Studi Kasus Timor
Studi Kasus Timor
Dosen Pengampu :
Asrul Dai
Awangku Zeffrey Ali Musa Jeludin
Putri Nur Rochmah
(Kelas Reguler Angkatan 37 Kampus Jakarta)
Latar Belakang
Sebuah kebanggaan bagi sebuah negara jika memiliki produk asli dalam negeri yang
dapat dikonsumsi oleh masyarakatnya. Sebut saja negara negara di Asia khususnya seperti
Jepang, Cina, Korea, Thailand, dan Malaysia sekalipun memiliki berbagai macam produk
dalam negeri mereka yang sudah menuju menjadi sebuah global brand. Begitu pula dengan
Indonesia yang dari dahulu mengeluarkan produk produk asli dalam negeri untuk
dikonsumsi oleh masyarakat. Pemerintah Indonesia pernah mengeluarkan slogan bangga
memakai produk asli Indonesia yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat
Indonesia agar bangga menggunakan produk asli dalam negeri. Produk produk yang asli
buatan Indonesia terdiri dari beraneka jenis produk mulai dari produk makanan, perabotan
rumah tangga, elektronik, peralatan dapur, teknologi, hingga transportasi di berbagai sektor.
Pada bidang transportasi pemerintah Indonesia pernah memproduksi berbagai macam
produk baik untuk industri pesawat terbang, industri lokomotif untuk kereta api, dan industri
otomotif. Untuk industri otomotif sendiri, Indonesia pernah mengeluarkan mobil Timor hasil
kerjasama dengan KIA Motor Korea di bawah naungan PT Timor Putra Nasional. Secara
khusus pemerintah Indonesia memberikan kemudahan kepada PT Timor Putera Nasional
selaku produsen mobil Timor sebagai mobil nasional berupa pembebasan bea impor
komponen dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Sementara produsen mobil lain
yang beroperasi di Indonesia tetap dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
terhadap seluruh hasil produksi mereka yang membuat harga jual mereka lebih tinggi.
Berdasarkan alasan di atas, Jepang sebagai negara produsen otomotif terbesar di
Indonesia merasa keberatan. Jepang memasukan keluhannya terhadap kebijakan pemerintah
Indonesia kepada PT Timor Putera Nasional melalui World Trade Organization. Jepang
berpikir bahwa pemerintah Indonesia melanggar peraturan perdagangan dengan memberikan
pengecualian bea masuk kepada apa yang disebut sebagai mobnas atau mobil nasional
yaitu Timor.
Mobil Nasional Indonesia
BUSINESS ETHICS
mesin yang berkapasitas 1300 CC dan komponen lokal di atas 80%. Guna mematangkan
rencana tersebut, Habibie menggandeng pabrikan mobil dari Australia untuk melakukan riset
dengan satu unit mobil sebagai contoh dan akhirnya berhasil dijadikan prototype. Namun,
dana untuk proyek ini kemudian dialihkan untuk proyek mobil nasional Timor milik Hutomo
Mandala Putra atau Tommy Soeharto sehingga proyek mobil nasional Maleo pun terhenti.
Surat Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1996 tentang Program Mobil Nasional
dikeluarkan untuk memperbaiki sistem deregulasi untuk menyambut adanya pasar bebas
tahun 2003. PT Timor Putra Timor Nasional yang bermitra dengan KIA Motors dari Korea
Selatan adalah perusahaan pertama yang mendapatkan pembebasan bea masuk barang mewah
melalui program ini. PT Timor Putra Nasional dipercaya untuk memproduksi mobil nasional
yang bernama Timor atau akronim dari Teknologi Industri Mobil Rakyat.
Mobil Nasional Timor
Timor adalah merek mobil yang dipasarkan di Indonesia yang merupakan versi
duplikasi dengan mobil dari Korea Selatan yaitu KIA Sephia. Mobil Timor ini dimaksudkan
sebagai mobil nasional Indonesia layaknya Proton di Malaysia. Oleh karena itu, mobil
dengan merek Timor dibebaskan dari pajak - pajak dan bea lainnya yang biasa dikenakan
pada mobil - mobil lain yang dijual di Indonesia. Lahirnya mobil Timor sebagai mobil
nasional menimbulkan polemik dan akibat hukum yang sangat besar, khususnya di bidang
ekonomi dunia. Timor memperoleh banyak kemudahan dan perlakuan khusus atau istimewa
dari pemerintah. Hal ini terlihat dari sikap pemerintah yang memaksakan untuk
mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan yang sesungguhnya merusak tatanan
mekanisme pasar.
Kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dengan Korean International Automotive
(KIA) dinilai sebagai bentuk diskriminasi hukum di bidang perekonomian dunia. Salah satu
negara pengekspor produk otomotif yaitu Jepang kemudian melakukan pengaduan/gugatan
ke World Trade Organization (WTO). Gugatan Jepang bermula dengan dikeluarkannya
Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1996 yang menunjuk PT Timor Putra Nasional sebagai pionir
yang memproduksi mobil nasional. Namun karena belum dapat memproduksi di dalam
negeri, maka keluarlah Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1996 tentang Pembuatan Mobil
Nasional yang membolehkan PT Timor Putra Nasional untuk mengimpor mobil nasional
yang kemudian diberi merek Timor dalam bentuk jadi atau completely build up (CBU) dari
Korea Selatan.
BUSINESS ETHICS
Hak istimewa atas pajak dan bea masuk terhadap PT Timor Putra Nasional diberikan
dengan syarat menggunakan komponen lokal hingga 60% dalam tiga tahun sejak mobil
nasional pertama dibuat. Namun apabila penggunaan komponen lokal yang ditentukan secara
bertahap yaitu 20% pada tahun pertama dan 60% pada tahun ketiga tidak terpenuhi, maka PT
Timor Putra Nasional harus menanggung beban pajak barang mewah dan bea masuk barang
impor. Akan tetapi mengenai komponen yang menjadi syarat utama diabaikan oleh mereka,
sebab pada faktanya Timor masuk ke Indonesia dalam bentuk jadi dari Korea Selatan tanpa
bea masuk apa pun termasuk biaya pelabuhan dan lainnya.
Hal ini mendatangkan reaksi dari beberapa pihak yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan
beberapa negara Eropa. Namun, Jepang merupakan pihak yang paling berusaha keras karena
mempunyai kepentingan kuat dalam idustri otomotifnya yang telah menguasai hampir 90%
pangsa pasar mobil di Indonesia. Reaksi lain dari Amerika dan beberapa negara Eropa adalah
gelisah karena mereka berencana menanamkan investasi dalam industri otomotif di
Indonesia. Akhirnya terjadi dialog antara pihak Jepang dengan pemerintah Indonesia, namun
tidak menghasilkan kesepakatan apa pun. Kemudian, tindakan lanjutan dari Jepang yaitu
melalui Wakil Menteri Perdagangan Internasional dan Industri menyatakan bahwa mereka
akan membawa masalah ini ke WTO.
World Trade Organization
World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi internasional
yang mengatur aturan hubungan dagang antar seluruh bangsa di dunia. Didirikan pada 1
Januri 1995, WTO menjadi sebuah rezim internasional dengan legitimasi paling kuat
setidaknya apabula dibandingkan dengan organisasi internasional lainnya. Aktivitas inti dari
WTO adalah mengadakan perjanjian, negosiasi kemudian adanya ratifikasi dari parlemen
masing-masing negara anggota. Apabila dapat disederhanakan, fungsi WTO adalah untuk
meminimalisasi hambatan yang ada dalam melakukan hubungan dagang antara negara.
Tujuan yang diusahakan WTO adalah untuk menciptakan keselarasan bagi produsen,
eksportir maupun importir dalam menjalankan bisnis mereka.
WTO dijalankan langsung oleh anggota-anggotanya yang saat ini berjumlah 153
negara. WTO juga memiliki sekretariat yang berfungsi untuk mengkoordinasikan aktivitasaktivitas yang ada di dalam WTO. Saat ini, secretariat WTO mempekerjakan sekitar 600
orang staf dan ahli-ahli yang mampu membantu anggota-anggota WTO untuk memahami
BUSINESS ETHICS
agenda-agenda yang dibicarakan dalam WTO. Sebagai sebuah rezim internasional dalam
bidang perdagangan, WTO memiliki lima aktivitas penting , diantaranya adalah:
1. Trade Negotiations
Setiap perjanjian yang dilakukan dalam WTO berusaha melindungi komoditi, jasa
dan hak cipta. Prinsip - prinsip liberalisasi dan diperkenankannya pengecualian
menjadi prinsip utama yang diusung. Perjanjian yang ada berusaha menciptakan
komitmen negara secara individual untuk menurunkan hambatan tarif dan hambatan
perdagangan lainnya serta kemudahan untuk membuka pasar di negara tersebut.
Perjanjian-perjanjian di WTO juga terkait dengan prosedur-prosedur yang telah
ditetapkan untuk menyelesaikan konflik. Semua perjanjian yang ada dalam WTO
bukanlah perjanjian yang sifatnya statis. Perjanjian dapat dinegosiasikan kembali
sesuai dengan perkembangan masalahnya, seperti perjanjian Doha Development
Agenda.
2. Implemetation and Monitoring
Perjanjian yang telah disepakati oleh para anggota kemudian mengharuskan
pemerintah negara-negara anggota tersebut untuk menciptakan sistem perdagangan
yang transparan sehingga WTO membentuk dewan maupun komite yang bertugas
melakukan monitoring terhadap proses implementasi perjanjian yang telah disepakati.
