Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

TULI SENSORINEURAL PADA OTITIS MEDIA


KRONIK

DISUSUN OLEH:
Heny Handayani
03011128
PEMBIMBING:
dr. Donald Marpaung, Sp. THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 25 MEI 27 JUNI 2015
JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Nama

: Heny Handayani

NIM

: 03011128

Universitas

: Trisakti

Fakultas

: Kedokteran

Program studi

: Program Studi Profesi Dokter

Bidang pendidikan

: Ilmu Penyakit THT

Periode

: 25 Mei 27 Juni 2015

Judul

: Tuli sensorineural pada Otitis media kronik

Pembimbing

: dr. Donald Marpaung, Sp. THT

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk


menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT di RSAL Mintohardjo
periode 25 Mei 27 Juni 2015.

Jakarta, 25 Juni 2015

dr. Donald Marpaung, Sp.THT

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Tuli
sensorineural pada otitis media kronik. Penulisan referat ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu tugas dalam pelaksanaan kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit THT di RSAL Mintohardjo.
Dalam proses penyusunan referat ini, penulis menyadari penuh bahwa tanpa
bantuan

dan

bimbingan

dari

berbagai

pihak

sangatlah

sulit

untuk

menyelesaikannya. Oleh karena itu, izinkan penulis untuk mengucapkan rasa


hormat dan terima kasih kepada:
1. dr.Donald Marpaung, Sp.THT-KL, selaku ketua SMF serta Pembimbing
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT RSAL Mintohardjo
2. dr. Much. Agus S, Sp.THT, M.Kes, selaku Pembimbing Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit THT RSAL Mintohardjo
3. Kedua Orang Tua Penulis
4. Rekanrekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT RSAL Mintohardjo
Diharapkan referat ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca,
semoga dapat menambah pengetahuan dalam bidang kedokteran. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam referat yang ditulis. Oleh karena itu
penulis meminta maaf sebesarnya dan sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Atas perhatian yang diberikan, penulis
mengucapkan terima kasih.

DAFTAR ISI
Lembar pengesahan..........................................................................................i
Kata pengantar.................................................................................................ii
Daftar isi..........................................................................................................iii
BAB I

PENDAHULUAN........................................................................1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi telinga...................................................................2
II.2 Fisiologi pendengaran.........................................................4
II.3 Otitis media kronik..............................................................5
II.4 Tuli sensorineural................................................................8
II.5 Patofisiologi.........................................................................9
BAB III KESIMPULAN............................................................................10
Daftar pustaka.................................................................................................11

BAB I
PENDAHULUAN

Diagnosis otitis media kronik mengacu pada abnormalitas permanen dari


pars tensa dan pars flaksida, kebanyakan disebabkan oleh otitis media akut
sebelumnya, tekanan telinga tengah yang negatif atau otitis media efusi.
Prevalensi otitis media kronik adalah sebanyak 72 kasus per 1000 orang. (1) Salah
satu konsekuensi dari otitis media kronik adalah ketulian. Sebanyak 80% pasien
dengan otitis media kronik mengalami ketulian dan terhitung sebanyak 13,836,2% orang mengalami gangguan pendengaran dikarenakan otitis media kronik.
(2)

Dimana tuli yang biasanya terjadi merupakan tuli konduktif. Namun, beberapa

penelitian melaporkan tuli sensorineural dapat terjadi seiring atau sebagai lanjutan
dari otitis media kronik.(1,8)
Ketulian yang berkaitan dengan otitis media kronik merupakan masalah
serius, terutama jika terjadi pada anak-anak karena akibat jangka panjangnya pada
perkembangan berbicara, berbahasa dan juga interaksi dalam kehidupan sosial
anak-anak tersebut.(3)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANATOMI TELINGA


Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.
Telinga luar
Telinga luar adalah bagian telinga yang terletak sebelah luar membran
timpani.Telinga luar terdiri dari daun telinga dan saluran yang menuju membran
timpani, yaitu liang telinga luar. Daun telinga merupakan suatu lempengan tulang
rawan yang berlekuk-lekuk ditutupi oleh kulit dan dipertahankan pada tempatnya
oleh otot dan ligamentum. Liang telinga berbentuk huruf S, panjangnya kira-kira
2,5 -3 cm, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua
pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang.(4,5)

