Pendaftaran Tanah Karena Putusan
Pendaftaran Tanah Karena Putusan
2/1979
membedakan
pertanahan, maka dapat ditinjau dari beberapa aspek. Ditinjau dari aspek perbuatan hukumnya,
perbuatan hukum hak atas tanah yang dilakukan dihadapan PPAT adalah sebagai perbuatan perdata,
maka gugatan terhadap tindakan hukum tersebut merupakan kompetensi peradilan umum dan
karenanya diajukan ke Pengadilan Negeri. Hal tersebut dengan mempertimbangkan dari aspek
hukum materiil dimana transaksi yang dilakukan masuk kedalam lingkup hukum perdata dan
merupakan kompetensi dari peradilan umum1.
Sementara itu mengenai sertipikat, bahwa sertipikat tanah merupakan alat bukti yang kuat yang
diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan,yang mana Kepala Kantor Pertanahan diangkat oleh
Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional 2. Kepala Kantor Pertanahan
merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang memperoleh wewenang atau dilimpahkan kepadanya
oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah. Dalam hal Kepala Kantor Pertanahan
yang telah memperoleh wewenang atas dasar pendelegasian wewenang pemerintah tersebut, Kepala
Kantor Pertanahan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang kemudian menjadi objek
sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, maka penyelesaian mengenai hal ini dapat dilakukan di
Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam konteks sengketa agraria, Peradilan Tata Usaha Negara dapat
memutuskan perkara yang berhubungan dengan soal administratif ketatausahaan negara, sementara
untuk memutus perkara terkait dengan lingkup hukum perdata dari hak atas tanah dapat
diselesaikan melalui Peradilan Umum.
HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim, namun terdapat 3 macam kekuatan putusan
hakim, yaitu:
1. Kekuatan Mengikat
Putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat, mengikat kedua belah pihak (1917 BW).
Beberapa teori muncul sebagai dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan, yaitu Teori
Hukum Materiil, Teori Hukum Acara, dan Teori Hukum Pembuktian. Terikatnya para pihak pada
putusan mempunyai arti positif dan dapat pula mempunyai arti negatif.Arti positif dari kekuatan
mengikat suatu putusan adalah bahwa apa yang telah diputus diantara para pihak berlaku sebagai
positif benar. Apa yang diputus oleh hakim harus dianggap benar: res judicata pro veritate habetur.
Pembuktian lawan tidak dimungkinkan. Terikatnya para pihak ini didasarkan pada Undang-Undang
(pasal 1917 dan 1920 BW).Arti negatif daripada kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa
hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama
serta mengenai pokok perkara yang sama. Akibat dari pengulangan tindakan itu tidak mempunyai
akibat hukum (ne bis in idem). Kecuali didasarkan atas pasal 134 RV kekuatan mengikat dalam arti
negatif ini juga didasarkan pada asas litis finiri oportet yang menjadi dasar ketentuan tentang
1 Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surabaya :
Penerbit Arkola, 2003), hal. 204.
2Ibid., hal. 205.
tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum : apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan
oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim. Di dalam hukum acara Indonesia putusan
mempunyai kekuatan mengikat baik dalam arti positif maupun negatif (pasal 1917, 1920 BW, 134
RV).
Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap apabila tidak ada lagi
upaya hukum biasa tersedia, kecuali dengan upaya hukum khusus yaitu request civil dan
perlawanan oleh pihak ketiga. Upaya hukum biasa berupa perlawanan, banding, dan kasasi.
Menurut Sudikno, putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum yang pasti sudah mempunyai
kekuatan mengikat yang positif. Putusan yang telah dijatuhkan harus dianggap benar dan sejak
diputuskan para pihak harus menghormati dan mentaatinya.Pasal 1917 (1) BW mengatakan bahwa
kekuatan mengikat daripada putusan itu terbatas pada pokok putusan. Suatu putusan terdiri dari
dasar putusan dan amar, dan kekuatan mengikat daripada putusan mengikat kedua bagian tersebut.
Kekuatan mengikat dari putusan tidak meliputi penetapan penetapan mengenai persitiwa.
Apabila hakim telah dalam suatu putusan telah menkonstatir peristiwa tertentu berdasarkan alat
alat
bukti
tertentu,
maka
dalam
sengketa
lain
peristiwa
tersebut
masih
dapat
disengketakan.Kekuatan mengikat dari putusan juga tidak meliputi hukum hukum objektif.
Misalnya, putusan hakim yang menetapkan apa yang dimaksudkan dengan alas hak dalam pasal 584
BW, sedangkan mengenai peristiwanya sendiri tidak disengketakan.
