Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan antara etiologi, gejala, proses biokimia yang mendasarinya, respons terhadap
terapi, dan akibat dari gangguan perasaan (mood) atau afek belum cukup dipahami dengan
baik untuk memungkinkan klasifikasinya secara universal. Kelainan fundamental pada
kelompok gangguan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya ke arah depresi (dengan
atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau ke arah elasi (suasana perasaan yang menigkat).
Perubahan suasana perasaan ini biasanya disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan
tingkat aktivitas, dan kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu, atau
mudah dipahami hubungannya dengan perubahan tersebut. Sebagian besar dari gangguan ini
cenderung berulang, dan timbulnya episode tersendiri sering berkaitan dengan peristiwa atau
situasi yang menegangkan.
Gangguan neurosis, somatoform dan ganguan yang berkaitan dengan stress,
dikelompokkan menjadi satu kelompok besar karena hubungan sejarahnya dengan konsep
neurosis dan adanya hubungan yang luas dari gangguan ini dengan penyebab psikologis.
Konsep neurosis tidak lagi dipertahankan sebagai suatu prinsip penggolongan utama,
meskipun masih diberikan kemungkinan untuk mengenal dengan mudah gangguan yang oleh
kelompok tertentu masih lebih suka menggunakan istilah neurosis dalam mengidentifikasi
gangguan tersebut.
Dengan diagnosa yang cepat dan penanganan sedini mungkin serta penatalaksanaan
yang tepat, komplikasi dapat dicegah serta akan mendapatkan prognosis yang lebih baik.
Oleh karena itu dalam laporan ini akan dibahas lebih mendalam mengenai stress, depresi, dan
beberapa gangguan jiwa lainnya dan mencoba menganalisis skenario yang ada sebagai
kendaraan untuk dapat memahami anatomi dan fisiologi yang berkaitan dengan psikiatri serta
penyakit yang menyertainya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari gangguan jiwa?
2. Pengertian dari Stres, Stressor, Distres dan Eustres?
3. Bagaimanakah Manajemen stress itu?
4. Apakah pengertian dari Psikotis?
5. Adakah penyakit gangguan jiwa yang diturunkan?
C. Tujuan Penulisan
Mengidentifikasi dan menyusun diagnosis pasien atas berbagai gangguan di bidang
psikiatri dalam tingkat individual, keluarga, dan masyarakat, dengan bekerja secara bersama-

sama dan holistik dengan perilaku yang profesional, bermoral, beretika, dan mengenali
masalah-masalah etika serta aspek hukum kedokteran.
D. Manfaat Penulisan
1. Mampu menetapkan diagnosis banding serta diagnosis gangguan di bidang psikiatri
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan status mental, investigasi tambahan sederhana
yang diminta, seperti pemeriksaan laboratorium.
2. Mampu menjelaskan peranan faktor biologik, psikologik, sosial, dan spiritual pada
gangguan jiwa.
3. Mampu melakukan pencegahan primer, sekunder, dan tersier pada gangguan jiwa.
E. Skenario
Ingin Pergi dari Rumah
Sdr. A, 18 tahun, laki-laki, pelajar SMU kelas III, dibawa ke UGD Rumah Sakit Jiwa
oleh kedua orang tuanya karena 3 hari tidak tidur, bicara sendiri, mondar-mandir dan
ingin pergi dari rumah. Dari autoanamnesis diketahui bahwa pasien mendengar suara
seorang laki-laki yang menyuruhnya pergi dari rumah. Pasien juga merasa dimusuhi
oleh teman-teman dan tetangganya. Menurut orang tuanya, saat ini pasien sedang
mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir nasional, sehingga mereka
menduga pasien mengalami stress yang berat. Dari riwayat keluarga diketahui bahwa
adik laki-laki ibunya juga pernah mengalami gangguan serupa.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesehatan Jiwa
WHO tahun 1948 mendefinisikan Kesehatan Jiwa sebagai suatu kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari
seseorang dan perkembangan itu selaras dengan jalannya perkembangan individu lain
(Ibrahim Nuhriawangsa, 1980).
Di lain pihak WHO tahun 1951 menyebutkan bahwa Kesehatan Jiwa adalah suatu
keadaan yang bergantung pada perubahan-perubahan yang disebabkan oleh faktor
biologis dan sosial yang memungkinkan seorang individu mencapai suatu perpaduan yang
memuaskan

