Anda di halaman 1dari 14

Perusahaan Multinasional atau yang sering disebut dengan MNC ini merupakan bentuk dari

globalisasi ekonomi Amerika Serikat untuk menyebarkan pengaruhnya di dunia. Salah satu yang
membuat para investor menanamkan investasinya terutama dalam bentuk investasi asing
langsung (FDI) dengan mendirikan perusahaan di negara yang di datangi (home country), akan
memberikan berbagai macam manfaat. Salah satu manfaatnya, yakni akan menciptakan lapangan
kerja bagi masyarakat setempat. Akan tetapi, dengan prinsip dari MNC ingin mendapat
keuntungan yang maksimal, biasanya MNC memberikan upah yang rendah dibandingkan dengan
upah buruh yang ada di negaranya ataupun standar upah minimum. Hal ini, merupakan salah satu
alasan perusahaan-perusahaan ini mendirikan anak perusahaan di negara lain. MNC juga
seharusnya mematuhi peraturan yang ada di negara yang di datangi, akan tetapi kadangkala
MNC banyak melakukan berbagai macam pelanggaran aturan-aturan di negara tempat
beroperasinya (host country) yang berujung pada pelanggaran HAM. Salah satunya adalah aksi
mogok buruh PT. Freeport Indonesia (PTFI) karena pekerja/buruh tersebut merasa gaji/upah
yang mereka terima sangat rendah. Karena, dengan hadirnya MNC seperti Freeport di suatu
daerah seperti di Papua, maka secara tidak langsung akan meningkatkan standar kehidupan
masyarakat di sana dan yang menjadi pekerja/buruh di PTFI kebanyakan merupakan masyarakat
asli Papua.
Salah satu MNC asal Amerika Serikat yang ada di Indonesia, yakni PTFI yang merupakan anak
perusahaan dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. yang beroperasi di Papua. PT. Freeport
Indonesia merupakan salah satu perusahaan besar di Indonesia yang berasal dari Amerika Serikat
dan bergerak dalam bidang pertambangan. PTFI mayoritas sahamnya dimiliki oleh Freeport
McMoRan Copper & Gold Inc (FXC). Perusahaan ini menjadi perusahaan penghasil emas

terbesar di dunia melalui tambang Grasberg di salah satu provinsi Indonesia, yakni Provinsi
Papua.
Freeport yang beroperasi di Timika Papua merupakan salah satu anak perusahaan dari FreeportMcMoRan Copper & Gold Inc. yang berkantor pusat di Phoenix, Arizona Amerika Serikat.
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc (FCX) menjadi perusahaan transnasional (TNC) atau
juga disebut MNC yang beroperasi di empat benua yang menambang tembaga, emas, dan
molybdenum. Salah satunya tempat beroperasinya berada di Indonesia, yakni di Pegunungan
Khatulistiwa di Papua. Selain beroperasi di Indonesia, FXC juga beroperasi di Gunung Api
Megah Peru, di Chili, gurun-gurun di Barat Daya Amerika Serikat, dan yang terbaru di Republik
Demokrasi Kongo. Sehingga Freeport McMoRan Copper & Gold Inc (FCX) menjadi pemasokan
tembaga, logam, molybdenum, produk-produk kimia, dan pelumas yang terbesar di dunia serta
menjadi produsen besar emas. Dengan adanya pengalihan kekuasaan dari Presiden Soekarno
kepada Jenderal Soeharto tahun 1966, sehingga sejak itulah aturan mengenai investasi asing di
Indonesia dibuat dan membuka diri bagi investasi asing.
Sejak tanggal 5 April 1967 Freeport telah melakukan perjanjian Kontrak Karya (KK) untuk 30
tahun dengan pemerintah Indonesia, sehingga Freeport menjadi perusahaan satu-satunya yang
menangani kawasan Ertsberg seluas 10 kilometer persegi. Kontrak Karya I seharusnya berakhir
pada tahun 1997, akan tetapi diperpanjang pada 30 september 1991 selama 30 tahun lagi
sehingga akan berakir tahun 2021 dan kesepakatan kerja tersebut masih dapat diperpanjang dua
kali masing-masing dalam waktu sepuluh tahun . Karakteristik KK di dalamnya seluruh urusan
manajemen dan operasional diserahkan kepada penambang (MNC). Negara tidak memiliki
kontrol terhadap kegiatan operasional perusahaan dan hanya memperoleh royalti yang besarnya
telah ditentukan dalam KK tersebut. Jadi, Indonesia berdasarkan KK hanya menerima satu