Pasal 1917 (2) BW mensyaratkan bahwa untuk dapat mengajukan kekuatan mengikat itu hal
yang dituntut harus sama dan bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama, lagipula diajukan
oleh dan terhadap pihak pihak yang sama di dalam hubungan yang sama pula. Jadi yang dapat
mengajukan atau menggunakan kekuatan mengikat dari putusan adalah para pihak.
Kekuatan mengikat putusan hakim mengikat para pihak. Bukan hanya penggugat dan
tergugat saja, tetapi juga pihak ketiga yang ikut serta dalam dalam suatu sengketa, baik dengan jalan
interventie maupun vrijwaring atau mereka yang diwakili dalam proses. Terhadap pihak ketiga
putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat, tetapi dapat mengajukan perlawanan terhadap
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (Pasal 378 RV).HIR tidak mengenal
ketentuan pasal 378 Rv. Demikian pula mengenai kekuatan mengikat dari putusan tidak diatur
dalam HIR, sehingga hal itu diserahkan kepada praktek peradilan.
2. Kekuatan Pembuktian
Dituangkan putusan dalam bentuk tertulis yang merupakan akta otentik bertujuan untuk
dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan
banding, kasasi atau pelaksanaannya.Putusan dalam hukum pembuktian berarti dengan putusan
memberi kepastian tentang sesuatu. Pasal 1918 dan 1919 BW mengatur tentang kekuatan
pembuktian putusan pidana. Tetapi mengenai kekuatan pembuktian putusan perdata tidak ada
ketentuannya. Menurut pasal 1916 (2) no 3 BW putusan hakim adalah persangkaan. Putusan hakim
merupakan persangkaan bahwa isinya benar: apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap
benar (res judicata proveritate habetur). Kekuatan pembuktian putusan perdata diserahkan pada
pertimbangan hakim. Hakim mempunyai kebebasan untuk menggunakan kekuatan pembuktian
putusan terdahulu.
3. Kekuatan Eksekutorial
Kekuatan mengikat dari suatu putusan pengadilan belum cukup dan tidak berarti bila
putusan itu tidak direalisasikan atau dilaksanakan. Karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak
atau hukumnya untuk kemudian direalisasikan, maka putusan hakim mempunyai kekuatan
eksekutorial. Kekuatan eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan
dalam putusan itu secara paksa oleh alat alat negara.Persyaratan bagi suatu putusan untuk
memperoleh kekuatan eksekutorial adalah bila terdapat kata kata Demi Keadilan berdasarkan
keTuhanan Yang Maha Esa.
Adapun aturan mengenai bagaimana pihak yang bersangkutan ingin mengajukan gugatan,
harus memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku di
Indonesia (ketentuan HIR, Rbg, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan sebagainya), maupun
melihat pada ketentuan mengenai pengadilan tata usaha negara ( Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Menurut putusan Mahkamah Agung No. 383/K/Sip/1971, pengadilan tidak berwenang
membatalkan sertifikat. Hal tersebut termasuk kewenangan administrasi yaitu Menteri
Agraria/Kepala BPN, sehingga Hakim hanya memerintahkan agar Kantor Pertanahan membatalkan
sertifikat tersebut.
B. Dasar Hukum
Ketentuan yang mengatur mengenai perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan
atau penetepan Pengadilan beserta kegiatannya adalah sebagai berikut:
1. Pasal 19 khususnya ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA)
Pasal 19
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c.pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
(4) Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus
dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila
diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara
eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 127
(1) Penyitaan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
dalam rangka penyidikan atau penuntutan perbuatan pidana dicatat dalam
buku tanah dan daftar umum lainnya serta, kalau mungkin, pada
sertipikatnya, berdasarkan salinan resmi surat penyitaan yang dikeluarkan
oleh penyidik yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Catatan mengenai penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihapus setelah sita tersebut dibatalkan/diangkat atau penyidikan
perbuatan pidana yang bersangkutan dihentikan sesuai ketentuan yang
berlaku atau sesudah ada putusan mengenai perkara pidana yang
bersangkutan.
Pasal 128
Pencatatan lain dari pada yang dimaksud dalam Pasal 125, 126, dan 127
dalam rangka gugatan di depan pengadilan dan penuntutan perbuatan
pidana hanya dapat dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan apabila
permintaan untuk itu disampaikan melalui dan disetujui oleh Menteri.
UUPA menyatakan bahwa pendaftaran tanah merupakan tindakan yang diadakan oleh
Pemerintah guna menjamin kepastian hukum, yang meliputi pengukuran, perpetaan dan pembukuan
tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; serta pemberian surat-surat
tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Ketentuan pendaftaran tanah
tersebut lebih lanjut diatur dalam PP Pendaftaran Tanah, dimana disebutkan bahwa Pelaksanaan
pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data
pendaftaran tanah. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan atau
penetapan ketua pengadilan merupakan salah satu bentuk perubahan data yuridis terhadap objek
pendaftaran tanah yang secara lebih dalam dijelaskan dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 3
tahun 1997.
