


dilakukan baik oleh Negara yang meminta maupun oleh Negara yang diminta
dianggap sebagai kejahatan.
b. Asas jika suatu kejahatan tertentu oleh Negara yang diminta dianggap sebagai
kejahatan politik maka permintaan ekstradisi ditolak.
c. Asas bahwa Negara yang diminta mempunyai hak untuk tidak menyerahkan
warga negaranya sendiri.
LOCUS DELICTIE
Locus delictie adalah tempat terjadinya tindak pidana. Untuk menetapkan locus
delictie dikenal ada tiga teori yaitu teori perbuatan materii, teori instrument, dan teori
akibat.
Menurut teori perbuatan materiil, tempat terjadinya tindak pidana Ditentukan oleh
perbuatan jasmaniah yang diwujudkan pelaku tindak pidana. Untuk tndak pidana formil
teori ini dapar digunakan dengan baik, akan tetapi untuk tindak pidana materiil kadangkadang sulit diterapkan.
Menurut teori instrumen, tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat di mana
alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana bekerja. Sedang menurut teori akibat
tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat terjadinya akibat dari tindak pidana yang
dilakukan.
Dalam rangka mengadili perkara di samping locus delictie perlu diperhatikan pula
tempus delictie yaitu waktu terjadinya tindak pidana.

VI. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA


Dalam unsur-unsur tindak pidana dikenal ada dua aliran yaitu aliran monitik dan
aliran dualististik, dan aliran posotivistik
Aliran monistis, memandang semua syarat untuk menjatuhkan pidana sebagai
unsur tindak pidana. Aliran ini memisahkan unsur yang melekat pada perbuatannya
(criminal act) dengan unsur yang melekat pada orang yang melakukan tindak pidana
(criminal responsibility atau criminal liability = pertanggung jawab dalam hukum
pidana).

Aliran dualistis memisahkan antara criminal act dengan criminal responsibility,


yang menjadi unsur tindak pidana menurut aliran ini hanyalah unsur-unsur yang melekat
pada criminal act (perbuatan yang dapat di pidana).
Unsur-unsur dari monistik yaitu: Tingkah laku manusia (perbuatan), memenuhi
ruang lingkup undang-undang, bersifat melawan hukum, kesalahan, dan orang mampu
yang bertanggung jawab.
Unsur-unsur dari Dualistik yaitu: Tingkah laku manusia (perbuatan), memenuhi
rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum.
Unsur-unsur dari positivistic yaitu: tingkah laku manusia (perbuatan), badan
hukum, kesalahan(terbagi atas dolus dan culpa).
JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Tindak pidana dibedakan menjadi beberapa jenis. Sebagai berikut:
Kejahatan dan Pelanggaran
KUHP membedakan tindak pidana menjadi tindak pidana kejahatan dan tindak
pidana pelanggaran. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana pembedaan tindak pidana
kejahatan dan tindak pidana pelanggaran yaitu yang bersifat. Kualitatif dan yang bersifat
Kuantitatif.. yang menganut pandangan yang bersifat kualitatif kejahatan bersifat rechts
delict dan tindak pidana pelanggaran bersifat delict Rechtsdelict, maksudnya tindak
pidana kejahatan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah
perbuatan itu diancan pidana dalam suatu undang-undang atau tidak.
Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan
kepada perbuatan yang dilarang. Tindak pidana materiil ialah tindak pidana yang
perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang dilarang.
Tindak pidana commisionis, tindak pidana omissionis, tindak pidana
commisionis per omissionem commissa.
Tindak pidana commisionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran
terhadap larangan, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang. Tindak pidana omissionis
adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat
sesuatu yang diperintahkan. Tindak pidana commissionis per omissionem commisa adlah

tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap larangan, tetapi dilakukan dengan cara
tidak berbuat.
Tindak pidana dolus dan tindak pidana culpa
Perbedaan ini didasarkan pada sikap batin petindak. Tindak pidana dolus adalah
tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja. Tindak pidana kulpa adalah tindak pidana
yang dilkukan karena kealpaan.
Tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan
Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang baru dilakukan penuntutan
apabila ada pengaduan dari korban. Tidak pidana bukan aduan adlah tindak pidana yang
penuntutannya selalu dapat dilakukan walaupun tidak ada pengaduan dari korban.
Tindak pidana sederhana, tindak pidana diperberat, tindak pidana ringan
Tindak pidana sederhana sering juga disebut sebagai tindak pidana standar,
maksudnya unsur-unsur yang dimiliki tindak pidana standar harus dimiliki pula oleh
tindak pidana diperberat dan tindak pidana ringan. Tindak pidana diperberat adalah tindak
pidana di samping memenuhi unsur-unsur tindak pidana sederhana ditambah unsur-unsur
lain sehingga sifatnya menjadi lebih berat.
Selain itu juga ada tindak pidana yang berlangsung terus-menerus, tindak pidana
tunggal, dan tindak pidana berganda.

V. SIFAT MELAWAN HUKUM


Pengertian sifat melawan Hukum
Sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak tindak pidana, sifat melawan
hukum merupakan cirri khas perbuatan yang diancam pidana. Mengenai pengertian sifat
melawan hukum ada dua pandangan, yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat
melawan hukum materiil.
Sifat melawan hukum formil suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum apabila
perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam undangundang, sedang sifat melawan hukum itu dapat dihaous hanya berdasarkan suatu
ketentuan undang-undang.

Sifat melawan hukum materiil, berpendapat suatu perbuatan bersifat melawan


hukum bukan hanya karena bertentangan dengan undang-undang, akan tetapi juga
bertentangan dengan hukum tidak tertulis, atau norma-norma yang hidup dalam
masyarakat. Hapusnya sifat melawan hukum menurut paham ini, disamping berdasarkan
undang-undang dapat pula berdasarkan aturan-aturan tidak tertulis.
Sifat melawan hukum materiil dapat berfungsi secara positif dan dapat pula
berfungsi secara negative. Dalam fungsinya yang positif, sifat melawan hukum materiil
berarti norma-norma tidak tertulis dapat digunakan untuk menetapkan suatu perbuatan
sebagai tindak pidana. Dalam fungsinya yang negative, sifat melawan hukum materiil
berarti norma-norma di luar undang-undang dapat digunakan untuk menghapuskan sifat
melawan hukum suatu perbuatan, yang memenuhi rumusan undang-undang.
Unsur sifat melawan hukum adakalanya dirumuskan secara tegas dalam undangundang,

dan

sebaliknya

seringkali

tidak

dirumuskan

dalam

undang-undang.

Dirumuskannya unsur sifat melawan hukum secara tegas dalam undang-undang


terkandung maksud agar orang yang berhak atau yang berwenang melakukan perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.
Pembuktian Unsur melawan hukum, apabila unsur melawan hukum dirumuskan
secara tegas dalam undang-undang maka unsur melawan hukum harus dibuktikan,
menurut Moelyatno bahwa unsur melawan hukum tidak perlu dibuktikan denagn alas an
bahwa setiap perbuatan yang sudah memenuhi rumusan hukum pidana, merupakan
indicator bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum.

TUGAS HUKUM PIDANA

Disusun oleh:
Nama : Ferdy Kasinta Tarigan
NIM : 0610113089
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Universitas Brawijaya
Fakultas Hukum
2007

Anda mungkin juga menyukai