Seluruh anggota secara periodik harus memberikan laporan mengenai kebijakan dan
praktik perdagangan yang dilakukan yang diserahkan kepada sekretariat WTO dan
selanjutnya laporan tersebut akan diperiksa oleh para anggota WTO dan sekretariat.
3. Dispute Settlement
Prosedur WTO dalam menyelesaikan konflik perdagangan dibawah Dispute
Settlement Understanding dinilai sangat penting. Negara-negara dapat membawa
konflik apabila mereka merasa haknya telah terlanggar dengan adanya perjanjian
WTO. Dalam hal ini, ahli-ahli independen akan menjadi penilai berdasarkan
interpretasi mereka terhadap suatu perjanjian WTO dab komitmen negara yang
berkonflik secara individu.
4. Building Trade Capacity
BUSINESS ETHICS
Negara anggota WTO terdiri dari negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
WTO membentuk sebuah perjanjian yang khusus mendiskusikan dan menetapkan
untuk membantu perkembangan perdagangan negara-negara dunia ketiga. Perjanjian
ini mencakup bantuan untuk meningkatkan kesempatan mereka untuk melakukan
perdagangan, pengecualian dengan memperkenankan periode yang lebih lama untuk
mengimplementasikan sebuah perjanjian, memberikan dukungan untuk membangun
kapasitas perdagangan, menyelesaikan konflik dan melaksanakan standar-standar
teknis. WTO berusaha untuk mengakomodasi kebutuhan negara-negara berkembang
untuk dapat bersaing dengan negara maju, juga melalui adanya bantuan untuk
meningkatkan skill dan infrastruktur di negara-negara tersebut.
5. Outreach
WTO
mengadakan
dialog-dialog
dengan
organisasi-organisasi
internasional,
parlemen, media dan public secara umum pada bermacam-macam aspek dalam WTO
dan dengan dialog itu WTO berusaha melakukan kerjasama dengan pihak-pihak
tersebut serta meningkatkan keingintahuan terhadap aktivitas-aktivitas WTO.
Penyebab Timbulnya Persengketaan di WTO
Pemerintah Indonesia mengizinkan PT Timor Putera Nasional sebagai operator atau
pengelola Mobil Nasional mengimpor mobil dari Korea Selatan dalam bentuk jadi atau
completely build-up (CBU) dari produsen mobil yakni KIA Motor, Korea Selatan. Mobil
tersebut kemudian diberi label Timor. Selain itu, PT TPN diberikan keistimewaan dalam
hal pajak, yaitu bebas pajak barang mewah dan bebas bea masuk barang impor. Namun
pemerintah mensyaratkan kandungan lokal pada mobil tersebut secara bertahap yakni 20
persen pada tahun pertama, 40 persen tahun kedua dan 60 persen tahun ketiga. Jika tersebut
tidak terpenuhi, PT TPN diwajibkan membayar membayar pajak barang mewah dan bea
masuk barang impor.Namun kesemua syarat tersebut tidak dilakukan oleh PT TPN. Mobil
tersebut diimpor dalam bentuk barang jadi, tanpa membayar pajak apapun.
Reaksi negatif berdatangan dari beberapa negara produsen mobi seperti Jepang, Amerika
Serikat dan beberapa negara Eropa. Jepang yang paling berusaha keras kerena mempunyai
kepentingan kuat dalam industri otomotifnya yang telah menguasai hampir 90% pangsa
mobil Indonesia. Reaksi lain dari Amerika dan beberapa negara Eropa gelisah karena mereka
BUSINESS ETHICS
berencana menanamkan investasi dalam industri otomotif di Indonesia. Dialog anatara Pihak
Jepang dan Indonesia mengalami jalan buntu.Jepang berinisiatif akan membawa masalah ini
ke WTO. Indonesia dinilai telah mngeluarkan kebijakan yang diskriminatif dan melanggar
prinsip-prinsip perdagangan bebas. Keberatan Jepang adalah:
1. Diberikannya keistimewaan terhadap impor mobil dari KIA Motor Korea Selatan, dimana
keuntungan hanya untuk satu negara saja. yang hanya memberi keuntungan pada satu
negara. Misalnya perlakuan bebas tarif masuk barang impor, yang melanggar pasal 10
peraturan GATT yang mengatur persyaratan publikasi dan administrasi pengaturanpengaturan perdagangan.
2. Diberlakukannya bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada PT TPN sebagai
produsen mobil nasional selama dua tahun. Hal tersebut tidak sesuai dengan pasal 3 ayat
2 peraturan GATT.
3. Perimbangan muatan lokal seperti insentif, (1) mengizinkan pembebasan tarif impor, (2)
membebaskan pajak barang mewah di bawah program mobnas sesuai dengan pelanggaran
dalam pasal 3 ayat 1 GATT, dan pasal 3 kesepakatan perdagangan multilateral.