persen dari hasil tambang dan Freeport menerima keuntungan yang jauh sangat besar, sehingga
negara dan rakyat Indonesia sangat dirugikan. Hal inilah yang menyebabkan sekarang banyak
permasalahan yang bermunculan. Yang memimpin Freeport adalah Chairman of The Board FCX
James R. Moffett dan Chief Executive Officer (CEO) FCX Richard C. Adkerson.
Proses masuknya PTFI tidak dapat dipungkiri tidak terlepas dari dukungan Amerika Serikat
kepada Indonesia dalam proses integrasi Irian Barat (Papua) ke NKRI, karena setahun dari
masuknya Papua ke NKRI kemudian disusul oleh penandatangani kontrak karya pertama (KK I)
antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan Freeport. Dalam proses integrasi Papua ke
NKRI sebenarnya banyak masalah yang telah ada, sehingga dengan masuknya Freeport makin
memperbanyak aktor yang terlibat di dalamnya sehingga semakin banyak masalah yang
ditimbulkan. Sumber-sumber konflik yang berada di Papua dapat dikelompokkan dalalm empat
isu. Yang pertama, masalah merjinalisasi dan efek diskriminatif terhadapat orang asli papua
akibat pembangunan ekonomi yang tidak merata antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia
bagian Timur, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua sejak 1970.
Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan yang masih belum terjangkau
sampai ke pelosok desa, kesehatan, terutama kesehatan bagi penduduk asli Papua sendiri yang
masih sangat tradisional, dan pemberdayaan ekonomi rakyat, terutama bagi penduduk asli Papua
yang harus dipindahkan demi beroperasinya Freeport yang telah bekerjasama dengan pemerintah
pusat. Masalah utama ketiga adalah adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik
antara Papua dan Jakarta. Dan isu keempat adalah pertanggung jawaban atas kekerasan negara di
masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua. Laporan tentang pembayaran Freepor
McMoran Copper & Gold Inc. pada tahun 2010 (dapat dilihat di Lampiran 1 ). Dimana
berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa Indonesia lebih banyak menerima bayaran dari

Freeport yaitu totalnya dari pajak penghasilan sampai pada pajak properti dan biaya pajak
lainnya mencapai $1,974 juta atau hampir sekitar dua milliyar rupiah. Bila dibandingkan dengan
negara-negara lain, seperti Amerika Serikat $749 juta, Chili, Peru dan negara-negara lainnya
yang tidak mencapai seperdua dari Indonesia. Sehingga, menjadikan PTFI sebagai penyumbang
devisa negara yang sangat besar dan menjadi salah satu objek vital nasional. Apabila PTFI
mengalami penurunan karena berbagai hambatan, maka akan mempengaruhi pemasukan
terhadap Pemerintahan Indonesia serta perekonomian masyarakat Papua dimana sebagian besar
pekerja/buruh PTFI merupakan masyarakat asli Papua dan juga akan berdampak terhadap
pendapatan home country, yakni Amerika Serikat.
Dewasa ini selain aktor negara, terdapat juga aktor non-negara yang berperan sangat dominan
dalam perpolitikan global yang dikenal dengan MNC, TNC atau Global Firm, yang seterusnya
akan disebut dengan MNC. Dengan kata lain, perkembangan politik di tingkat nasional maupun
regional ataupun internasional harus memperhitungkan peran dan kepentingan dari perusahaanperusahaan berskala dunia tersebut. Yang menjadi ciri umum dari MNC adalah beroperasi lebih
dari satu negara dan

lebih banyak beroperasi di negara-negara berkembang dan dapat

memindahkan pabriknya kapan saja ke nagara lain. Seperti halnya Indonesia, yang menurunkan
harga pajak (murah) atau juga menyiapkan fasilitas. Hal ini dilakukan untuk menarik investasi
asing sebanyak-banyaknya datang ke Indonesia guna membangun pertumbuhan ekonomi dalam
negeri.
Salah satu MNC pertama yang berasal dari Amerika Serikat yang beroperasi di Indonesia sejak
tahun 1967 hingga sekarang masih beroperasi, yakni PTFI. PTFI beroperasi di Timika (Papua)
salah satu provinsi Indonesia sangat kaya akan SDA, terutama tanahnya yang mengandung
tembaga dan emas. Akan tetapi, SDA yang ada tidak dinikmati langsung oleh masyarakat asli