Gamb
ar 1. Anatomi telinga luar, tengah, dan dalam pada potongan koronal
2

Pintu masuk ke liang telinga dijaga oleh rambut-rambut halus. Kulit yang
melapisi saluran telinga mengandung kelenjar-kelenjar keringat termodifikasi
yang menghasilkan serumen, suatu sekresi lengket yang menangkap partikelpartikel asing yang halus. Rambut halus dan serumen tersebut membantu
mencegah partikel partikel dan udara masuk ke bagian dalam saluran telinga,
tempat mereka dapat menumpuk atau mencederai membran timpani dan
mengganggu pendengaran.(6)
Telinga tengah
Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak di antara membran
timpani dan kapsul telinga dalam, telinga tengah berbentuk kubus dengan batas
luar membran timpani, batas depan tuba eustachius, batas bawah vena
jugularis(bulbus jugularis), batas belakang aditus ad antrum, kanalis fasialis pars
vertikalis, batas atas tegmen timpani (meningen/otak) dan batas dalam berturutturut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, jendela
oval (oval window), jendela bundar (round window) dan promontorium.(4)
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida(membran sharpnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran
propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel
kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel
mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.(4,5)
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani
disebut sebagai umbo. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler
dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang
berupa kerucut itu. Secara klinis reflek cahaya ini dinilai, misalnya bila letak
reflek cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius.(4)
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus
longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan

inkus melekat pada stapes. Stapes teletak pada jendela oval yang berhubungan
dengan

koklea.

Hubungan

antar

tulang-tulang

pendengaran

merupakan

persendian.(4)
Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik, di tempat ini terdapat
aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan
antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.(4)
Telinga dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari tiga buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak
koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala
vestibuli.(4,5)
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media
(duktus koklearis) berada diantara keduanya. Skala vestibuli dan skala timpani
berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang
terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk
pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissners
membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran
ini terletak organ Corti.(4)
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari
sel rambut dalam, sel rambut luar, dan kanalis Corti, yang membentuk organ
Corti.(4)
II. 2 FISIOLOGI PENDENGARAN
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga

tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasikan


getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan jendela oval.(4)

Gambar 2. Fisiologi pendengaran


Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakan jendela oval sehingga perilimfa dalam skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran
tektoria. Selanjutnya, terjadi defleksi dari stereosilia sel-sel rambut sehingga
terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan
depolarisasi sel rambut, terjadi pelepasan neurotransmitter ke dalam sinaps yang
akan menimbulkan potensial aksi pada n. VIII, dilanjutkan ke nukleus auditorius
samapai ke korteks pendengaran di lobus temporal.(4)
II.3 OTITIS MEDIA KRONIK
Penyakit telinga tengah kronik dibagi menjadi bentuk jinak dan bentuk
berbahaya. Bahaya pada otitis media kronik yang merusak tulang ini disebabkan

oleh adanya epitel skuamosa di dalam rongga telinga tengah yang lebih tepat
disebut kolesteatoma.(7)
Penyakit telinga kronis bentuk jinak pada dasarnya dibagi dua, yaitu otitis
media supuratif kronis dan penyakit telinga atelektasis. Bentuk jinak ini kadangkadang dapat mengalami perubahan perangai dengan terbentuknya kolesteatoma
sekunder, sehingga merupakan alasan perlunya pembedahan segera pada semua
penderita seperti ini.(7)
Morbiditas penyakit telinga kronis dapat berganda. Gangguan pertama
berhubungan dengan infeksi telinga tengah yang terus-menerus atau hilang
timbul. Gangguan kedua adalah kehilangan fungsi pendengaran yang disebabkan
kerusakan mekanisme hantaran suara dan kerusakan koklea karena toksisitas atau
proses perluasan infeksi langsung. Pada pasien dengan penyakit telinga telinga
kedua hal tersebut harus dievaluasi dan ditanggulangi untuk mendapatkan
penyembuhan sempurna.(7)
Otitis media supuratif kronis
Otitis media supuratif kronis adalah infeksi kronis di telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah
terus menerus atau hilang timbul lebih dari dua bulan. Sebagian besar otitis media
supuratif kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut.(4)
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif
menjadi kronis, antara lain: 1.) gangguan fungsi tuba eustachius yang kronis
akibat infeksi hidung tenggorok yang kronis serta obstruksi anatomi tuba
eustachius parsial atau total, 2.) perforasi membran timpani yang menetap, 3.)
terjadinya metaplasia sel skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya
pada telinga tengah, 4.) obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau
rongga mastoid yang dpat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa,
polip, jaringan granulasi atau timpanosklerosis, 5.) terdapat daerah-daerah dengan
sekuester atau osteomyelitis persisten di mastoid, 6.) faktor-faktor seperti alergi,
kelemahan umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh.(7)

Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan dan pemeriksaan


THT terutama dengan menggunakan otoskop. Pemeriksaan penala merupakan
pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gangguan
pendengaran. Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti foto
Rontgen mastoid serta kultur dan uji resistensi kuman dari sekret telinga.(4)
Otitis media atelektasis
Otitis media atelektasis adalah retraksi sebagian atau seluruh membran
timpani akibat gangguan fungsi tuba yang kronis. Penderita mula-mula menderita
otitis sekretoria kronis pada masa kanak-kanak dan berlanjut sampai dewasa.
Lama kelamaan akanterjadi atrofi membran timpani. Bersama dengan atrofi ini
terjadi kolaps membran yang atrofi ke dalam telinga tengah. Derajat kolaps yang
terjadi tergantung pada luasnya atrofi membran timpani. Hilangnya elastisitas
membran timpani mengganggu ventilasi normal telinga tengah sehingga keadaan
patologisnya menjadi lebih kronis.(7)
Bila proses retraksi berlanjut membran timpani yang atrofi dapat berlanjut
mengenai inkus dan stapes sehingga sering kali mengakibatkan nekrosis. Jalan
udara ke atik tertutup, yang akan mengakibatkan retraksi membran ke daerah ini
dan menyebabkan kolesteatom didapat sekunder yang dapat membesar karena
retensi keratin, mendestruksi tulang, dan menimbulkan infeksi.(7)
Keluhan pasien mungkin tidak ada atau hanya berupa gangguan
pendengaran ringan. Pada pemeriksaan otoskopi dapat terlihat gambaran membran
timpani menipis atau atrofi bila retraksi sudah berlangsung lama.(4)
Kolesteatoma
Kolesteatoma dapat digambarkan secara umum dengan adanya kantong
epitel skuamosa yang terisi debris keratin dalam telinga tengah. Terdapat tiga tipe
yang dikenal, antara lain: 1.) kolesteatoma kongenital, yang terbentuk pada masa
embrionik adalah kista epitel yang timbul di dalam salah satu tulang kepala tanpa
kontak dengan telinga luar. Dapat tumbuh di tulang temporal bagian dalam atau
skuama dan jumlahnya meningkat dalam ruang mastoid atau atik. 2.)

kolesteatoma didapat primer, berkembang sebagai lanjutan dari perforasi


membran timpani pars flaksida yang pada awalnya mengisi ruang Prussak,
kemudian dapat membesar memenuhi atik, antrum mastoid dan sebagian telinga
tengah. 3.)kolesteatoma didapat sekunder, seperti yang terjadi pada otitis media
atelektasis.(7)
Massa kolesteatoma dapat menekan dan mendesak organ di sekitarnya
serta menimbulkan destruksi tulang karena adanya enzim osteolitik atau
kolagenase yang disekresi oleh jaringan ikat subepitel. Terjadinya proses destruksi
tulang diperhebat oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri.
Hal ini dapat menyebabkan perluasan penyakit ke kanalis semisirkularis, kanalis
fasial, atik, dan tegmen mastoid serta lempeng sinus lateralis, dan menghancurkan
tulang-tulang pendengaran.(7)
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan otoskopi
untuk menilai luasnya kerusakan membran timpani, tulang-tulang pendengaran,
dan dinding tulang telinga tegah. Selain itu, evaluasi audiometri penting untuk
menentukan fungsi konduktif dan fungsi koklea. Pemeriksaan radiografi daerah
mastoid dengan berbagai proyeksi dapat dilakukan untuk menilai keadaan sistem
tulang-tulang pendengaran.(4)
II.4 TULI SENSORINEURAL
Gangguan pendengaran sensorineural disebabkan oleh kelainan pada
koklea, nervus VIII atau di pusat pendengaran.Gangguan pendengaran
sensorineural koklea dapat disebabkan oleh aplasia(kongenital), labirintitis,
intoksikasi obat. Selain itu juga dapat disebabkan oleh gangguan pendengaran
mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan bising.
Sedangkan gangguan pendengaran sensorineural retrokoklea disebabkan oleh
neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum, mieloma multipel, cedera otak,
perdarahan otak dan kelainan otak lainnya.(4)