Gugatan Pihak Jepang Terhadap Indonesia Melalui WTO
Permasalahan mobil nasional dibawa ke World Trade Organization oleh pihak Jepang
untuk mengajukan keluhan mengenai keberadaan mobil nasional di Indonesia. Subyek dalam
kasus mobil nasional ini adalah PT Timor Putra Nusantara yang berperan memproduksi mobil
masional akan tetapi PT Timor Putra Nusantara belum dapat memproduksi di dalam negeri,
oleh karena itu PT Timor Putra Nusantara mengimpor mobil nasional dari Korea Selatan
dalam bentuk jadi. Dalam kasus ini yang menjadi obyek sengketa adalah mobil nasional
Timor yang menunjuk PT Timor Putra Nusantra sebagai pionir yang memproduksi mobil
nasional. Gugatan pihak Jepang ke WTO atas Indonesia terdiri dari tiga poin, yaitu:
1. Perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi
keuntungan pada satu negara. Kebijakan ini melanggar Pasal 10 General Agreement
on Traffis and Trade (GATT) mengenai perlakuan bebas tarif masuk barang impor.
2. Perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobil
nasional selama dua tahun. Kebijakan ini melanggar Pasal 3 ayat (2) GATT.
3. Menghendaki perimbangan muatan lokal seperti intensif. Mengizinkan pembebasan
tarif impor,Membebaskan pajak barang mewah di bawah program mobil nasional
BUSINESS ETHICS
sesuai dengan pelanggaran Pasal 3 ayat (1) GATT dan Pasal 3 Kesepakatan
perdagangan Multilateral.
Pada 4 Oktober 1996, Pemerintah Jepang resmi mengadukan Indonesia ke WTO yang
didasarkan pada Pasal 22 ayat (1) GATT. Inti dari pengaduan Jepang adalah ingin agar
masalah sengketa dagangnya dengan Indonesia diselesaikan sesuai dengan kesepakatan
perdagangan multilateral sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam WTO bahwa jika
dalam tempo lima sampai dengan enam bulan setelah pengaduan ke WTO belum dapat
diselesaikan, maka Jepang akan membawa perkara tersebut ke tingkat yang lebih tinggi.
Setelah enam bulan tidak ada penyelesaian sejak pihak Jepang secara resmi
mengadukan Indonesia ke WTO melalui pembentukan Dispute Settlement Body (DSB) atau
sidang bulanan pada penyelesaian sengketa. Pembentukan panel pun dilakukan, setelah upaya
penyelesaian mengalami jalan buntu. Panel yang beranggotakan 3 - 5 orang inilah yang akan
memeriksa pengaduan dan saksi-saksi. Kemudian dalam tempo enam bulan, panel akan
menyerahkan rekomendasi yang akan diserahkan kepada DSB yang pada akhirnya keputusan
hasil panel akan disahkan oleh DSB satu tahun kemudian.
Setiap negara anggota WTO sesungguhnya dalam menyelenggarakan perdagangan
internasional harus berdasarkan prinsip - prinsip WTO. Perdagangan bebas menuntut semua
pihak untuk memahami persetujuan perdagangan internasional dengan segala implikasinya
terhadap perkembangan ekonomi nasional secara menyeluruh. Persetujuan - persetujuan yang
ada dalam kerangka WTO bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang
mengatur masalah-masalah perdagangan agar lebh bersaing secara terbuka, adil, dan sehat.
Hal-hal tersebut terkandung dalam prinsip-prinsip WTO, antara lain:
1. Perlakuan yang sama untuk semua anggota atau asas non diskriminasi (Most
Favoured Nations Treatment). Prinsip ini diatur dalam Pasal I GATT 1994 yang
mensyaratkan segala komitmen yang telah dibuat dan ditandatangani dalam rangka
GATT harus diperlakukan secara sama kepada semua negara anggota WTO.
2. Pengikatan tarif (Tariff Binding). Prinsip ini diatur dalam Pasal II GATT 1994 yang
mana setiap negara anggota GATT/WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat
bea masuk atau tarifnya harus diikat (legally bound). Pengikatan atas tarif ini
dimaksudkan untuk menciptakan prediktibilitas dalam hal bisnis perdagangan
internasional atau ekspor. Artinya, negara tidak diperkenankan untuk sewenangwenang mengubah atau menaikkan tingkat tarif bea masuk.
BUSINESS ETHICS
3. Perlakuan Nasional (National Treatment). Prinsip ini diatur dalam Pasal III GATT
1994 yang mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk
memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negeri
(produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis tindakan
yang dilarang berdasarkan ketentuan ini, yaitu:
a. pungutan dalam negeri;
b. undang-undang;
c. peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan;
d. penawaran penjualan;
e. pembelian;
f. transportasi;
g. distribusi atau penggunaan produk;
h. pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran;
i. pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri.