Papua sendiri ataupun oleh masyarakat Indonesia secara umum. Hal ini disebabkan karena
kurangnya sumber daya manusia dari masyarakat Indonesia yang masih rendah sehingga menjadi
salah satu faktor MNC Amerika Serikat yang mengelolanya, yakni PTFI.
Permasalahan yang terjadi di Papua hingga sekarang ini belum dapat terselesaikan merupakan
serangkaian peristiwa sejak sebelum integrasinya Papua ke dalam NKRI. Sejak masuknya Papua
telah melibatkan banyak aktor yang terlibat di dalamnya sehingga dengan masuknya Papua
dalam NKRI disusul dengan beroperasinya PTFI di Papua dan kebijakan-kebijakan yang diambil
oleh Pemerintahan Indonesia pada Era Soeharto, sehingga permasalahan di Papua sekarang ini
menjadi sangat kompleks. Dari permasalahan gerakan separatisme (OPM), banyaknya bentuk
pelanggaran HAM, dan terutama masalah kesejahteraan masyarakat Papua (kemiskinan) yang
mewarnai permasalahan di sana serta adanya pihak-pihak yang mengambil keuntungkan dari
beroperasinya PTFI yang menikmati hasilnya sendiri.
Adapun bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan PTFI yang termasuk pelanggaran HAM di
Papua, seperti kerusakan alam. Dimana lingkungan di sekitar tempat beroperasinya PTFI sangat
memprihatinkan. Terutama pencemaran hutan dan sungai-sungai terutama di lingkungan tempat
tinggal masyarakat asli Papua (Amungme) karena dijadikan tempat pembuangan limbah
pertambangan dari PTFI. Selain itu gunung-gunung di sekitar tempat beroperasinya PTFI telah
rusak sehingga tatanan budaya dari masyarakat asli (Amungme) ikut berantakan.
Dari berbagai macam persoalan yang terjadi di Papua, faktor utama yang sering mejadi alasan
utama, yaitu dimana terjadi penguasaan dan eksploitasi terhadap kekayaan alam Papua yang
dikuasai oleh orang-orang luar. Sedangkan, masyarakat asli Papua hanya bekerja sebagai
pekerja/buruh, terutama sebagai buruh di PTFI yang menguasai daerah tambang di daerah

Erstberg dan Grasberg. Dengan kehadiran MNC asing secara tidak langsung akan meningkatkan
taraf kehidupan yang tinggi bila dibandingkan dengan daerah yang tidak menjadi tempat
beroperasinya MNC.
Hal ini menjadi salah satu alasan buruh PTFI melakukan mogok untuk menaikkan gaji/upah
mereka, dimana dari manajemen PTFI mengajukan penawaran 28% dan pihak mediator dari
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 25%. Para pekerja menuntut kenaikan gaji dari
US$1,8 atau RP 15.000 per jam menjadi US$15 atau Rp 128.000. Ini dianggap wajar, karena
jika dibandingkan dengan keuntungan dari penghasilan yang diterima oleh PTFI jauh berkali-kali
lipat jumlahnya, sehingga ini menjadi acuan para buruh untuk menuntut kenaikan gaji/ upah
mereka. Untuk mencapai tuntutan yang diinginkan, para buruh PTFI melakukan pemogokan dan
demonstrasi. Pemogokan tersebut terjadi dalam dua kali, dimana yang pertama dari tanggal 4 Juli
2011 s/d 12 Juli 2011. Mogok pertama kali ini disebabkan karena kekecewaan seluruh pekerja
atas tindakan yang dilakukan oleh managemen PTFI yang melakukan PHK terhadap enam
pekerjanya yang juga menjadi pengurus SPSI, dimana saat itu serikat buruh PTFI sedang
mengajak pihak managemen PTFI untuk melakukan PKB yang ke-17 untuk periode 2011-2013
(dapat dilihat pada hasil wawancara pada lampiran 6).
Pemogokan kedua oleh pekerja/buruh PTFI dimulai pada tanggal 15 September 2011 s/d 15
Januari 2012. Dimana yang menjadi latar belakang pemogokan kedua ini akibat tidak adanya
kesepakatan dalam

perundingan PKB. Dimana pada tanggal 2 November 2011 juga telah

dilakukan perundingan bersama Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja PTFI dalam rangka untuk
mencapai kesepakatan yang adil dan wajar dalam mencapai Perjanjian Kerja Sama (PKB) untuk
periode 2011-2013 akan tetapi tidak menemui kesepakatan.

