Anda di halaman 1dari 1

Multikulturalisme Kita

Diakui atau tidak – pun disadari atau tidak, menjadi warga negara Indonesia
seharusnya merupakan keistimewaan terbesar yang kita miliki. Sebagai warga
negara Indonesia, kita menerima warisan nusantara paling utama;
multikulturalisme. Kita semua hidup bersama dengan berlandaskan warisan
tersebut, perpaduan antara budaya kesukuan dan budaya keagamaan.

Budaya suku Madura dan agama Islam -misalnya, dapat menciptakan harmoni
yang hidup di tengah-tengah pemilik identitasnya (Madura-Islam). Begitu juga
dengan budaya suku Bali dan agama Hindu –misalnya, atau suku Papua dan
agama Kristen –juga misalnya. Bahkan, harmoni itu juga terbentuk di tengah-
tengah budaya Sasak, Dayak, dan Samin (yang lebih suka mengakui berbudaya
Sikep) dengan kearifan lokalnya.

Itu tadi persentuhan budaya “internal”. “Eksternal”nya; ketika pemilik identitas


Madura-Islam tinggal bersama pemilik identitas Tengger-Hindu di pegunungan
Bromo, juga ketika pemerintahan desa-kecamatan-kabupaten di Blora
menghargai dan membiarkan ajaran Samin terus dilestarikan. Bahkan
sebenarnya, ketika Madura-Islam carok dengan Dayak beberapa tahun lalu pun
merupakan persentuhan antar budaya, meski cenderung negatif.

Jadi, pada dasarnya, kita sebaiknya (untuk tidak memaksakan kata seharusnya)
mengakui dan menyadari bahwa warga negara Indonesia adalah manusia yang
hidup di tengah multikulturalisme. Oleh karena itu, segala bentuk perbedaan
budaya yang kemudian muncul ketika bertemu dengan budaya lain sebaiknya
ditoleransi dan diapresiasi.

Lebih luas lagi, multikulturalisme pun bukanlah hal yang aneh bagi manusia di
manapun ia berada. Tidak ada suatu komunitas yang melulu hidup tanpa
sedikitpun muncul persentuhan antar budaya; baik budaya kesukuan maupun
budaya keagamaan. (03/02/10)

Dawam Multazam | SMJ Ushuluddin STAIN Ponorogo

Anda mungkin juga menyukai