4. Perlindungan hanya melalui tarif. Prinsip ini diatur dalam Pasal XI dan mensyaratkan
bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif.
5. Perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang (Special and
Differential Treatment for Developing Countries).
Permasalahan mobil nasional yang diadukan ke WTO oleh pihak Jepang terhadap
Indonesia berdasarkan penilaian bahawa kebijakan pemerintah Indonesia sebagai bentuk
diskriminasi dan oleh karenanya telah melanggar prinsip - prinsip perdagangan bebas.
Indonesia yang secara resmi bergabung dengan WTO dengan meratifikasi Konvensi WTO
melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 secara hukum terikat dengan ketentuan-ketentuan
GATT termasuk prinsip-prinsip:
1. Prinsip penghapusan hambatan kuatitatid (non tariff barriers/non tarif measures)
berdasarkan Artikel XI Paragraf 1 GATT 1994.
Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri
domestik melalui tarif dan tidak melalui upaya perdagangan lainnya. Perlindungan
melalui tarif ini menunjukkan dengan jelas mengenai tingkat perlindungan yang
diberikan dan masih dimungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Prinsip ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya proteksi perdagangan yang bersifat non-tarif
karena dapat merusak tatanan perekonomian dunia.
2. Prinsip National Treatment yang diatur dalam Artikel III paragraf 4 GATT 1994.
BUSINESS ETHICS
Berdasarkan prinsip ini, produk yang diimpor ke dalam suatu negara harus
diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Dengan prinsip ini pula
dimaksudkan bahwa negara yang tergabung ke dalam WTO tidak boleh membedabedakan perlakuan terhadap pelaku bisnis domestik/lokal dan pelaku bisnis asing,
terlebih terhadap sesama anggota WTO. Prinsip ini berlaku luas dan berlaku terhadap
semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini juga memberikan
suatu perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau
kebijakan administratif atau legislatif.
WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar prinsip - prinsip GATT yaitu
National Treatment dan menilai kebijakan mobil nasional tidak sesuai dengan spirit
perdagangan bebas yang diusung WTO. Oleh karena itu, WTO menjatuhkan putusan kepada
Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT
Timor Putra Nasional selaku produsen mobil timor dengan menimbang bahwa penghapusan
bea masuk dan pernghapusan pajak barang mewah yang oleh pemerintah hanya diberlakukan
pada PT. Mobil Timor nasional merupakan suatu perlakuan yang diskriminatif dan tentu saja
akan sangat merugikan para investor yang telah terlebih dahulu menanamkan modalnya dan
menjalankan usahanya di Indonesia. Dengan diberlakukannya penghapusan bea masuk dan
pajak barang mewah terhadap mobil timor, hal ini dapat menekan biaya produksi sehingga
membuat harga mobil timor di pasaran menjadi lebih murah, hal tersebut akan mengancam
posisi investor asing yang tidak dapat menrunkan harga jual produknya, dalam persaingan
pasar yang tidak sehat seperti itu, investor asing pasti akan sangat dirugikan.
Untuk menciptakan suatu perdagangan bebas yang efektif dan efisien, GATT dalam aturan
aturannya telah berusaha menghapuskan segala hambatan dalam perdagangan internasional,
antara lain adalah hambatan-hambatan perdagangan Non Tarif, oleh karena itu kebijakan
Pemerintah Indonesia yang menetapkan keharusan aturan persyaratan kandungan local
terhadap investor asing dinilai sebagai upaya pemerintah dalam menciptakan suatu hambatan
peragangan non tarif guna memproteksi pasar dalam negeri dari tekanan pasar asing.
Kebijakan tersebut merupakan salah satu strategi pemerintah untuk memproteksi pasar Mobil
Timor agar tidak kalah bersaing dengan produsen mobil dari luar negeri. Instrumen kebijakan
tersebut tentunya sangat merugikan pihak produsen mobil dari luar negeri, dan dapat
menciptakan suatu iklim persaingan yang tidak sehat.
BUSINESS ETHICS
10
11
dialog-dialog
dengan
organisasi-organisasi
internasional,
parlemen, media dan public secara umum pada bermacam-macam aspek dalam WTO
dan dengan dialog itu WTO berusaha melakukan kerjasama dengan pihak-pihak
tersebut serta meningkatkan keingintahuan terhadap aktivitas-aktivitas WTO.
Jepang dan Indonesia telah mencoba menegosiasikan masalah ini dalam beberapa kali
pertemua tingkat menteri. Namun kesepakatan yang ingin dicapai bertolak belakang dengan
keinginan masing-masing negara tersebut. Pemerintah Jepang yang diwakili Kementerian
Industri dan Perdagangan Internasional pada tanggal 6 Oktober 1996 secara resmi
melaporkan Indonesia ke WTO didasari pasal 22 ayat 1 peraturan GATT. Pemerintah Jepang
berkeinginan masalah sengketa dengan Indonesia dapat diselesaikan dengan kesepakatan
multilateral sesuai dengan aturan yang tercantum dalam WTO.