dari

kemungkinan

konflik

dengan

nalurinya;

membentuk

dan

mempertahankan hubungan yang harmonis dengan orang lain dan ikut serta dalam
penyusunan perubahan tatanan sosial dari lingkungan fisiknya (Sainsbury, 1980).
B. Gangguan Jiwa
1. Definisi
Gangguan jiwa sendiri didefinisikan sebagai suatu ketidakmampuan untuk
menyesuaikan tingkah laku yang diharapkan oleh budaya di mana dia berada atau
ketidakmampuan menyesuaikan tingkah laku yang diharapkan dan ditentukannya sendiri
atau kedua-duanya; apakah ketidak mampuan itu berasal dari sebab organik, psikogenik
atau sebab lain atau oleh kombinasi dari sebab-sebab tersebut (Solomon & Patch, 1974).
Sainsbury (1980) mengatakan bahwa gangguan jiwa merupakan manifestasi
tingkah laku yang menyimpang dari konsep kenormalan yang bisa diterima dan keadaan
ini tidak diinginkan.
Definisi lain dari gangguan jiwa adalah tingkah laku, kumpulan gejala atau pola
psikologis yang terjadi pada individu yang khusus berhubungan dengan gejala kecemasan
atau mengganggu salah satu atau beberapa fungsi penting (Goldman, 1984).
Faktor-faktor penyebab sebagai pencetus gangguan (kesehatan) jiwa seseorang,
sering tidak bisa ditetapkan secara pasti karena banyaknya faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya gangguan jiwa. Oleh sebab itu sering penyebab gangguan jiwa
disebutkan multi faktorial yang berarti banyak faktor penyebab. Meskipun demikian
faktor yang banyak itu bisa disederhanakan menjadi tiga faktor penyebab yaitu :

a. Faktor organo-biologik

Dari sekian banyak faktor organo-biologik (organik, fisiogenik) dapat


disebutkan disini beberapa di antaranya adalah :
1) infeksi berbagai organ tubuh terutama yang secara langsung mengenai otak
2)
3)
4)
5)

atau akibatnya akan mengganggu fungsi otak


rudapaksa fisik yang mengenai organ-oragan terutama otak
gizi yang kurang, tidak memenuhi syarat atau malnutrisi
kelelahan yang sangat oleh berbagai sebab
kekacauan fungsi biologik yang terjadi secara terus menerus, oleh berbagai
sebab

Hal-hal yang tersebut di atas tadi sering berhubungan dengan keadaan :


1) saraf pusat anatomis, fisiologis maupun kimiawi
2) tingkat kematangan dan perkembangan organik individu
3) faktor-faktor prenatal, perinatal atau postnatal.
b. Faktor psiko-edukatif (psikologis, psikogenik)
Penyebab ini bisa berasal dari dalam maupun luar individu yang akhirnya
akan berpengaruh secara luas terhadap kepribadian (berfikir, berperasaan dan
bertindak) individu sebagai reaksi terhadap rangsang yang berasal dari dalam
maupun dari luar dirinya. Penyebab-penyebab itu diantaranya :
1) berbagai konflik dan frustrasi yang berhubungan dengan kehidupan modern
maupun tradisional
2) berbagai kondisi kehilangan status dan perasaan diri cacat atau habis
riwayatnya
3) berbagai kondisi kekurangan, yang dihayati sebagai cacat yang sangat
menentukan kehidupan saat itu maupun selanjutnya, umpamanya :
penampilan diri, hendaya dll.
4) Berbagai kondisi perasaan bersalah atau berdosa.
Keadaan-keadaan tersebut biasanya bersumber dari :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

interaksi antara orang tua dan anak


peranan ayah atau ibu
persaingan antara saudara sekandung
keadaan inteligensi dan intelek individu
hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan, sekolah dan masyarakat
kehilangan sesuatu / seseorang, yang mengakibatkan kecemasan, depresi,

rasa malu atau rasa bersalah


7) konsep diri, dalam arti pengertian dari identitas diri sendiri dengan peranan
yang tidak menentu, termasuk identitas jenis kelamin
8) ketrampilan, bakat dan kreativitas individu
9) pola adaptasi dan pola pembelaan diri, sebagai reaksi terhadap bahaya yang
mengancam
10) tingkat perkembangan emosi individu.

c. Faktor sosio-budaya (sosiologis, sosiokultural)


Penyebab di sini adalah segala keadaan atau perubahan yang terjadi di masyarakat
dalam jangka waktu lama maupun secara mendadak ataupun bersifat menetap,
umpanya :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

berbagai fluktuasi ekonomi dengan berbagai akibatnya


kebahagiaan maupun kesengsaraan kehidupan keluarga
kepuasan dalam pekerjaan
persaingan yang tajam, keras atau tidak sehat
diskriminasi dalam berbagai bentuk
perubahan sosial yang terlalu cepat.