II.5 PATOFISIOLOGI
Otitis media kronik dapat menyebabkan ketulian dimana ketulian yang
terjadi pada dasarnya adalah tuli konduktif. Namun, menurut beberapa penelitian
yang telah dilakukan, tuli sensorineural pun dapat terjadi akibat otitis media
kronik.(1,8)
Otitis media kronik dapat menyebabkan tuli sensorineural melalui
beberapa mekanisme, diantaranya adalah: a.) Adanya peningkatan tekanan di
telinga tengah karena produk infeksi sehingga terjadi perluasan infeksi dan
inflamasi dari dalam telinga tengah ke telinga dalam melewati round window yang
hanya ditutupi oleh membran saja sehingga menjadi sebuah lokus minoris bagi
penyebaran infeksi telinga tengah ke dalam koklea sehingga terjadi kerusakan
permanen dari sel-sel rambut pada membran basal koklea, perubahan yang terjadi
pada round window berupa dilatasi dari pembuluh darah di lapisan fibrosa,
penebalan membran, infiltrasi dari sel-sel inflamasi, serta metaplasia dan
hiperplasia pada lapisan luar dari round window(8); b.) Proses destruksi langsung
oleh kolesteatoma ke dalam labirin(4); dan c.) Karena penggunaan jangka lama dari
tetes telinga yang mengandung antibiotik golongan aminoglikosida yang memiliki
efek samping terhadap telinga dalam, yakni tuli sensorineural yang disebabkan
oleh destruksi dari sel-sel rambut luar organ Corti, degenerasi stria vaskularis, dan
degenerasi dari sel ganglion pada koklea.(4)
Oleh karena mekanisme-mekanisme seperti yang telah disebutkan di atas,
tuli sensorineural dapat terjadi akibat dari otitis media kronik. Sesuai dengan
penelitian dari Azevedo et al.dan Sadasivan et al. yang dalam penelitiannya
menemukan bahwa pada telinga dengan otitis media kronik, frekuensi tuli
sensorineural

adalah 13% dan sangat mungkin jika tuli sensorineural dan

hubungannya dengan otitis media kronik berkaitan dengan status sosioekonomi


dari pasien.(8,9)Status sosioekonomi yang rendah dapat menyebabkan kesulitan
pasien dalam mengakses pengobatan, ketidakrutinan untuk datang kontrol, higiene
yang buruk, serta tingkat pendidikan yang kurang. w consisted of dilatation of the vessels
withinrous layer, thickening of the membrane, infiltrati

BAB III
KESIMPULAN

Tuli sensorineural dapat terjadi oleh karena berbagai kausa. Berdasarkan


penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, tuli sensorineural dapat saja terjadi
karena diakibatkanoleh otitis media kronik.
Penyakit telinga tengah kroniksendiri dibagi menjadi bentuk jinak dan
bentuk berbahaya. Morbiditas karena penyakit telinga kronis dapat timbul
berganda. Gangguan yang pertama berhubungan dengan infeksi telinga tengah
yang terjadi terus-menerus ataupun hilang timbul. Sedangkan gangguan yang
kedua adalah hilangnya fungsi pendengaran yang disebabkan oleh kerusakan
mekanisme hantaran suara dan kerusakan koklea karena toksisitas atau proses
perluasan infeksi langsung.
Ketulian yang berkaitan dengan otitis media kronik merupakan masalah
serius, terutama jika terjadi pada anak-anak karena akibat jangka panjangnya pada
perkembangan berbicara, berbahasa dan juga interaksi dalam kehidupan sosial
anak-anak tersebut.

10

DAFTAR PUSTAKA

1.

Azevedo AF de, Pinto DCG, Souza NJA de, Greco DB, Gonalves DU.
Sensorineural hearing loss in chronic otitis media with and without
cholesteatoma. Rev Bras Otorrinolaringol. 2007; 73(5):6714.

2.

Lasisi AO, Olaniyan FA, Muibi SA, Azeez IA, Abdulwasiu KG, Lasisi TJ,
et al. Clinical and demographic risk factors associated with chronic otitis
media. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2007; 71(10):154954.

3.

Raquib A, Taous A, Haque R. Sensorineural component in chronic otitis


media. Bangladesh J Otorhinolaryngol; 2010; 15(2).

4.

Soepardi EA. Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu


kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ketujuh.
Jakarta: Badan penerbit FKUI.2014.

5.

Alberti PW. The anatomy and physiology of the ear and hearing. Canada:
University

of

Toronto:

2003.

Available

at:

http://www.who.int/occupational_health/publications/noise2.pdf.accessed
June20, 2015
6.

Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi keenam. Jakarta:


Penerbit buku kedokteran EGC. 2011; p.230-42.

7.

Ballenger JJ. Penyakit telinga kronis. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,


Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jilid 2, Edisi 13, Alih Bahasa : Staf Ahli
Bagian THT RSCM-FKUI. Jakarta: Binapura Aksara; 1997 ,p.392-403.

8.

Sadasivan SS, Viswanatha B, Satish HS, Ravikumar R, Vijayashree MS,


Datta RK, et al. A comparative Study of Sensorineural Hearing Loss in
Mucosal and Squamous Type of Chronic Otitis Media. Research in
Otolaryngology, Vol. 4 No. 1; 2015, p. 13-7.

9.

Paparella MM, et al. Sensorioneural hearing loss in otitis media. Ann Otol
Rhinol Laryngol 1984;93:623-9.

11

Anda mungkin juga menyukai