Inti dari pengaduan itu, Pemerintah Jepang ingin masalah sengketa dagangnya dengan
Indonesia diselesaikan sesuai dengan kesepakatan perdagangan multilateral sesuai dengan
aturan yang tercantum dalam WTO. Ketika itu, jika dalam tempo lima-enam bulan setelah
pengaduan ke WTO belum dapat diselesaikan, maka Jepang akan membawanya ke tingkat
yang lebih tinggi. Setelah enam bulan tidak ada penyelesaian sejak Jepang secara resmi
mengadukan Indonesia ke WTO, tampaknya, ancaman Jepang bukan isapan jempol belaka.
Jepang bakal membawa masalah Mobnas ke panel WTO pada 30 April melalui
pembentukan dispute settlement body (DSB) atau sidang bulanan badan penyelesaian
sengketa. Dengan terbentuknya DSB, maka Jepang berharap masalah Mobnas dapat
dipecahkan dengan jalan terbaik dan adil.
Pembentukan panel dilakukan oleh DSB, setelah upaya penyelesaian mengalami jalan
buntu. Panel yang beranggotakan 3-5 orang inilah yang akan memeriksa pengaduan dan
saksi-saksi. Dan dalam tempo enam bulan, panel akan mengeluarkan rekomendasi yang akan
diserahkan kepada DSB. Di tangan DSB nanti, keputusan hasil panel akan disahkan satu
tahun kemudian. Namun, Pemerintah Jepang berharap hubungan bilateral kedua negara tidak
BUSINESS ETHICS
12
terganggu. Dalam hal program mobnas, menyadari keinginan dan cita-cita Indonesia atas
program tersebut. Jepang tidak mengenyampingkan keinginan tersebut, sepanjang tidak
melanggar peraturan GATT dan WTO. Walau pengaduan telah disampaikan ke WTO,
Pemerintah Jepang tetap membuka peluang melalui jalan bilateral untuk menyelesaikan soal
krusial ini. Meskipun, di badan perdagangan dunia itu, masalah mobnas akan terus melekat
dalam agendanya.
National
Treatment
Artikel
III,
paragraph
GATT
1994.
pada dasarnya adalah keharusan suatu Negara untuk memberikan perlakuan yang sama
terhadap semua investor asing, Kebijakan Mobil Nasional dianggap telah Melanggar
ketentuan ini karena pemberian fasilitas penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak
barang mewah hanya diberlakukan pada PT. Timor Putra Nasional.
b. Prinsip Penghapusan hambatan kuantitatif, Artikel XI, paragraf 1 GATT 1994.
pemerintah Indonesia dinilai telah melanggar ketentuan keharusan investor menggunakan
bahan baku, bahan setengah jadi, komponen dan suku cadang produksi dalam negeri
dalam proses produksi otomotif dalam negeri, yang dalam industri otomotif Indonesia,
ketentuan ini dikenal sebagai persyaratan kandungan lokal. Berdasarkan ketentuan GATT
yang diimplementasikan dalam aturan aturan Trade Related Investment Measures,
kebijakan persyaratan kandungan lokal merupakan salah satu kebjakan investasi yang
harus dihapus karena menghalangi perdagangan internasional, ketentuan kandungan lokal
sebenarnya merupakan suatu hambatan perdagangan non tariff yang dalam GATT tidak
dapat ditolerir.
Keputusan WTO Dalam Penyelesaian Kasus Mobil Nasional
BUSINESS ETHICS
13
Dalam penyelesaian kasus mobil nasional, WTO memutuskan bahwa Indonesia telah
melanggar Prinsip-Prinsip GATT yaitu National Treatment dan menilai kebijakan mobil
nasional tersebut dinilai tidak sesuai dengan spirit perdagangan bebas yang diusung WTO,
oleh karena itu WTO menjatuhkan putusan kepada Indonesia untuk menghilangkan subsidi
serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT. Timor Putra Nasional selaku produsen
Mobil Timor dengan menimbang bahwa :
a. Penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang mewah yang oleh pemerintah
hanya diberlakukan pada PT. Mobil Timor nasional merupakan suatu perlakuan yang
diskriminatif dan tentu saja akan sangat merugikan para investor yang telah terlebih
dahulu menanamkan modalnya dan menjalankan usahanya di Indonesia. Dengan
diberlakukannya penghapusan bea masuk dan pajak barang mewah terhadap mobil timor,
hal ini dapat menekan biaya produksi sehingga membuat harga mobil timor di pasaran
menjadi lebih murah, hal tersebut akan mengancam posisi investor asing yang tidak dapat
menrunkan harga jual produknya, dalam persaingan pasar yang tidak sehat seperti itu,
investor asing pasti akan sangat dirugikan.
