TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
2.
Faktor genetik
Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan
lingkungan misalnya pada kasus nekrolisis epidermal toksik akibat
sulfonamida. Hal ini berhubungan dengan gen human leukocyte
antigen. Diantara para remaja yang memiliki orang tua dengan
riwayat alergi antibiotika, 25,6% remaja tersebut juga memiliki
alergi obat yang sama.
3.
4.
5.
Bentuk obat
Beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan
sulfonamida memiliki potensial untuk mensensitisasi tubuh.
6.
Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana
antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi
alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang
tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe
lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen (Lee &
Thomson, 2006).
Reaksi Tipe 2
Reaksi Tipe 3
Reaksi Tipe 4
Stevens-Johnson syndrome
Toxic epidermal necrolysis
Non imunologis
Efek samping farmakologis
Toksisitas obat
Overdosis obat
Kejang
akibat
kelebihan
pemakaian
lidokain
Intoleransi
1.
2.
3.
5.
Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang
tidak hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai
ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta muncul di
sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi
berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan disertai
rasa gatal.
6.
Vaskulitis
Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat
berupa palpable purpura yang mengenai kapiler. Biasanya
distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum.
Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Obat
penyebab ialah penisilin, sulfonamid, obat anti inflamasi non
steroid, antidepresan dan antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada
pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodosum. Kelainan
Reaksi fotoalergik
Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak
alergik, lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari.
Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah tidak terpajan
matahari. Obat
9.
yang
dapat
disertai
edema
dermis,
vaskulitis,
infiltrat
Biopsi kulit
Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat
membantu menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat
dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.
2.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan
menegakkan diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi
penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan darah
lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan
lain-lain) serta fungsi kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah
eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi dimana bila
perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi
obat alergi
2.2.
menyebakan erupsi obat alergi adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti
flurokuinolon sekitar 11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%,
allopurinol sekitar 7,5%, dan azitromicin sekitar 5,70%.
Menurut penelitian Young, Jong & Joo (2011), jenis-jenis obat yang
paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
sekitar 34,10%, lalu diikuti golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan
golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,51%.
Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), jenis-jenis obat yang
paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
sekitar 48,30%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,90%.
Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit (2011), jenis-jenis obat yang paling
sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
kotrimoksazole sekitar 15% dan flurokuinolon sekitar 15%.
Menurut penelitian Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), jenis-jenis obat
yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba
yaitu sekitar 61,4%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 22,9%,
dan obat anti epilepsi sekitar 10%. Menurut penelitian Ghosh, Acharya & Rao
(2006), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah
golongan antimikroba yaitu sekitar 30%, lalu diikuti golongan anti epilepsi sekitar
25%, obat anti tuberkulosis sekitar 11%, dan obat anti piretik sekitar 9%.
Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), jenis-jenis obat yang
paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah kotrimoksazole yaitu sekitar
22,2%, lalu diikuti dapson sekitar 17,7% dan menurut penelitian Sharma,
Sethuraman & Kumar (2001), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan
erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 42,6% lalu diikuti
golongan anti inflamasi non steroid sekitar 18%.