Para pekerja/buruh PTFI yang melakukan mogok didukung oleh PUK SPSI PT. Freeport
Indonesia. Dimana yang juga menjadi Pengurus SPSI dan buruh yang melakukan aksi mogok
tersebut semuanya termasuk dalam golongan non-staff (dapat dilihat pada lampiran 6) dan juga
sebagian besar pekerja/buruh PTFI merupakan masyarakat asli Papua. Sebelum melakukan aksi
tersebut serikat pekerja PTFI telah memberitahukan kepada pihak wewenang (kepolisian
setempat) sebelum melakukan mogok dan pada tanggal 7 Oktober 2011 mereka juga
memberikan surat pemberitahuan kepada pihak berwenang terkait dengan demo lanjutan.
Sehingga, para buruh/pekerja PTFI yang melakukan mogok tidak melanggar UU N0.13 Tahun
2003 dan sah sesuai dengan ketentuan UU No.13 Tahun 2003 Pasal 137-145, dimana mogok
dapat dilakukan dengan catatan adanya pemberitahuan dan dilakukan paling lambat tujuh hari
sebelumnya.
Dari pernyataan dari pihak Freeport sendiri bisa disimpulkan bahwa PTFI juga peduli dengan
karyawan/buruh mereka dan mereka menyadari dampak yang akan ditimbulkan dari mogok kerja
yang dilakukan oleh pekerja/buruh PTFI. Dampak yang akan ditimbulkan bukan hanya bagi
perusahaan melainkan juga bagi para pekerja/buruh PTFI. Sehingga, dapat menyelesaikan
perundingan Perjanjian Kerja Bersama antara managemen PTFI dengan serikat pekerja buruh
PTFI.
Para pekerja/buruh PTFI melakukan mogok kerja demi menaikan upah/gaji mereka untuk
meningkatkan kesejahteraan hidupnya, akan tetapi selama proses pemogokan terjadi sejak
pertengahan 15 September 2011 telah menyebabkan korban dari pekera/buruh PTFI. Korban
merupakan buruh dari masyarakat asli Papua serta beberapa orang yang terluka dan harus
mengalami perawatan. Selain itu juga, selama pemogokan terjadi PTFI membuka peluang kerja
untuk mengisi tempat kosong yang ditinggalkan pekerja/buruh untuk mogok dan demonstrasi.

Dalam proses pemberhentian aksi mogok dan demonstrasi para pekerja/buruh, PTFI meminta
dukung kepolisian Indonesia, dan membuat pekerja yang berdemo khawatir akan diberhentikan.
Ini dimasukan dalam bentuk pelanggaran HAM yang mengarah pada violation of human rights
yang dilakukan PTFI kepada para pekerja/buruhnya. Karena, berdasarkan UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, PTFI telah melanggar beberapa pasal.
Para pekerja/buruh PTFI melakukan mogok dan demonstrasi yang didukung oleh serikat pekerja
buruh PT. Freeport Indonesia dan beberapa organisasi buruh Indonesia, seperti KSBSI, SPSI PT
FI, FMN, GSBI, dan Fokker Papua. Organisasi pekerja/buruh ini bertujuan untuk
memperjuangkan dan membela hak-hak dari pekerja/buruh Indonesia. Setiap organisasi buruh
dapat menampung, menyalurkan aspirasi dan memperjuangkan hak serta kepentingan
anggotanya, dan bahkan pada akhirnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan pekerja dan
keluarganaya. Seperti yang dilakukan untuk membantu pekerja/buruh PTFI dalam meningkatkan
tingkat kesejahteraan mereka dengan menaikan gaji/upah mereka melalui PKB.
Pembayaran gaji buruh PTFI telah memenuhi UMP Provinsi Papua, tetapi sangat rendah bila
dibandingkan dengan anak perusahaan Freeport McMoran di negara-negara lain serta jika
dibandingkan dengan keuntungan yang diterima oleh pihak PTFI. Hal ini bisa dilihat dalam
tabel berikut ini mengenai skala upah pokok Freeport di Amerika Utara-Morenci. Dimana dalam
tabel 3.1 dapat dilihat berapa gaji pekerja/buruh dari Freeport McMoran Copper & Gold Inc
(FXC) di Amerika Utara yang memiliki gaji/upah minimum pada tingkatan N1, yaitu 20.700
US$ dan pada tingkatan minimumnya 96.400 US$ dan maksimum mencapai 144.600 US$
seperti yang tertera dalam table 3.1 dibawah ini. Hal ini juga terjadi dengan gaji FXC di Chino
Mines Company (dapat dilihat dalam lampiran 6).