b. Untuk menciptakan suatu perdagangan bebas yang efektif dan efisien, GATT dalam
aturan aturannya telah berusaha menghapuskan segala hambatan dalam perdagangan
internasional, antara lain adalah hambatan-hambatan perdagangan Non Tarif, oleh karena
itu kebijakan Pemerintah Indonesia yang menetapkan keharusan aturan persyaratan
kandungan local terhadap investor asing dinilai sebagai upaya pemerintah dalam
menciptakan suatu hambatan peragangan non tarif guna memproteksi pasar dalam negeri
dari tekanan pasar asing. Kebijakan tersebut merupakan salah satu strategi pemerintah
untuk memproteksi pasar Mobil Timor agar tidak kalah bersaing dengan produsen mobil
dari luar negeri. Instrumen kebijakan tersebut tentunya sangat merugikan pihak produsen
mobil dari luar negeri, dan dapat menciptakan suatu iklim persaingan yang tidak sehat.
Dengan memperhatikan uraian di atas, kita dapat melihat bahwa WTO sebagai lembaga
internasional cukup efektif dalam menerapkan hukum ekonomi dan hukum perdagangan
internasional. Sebagai contohnya adalah sanksi yang dikenakan oleh WTO terhadap
Indonesia dalam kasus Mobil Nasional (Mobil Timor) yang diajukan oleh Jepang. Dengan
putusan WTO tersebut, Indonesia mengubah kebijakannya dengan menghilangkan subsidi
serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT. Timor Putra Nasional sebagai pelopor
BUSINESS ETHICS
14
yang memproduksi Mobnas yang sangat merugikan Jepang kerena mempunyai kepentingan
kuat dalam industri otomotifnya yang telah menguasai hampir 90% pangsa mobil Indonesia.
15
perbedaan biaya di tenaga kerja, ketrampilan pekerja, iklim, teknologi, peralatan, tanah, atau
sumber daya alam yang dimiliki suatu negara.
David Richardo menyatakan bahwa walapun suatu negara memiliki absolute
advantage dalam memproduksi segala sesuatu, itu masih lebih baik untuk lebih
mengkhususkan produksi suatu barang lalu memperdagangkannya dan inilah yang disebut
comparative advantage yaitu situasi dimana suatu negara memiliki opportunity cost dalam
membuat suatu komoditas yang lebih rendah dari negara lainnya yang membuat komoditas
serupa.
Perdagangan dalam lingkup globalisasi ekonomi dunia, menyatukan berbagai macam
negara dalam satu wilayah atau kawasan pasar yang sangat luas dan tanpa batas. Fakta
menunjukkan bahwa negara-negara di dunia saling membutuhkan. Di bidang ekonomi, tidak
ada satu negara pun yang mampu memenuhi kebutuhan negaranya sendiri. Apalagi di era
globalisasi saat ini, ketergantungan satu negara kepada negara lain semakin tinggi. Dimana
semua negara dituntut untuk saling interdependensi antara satu dengan yang lainnya. Semua
negara diwajibkan untuk melakukan spesialisasi produk sesuai dengan sumber daya yang
dimiliki, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dan teknologi.
Dalam melakukan hubungan ekonomi internasional, dibutuhkan peraturan tentang
hubungan ekonomi internasional dan perjanjian multilateral. Hukum ekonomi internasional
berfungsi untuk mengatur hubungan ekonomi agar tidak saling merugikan. Selain itu, hukum
ekonomi internasional diharapkan dapat melindungi kepentingan berbagai pihak dan lebih
menjamin adanya kepastian hukum.
Utiliatarianisme
Utilitarianisme menyatakan bahwa suatu tindakan yang patut adalah yang
memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Utilitarianisme berasal dari kata
latin utilis, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini
juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar The Greatest Happiness Theory.
Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang
berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang
tidak bermanfaat, tidak berfaedah, dan merugikan. Karena itu baik buruknya perilaku dan
perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak.
Menurut Jeremy Bentham (1948-1832), Tindakan yang terbaik adalah yang
memberikan sebanyak mungkin kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Artinya bentham
BUSINESS ETHICS
16
memandang bahwa benar salahnya suatu tindakan harus dinilai berdasarkan konsekuensikonsekuensi yang diakibatkannya. Konsekuensi yang baik adalah konsekuensi yang
memberikan kebahagiaan kepada seseorang, sedangkan konsekuensi yang buruk adalah
konsekuensi yang memberikan penderitaan kepada seseorang. Dengan demikian dalam
situasi apapun pedoman tindakan yang benar adalah memaksimumkan kebahagiaan
dibandingkan penderitaan.