Keadaan di atas biasanya erat hubungannya dengan :


1)
2)
3)
4)
5)
6)

tingkat ekonomi keluarga atau individu


kestabilan keluarga
pola pengasuhan anak
perumahan, tempat kerja maupun sekolah di desa atau di kota
pengaruh rasial dan keagamaan
masalah kelompok minoritas / subkultur yang meliputi prasangka dalam hal

fasilitas pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan yang tidak memadai


7) nilai / norma yang ada di masyarakat di mana individu itu berada.
C. Stresor dan Stres
Stresor dapat diartikan sebagai penghalang, kesukaran, dan aral melintang
yang dihadapi oleh individu dalam mencapai tujuan hidupnya. Usaha penyesuaian diri
untuk mengembalikan keseimbangan badan dan/atau jiwa yang terganggu disebut
stres. Bila individu tidak dapat mengatasi stresor dengan baik, maka akan muncul
gangguan badani, perilaku tidak sehat ataupun gangguan jiwa. Stresor dapat muncul
dari luar individu misalnya tidak lulus ujian, pernikahan yang tidak harmonis, dan
sebagainya. Stresor dapat juga muncul dari dalam individu itu sendiri, suatu sifat atau
ciri yang terlalu menonjol, misalnya terlalu lekas marah, obsesif, dan sebagainya.
Setiap organisme, terutama manusia, dipacu oleh stres untuk berusaha lebih
keras, tetapi semua ada batasnya. Eustres memacu individu untuk berusaha lebih
keras mencapai kebutuhan atau tujuan. Stres patologis terjadi apabila dalam usaha
mengatasi stres individu tidak dapat berfungsi dengan baik, mungkin sampai timbul
gangguan jiwa ataupun badan.
Langkah pertama dalam menghadapi dan mengatasi stres adalah mengakui
bahwa sedang mengalami stres. Untuk mencegah stres, cara yang paling baik adalah
mengubah sikap terhadap stresor. Makin penting stresor itu dianggap, akan semakin
besar stres yang timbul sebagai akibatnya. Melakukan relaksasi dapat membantu
mengurangi stres maupun mencegah timbulnya stres patologis.

D. Sistem Limbik
1. Anatomi
Secara anatomi sistem limbik dipakai untuk bagian otak yang terdiri dari
jaringan kortek yang mengelilingi hilus hemisfer serebri beserta struktur dibawahnya
yaitu:
a. Amigdala
b. Hipokampus
c. Nuklei septum
2. Histologi
Secara histologi system limbic dibagi menjadi:
a. Alo korteks memiliki tiga lapisan dan mengelilingi hilum hemisfer
b. Jukstalokorteks antara alokorteks dan neokorteks. Memiliki 3-6 lapisan dan
dapatditemukan pada gyrus singulata dan insula
c. Neokorteks merupakan jaringan korteks didaerah non limbic
3. Sirkuit Papez
Sirkuit papez adalah hubungan antara struktus sistem limbik yang
membentuk sirkuit tertutup yang kompleks dan saling melengkapi.
a. Forniks menghubungkan hipokampus dan korpus mamilaris
b. Korpus mamilaris berhubungan dengan nuklei anterior talamus dengan
traktus mamilotalamikus
c. Nuklei anterior talamus bersambung dengan korteks singuli dan korteks
singuli mempunyai hubungan dengan hipokampus
4. Hubungan sistem lombik dengan neo korteks.
Kegiatan neokorteks dapat memodifikasi perilaku emosional dan demikian
pula sebaliknya.Salah satu sifat emosi adalah bahwa emosi tidak dapat ditimbulkan
atau dihilangkan dengan kehendak. Impuls ikutan dapat berlangsung lama setelah
perangsangan. Hal ini dapat menerangkan sebagian tentang fakta bahwa respon
emosional cenderung berlangsung lama dan bukanya sesaat walaupun rangsang yang
menimbulkanya telah tiada
5. Sistem limbik dan syaraf otonom.
a. Perangsangan sistem limbik menimbulkan efek otonom khususnya pada
perubahan tekanan darah dan pernafasan. Respon ini timbul pada perangsangan di
daerah sistem limbik, sedikit sekali bukti yang menunjukkan lokasi yang
menghasilkan respon otonom pada sistem limbik.
b. Respon otonom merupakan bagian dari fenomena yang lebih kompleks khususnya
respon emosi dan perilaku.