Hal inilah yang menjadikan serikat buruh PTFI dan para buruh merasa sangat wajar jika
menuntut kenaikan gaji. Para buruh PTFI mempunyai tujuan dari aksi mogok bukan meminta
gaji/upah sama persis dengan perusahaan FXC di negara lain dalam US$, tetapi meminta adanya
penyesuaian sesuai dengan kontribusi pekerja/buruh terhadap perusahaan Freeport itu sendiri.
Sedangkan, tuntutan gaji/upah berdasarkan US$ hanya sebagai dasar saja untuk meminta
penyesuaian gaji, disertai dengan keuntungan PTFI yang didapatkan dari tanah Papua sehingga
sangat wajar. Daftar gaji buruh PTFI sebelum adanya tuntutan kenaikan gaji/upah buruh
berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) XVI tahun 2009-2010
Berdasarkan kesepakatan terkahir, dengan melakukan perundingan antara pihak PTFI dengan
Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja PTFI dalam rangka mencapai kesepakatan yang adil dan
wajar dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) untuk periode 2011-2013 yang disaksikan oleh
pejabat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia pada tanggal 24
Desember 2011.

Hasil dari kesepakatan antara serikat buruh PTFI dengan managemen PTFI,

yaitu kenaikan upah secara flat (rata) selama dua tahun sebanyak 37% (dapat dilihat di Lampiran
5). Selain itu juga PTFI akan tetap membayar gaji/upah pekerja yang mogok dan tidak ada
pekerja/burh PTFI yang mengikuti aksi mogok dikenai sanksi.
Selain itu, adanya laporan yang diterima oleh serikat buruh PTFI bahwa adanya diskriminasi
antara buruh PTFI yang menuntut kenaikan dan melalukan aksi pemogokan dengan buruh yang
tidak ikut dalam aksi tersebut. Karena, pasca pemogokan hingga Januari 2012 kurang lebih 300
pekerja dari sejumlah perusahaan kontraktor PTFI kesulitan kembali bekerja karena adanya
perekrutan pekerja baru saat terjadi aksi mogok kerja.

Serikat Pekerja perusahaan tambang PTFI mendesak pemerintah untuk terlibat menangani
diskriminasi yang diberlakukan manajemen PTFI terhadap pekerja. Serikat Pekerja perusahaan
tambang PTFI juga mencatat ada diskriminasi perlakukan terhadap karyawan yang ikut dan tidak
ikut mogok. Juru bicara serikat buruh PTFI, Juli Parorongan mengatakan karyawan yang tidak
ikut mogok mendapatkan bonus gaji yang besar serta kenaikan pangkat. Hal ini menimbulkan
kecemburuan sosial bagi pekerja yang ikut mogok. Juli Parorongan juga menambahkan bahwa
sampai saat ini masih ada 6 karyawan yang dirumahkan karena ikut berdemo.
Adapun isi surat dari buruh PTFI yang mewakili pekerja/buruh yang mogok kepada Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (dapat dilihat di lampiran 3). Dalam surat tersebut memuat tuntutan
dari pekerja/buruh PTFI perihal Perbaikan Kesejahteraan Pekerja, dimana angka yang
ditawarkan oleh pihak perusahaan PTFI sebesar 35% dari upah pokok sebelumnya sebesar Rp
3.316.000 untuk level F1 belum disepakati. Karena, menurut pekerja/buruh PTFI

tawaran

tersebut belum sesuai dengan kontribusi yang diberikan oleh pekerja kepada perusahaan (PTFI).
Seperti diketahui, Freeport McMoran Copper & Gold Inc. merupakan MNC tambang nomor
satu di dunia serta MNC penghasil emas. Dan menurut para pekerja/buruh PTFI, jika gaji mereka
naik maka akan memberikan dampak positif bagi negara sebab pajak PPh akan meningkat. Surat
ini ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena pemerintah memiliki saham
9,6% dari PTFI.
Pada 1 Mei 1963 Papua masuk ke dalam kesatuan Republik Indonesia dan pada tanggal 5 April
1967 Freeport melakukan perjanjian Kontrak Karya (KK) untuk 30 tahun dengan pemerintah
Indonesia, sehingga Freeport menjadi perusahaan satu-satunya yang menangani kawasan
Ertsberg seluas 10 kilometer persegi. Kontrak Karya I seharusnya berakhir pada tahun 1997,
akan tetapi di perpanjang pada 30 september 1991 selama 30 tahun lagi.