Pasal 55 PP tentang Pendaftaran Tanah secara umum mengatur mengenai pencatatan
perubahan data yang didasarkan pada adanya putusan atau penetapan pengadilan, serta mengenai
permohonan
pencatatan
yang
dapat
dilakukan
atas
permintaan
pihak
yang
harus
melampirkan:
a. salinan resmi penetapan atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan salinan Berita Acara Eksekusi;
b. sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan;
c. identitas pemohon.
Mengenai perubahan data yang berkaitan dengan hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak
milik atas satuan rumah susun berdasarkan putusan Pengadilan, maka pencatatan akan dilakukan
oleh Kantor Pertanahan setelah diperoleh salinan surat keputusan mengenai hapusnya hak yang
bersangkutan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
Kantor Pertanahan juga akan melakukan pencatatan terkait dengan perbuatan hukum yang
terjadi ketika bidang tanah tersebut disengketakan. Apabila terdapat pihak yang akan menjadikan
suatu bidang tanah sebagai objek gugatan, maka Pihak yang berkepentingan dapat meminta kepada
Kantor Pertanahan untuk dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun akan dijadikan obyek gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan
surat gugatan yang bersangkutan. Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang meminta dilakukan pencatatan
telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir. Hakim yang memeriksa perkara
tersebut dapat mengeluarkan perintah status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang bersangkutan, dam perintah tersebut dicatat dalam buku tanah.Catatan
mengenai perintah status quo tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya
disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Selain itu, berkaitan dengan penyitaan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun dalam rangka penyidikan atau penuntutan perbuatan pidana, hal tersebut juga dicatatkan oleh
Kantor Pertanahan dalam buku tanah dan daftar umum lainnya serta, pada sertipikatnya apabila
memungkinkan, berdasarkan salinan resmi suratpenyitaan yang dikeluarkan oleh penyidik yang
berwenang sesuai ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.Catatan mengenai
penyitaan dihapus setelah sitatersebut dibatalkan atau diangkat atau penyidikan perbuatan pidana
yang bersangkutandihentikan sesuai ketentuan yang berlaku atau sesudah ada putusan mengenai
perkarapidana yang bersangkutan.
Selain pencatatan terhadap perbuatan-perbuatan hukum tersebut, Kepala Kantor Pertanahan
hanya dapat melakukan pencatatan dalam rangkagugatan di depan pengadilan dan penuntutan
perbuatan pidana, apabila permintaan untuk itu disampaikan melalui dan disetujuioleh Menteri.
D. Peran PPAT
Tugas PPAT adalah melaksanakan suatu recording of deeds of conveyance, yaitu suatu
perekaman pembuatan akta tanah yang meliputi mutasi hak, pengikatan jaminan dengan hak atas
tanah sebagai Hak Tanggungan, mendirikan hak baru di atas sebidang tanah (Hak Guna Bangunan
di atas Hak Milik atau Hak Pakai di atas Hak Milik) ditambah membuat surat kuasa memasang Hak
Tanggungan3. Irawan Soerodjo menyatakan bahwa jabatan PPAT merupakan suatu profesi yang
mandiri, yaitu:4
1. Mempunyai fungsi sebagai pejabat umum yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
mendapat kewenangan dari Pemerintah melalui Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional untuk membuat akta pemindahan hak dan pembebanan Hak Tanggungan
atas tanah yang merupakan alat bukti yang otentik.
2. Mempunyai tugas sebagai recording of deed conveyance (perekaman dari perbuatan-perbuatan)
sehingga wajib mengkonstatir kehendak para pihak yang telah mencapai suatu kesepakatan di
antara mereka.
3. Mengesahkan suatu perbuatan hukum di antara para pihak yang bersubstansi mengesahkan
tanda tangan pihak-pihak yang mengadakan perbuatan hukum dan menjamin kepastian tanggal
penandatanganan akta.