c. Perangsangan nuklei amigdaloid menimbulkan gerakan mengunyah dan menjilat


serta kegiatan lain yang berhubungan dengan makan.
d. Kerusakan amigdala mungkin menimbulkan hiperfagia ringan dan kecenderungan
untuk memakan segala makanan tanpa kecuali, kemungkinan karena tidak adanya
kemampuan untuk membedakan antara obyek yang dapat dimakan dan tidak dapat
dimakan.
E. Hubungan HPA axis dengan HPT axis
HPA axis adalah sistem neuroendokrin yang meliatkan hypothalamus, kelenjar
hormon pituitary, dan kelenjar adrenal. Begitu juga dengan HPT axis yang merupakan
sistem neuroendokrin yang meliatkan hypothalamus, kelenjar hormon pituitary, dan
kelenjar tiroid.

HPA axis

merupakan

sistem komunikasi kompleks

yang

bertanggungjawab untuk menangani reaksi stress dengan mengatur produksi hormon


kortisol

yang merupakan mediator rangsang syaraf. HPA axis merupakan jalur

interaksi kompleks antara tiga sistem yang terjadi dalam tubuh yang mengatur reaksi
terhadap stress dan banyak proses dalam tubuh, termasuk di dalamnya proses
pencernaan, sistem ketahanan tubuh, mood dan tingkat emosi, gairah seksual,
penyimpanan energi dan penggunaannya (Guyton, 1994).

Sumber gambar (http://www.biodia.com/TechnicalCharts/HPA-HPTAxesChart.pdf)


Hubungan antara HPA axis dengan HPT axis adalah jika jalur HPA axis terstimulus
rangsang dari luar (berupa stress) maka sedemikian sehingga pada jalur ini akan ada
peningkatan produksi CRH, ACTH, dan glucocorticoids (cortisol). CRH dan cortisol akan
memberikan respon inhibisi (penghambatan) jalur HPT axis pada pembentukan TSH yang
mana TSH berperan penting dalam produksi hormon tiroid. Selain itu, cortisol juga dapat
memberikan respon inhibisi langsung terhadap poduksi T3 yang merupakan bentuk aktife
dari hormon tiroid. Penghambatan pada jalur HPT axis mengakibatkan penurunan proses
metabolisme dalam tubuh. Produksi ACTH dan cortisol yang berlebihan akan memberikan
umpan balik ke hipotalamus untuk menghentikan atau menurunkan produksi CRH, ACTH,
dan cortisol itu sendiri. Jika umpan balik negatif ini sukses maka akan proses metabolik akan
kembali ke keadaan fisiologis, tapi jika umpan balik ini gagal maka akan terjadi penurunan
fungsi fisiologis sistem metabilik yang akan berakibat penurunan fungsi-fungsi fisiologis
lainnya yang terkait misalnya sistem imun (Guyton, 1994).
F. PSIKOSIS
1. Definisi

Psikosis adalah gangguan mental dengan ciri utama terganggunya kemampuan


menilai realitas. Adanya tanda dan gejala yang menetap seperti : kecurigaan,
kecemasan, ketegangan, mudah marah, perubahan nafsu makan, hilangnya motivasi,
serta adanya kesukaran konsentrasi dan daya ingat, merupakan gejala yang mengarah
ke pra psikosis. Sedangkan tanda psikosis yaitu:
a. Penilaian terhadap realita terganggu atau tidak wajar
b. Terganggunya kemampuan untuk melakukan tugas umum yang tidak
mempunyai keharusan khusus
c. Daya kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan dunia luar tidak
sesuai dengan taraf pendidikan dan kedudukan sosialnya
d. Daya kemampuan persepsi panca indera terganggu, sehingga timbul berbagai
gejala halusinasi dan ilusi
e. Terganggunya daya kemampuan berpikir dan berperasaan sehingga tidak bisa
memberikan respon yang adekuat terhadap situasi yang ada di sekelilingnya.
Ciri khas perjalanan psikosis episode pertama adalah fase prodromal (fase prapsikotik), fase akut (munculnya beraneka ragam gejala), fase penyembuhan (remisi).
Faktor resiko terjadinya psikosis antara lain: remaja dan dewasa muda, adanya
riwayat keluarga psikosis, kepribadian yang rentan (schizoid, skizotipal), kurangnya
penyesuaian diri premorbid, adanya riwayat trauma kepala, intelegensi rendah, serta
adanya

peristiwa

kehidupan

yang

dianggap

sebagai

stress

psikososial,

penyalahgunaan obat, dan perubahan fungsi secara subjektif pada seseorang.


