Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Definisi
Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis yang berasal dari ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah yang cukup terorganisasi untuk memenuhi kebutuhan
metabolism tubuh (Nettina, 2002).
Gagal jantung adalah termin umum yang dipakai untuk menggambarkan keadaan
secara patofisologik dimana terjadi gangguan fungsi jantung yang diakibatkan oleh
ketidakmampuan ventrikel memompa darah sesuai dengan venous return sehingga
tidak bisa memenuhi kebutuhan metabolism jaringan dari berbagai sistem organ di
dalam tubuh.

2.4 Epidemiologi
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang sangat luas baik di negara
maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan jumlah penderita
gagal jantung mencapai beberapa juta, sedangkan di USA sekitar 4,8 juta dan rata-rata
400.000-700.000 penderita baru tiap tahunnya. Diperkirakan hampir 23 juta orang di
dunia ini menderita gagal jantung.
Angka kematian di rumah sakit akibat gagal jantung akut mencapai 5-8% dan
angka kematian 1 tahun setelah keluar dari rumah sakit mencapai 60%. Dari tahun
1990 sampai dengan 1999 jumlah penderita gagal jantung yang dirawat di rumah sakit
meningkat dari sekitar 810.000 menjadi lebih dari 1 juta dimana gagal jantung sebagai
diagnose primer dan dari 2,4 juta menjadi 3,6 juta baik sebagai diagnose primer atau
sekunder (Cleland, 2001)

Jumlah kematian akibat gagal jantung baik primer maupun sekunder meningkat
sampai 6 kalinya dalam kurun waktu 40 tahun belakangan ini, pada gagal jantung
derajat ringan risiko kematian setiap tahunnya meningkat menjadi derajat yang lebih
tinggi dari 5%-10% menjadi sektiar 30%-40% (Cleland, 2001).

2.5 Etiologi
Penyebab gagal jantung antara lain adalah infark miokardium, miopati jantung,
defek katup, malformasi congenital dan hipertensi kronik. Penyebab spesifik gagal
jantung kanan adalah gagal jantung kiri, hipertensi paru, dan PPOK (Corwin, 2001).
Berikut adalah etiologi gagal jantung akibat etiologi penyebabnya:

Pengisian volume yang abnormal:


Inkompetensi aorta
Inkompetensi mitral
Inkompetensi trikuspidal
Overtransfusi
Pirau kiri ke kanan
Hipervolemia sekunder
Tekanan pengisian yang abnormal:
Stenosis aorta
Hipertrofi Idiopatik
Stenosis Subaorta
Koarktasio aorta
Hipertensi
Disfunsi miokard:
Kardiomiopati
Miokarditis
Penyakit arteri koroner
Iskemik
Infark
Disritmia
Presbikardia
Gangguan pengisian
Stenosis mitral
Stenosis tricuspid
Tamponade jantung

2.6 Patofisiologi

Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolism


dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankna
cardiac output (volume darah yang dipompa oleh ventrikel per menit). Cardiac output
dipengaruhi oleh perputaran denyut jantung dan pengaturan curah sekuncup.
Mekanisme kompensai meliputi 1). Respon sistem saraf simpatik terhadap
baroreseptor atau kemoreseptor, 2) Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk
menyesuaikan terhadap peningkatan volume, 3) vasokontriksi arteri renal dan
aktivitas sistem rennin angiotensin, 4) respon-respon terdap serum sodium dan
regulasi ADH dari reabsorbsi cairan. Kegagalan mekanisme kompensasi dapat
dipercepat oleh adanya volume darah sirkulasi yang dipompakan untuk menentang
peningkatan resistensi vaskuler oleh pengencangan jantung. Kecepatan jantung
memperpendek waktu pengisian ventrikel dan arteri koronaria, menurunkan cardiac
output dan menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke miokardium.
Peningkatan tekanan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan
oksigen dan pembesaran jantung (hipertropi) terutama pada jantung iskemik atau
kerusakan yang menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan. Dengan kata lain,
apabila kebutuhan oksigen tidak terpenuhi maka serat otot jantung semakin hipoksia,
sehingga kontraktilitas berkurang.
sistemik yang kronik akan menyebabkan ventrikel kiri mengalami hipertropi dan
melemah. Hipertensi paru yang berlangsung lama akan menyebabkan ventrikel kanan
mengalami hipertropi dan melemah.
Ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali ke atrium kiri,
lalu ke sirkulasi paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka darah akan mulai
terkumpul di sistem vena perifer. Hasil akhirnya adalah semakin berkurangnya

volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya tekanan darah serta perburukan siklus
gagal jantung.
Kenaikan tekanan vena pulmo mengakibatkan terjadinya transudasi cairan dari
kapiler ke dalam jaringan alveoli dan hal ini menyebabkan sesak napas. Pegurangan
curah jantung dan volume darah arteri berakibat perubahan aliran darah ginjal.
Pengaktifan

sistem

saraf

simpatik

dan

sistem

angiotensin

menyebabkan

vasokonstriksi arteriola dan pemintasan aliran darah menjauhi kortek perifer. Jadi
kadar filtrasi glomeruli seiring dengan peningkatan reabsoprsi tubuli proksimal dan
keduanya menyebabkan retensi garam dan air.
Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, terjadi dilatasi dari ruang,
peningkatan volume dan tekanan pada diastolic akhir ventrikel kanan, tahanan untuk
mengisi ventrikel dan peningkatan tekanan ini sebaliknya memantulkan ke hulu vena
kava dan dapat diketahui dengan peningkatan pada tekanan vena jugularis.
Retensi natrium dan air dapat terakumulasi pada rongga abdominal akibat
peningkatan tekanan intravaskuler yang mendorong cairan keluar dari sirkulasi portal,
yang dikenal sebagai ascites. Hal ini menimbulkan manifestasi seperti mual, muntah,
atau anoreksia.

2.7 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Diagnosis


Tanda dan gejala gagal jantung kiri adalah adanya dispnea, ortopnea, dispnea
nocturnal paroksismal, batuk iritasi, oedema pulmonal akut, penurunan curah jantung,
irama gallop, crakles paru, disritmia, pernapasan cheyne stoke. Untuk gagal jantung
kanan ditandai dengan curah jantung rendah, distensi vena jugularis, edema, dependen
disritmia, penurunan bunyi napas.

Pemeriksaan penunjang untuk CHF dapat bermacam-macam. Diantaranya adalah:


o EKG: Hipertropi atrial atau ventrikel, penyimpangan aksis dan iskemia
o Sonogram: Dapat menunjukkan dimensi perbesaran bilik, perubahan dalam
fungsi struktur katup atau area penurunan kontraktilitas ventrikuler.
o Rontgen dada: dapat menunjukkan perbesaran jantung, bayangkan
mencerminakan dilatasi/hipertropi bilik
o Enzim hepar: meningkat dalam gagal/kongestif hepar
o Elektrolit: mungkin berubah karena penurunan fungsi ginjal
o Analisa gas darah: gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik
ringan atau hiposemia
o BUN: peningkatan BUN menandakan penurunan fungsi ginjal
o Kreatinin: Peningkatan merupakan indikasi gagal jantung
Kriteria Framingham untuk diagnosis CHF adalah sebagai berikut:

Kriteria Mayor
Paroksismal nocturnal dispnea
Distensi vena leher
Kardiomegali pada gambaran radiologis
Edema paru akut
Ronki paru
Gallop S3
Refleks hepatojugular
Didapatkan edema paru, kongesti visceral, atau kardiomegali pada otopsi
Peninggian tekanan vena jugularis
Kriteria Minor

Edema tungkai bilateral


Batuk malam hari
Sesak napas saat beraktifitas normal
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Dispnea deffort
Takikardia (>120/menit)

Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan jika terdapat 2 gejala mayor atau 1
gejala mayor dan ditambah dengan dua gejala minor. New York Heart Association
(NYHA) menetapkan klasifikasi sesak napas berdasarkan aktifitas:

Derajat I : Tidak ada gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa


Derajat II : Timbul gejala bila melakukan aktifitas fisik biasa
Derajat III: Timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan
Derajat IV : Timbul gejala pada saat istirahat

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Terapi Medikamentosa
Obat yang mempengaruhi kerja angiotensin II
Gagal jantung fase kompensata terjadi akibat aktifitas baik sistem
simpatis maupun sistem rennin angiotensin aldosteron, disini angiotensin II
dan aldosteron merupakan respon neuro-humoral yang mengakibatkan
gangguan pada jantung, sehingga sesudah sewajarnya diperlukan agen yang
mampu menghambat aktifitas keduanya. ACE adalah suatu zat yang
diperlukan dalam konversi dari angiotensin I menjadi angiotensin II di dalam
sistem RAA. Sistem ini juga berpengaruh terhadap hipertensi, namun yang
lebih penting lagi adalah efek remodeling pada target organ sehingga
menimbulkan gangguan fungsi target organ.

Diuretika

Diuretika dianjurkan diberikan pada semua gagal jantung kongestif


dimana agen ini lebih bersifat simptomatis daripada proteksi di organ target.
Pada gagal jantung kongestif loop diuretika (furosemid) lebih dianjurkan
dibandingkan golongan tiazid . Namun demikian pemakaian lama diuretika
jenis ini dapat mengakibatkan aritmia yang ganas. Sebaliknya kombinasi
furosemid dengan spironolakton (diuretic hemat kalium) tidak meningkatkan
risiko aritmia ganas. Bahkan spironolakton direkomendasikan untuk diberikan
pada gagal jantung berat (NYHA III-IV) guna memperbaiki baik angka
kesakitan maupun angka kematian.
Penghambat Beta
Pada masa yang lalu penghambat beta merupakan kontraindikasi pada
semua klas fungsional gagal jantung dan telah dibuktikan dapat menurunkan
baik angka kematian maupun angka kesakitan pada gagal jantung. Pada
penelitian CIBIS II, penambahan bisoprolol pada terapi dengan diuretika dan
penghambat ACE pada pengobatan penderita gagal jantung dapat menurunkan
angka kematian oleh sebab apapun sebesar 32%, kematian mendadak 45%,
masuk rumah sakit 29% dengan tanpa efek samping yang berarti. Namun
demikian beberapa keadaan seperti asma bronkiale dan bradikardi tidak
dianjurkan pemberian penghambat beta.
Digitalis
Dahulu digitalis merupakan indikasi utama pada pengobatan gagal
jantung, akan tetapi akhir-akhir ini sudah tidak merupakan indikasi utama
walaupun masih bisa digunakan sebagai tambahan terapi pada penderita gagal
jantung yang dengan pemberian obat konvensional masih belum membaik.
Saat ini digitalis lebih dipakai untuk tujuan mengontrol frekuensi ventrikel
yang terlalu cepat baik pada atrial takikardi, flutter, maupun fibrilasi.
Agen anti aritmia