Pada dasarnya tugas PPAT dalam pendaftaran tanah adalah membantu Badan Pertanahan Nasional
dalam mencapai salah satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 3
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu untuk terselenggaranya tertib administrasi
pertanahan. Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berkaitan dengan kegiatan pemeliharaan
data pendaftaran tanah, yaitu:
a. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak
atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT wajib terlebih dahulu
melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat mengenai
kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang
bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota
setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli.
b. PPAT hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa
Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
c. PPAT wajib menjelaskan kepada calon penerima hak dalam pemindahan hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun mengenai Surat Pernyataan yang menyatakan
bahwa:
1. yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak
atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak
atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
3. yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada
1 dan 2 tersebut tidak benar, maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut
menjadi objek landreform;
4. yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya apabila pernyataan
sebagaimana dimaksud pada 1 dan 2 tidak benar.
d. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi
penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang
harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.
e. PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan
untuk keperluan pendaftaran pemindahan dan pembebanan Hak Tanggungan atas hak
atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan kepada Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
ditandatanganinya akta yang bersangkutan. PPAT dalam melaksanakan tugasnya harus
mandiri dan tidak memihak kepada salah satu pihak.
Terkait dengan perubahan data yuridis dikarenakan adanya putusan atau penetapan
Pengadilan, peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan adanya peran PPAT dalam hal ini.
Dalam PP Pendaftaran Tanah dan Permenag Nomor 3 tahun 1997, disebutkan bahwa Pencatatan
Perubahan dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan dengan dilampiri dokumendokumen yang diperlukan atau setelah diterimanya penetapan atau putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap dan salinan Berita Acara Eksekusi dari Paniteran Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Ketentuan tersebut terdapat dalam PP Pendaftaran Tanah khususnya dalam Pasal 55
dan Permenag Nomor 3 tahun 1997 khususnya Pasal 125-128. Selain itu, berdasarkan Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2006 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, PPAT merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun. Kewenangan PPAT terbatas pada perbuatan hukum yang disebutkan dalam Pasal 2
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut, yaitu jual beli, tukar menukar, hibah, inbreg,
pembagian hak bersama, pemberian HGB/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak
Tanggungan, dan pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
E. Surat-surat
Terdapat beberapa surat dan dokumen yang diperlukan untuk melakukan pendaftaran tanah
berkaitan dengan adanya putusan atau penetapan pengadilan yang mempengaruhi perubahan data
pendaftaran tanah. Berdasarkan PP Pendaftaran Tanah dan Permenag Nomor 3 tahun 1997, suratsurat dan dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. salinan resmi putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau
salinan penetapan Ketua Pengadilan yang bersangkutan serta salinan Berita Acara Eksekusi
dari panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
2. permohonan pihak yang berkepentingan apabila perubahan adalah atas permohonan pihak
yang berkepentingan, dan dengan melampirkan:
a. salinan resmi penetapan atau putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dan salinan Berita Acara Eksekusi;
b. sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang
bersangkutan;
c. identitas pemohon.
3. Salinan Keputusan mengenai hapusnya Hak dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk
apabila berkaitan dengan pendaftaran pencatatan hapusnya suatu hak atas tanah atau Hak
Pengelolaan atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun berdasarkan putusan Pengadilan
4. Dalam hal pencatatan, maka berkaitan dengan akan diajukannya gugatan dengan
objeknya tanah tersebut, Pihak yang berkepentingan harus menyampaikan salinan surat
gugatan yang bersangkutan.
5. Dalam hal penyitaan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam
rangka penyidikan atau penuntutan perbuatan pidana, maka harus disertai salinan resmi surat
penyitaan yang dikeluarkan oleh penyidik yang berwenang sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
6. Surat Persetujuan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, dalam rangka pencatatan yang
berkaitan dengan gugatan di depan pengadilan dan penuntutan perbuatan pidana yang tidak
disebutkan dalam Pasal 125-127 Permenag Nomor 3 tahun 1997
Selain itu, terdapat pula dokumen dan surat lain yang perlu dilampirkan dalam pendaftaran
tersebut terkait dengan identitas para pihak dan bidang tanah serta kewajiban-kewajiban yang
berkaitan dengan hak atas tanah, yaitu:
1. Sertipikat Hak Atas Tanah/Hak milik atas Satuan Rumah Susun
2. Identitas pemohon, fotocopy KTP, KK, WNI, Ganti Nama (untuk perorangan), Akta
pendirian/akta perubahan (untuk Badan Hukum).
3. Bukti Pelunasan Pembayaran BPHTB/SBB UU No 21/1997 Jo UU No. 20/200 yang telah
divalidasi oleh kantor PBB, dalam hal tersebut terhutang, dan kantor Pertanahan konfirmasi
terlebih dahulu dengan kantor PBB
4. PBB Tahun berjalan.
5. Surat pemyataan pemilik tanah (bagi perorangan) atau surat pemyataan tanah-tanah yang
telah dimiliki pemohon badan hukum Indonesia/Asing (DI 204).
6. Surat Kuasa dan fotocopy KTP penerima Kuasa apabila dikuasakan.