Sindrom psikosis di antaranya adalah :
a. Hendaya berat dalam RTA (Reality Testing Ability), bermanifestasi dalam
terganggunya awareness, judgment, insight
b. Hendaya berat dalam fungsi mental, manifestasinya:
1) Positif : inkoherensi, wahham, halusinasi, gangguan perasaan, perilaku
aneh (disorganized)
2) Negatif : afek tumpul, apatis, pasif, menarik diri, abulia, remming,
blocking, isi pikiran stereotipi, tidak ada inisiatif
c. Hendaya berat dalam fungsi kehidupan, bermanifestasi dalam gejala tidak
mampu bekerja, menjalin hubungan social, dan melakukan kegiatan rutin.
2. Macam-macam psikosis:
a. Psikosis pada gangguan mental organik
Psikosis yang terjadi akibat adanya kelainan di otak: tumor, encephalitis,
trauma dan lain-lain.
b. Psikosis akibat penggunaan NAPZA
c. Skizofrenia

Merupakan gangguan mental yang berat, sebab terganggunya pikiran,


perasaan dan tingkah laku. Di samping waham dan halusinasi, didapati gejala
utama skizofrenia seperti waham bizar (sisip pikir, waham kendali, syiar pikir,
though of withdrawal), depersonalisasi, derealisasi, dan lain-lain. Macammacam skizofrenia yaitu:
1) Skizofrenia paranoid
2) Skizofrenia hebefrenik
3) Skizofrenia katatonik
4) Skizofrenia tak terinci (indefferentiated)
5) Depresi pasca skizofrenia
6) Skizofrenia residual
7) Skizofrenia simplek
8) Skizofrenia lainnya
Penanganan dini pada pasien psikosis dapat dilakukan secara biologis,
psikologis dan sosial. Secara biologis dapat dilakukan dengan memberikan
antipsikosis. Secara psikologis dilakukan dengan untuk membangun kepercayaan
pasien terhadap dirinya sendiri, meningkatkan kepatuhan pada antipsikotik dan lainlain. Secara sosial dapat melibatkan keluarga, teman sebaya, pekerjaan, dan
pendidikan.
G. SKIZOFRENIA
1. Definisi
Merupakan sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan
perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis atau deteorating) yang luas, serta
sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik, dan
sosial budaya (PPDGJ III,2003)
Pada umunya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted). Kesadaran yang jernih (clear consciusness) dan kemampuan intelektual
biasanyan tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (PPDGJ III,2003)
2. Gejala-gejala
a. Penampilan umum dan Perilaku Umum
Tidak ada penampilan atau perilaku yang khas pada skizofrenia. Beberapa bahkan
dapat berpenampilan dan berperilaku normal. Pasien dengan skizofrenia kronis
cenderung menelantarkan penampilannya.

b. Gangguan Pembicaraan
Inti gangguan pada skizofrenia terdapat pada proses pikiran, yang terganggu
utama adalah asosiasi. Terdapat asosiasi longgar berarti tidak adanya hubungan
antar ide. Kalimat-kalimatnya tidak saling berhubungan. Bentuk yang lebih parah
adalah inkoherensi. Tidak jarang terdapat asosiasi bunyi karena pikiran sering
tidak mempunyai tujuan tertentu. Hal ini menyebabkan perjalanan pikiran pada
pasien skizofrenia sulit untuk diikuti dan dimengerti.
Kadang-kadang pasien dengan skizofrenia membentuk kata-kata baru untuk
menyatakan arti yang hanya dipahami oleh dirinya sendiri atau yang dikenal
dengan neologisme. Pada pasien dengan skozofrenia ketatonik sering tampak
mutisme.
c. Gangguan Perilaku
Salah satu gangguan aktivitas motorik pada pasien skizofrenia adalah gejala
katatonik yang dapat berupa stupor atau gaduh gelisah (excitement). Gangguan
perilaku lain adalah stereotipi (berulang-ulang melakukan suatu gerakan) dan
manerisme (stereotipi tertentu pada skizofrenia yang dapat dilihat dalam bentuk
grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan).
d. Gangguan Afek
1) Kedangkalan respon emosi , misalnya penderita menjadi tak acuh terhadap
hal yang penting bagi dirinya sendiri.
2) Parathimi, apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira,
pada penderita timbul rasa sedih atau marah.
3) Paramimi, penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi dia menangis.
e. Yang penting dari skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk mengadakan
hubungan emosi yang baik (emotional rapport). Karena itu sering kita tidak dapat
merasakan perasaan penderita.
f. Gangguan Persepsi
Pada skizofrenia gangguan persepsi yang sering muncul adalah halusinasi,
khususnya