Pada umumnya anti aritmia dipakai pada gagal jantung dengan atrial
fibrilasi dimana respon ventrikelnya sangat cepat. Disini fungsi anti aritmia
hanyalah mengontrol frekuensi ventrikel sehingga masa diastolnya lebih
panjang oleh karenanya isi ventrikel saat diastole makin besar dan strok
volume akan meningkat. Anti aritmia yang paling sering dipakai adalah
amiodaron, namun amiodaron ini punya efek toksik pada paru, hepar, dan
tiroid dan juga mempunyai efek inotropik negative sehingga tidak tepat untuk
gagal jantung berat.
Anti koagulan
Pemberian anti koagulan warfarin pada pasien gagal jantung berat
dengan irama sinus masih merupakan kontroversi. Oleh karena itu perlu
pertimbangan masak terapi anti koagulan pada gagal jantung, dan mesti sangat
dipertimbangkan efek dan risikonya. Pada gagal jantung dengan atrial fibrilasi,
warfarin dapat member manfaat menurunkan risiko terjadinya trombo-emboli
maupun stroke. Tidak semua pusat rumah sakit yang menangani gagal jantung
memakai anti koagulan secara rutin untuk semua pasiennya dengan gangguan
fungsi ventrikel sedang sampai berat dimana tidak ada kontraindikasinya.

2.8.2 Terapi lainnya


Ada banyak terapi tambahan yang lain dan biasanya dilakukan di negara
maju maupun yang sedang berkembang termasuk di Indonesia, diantaranya
pemasangan defibriliator secara implant, biventricular pacing, ventricular assist
devices. Demikian juga tindakan bedah seperti transplantasi jantung, Coronary
Artery Bypass Grafting (CABG), rekonstruksi katup mitral pada disfungsi
ventrikel kiri, Ventricular Reduction Surgery.

DAFTAR PUSTAKA
1. ACC/AHA. Task Force on Practice. Guidelines. 2005. Guideline updates for
diagnosis and management chronic heart failure in adult. J Am Coll Cardioll 46:111
2. Bakta, I Made. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
3. Cleland JG, Khand A, Clark A. 2001. The heart failure epidemic: exactly how big
isit?. Eur
Heart Jurnal 22:623-6.
4. Ghanie, Ali.. Gagal Jantung Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor:
Aru W.

Sudoyo., Bambang Setiyohadi., Idrus Alwi., Marcellus Simadibrata K.,

Siti Setiati.
Interna Publishing. Jilid II Edisi V. 2010:169-183
5. Tjokroprawiro, A. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga: Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama

: Ny. Darsiem

Umur

: 55 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan


Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Agama

: Islam

Alamat

: Jln. Marca Pada

Tanggal Masuk : 07 Juli 2015

3.2 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Sesak Napas
B. Telaah
Pasien datang ke IGD RSUD.dr.R.M.Djoelham dengan keluhan sesak napas
sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak awalnya dirasakan hanya saat
beraktifitas berat, namun semakin lama sesak semakin parah. Sesak tidak disertai
dengan bunyi. Sesak juga terutama dirasakan saat pasien tidur. Agar sesak
berkurang, pasien mengaku tidur dengan tiga bantal.
Dua hari SMRS sesak menjadi semakin parah. Pasien juga merasa bengkak di
kaki semakin lama semakin membesar. Selain itu pasien mengeluh dada berdebardebar terutama bila timbul sesak, lemas, mudah lelah, sering berkeringat, nafsu
makan menurun sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, mual dan muntah
yang timbul bersamaan dengan sesak, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan bahwa tidak ada riwayat penyakit seperti hipertensi (-),
diabetes melitus (-), Asma (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien dan suami tidak mengetahui apakah terdapat riwayat keturunan keluarga
yang sakit serupa. Riwayat sakit asma di dalam keluarga juga tidak diketahui
E. Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku sebelumnya berobat ke dokter setempat dan hanya diberikan obat
namun tidak ada perubahan.
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalisata

Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat

Kesadaran

Tanda Vital
- Tekanan darah : 120/80mmHg
- Heart Rate
: 98 x/menit
- Respirasi Rate : 36 x/menit
- Suhu
: 36,50 C
Kepala
: Normochepali
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Hidung
: Deviasi (-), Pernapasan cuping hidung (-)
Telinga
: Dalam batas normal
Leher
: JVP (+), pembesaran kelenjar getah bening (-),
pembesaran tiroid (+) sebesar telur ayam.
Thorax

: Compos Mentis

Inspeksi

: Simetris kanan = kiri, retraksi intercostal (-)

Palpasi

: Stem fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor dikedua lapang paru

Auskultasi

: Suara nafas vesikuler , ronkhi basah halus (+/+) di


kedua basal paru, wheezing (-/-).