Keadilan (Justice)
John Rawls (1971) berpendapat bahwa keadilan adalah kejujuran Justice as
Fairness, sehingga masyarakat sebagai sistem kerjasama sosial yang fair secara
berkesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan manusia sebagai makhluk
moral memiliki pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam
kehidupan sosial. Oleh karena itu Rawls menyimpulan tiga hal penting yaitu :
1. Memaksimalkan kemerdekaan, pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk
kepentingan kemerdekaan itu sendiri.
2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial mapun
kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam. Pembatasan dalam hal ini
hanya dapat diijinkan apabila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan
kelahiran da kekayaan.
Untuk memberikan jawaban atas ketiga hal tersebut, Rawls memberikan tiga prinsip
keadilan yang sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli, yaitu :
1. Prinsip equal liberty
Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling
luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain.
2. Prinsip differences
Ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga diperoleh
manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
3. Prinsip equal opportunity
Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaaan
dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.
Hak (Rights)
Menurut Velasquez (2012) right adalah hak seseorang atas sesuatu; seseorang
memiliki hak atas sesuatu ketika seseorang berhak untuk bertindak dengan cara tertentu atau
BUSINESS ETHICS
17
meminta orang lain untuk bertindak dengan cara tertentu terhadap dirinya sendiri disebut
dengan legal right. Hak dapat berasal dari undang-undang atau standar moral, inilah yang
disebut dengan moral right atau human right. Pada umumnya semua manusia diizinkan untuk
melakukan segala sesuatu atau berhak untuk memiliki sesuatu untuk mereka.
Istilah right digunakan untuk menutupi berbagai situasi dimana individu diizinkan
untuk membuat pilihan dalam cara yang sangat berbeda. Pertama, istilah right menunjukkan
adanya lanrangan mengejar beberapa kepentingan atau kegiatan. Kedua, istilah right
menunjukkan bahwa seseorang yang berwenang atau diberdayakan untuk melakukan sesuatu
baik untuk mengamankan kepentingan orang lain atau untuk mengamankan kepentingan
seseorang. Ketiga, istilah right kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan adanya
larangan atau persyaratan pada orang lain yang memungkinkan individu untuk mengejar
kepentingan atau kegiatan tertentu.
Right yang paling penting adalah mereka memberlakukan persyaratan atau larangan
pada orang lain, yang memungkinkan seseorang untuk memilih untuk melakukan sesuatu
atau tidaknya. Moral right memiliki tiga fitur penting yaitu :
Moral right berkorelasi erat dengan tugas. Artinya jika saya memiliki hak untuk
melakukan sesuatu, maka orang lain memiliki kewajiban moral untuk tidak
18
menjalankan peraturan perdagangan bebas menuju dunia tanpa batas negara yang berakibat
WTO mempunyai kekuasaan tidak hanya di sektor yudisial tetapi juga legislatif yang berarti
hukum serta kebijakan nasional di tiap negara yang terkait dengan bidang perdagangan harus
sesuai dengan perjanjian WTO. Perjanjian WTO dianggap paling tinggi derajatnya oleh
negara. Disiplin dalam WTO mengikat secara hukum terhadap pemerintah yang sekarang
maupun di masa depan. Dengan demikian Indonesia tidak memiliki banyak pilihan kebijakan
ekonomi ketika telah tergabung dalam WTO.
Adapun prinsip-prinsip WTO yang secara implisit mengandung aturan-aturan umum
mengenai perdagangan internasional adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
Nasional dikeluarkan untuk memperbaiki sistem deregulasi untuk menyambut pasar bebas
tahun 2003. Perusahaan industri kendaraan bermotor nasional yang telah diberikan status
BUSINESS ETHICS
19
BUSINESS ETHICS
20
BUSINESS ETHICS
21
Referensi
Hendra, Ilham. (2010). Teori Keadilan John Rawls Pemahaman Sederhana Buku A Theory Of
Justice.
https://ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawlspemahaman-sederhana-buku-a-theory-of-justice/. Diakses pada 28 Juni 2015.
Husada, Lutfi. (2013). General Agreement On Tariifs And Trade. http://zaenalmuttaqinenal.blogspot.com/2013/07/general-agreement-on-tariffs-and-trade.html. Diakses pada
28 Juni 2015.
Velasquez, M.G. (2014). Business Ethics Concepts amd Cases 7th Edition. Edinburgh :
Pearson Education Limited
World Trade Organization. (1994). General Agreement on Tariffs and Trade 1994.
https://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/analytic_index_e/gatt1994_05_e.htm#art
icle11. Diakses pada 28 Juni 2015.
World Trade Organization. (2015). Understanding The WTO.
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/what_we_do_e.htm. Diakses pada 28
Juni 2015
BUSINESS ETHICS
22