halusinasi

pendengaran

(auditorik

atau

akustik).

Halusinasi

penglihatan (optik) agak jarang pada skizofrenia, lebih sering pada psikosis akut
yang berhubungan dengan sindrom otak organik.

g. Gangguan Pikiran
Gangguan pikiran yang sering muncul adalah waham. Pada skizofrenia waham
sering tidak logis dan sangat bizar. Penderita tidak menginsafi hal ini dan baginya
wahamnya merupakan fakta yang tidak dapat diubah oleh siapapun.
(Maramis,2009)
3. Jenis-Jenis Skizofrenia
a. Skizofrenia Paranoid
Gejala-gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan
waham-waham sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang teliti terdapat
gangguan proses berpikir, gangguan afek, emosi dan kemauan. Jenis skizofrenia
ini sering muncul setelah umur 30 tahun. Permulaanya mungkin subakut, tetapi
mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat
digolongkan skizoid. Mereka mudah tersinggung, suka menyendiri, agak
congkak dan kurang percaya pada orang lain.
b. Skizofrenia Hebefrenik
Permulaanya perlahan-lahan atau sub akut dan sering timbul pada masa
remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan kemauan
dan adanya depersonalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor
seperti mannerism, neologism atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat
pada skizofrenia hebefrenik. Terdapat waham dan halusinasi.
c. Skizofrenia Ketatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut
sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah katatonik
atau stupor katatonik.
d. Skizofrenia Simpleks
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis
simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat.
Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin penderita
mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan.
e. Skizofrenia Residual

Jenis ini merupakan jenis kronis dari skizofrenia dengan riwayat


sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah
gejala negatif yang lebih menonjol. Gejala negatif terdiri dari kelambatan
psikomotor, penurunan aktivitas, penumpulan afek, pasif dan tidak ada inisiatif,
kemiskinan pembicaraan, ekpresi non verbal yang menurun, serta buruknya
perawatan diri dan fungsi sosial.
(Maramis, 2009)
4. Penegakan Diagnosis
a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang jelas :
1) Thougth echo (isi pikiran dirinya sendiri yang berulang dan bergema dalam
kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya
berbeda), Thought insertio/withdrawl (isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya), Thougth broadcasting (isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya)
2) Delusion of control (waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu dari
luar), Delusion of influence (waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar), Delusion of passivity (waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar), Delusional perception
(pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi
dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat).
3) Halusinasi auditorik
4) Waham-waham lain yang menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dinaggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil.
b. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
1) Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja
2) Inkoherensi
3) Perilaku katatonik
4) Gejala-gajala negatif

c. Adanya gejala-gejala tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)
d. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseleruhan
dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
tujuan hidup, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan penarikan
diri secara sosial.
(PPDGJ III,2003)
5. Terapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah : pertama untuk
mengendalikan gejala aktif dan kedua mencegah kekambuhan (Maramis,2009).
Prinsip-prinsip terapi :
a. Tentukan target gejala
b. Gunakan AP (antipsikotik) yang telah terbukti di masa lalu
c. Gunakan AP yang minim efek samping
d. Lama uji coba AP : 4-6 minggu, bila gagal, coba dengan AP lain.
e. Single drug
f. Pertahankan pada dosis efektif yang terendah.
Indikasi rawat inap di RS : diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien dan
lingkungan.
Terapi somatik: Psikofarmaka dan Non psikofarmaka
Terapi psikososial