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Auskultasi
Abdomen

: Ictus Cordis tidak terlihat


: Ictus Cordis teraba di ICS V Axillaris anterior sinistra
: Batas kanan atas ICS II Linea Sternalis Dextra,
Batas kanan bawah ICS IV Linea Sternalis Dextra
Batas kiri atas ICS II linea Linea Sternalis Sinistra
Batas kiri bawah ICS V Linea Axilaris anterior
: Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler.

Inspeksi

: Simetris,

Palpasi

: Soepel, nyeri tekan (+) di regio epigastrium, massa (-)


Hepar dan Lien tidak teraba

Perkusi

: Tympani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Ektremitas
Superior

: Akral hangat, oedem (-/-) , sianosis (-/-)

Inferior

: Akral hangat, oedem pretibial (+/+) dan pergelangan


kaki (+/+) sianosis (-/-)

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Foto Thorax
Dilakukan pada tanggal 09 Juli 2015 hasilnya adalah :
Hasil : Ukuran Jantung Membesar
Kesan : Cardiomegali
EKG
Dilakukan pada tanggal 07 Juli 2015 hasilnya adalah :
Hipertrofi Ventrikel sinistra, Sinus Takikardi, ST Devresi segment (lateralanterior)

Laboratorium
Dilakukan pada tanggal 08 Maret 2015 hasilnya adalah :
Darah rutin
-

Hb
Leukosit
Eritrosit
Trombosit
KGDR

:
: 10,9 gr/dl
: 6,4 x 103 / L
: 4,21 x 106 / L
: 193 x 103 / / L
: 96 mg/dl

Kimia Darah
-

Ureum
: 29,7 mg/dl
Kreatinin : 0,66 mg/dl
Uric Acid : 8,7 mg/dl

Elektrolit Darah
-

Natrium

: 142 mmol/L

Kalium
Klorida

: 3,0 mmol/L
: 108 mmol/L

Fungsi Tyroid
-

T3
T4
TSH

: > 600 mg/dl


: >24 mg/dl
: 0,005 IU/ml

3.5 RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD.dr.R.M.Djoelham dengan keluhan sesak napas sejak
3 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak disertai dengan bunyi. Sesak juga
terutama dirasakan saat pasien tidur. Pasien juga merasa bengkak di kaki semakin
lama semakin membesar. Selain itu pasien mengeluh dada berdebar-debar terutama
bila timbul sesak, lemas, mudah lelah, sering berkeringat, nafsu makan menurun
sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, mual dan muntah yang timbul
bersamaan dengan sesak, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
3.6 DIAGNOSIS BANDING
Dyspnea e.c Congestive Heart Failure (CHF)
Dyspnea e.c Cronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
3.7 DIAGNOSIS KERJA
Dyspnea e.c Congestive Heart Failure NYHA klas fungsional II-III
3.8 PENATALAKSANAAN
- Bed Rest
- IVFD RL 10 gtt/ menit
- O2 4-6 Liter
- Diet Jantung Rendah Garam
- Inj. Furosemide 1 Ampul/ 8 jam
- Inj. Cefotaxime 1 Vial/12 jam
- Inj. Ranitidine 1 Ampul/12 jam
- Inj. Ketorolac 1 Ampul/8 jam
- Concor tab 2,5 mg 1x1 tab
- KSR 1x1 tab
- Spironolaktone tab 25 mg 1x1 tab
- PTU 100 mg 1x1

3.9 PROGNOSIS
- Quo add Vitam
- Quo add Fungtionam
- Quo add Sanationam

: Dubia ad Malam
: Dubia ad Malam
: Dubia ad Bonam

Anda mungkin juga menyukai