Dalam karakteristik KK di dalamnya seluruh urusan manajemen dan operasional diserahkan


kepada penambang/perusahaan (MNC). Berdasarkan Kontrak Karya Freeport dengan pemerintah
Indonesia, pemegang saham terbesar yaitu Freeprt McMoran Coppert & Gold Inc (AS) 81,28%,
Pemerintah Indonesia 9,36%, dan PT. Indocopper Investama 9,36 %.

Masuknya Papua dalam

NKRI serta juga diikuti oleh masuknya Freeport di Indonesia dengan melakukan KK yang pada
saat itu Indonesia dipimpin oleh Soeharto dan beroperasi hingga sekarang ini. Berdasarkan
karakteristik dari KK itu sendiri dapat disimpulkan bahwa yang mendapatkan keuntungan yang
lebih adalah perusahaan.
Adapaun hubungan antara kepentingan nasional dan politik luar negeri dari suatu negara tidak
dapat dipisahkan. Keduanya saling mendukung satu sama lain, karena yang menjadi rumusan
mengenai kepentingan nasional akan dipergunakan sebagai pedoman dan landasan dalam
melaksanakan kebijakan luar negeri suatu negara untuk negara lain. Seperti juga hubungan
Amerika Serikat - Indonesia, dalam melakukan hubungan bilateral semuanya tidak terlepas dari
kepentingan nasional dari masing-masing negara yang diperjuangkan dalam politik luar negeri
kedua negara tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan dalam negeri, biasanya
negara akan melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain. Selain itu, untuk
menjalin hubungan bilateral biasanya suatu negara harus mengetahui potensi serta kekurangan
yang dimiliki oleh negara lain. Hal ini merupakan hal dasar bagi suatu negara untuk menjalin
hubungan dengan negara lain. Seperti halnya hubungan antara Amerika Serikat-Indonesia.
Amerika Serikat melihat Indonesia sebagai negara demokrasi yang memiliki SDA yang
melimpah, memiliki jumlah penduduk yang banyak, negara islam moderat terbesar di dunia dan
juga sama-sama negara yang memiliki beraneka ragam budaya seperti halnya penduduk Amerika
Serikat.

Seperti halnya Amerika Serikat akan mendapatkan keuntungan berupa pajak dari Freeport yang
ada di Indonesia. Pajak yang diterima akan meningkat apabila keuntungan yang didapat PTFI
juga meningkat, begitu pula sebaliknya jika PTFI mengalami hambatan dalam pengoperasiannya
secara tidak langsung akan mempengaruhi pemasukan bagi Amerika Serikat itu sendiri. Hal ini
juga terjadi pada Indonesia sebagai host country yang juga mendapat keuntungan dari pajak,
dividen, dan lain-lain.
PT. Freeport Indonesia (PTFI) merupakan salah satu MNC Amerika Serikat yang ada di
Indonesia yang bergerak pada sektor pertambangan. Sehingga dengan keberadaan Freeport di
Indonesia diharapkan dapat membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, selain
manfaat yang di dapat dengan tersedianya lapangan kerja dan berbagai pendapatan bagi negara
terdapat juga hal yang merugikan. Seperti, pada masalah lapangan kerja yang sering menjadi
sorotan di home country adalah eksploitasi terhadap pekerja lokal oleh MNC. Dengan dalil
menekan biaya produksi dan tersedianya upah buruh yang rendah tentu menjadi komoditas MNC
dalam melakukan ekspansi bisnis. Tidak tertutup kemungkinan, kesempatan untuk mendapatkan
buruh dengan upah yang murah dijadikan eksploitasi atas para pekerja lokal. Terkait dengan
rendahnya upah buruh yang rendah oleh MNC, akan tetapi MNC masih menjual produknya
dengan harga yang relatif tinggi. Hal ini pun dilakukan oleh PTFI yang beroperasi di salah satu
provinsi Indonesia-Papua. Dimana gaji buruh yang diterima oleh buruh PTFI sangat murah bila
dibandingkan dengan gaji buruh Freeport dinegara lain maupun MNC yang sama bergerak dalam
bidang pertambangan.
Antara pekerja/buruh dan pengusaha mempunyai persamaan kepentingan ialah untuk
kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan. Akan tetapi, di sisi lain hubungan antar keduanya
juga memiliki perbedaan dan bahkan potensi konflik, terutama apabila berkaitan dengan persepsi