: terapi perilaku, keluarga, kelompok dan psikoterapi individual

Terapi Psikofarmaka : Antipsokotik (AP)


a. AP golongan I (klasik / konvensional) : antagonis reseptor dopamin
b. AP golongan II (Atipik) : antagonis reseptor dopamin 2 (D2) dan serotonin 2 (5HT2), misal : Haloperidol, Clozapine , Olanzapine

H. SKIZOAFEKTIF
1. Definisi
Seperti yang diartikan oleh istilahnya, gangguan skizoafektif memiliki cirri
baik skizofrenia dan gangguan afektif (sekarang disebut gangguan mood). Kriteria

diagnostik untuk gangguan skizoafektif telah berubah seiring dengan berjalannya


waktu, sebagian besar karena perubahan kriteria untuk skizofrenia dan gangguan
mood. Terlepas dari sifat diagnosis yangdapat berubah, diagnosis ini tetap merupakan
diagnosis yang terbaik bagi pasien yang sindromaklinisnya akan terdistorsi jika hanya
dianggap skizofrenia atau hanya suatu gangguan mood saja. (Shadock,2003)
2. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup dari gangguan skizoafektif adalah kurang dari 1
persen,kemungkinan dalam rentang 0,5 sampai 0,8 persen. Tetapi angka tersebut
adalah angka pekiraan,karena berbagai penelitian terhadap gangguan skizoafektif telah
menggunakan kriteria diagnostik yang bervariasi. Prevalensi gangguan telah
dilaporkan lebih rendah pada laki-laki dibandingkan wanita, khususnya wanita yang
menikah. Usia onset untuk wanita adalah lebih lanjut daripada usia untuk laki-laki.
Laki-laki dengan skizoafektif kemungkinan menunjukkan perilaku antisosial dan
memiliki pendataran atau ketidaksesuaian afek yang nyata. (Shadock,2003)
3. Gejala Klinis
Tanda dan gejala kinis gangguan skizoafektif adalah termasuk semua tanda
dan gejala skizofrenia, episode manik, dan gangguan depresif. Gejala skizofrenik dan
gangguan mood dapat ditemukan bersama-sama atau dalam cara yang bergantian.
Perjalanan penyakit dapat bervariasi dari satu eksaserbasi dan remisi sampai satu
perjalanan jangka panjang yang memburuk. Banyak peneliti dan klinisi berspekulasi
tentang ciri psikotik yang tidak sesuai dengan mood (mood-incongruent), isi psikotik
(yaitu halusinasi atau waham) adalah tidak konsisten dengan mood yang lebih kuat.
Pada umumnya adanya ciri psikotik yang tidak sesuai dengan mood pada suatu
gangguan mood kemungkinan merupakan indikator dari prognosis yang buruk.
Hubungan tersebut kemungkinan berlaku untuk gangguan skizoafektif, walaupun
data-datanya terbatas. (Shadock,2003)
4. Kriteria Diagnosis
Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang
bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain,
dalam episode penyakit yang sama, bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode

penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau
depresif. Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia
dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda. Bila seseorang
pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah mengalami suatu episode
psikotik, diberi diagnosis F20.4 (Depresi pasca-skizofrenia)
(PPDGJ III,2003)
Skozoafektif dibagi menjadi 2 tipe yanitu tipe manik dan tipe depresif.
Gejala manik :
a. Afek meningkat
b. Hiperaktifitas fisik dan mental:
1) Hiperaktif
2) Percepatan dan banyak bicara
3) Kebutuhan tidur berkurang
4) Grandiose ideas (ide kebesaran)
c. Terlalu optimis
Gejala depresi :
a. Gejala utama :
1) Afek depresif
2) Hilang minat dan gembira
3) Berkurangnya energi
b. Gejala tambahan :
1) Konsentrasi dan perhatian kurang
2) Harga diri dan PD berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan suram dan pesimis

5) Gagasan / perbuatan yang membahayakan diri /badan


6) Tidur terganggu
7) Nafsu makan berkurang.

5. Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai
prognosis di pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia dan pasien
dengan gangguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan
skizoafektif mempunyai prognosis yang jauh lebih buruk dibandingkan pasien dengan
gangguan depresif, memiliki prognosis yang lebih buruk dari pasien dengan gangguan
bipolar, dan memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan skizofrenia.
Hal tersebut diatas telah dibuktikan dengan beberapa penelitian. Data
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe
bipolar, mempunyai prognosis yang mirip dengan pasien dengan gangguan bipolar I
dan bahwa pasien dengan gangguan pramorbid yang buruk; onset yang perlahanperlahan; tidak ada factor pencetus; menonjolnya gejala psikotik, khususnya gejala
deficit atau gejala negative; onset yangawal; perjalanan yang tidak mengalami remisi;
dan riwayat keluarga adanya skizofrenia. Lawan dari masing-masing karakteristik
tersebut mengarah pada hasil akhir yang baik. Adanya ataut idak adanya gejala urutan
pertama dari Scheneider tampaknya tidak meramalkan perjalanan penyakit.
(Shadock,2003)
6. Terapi
Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah perawatan di
rumah sakit, medikasi, dan intervensi psikososial. Prinsip dasar yang mendasari
farmakoterapi untuk gangguan skizoafektif adalah bahwa protokol antidepresan dan
antimanik diikuti jika semuanya diindikasikan dan bahwa antipsikotik digunakan
hanya jika diperlukan untuk pengendalian jangka pendek. Jika protokol thymoleptic
tidak efektif dalam mengendalikan gejala atas dasar berkelanjutan, medikasi
antipsikotik dapat diindikasikan. Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe bipolar,
harus mendapatkan percobaan lithium, carbamazepine (Tegretol), valporate
(Depakene), atau suatu kombinasi obat-obat tersebut jika satu obat saja tidak efektif.
Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif, harus diberikan percobaan

antidepresan dan terapiel ektrokonvulsan (ACT) sebelum mereka diputuskan tidak


responsive terhadap terapi antidepresan.(Shadock,2003)
I. GANGGUAN WAHAM MENETAP
1. Definisi
Kelompok ini meliputi serangkaian gangguan dengan waham-waham yang
berlangsung lama, sebagai satu-satunya gangguan klinis yang khas atau yang paling
mencolok dan tidak dapat digolongkan sebagai gangguan mental organik,
skizofrenik, atau gangguan afektif. Pentingnya faktor genetik, ciri-ciri kepribadian
dan situasi kehidupan dalam pembentukan gangguan kelompok ini tidak pasti dan
mungkin bervariasi. (PPDGJ III,2003)
2. Pedoman Diagnostik
a. Waham-waham erupakan satu-satunya ciri khas klinis atau gejala-gejala yang
paling mencolok. Waham-waham tersebut (baik tunggal maupun sebagai suatu
sistem waham) harus sudah ada sedikitnya 3 bulan lamanya dan harus bersifat
khas pribadi (personal) dan bukan budaya setempat.
b. Gejala-gejala depresif atau ahkan suatu episode depresif yang lengkap / fullblown mungkin terjadi secara intermitten, dengan syarat bahwa waham-waham
tersebut menetap pada saat-saat tidak terdapat gangguan afektif itu.
c. Tidak boleh ada bukti-bukti tentang adanya penyakit otak.
d. Tidak boleh ada halusinasi auditorik atau hanya kadang-kadang saja ada dan
bersifat sementara.
e. Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham-waham dikendalikan, siar
pemikiran, penumpukan afek, dsb
(PPDGJ III,2003)
3. Macam-Macam Gangguan Waham Menetap :
a. Gangguan waham
b. Gangguan waham menetap lainnya
c. Gangguan waham menetap YTT

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN.
1. Pasien Sdr.A, 18 tahun laki-laki mengalami gangguan psikotik akut.
2. Kriteria psikotik akut : onset akut kurang dari 2 minggu, ada gejala psikotik yang khas
pada pasien, adanya stress akut yang terkait dan tidak terkait.
B. SARAN
Pasien diberi terapi dan edukasi yang meliputi terapi psikotik yaitu:
1. Terapi biologis(psikofarmaka).
a. neuroleptika (obat anti psikotik).
b. bila ada gejala manik:ditambah anti manik.
c. bila ada gejala depresi: ditambah anti depresi.
d. pada gangguan mental organik :
ditambah terapi kausal gangguan
organiknya.
2. ECT(Electro Convulsive Therapy / TKL)
3. Psikoterapi : Suportif
4. Terapi Lingkungan : Manipulasi keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Sadock BJ, Kaplan HI,Grebb JA. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatri. 9th ed .
Philadelpia:Lippincott William & Wilkins. 2003
Maramis,Willy F dan Albert A.Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.
Surabaya : Airlangga University Press
Guyton,1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
di. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta : Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya

Anda mungkin juga menyukai