atau interpretasi yang tidak sama tentang kepentingan masing-masing pihak yang pada dasarnya
memang ada. Salah satu penyebab konflik yaitu jika kepentingan salah satu pihak atau di antara
kedua belah pihak ada yang merasa dirugikan. Hal inilah yang melatarbelakangi pegawai/ buruh
PTFI untuk melakukan mogok dan meminta kenaikan upah mereka. Seperti yang diketahui
sebagian besar pekerja di PTFI merupakan penduduk asli Papua. Dengan meningkatnya standar
hidup yang tinggi di Papua, yang juga salah satu dampak akibat adanya MNC di daerah mereka.
Dilihat dalam kasus pemogokan buruh Freeport di Indonesia. Salah satu pemicu buruh PTFI ini
melakukan pemogokan, karena mereka merasa di rugikan dengan gaji yang menurut mereka
sangat rendah. Gaji yang diterima buruh PTFI termasuk yang sangat rendah dibandingkan MNC
Amerika Serikat yang ada di Indonesia. Berdasarkan KK keuntungan yang di terima Freeport
Indonesia lebih banyak dibandingkan yang di dapat pemerintah Indonesia. Begitupun dengan
gaji pekerja/butuh PTFI yang berada seperti di Afrika dan New York memiliki gaji sepuluh kali
lipat dibandingkan yang diterima oleh buruh di Indonesia. Kontribusi PTFI telah membayar 2
miliar dolar Amerika Serikat yang terdiri dari pajak, royalti, dan dividen pada 9 bulan pertama di
tahun 2011 dan 13,4 miliar dolar Amerika Serikat secara total sejak 1992 berdasarkan Kontrak
Karya saat ini kepada pemerintah Indonesia .
Adanya perbedaan yang sangat jauh antara gaji pekerja/buruh Freeport yang ada di Indonesia
dengan gaji buruh Freeport di negara lain sehingga menimbulkan berbagai masalah.
Demonstarasi yang diikuti oleh pemogokan dari buruh PTFI pada 15 September 2011 yang
menyebabkan beberapa buruh tewas, untuk menuntut kenaikan upah mereka dari US$ 35/jam
dari sebelumnya berkisar US$ 2.1 /jam hingga US$ 3,5/jam. Sementara upah buruh Freeport di
Amerika sendiri mencapai US$ 66,43/ jam. Tidak bias dipungkiri hubungan antara MNC dengan
negara asalnya tidak dapat dipisahkan. Kadangkala, secara tidak langsung MNC juga

mempengaruhi kebijakan host country dans home country dan tidak terkecuali Amerika Serikat.
Amerika Serikat sebagai negara adikuasa menyebabkan negara ini dengan mudah dapat
mengintervensi negara-negara lain, terutama negara-negara berkembang untuk memenuhi
kepentingannya.
Permasalahaan ini menimbulkan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak pekerja/buruh untuk
menuntut hak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sehingga dapat
digolongkan dalam pelanggaran HAM yang dilakukan Freeport di Indonesia. Berdasarkan UU
No. 13/2003 RI, telah diatur tentang mogok kerja merupakan hal yang sah dilakukan. Akan
tetapi, bagi pihak Freeport mogok kerja merupakan hal yang tidak sah, karena akan membawa
dampak negatif secara finansial, terutama bagi perusahaan. Selama sebagian besar pekerja/buruh
PTFI mogok kerja dan berdemonstrasi untuk meminta kenaikan upah gaji, akan tetapi respon
yang diberikan oleh pihak dari Freeport yang awalnya tidak ingin menaikan upah gaji buruhnya
berusaha untuk menghentikan para demonstran dengan berbagai cara. Cara yang dilakukan
seperti, meminta bantuan kepolisian maupun TNI untuk membubarkan aksi mogok. Sehingga,
secara langsung Freeport telah melanggar hak-hak dari buruh Indonesia (HAM) berdasarkan UU
No 13/2003 tentang mogok kerja sah dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai