Anda di halaman 1dari 30

0

MANAGEMENT OF ACUTE
CORONARY SYNDROME

Prof.DR.dr.H. Djanggan Sargowo, SpPD.,SpJP (K), FIHA, FACC,


FCAPC,FESC

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2008

1
RINGKASAN
Infark Miokard Akut (IMA) sangat berpotensi menjadi fatal
karena adanya silent infark dan cardiac Arrest yang terjadi diluar
hospital (RS) namun sebetulnya dapat dicegah asal pengetahuan
masyarakat akan keluhan Chest Pain dan diagnose lebih dini bisa
ditegakkan.
Infark Miokard Akut adalah nekrosis dari miokard yang terjadi
akibat insufisiensi aliran darah lewat koroner yang mendadak sehingga
aliran darah koroner tidak mampu mencukupi kebutuhan oksigen.
Infark Miokard Akut memberikan gambaran klinis yang khas
berupa nyeri dada, kelainan EKG yang khas dan kenaikan serum
enzim.
Angka kematian di negara maju/industri masih cukup tinggi
yaitu 30% terjadi pada 2 jam pertama perawatan, namun setelah ada
pelayanan Coronary Care Unit (CCU) mulai tahun 1960 angka
kematian turun menjadi 20% dan selanjutnya dengan penggunaan
terapi Trombolitik pada tahun 1980 angka kematian menurun menjadi
10% dan kematian mendadak dapat merupakan manifestasi pertama
dari IMA.
Pengenalan dini dari IMA serta pengobatan dalam fase Pra
hospital mempunyai peranan penting yaitu pengetahuan masyarakat
akan keluhan nyeri dada, usaha meminta pertolongan pada petugas
ambulan atau petugas pelayanan medik emergensi dengan peralatan
defibrilator, trombolitik dan monitoring EKG berlanjut berperan bahwa
50% dari kematian terjadi pada jam pertama, sembilan puluh persen
dari kematian disebabkan oleh Ventrikel Fibrilasi.
Pengobatan Pra Hospital dapat berupa pemasangan infus,
pemberian oksigen, monitoring EKG, opioid, trombolitik dan penderita
segera diangkut ke hospital.
Selanjutnya perawatan di Hospital dilakukan tindakan-tindakan
untuk mengkonfirmasikan diagnosa dengan pemeriksaan EKG, serum
enzim, bila mungkin dengan Radio Nuclide Imaging, prosedur non
invasif dan invasif seperti Swan Ganz Kateter dan Balloon Flotation
Kateter, dan mengobati komplikasi-komplikasi berupa : gagal jantung,
aritmia, syok, tromboemboli.
Terdapat 3 fase perawatan di CCU yaitu : perawatan emergensi ;
menghilangkan nyeri dada dan mencegah dan mengobati aritmia,
perawatan awal berupa; terapi reperfusi dan penanganan komplikasi,
serta perawatan lanjut ; untuk mencegah komplikasi dan kematian.
Perawatan Pasca Hospital berupa penilaian terhadap risiko,
program rehabilitasi dan prevensi sekunder. Penilaian risiko
digolongkan menjadi risiko tinggi, risiko menengah dan rendah,
program rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan keadaan fisik,
psikologik dan sosio ekonomi seperti sebelum sakit serta prevensi
sekunder berupa penanganan faktor risiko, program diet, olah raga dan
obat-obat : antiplatelet agregasi, -blocker, Calcium antagonist,
Nitrat, ACE inhibitor serta obat penurun lipid.

2
I. PENDAHULUAN
Perjalanan alami dari Infark Miokard Akut (IMA) sukar
ditentukan dengan beberapa alasan : kejadian infark tanpa keluhan
yang umum terjadi, angka kematian karena penyakit koroner akut
diluar rumah sakit, dan bervariasinya metode yang digunakan dalam
mendiagnosis penyakit ini. Penelitian pada beberapa kelompok
masyarakat menunjukkan secara konsisten bahwa fatalitas dari
serangan jantung akut pada bulan pertama sebesar kira-kira 50% dan
setengah dari kematian yang ada terjadi kira-kira pada 2 jam pertama.
Mortalitas yang tinggi ini tampaknya sedikit berubah selama 30 tahun
terakhir. Kebalikan dengan angka mortalitas di masyarakat, terdapat
penurunan yang nyata pada angka kematian penderita yang dirawat di
rumah sakit. Seiring pengenalan adanya unit rawat jantung di tahun
1960, mortalitas di rumah sakit berkisar antara 25-30%. Penelitian
lanjutan tentang mortalitas pada era pre-trombolitik pertengahan tahun
1980 menunjukkan kematian rata-rata 18%. Angka mortalitas pada
bulan pertama telah dapat diturunkan, akan tetapi tetap tinggi
meskipun obat trombolitik dan aspirin digunakan secara luas. Maka,
pada penelitian MONICA ( monitoring trends and determinants in
cardiovascular disease ) akhir-akhir ini di 5 kota, kematian pada hari
ke-28 adalah 13-27%. Penelitian lain melaporkan angka kematian
dalam 1 bulan sebesar 10-20% (Monica, 1994).
Beberapa tahun sebelumnya ditemukan beberapa faktor yang
diperkirakan menyebabkan kematian pada pasien yang masuk rumah
sakit dengan infark miokard. Faktor utama tersebut adalah usia,
riwayat penyakit terdahulu (diabetes, infark sebelumnya) ukuran infark
yang luas, termasuk lokasi infark (anterior vs inferior), tekanan darah
yang rendah, adanya kongestif pulmonal dan perluasan iskemia
sebagaimana diekspresikan dengan elevasi dan atau depresi segmen ST
pada elektrokardiogram. Faktor-faktor tersebut masih tetap berperanan
sampai saat ini (Maynard, 1993).
2. PENATALAKSANAAN INFARK MIOKARD AKUT
Sementara perhatian utama dari dokter adalah untuk mencegah
kematian, perawatan terhadap pasien infark miokard ditujukan untuk
meminimalkan keluhan dan stres serta untuk membatasi perluasan
kerusakan miokard. Perawatan tersebut dapat dibagi menjadi 3 fase
(Hopper, 1989) :
(1) Penanganan
darurat
dengan
pertimbangan
utama
untuk
menghilangkan nyeri dan mencegah atau menangani henti jantung.
(2) Penanganan dini dengan pertimbangan utama untuk reperfusi dan
mencegah perluasan infark, serta untuk menangani komplikasi
akut seperti kegagalan pompa jantung, syok dan aritmia yang
mengancam jiwa.
(3) Penanganan lanjut yang ditujukan untuk menangani komplikasi
yang terjadi di CCU (coronary care unit), dan post CCU.

3
II.1. Perawatan Pra-Rumah Sakit (Pre Hospital)
Keterlambatan pasien
Waktu yang paling kritis pada suatu serangan jantung akut adalah fase
awal, saat pasien berada dalam keadaan nyeri hebat dan dalam bahaya
henti jantung. Lebih jauh lagi, semakin awal beberapa penanganan,
terutama trobolisis, semakin besar efek yang menguntungkan. Tetapi,
seringkali terjadi satu jam atau lebih dari onset sebelum bantuan
diminta. Kadang-kadang terdapat bukti bahwa gejala-gejala tidak berat
atau tipikal, atau onset tiba-tiba, namun seringkali tindakan darurat
tidak dilakukan saat kejadian tersebut. Seharusnya menjadi pedoman
umum dari perawatan pasien dengan penyakit jantung iskemik untuk
memberitahu mereka dan keluarganya mengenai gejala dari serangan
jantung dan bagaimana merespons terhadap hal tersebut. Agak kurang
dipahami peran edukasi dari masyarakat umum. Tentunya, masyarakat
harus sadar tentang bagaimana cara memanggil layanan kedaruratan,
meskipun mereka telah mencapai beberapa kemajuan, masih
dipertanyakan apakah peran edukasi publik memiliki peran yang
bermakna (Maynard, 1993).
Edukasi publik dalam RKP
Teknik pertolongan hidup dasar ( basic life support ) harus menjadi
bagian dari kurikulum sekolah. Mereka yang mungkin menjumpai henti
jantung saat kerja, seperti halnya polisi dan petugas pemadam
kebakaran, harus terampil dalam RKP.
Pelayanan ambulans
Pelayanan ini memegang peran penting dalam penanganan IMA dan
henti jantung. Kualitas dari perawatan yang diberikan tergantung
kepada ketrampilan dari staf. Pada tahap awal, personel ambulans
harus dilatih untuk mengenali gejala infark miokard, memberikan
oksigen, obat penghilang nyeri dan melakukan basic life support .
Semua ambulans darurat harus diperlengkapi dengan defibrilator dan
minimum salah satu personelnya terlatih untuk melakukan advanced
life support. Dokter yang berada di ambulans, seperti terdapat di
beberapa negara, punya kemampuan diagnostik yang lebih maju dan
ketrampilan terapi yang memadai termasuk hak untuk memberikan
opioid dan obat trombolitik. Di beberapa negara, perawat yang dilatih
khusus dapat menggantikan posisi dokter ini. Sangat diharapkan dari
staf ambulans agar mencatat ECG untuk tujuan diagnostik dan
menginterpretasi atau mentransfernya sehingga dapat dibaca oleh staf
yang berpengalaman pada unit perawatan jantung ditempat lain.
Pencatatan ECG terutama untuk perawatan berperan besar dalam
penanganan di rumah sakit.

4
Dokter umum
Di beberapa negara, dokter umum memegang peranan penting dalam
perawatan awal dari infark miokard. Di negara-negara ini, mereka
adalah yang pertama dipanggil oleh pasien. Jika mereka bereaksi
dengan cepat dan terlatih dengan baik maka sangat efektif karena
mereka
mengenali
pasien
secara
individual,
mencatat
dan
menginterpretasikan ECG, dapat memberikan opioid dan obat
trombolitik, dan melakukan defibrilasi. Pada kebanyakan negara,
dokter umum tidak terlatih dengan baik. Pada keadaan ini walau
diharapkan mereka dapat menangani pasien tanpa tertunda mereka
sebaiknya cepat memanggil ambulans.
Prosedur masuknya pasien
Proses yang dilalui oleh pasien setiba mereka di rumah sakit haruslah
cepat, khususnya menyangkut diagnosis dan pemberian trombolitik
jika ada indikasinya. Di beberapa rumah sakit, pengiriman langsung
pasien ke unit rawat jantung adalah cara yang terbaik, tetapi sering
pasien pertama akan dikirim ke unit gawat darurat. Penundaan
perawatan pada saat ini sangatlah berpengaruh, tersedianya staf yang
berkualitas merupakan hal yang yang sangat penting untuk memeriksa
dan menangani pasien yang dicurigai menderita infark miokard. Pasien
dengan gambaran clear-cut infark miokard, yang ECGnya menunjukkan
adanya elevasi ST atau block bundle branch, harus melewati sistem
pelayanan yang cepat, dimana trombolitik diberikan di unit gawat
darurat sehingga waktu door-to-needle tidak lebih dari 20 menit. Pada
kasus ini diperlukan pemeriksaan yang lebih teliti yang mungkin lebih
baik di unit rawat jantung (CVCU).
II.2. Perawatan Rumah Sakit (Hospital)
A. Perawatan di ruangan koroner/emergensi
Semua pasien dengan kecurigaan adanya infark miokard sebaiknya
segera diperiksa dan dirawat di unit yang didesain khusus untuk itu,
dimana selalu tersedia tenaga yang terlatih dan peralatan yang
memadai. Bila unit ini ada, maka triage, berperan penting untuk
menentukan pengaturan alih ke ruangan lain bagi mereka yang tidak
membutuhkan fasilitas yang canggih (Amstrong, 1972).
Monitoring non invasif
Monitoring ECG untuk terjadinya aritmia harus segera dimulai
pada semua pasien yang dicurigai mempunyai infark miokard akut. Hal
ini harus dilanjutkan sampai 24 jam atau sampai diagnosis lain dibuat.
Pengamatan ECG lebih lanjut tergantung pada faktor resiko dari pasien
tersebut dan alat yang tersedia. Ketika pasien meninggalkan CCU,
pengamatan irama jantung dapat dilanjutkan bila perlu dengan
telemetri. Pengamatan lebih lama diperlukan pada pasien dengan gagal

5
jantung yang menetap, syok atau aritmia yang serius pada fase akut
karena resiko aritmia sangat tinggi.
Monitoring invasif
Semua CCU harus mempunyai tenaga terlatih dan alat untuk
melakukan monitoring invasif dari tekanan arteri pulmonal.
Monitoring tekanan arteri harus dilakukan pada pasien dengan syok
kardiogenik. Kateter balon, seperti kateter Swan-Gaz, berguna untuk
pemeriksaan dan perawatan pasien dengan output jantung yang rendah.
Kateter ini diindikasikan pada keberadaan syok kardiogenik, gagal
jantung yang progresif, dan kecurigaan adanya defek septum
ventrikuler atau disfungsi otot papilaris.
Pertama, diagnosis kerja infark miokard harus ditegakkan.
Biasanya berdasarkan riwayat adanya nyeri dada yang parah yang
berlangsung selama 15 menit atau lebih, dan tidak berespon dengan
nitrogliserin. Tetapi nyeri mungkin tidak parah, khususnya pada orang
tua, gejala lain seperti dispnoe, pingsan atau sinkope umumnya terjadi.
Petunjuk penting adalah riwayat penyakit koroner terdahulu, dan
penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah, atau tangan kiri. Tidak ada
keseragaman gejala individual dari infark miokard, tetapi kebanyakan
pasien mengalami aktivasi saraf otonom (pucat, berkeringat) serta
hipotensi atau tekanan nadi yang menurun. Gambarannya bisa
termasuk nadi yang irreguler, bradikardi atau takikardi, bunyi jantung
III dan ronchi pada basal. Elektrokardiogram harus dilaksanakan
secepat mungkin. Bahkan pada tahap awal, ECG sering normal. Akan
tetapi ECG sering bervariasi pada jam-jam awal dan bahkan pada
infark akut sering menunjukkan tidak adanya gambaran khas elevasi
ST dan gelombang Q baru. Ulangan ECG harus dilakukan dan jika
mungkin, ECG yang terakhir harus dibandingkan dengan ECG
sebelumnya. Monitoring ECG sebaiknya dilakukan secepat mungkin
pada pasien yang mempunyai aritmia yang membahayakan. Ketika
diagnosis masih meragukan, uji marker serum sangatlah berarti. Pada
kasus yang sulit, echokardiografi dan angiografi mungkin dapat
membantu. Pengobatan terhadap nyeri merupakan hal yang sangat
penting, tidak hanya oleh karena alasan kemanusiaan, tetapi karena
nyeri
dapat
dihubungkan
dengan
aktivasi
simpatetik
yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan kerja jantung. Opioid
intravena (morfin) atau jika ada, diamorfin adalah analgesik yang
umumnya digunakan pada kasus ini, injeksi intramuskular harus
dihindari. Ulangan dosis mungkin diperlukan. Efek sampingnya
meliputi mual dan muntah, hipotensi dan bradikardi, dan depresi
napas. Obat antiemetik dapat digunakan secara bersamaan dengan
opioid. Hipotensi dan bradikardi yang terjadi biasanya bereaksi dengan
atropin dan depresi napas bereaksi dengan naloxon, yang sebaiknya
selalu tersedia. Jika opioid gagal untuk menghilangkan nyeri setelah
pemberian ulangan, - -blocker atau nitrat intravena sering efektif.
Tenaga medis mempunyai pilihan yang terbatas pada obat opioid yang
non adiktif dan disesuaikan dengan ketersediaan yang berbeda-beda

6
pada tiap senter. Oksigen sebaiknya diberikan pada pasien yang sesak
napas atau mempunyai gejala gagal jantung atau syok.
Kecemasan merupakan respon alami terhadap nyeri dan terhadap
serangan jantung. Keyakinan pasien dan keluarga yang terlibat
merupakan hal yang sangat penting. Jika pasien merasa sangat
terganggu, dapat diberikan obat penenang, tetapi opioid adalah obat
yang cukup memadai (E.R.C, 1992).
Basic Life Support
Bagi yang tidak terlatih atau tidak diperlengkapi untuk melakukan
advanced life support sebaiknya memulai dengan basic life support
seperti yang direkomendasikan oleh European Resucitation Council.
Advanced Life Support
Paramedis terlatih dan tenaga kesehatan lainnya harus mengerjakan
advanced life support, seperti yang digambarkan dalam buku petunjuk
European Resucitation Council.
B. Perawatan awal
1. Pengobatan trombolitik
Lebih dari 1000 pasien secara random diikutkan dalam penelitian
trombolisis vs kontrol, memakai satu macam trombolitik dibandingkan
dengan yang lainnya. Pada pasien yang mempunyai onset gejala infark
dalam 12 jam, terbukti bahwa keuntungan terapi dengan trombolitik
sangat menakjubkan (Stevenson, 1993).
Pada pasien yang menunjukkan gejala dalam 6 jam, dan elevasi
ST atau bundle branch block, sekitar 30 kematian dapat dicegah tiap
1000 orang yang diobati. Pada yang menunjukkan gejala antara 7-12
jam, 20 kematian dapat dicegah tiap 1000 orang yang mendapat
pengobatan. Bila lebih dari 12 jam tidak ada bukti yang meyakinkan
tentang keuntungannya.
Penelitian ISIS-2 menunjukkan keuntungan pemberian aspirin,
sehingga ada penurunan kira-kira sebesar 50 kematian tiap 1000 orang
diterapi. Secara keseluruhan, keuntungan terbesar terlihat pada pasien
dengan resiko tinggi, walau proporsional keuntungannya hampir sama.
Maka, lebih banyak nyawa terselamatkan tiap 1000 nyawa yang diobati
Thrombolitik, sebagai contoh diantaranya mereka yang berusia 65
tahun keatas, yang mempunyai tekanan sistolik <160mmHg, yang
mempunyai infark anterior atau yang mempunyai bukti iskemia yang
lebih berat (Adams, 1993).

7
Jangka waktu pengobatan
Keuntungan terbanyak terlihat pada mereka yang mendapat pengobatan
segera setelah onset gejala muncul. Sebuah analisa penelitian dimana
pasien diacak untuk trombolisis pre dan dalam rumah sakit
menunjukkan bahwa menyelamatkan satu jam mengurangi kematian
secara signifikan, tetapi pada penelitian yang relatif kecil gagal
menunjukkan besarnya angka keuntungan yang pasti. Pada pengamatan
terhadap fibrinolitik didapat penurunan yang progresif sekitar 1-6
kematian tiap jam penundaan per 1000 pasien yang diobati.
Bahaya trombolisis
Terapi trombolitik dihubungkan dengan timbulnya efek samping cukup
signifikan, yaitu 3-9 ekstra stroke per 1000 pasien yang diobati, dan
semua bahaya tersebut timbul pada hari pertama setelah pengobatan.
Stroke awal dianggap berasal dari perdarahan serebral; stroke
selanjutnya lebih sering karena trombosis atau emboli. Resiko stroke
bervariasi tergantung pada umur. Terdapat peningkatan resiko untuk
orang dengan usia diatas 75 tahun dan juga bagi mereka yang
mempunyai
hipertensi
sistolik.
Pemberian
streptokinase
dan
anistreplase mungkin dihubungkan dengan hipotensi, tetapi reaksi
alergi berat jarang terjadi. Pemberian hidrokortison secara rutin bukan
merupakan indikasi. Jika terjadi hipotensi, berilah infus, letakkan
pasien berbaring dengan posisi kaki lebih tinggi. Terkadang atropin
dan plasma ekspander juga dibutuhkan (T.T.T, 1994).
Perbandingan obat-obat trombolitik
Tidak ada perbedaan mortalitas antara pemberian streptokinase dan tPA (tissue plasminogen activator) atau anistreplase. Pemberian heparin
subkutan tidak akan menurunkan mortalitas dibanding mereka yang
tidak diberi. Resiko stroke pada pemberian t-PA atau anistreplase lebih
tinggi dibanding dengan streptokinase. Pilihan strategi reperfusi
tergantung kepada risiko masing-masing individu juga faktor-faktor
seperti ketersediaan dan efektivitas biaya.
Implikasi klinis
Berdasarkan pada beberapa kejadian yang diamati, terdapat
keuntungan ganda dalam morbiditas dan mortalitas untuk terapi yang
tepat pada IMA dengan trombolisis dan aspirin, bahwa kedua obat
tersebut juga berefek aditif. Jika fasilitas yang memadai tersedia,
dengan tenaga medis dan paramedis yang terlatih, trombolisis prerumah sakit mungkin dapat dilakukan jika penderita menunjukkan
gambaran klinis infark miokard dan ECG menunjukkan elevasi ST dan
bundle branch block.
Kecuali jika jelas ada kontra indikasi, pasien dengan infark,
yang didiagnosis dengan gejala klinis, elevasi segmen ST atau bundle
branch block, harus mendapat terapi aspirin dan obat trombolitik
dengan penundaan seminim mungkin. Jika EKG pertama tidak
menunjukkan perubahan diagnostik, rekaman EKG serial dan kontinyu

8
sebaiknya dilakukan. Analisa enzim yang cepat, ECG, dan kadangkadang angiografi dapat berguna. Tujuan yang realistik adalah untuk
pemberian trombolisis dalam waktu 90 menit pada pasien yang butuh
terapi segera. Pada pasien yang mengalami perubahan secara perlahan
atau yang infark miokardnya tidak jelas, EKG serial dan pemeriksaan
klinis sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi infark yang bekembang
secara lambat (dengan analisa enzym yang cepat jika tersedia).
Terapi trombolitik tidak boleh diberikan pada keadaan:
Mereka dengan kemungkinan keberhasilan kecil, misal jika EKG tetap
normal, atau menunjukkan hanya ada perubahan gelombang T. Pada
percobaan klinis tidak menunjukkan adanya keuntungan pada pasien
dengan depresi ST, walau resiko pasien ini tinggi (ISIS-3, 1992).
Kontra indikasi terapi trombolitik
Stroke
Ada riwayat trauma mayor/bedah/luka kepala dalam 3 minggu
Perdarahan Gastro Intestinal dalam 1 bulan terakhir
Kelainan darah
Dissecting aneurisma
Kontra indikatif relatif
Serangan iskemia transient dalam 6 bulan terakhir
Terapi coumadin/walfarin
Kehamilan
Puncture atau kebocoran yang tidak bisa ditekan saja
Resusitasi trauma
Hipertensi refrakter (sistolik>180mmHg)
Riwayat terapi laser retina.
Pemberian kembali obat trombolitik
Jika ada bukti reoklusi atau reinfark dengan rekuren elevasi ST atau
bundle branch block. Streptokinase dan terapi trombolitik tetap
dilanjutkan, atau dipertimbangkan angioplasti. Streptokinase dan
anistreplase tidak diberikan kembali dalam jangka waktu 5 hari dan
minimal 2 tahun setelah terapi awal dengan salah satu obat ini (Gusto,
1993).
Terapi antitrombolitik dan antiplatelet tambahan
Keuntungan tambahan aspirin telah dijelaskan diatas. Masih tidak jelas
apakah aspirin bekerja dengan cara meningkatkan trombolisis,
mencegah reoklusi atau dengan membatasi pengaruh mikrovaskular
dari aktivasi platelet. Dosis pertama yaitu 150-160mg harus dikunyah
dan dosis yang sama diberikan per oral setiap harinya. Heparin tidak
memperbaiki lisis bekuan secara cepat tetapi patensi koroner yang
dievaluasi dalam beberapa jam atau hari setelah pemberian trombolisis
terlihat lebih baik dengan intravena heparin. Tidak ada perbedaan yang

9
terlihat apakah heparin dan streptokinase diberikan secara subkutan
atau intravena. Pemberian heparin yang diperpanjang tidak terlihat
dapat mencegah reoklusi setelah terbukti secara angiografi terjadi
trombolisis koroner, atau sebelum pemberian coumadin. Infus heparin
setelah terapi t-PA dapat dihentikan setelah 24-28 jam. Obsevasi ketat
dari terapi heparin adalah evaluasi PTT dihubungkan dengan resiko
terjadinya perdarahan serebral. Pada percobaan ISIS-2, pemberian
heparin subkutan (12.500U) tidak mempengaruhi mortalitas walau
dikombinasi dengan aspirin, streptokinase, alteplase, atau anistreplase
(Gissi, 1986).
Tabel 1. Pemberian Trombolitik pada IMA
No.

TOMBOLITIK

1.

Streptokinase
(K)

2.

Anistreplase

3.

Alteplase (tPA)

4.

Urokinase

PENGOBATAN AWAL

PENGGUNAAN
HEPARIN
1,5 juta unit dalam 100 cc 12.500 unit cara
Dextrose 5% atau N.S. 0,9% S.C. 2 kali sehari
30 60 menit
30 unit diberikan I.V. dalam 3 5 menit
Total dosis <100 mg
Diberikan
I.V.
0,7 mg/kg 30 menit
dalam 48 jam
2 juta unit I.V.
Diberikan
I.V.
Bolus + 1,5 juta unit 1 jam dalam 48 jam
(Eur. Heart. J. 1996)

2. Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA)


Peranan PTCA pada jam-jam awal dari infark miokard dibagi menjadi
angioplasti primer, angioplasti yang dikombinasi dengan trombolisis
dan angioplasti penyelamatan (Gibbons, 1993).
Angioplasti primer
Digolongkan sebagai PTCA tanpa diikuti pengobatan trombolitik dan
merupakan terapi pilihan hanya bila akses cepat (<1 jam) ke
laboratorium kateterisasi yang memungkinkan. Hal ini membutuhkan
tim khusus, yang melibatkan tidak hanya ahli kardiologi, tetapi juga
staf yang terlatih dengan baik. Hal ini hanya di rumah sakit yang
mempunyai ahli kardiologi dan alat yang dapat melakukannya. Sedang
pasien yang dirawat di rumah sakit tanpa fasilitas ini, harus
mempertimbangkan keterlambatan terapi dan juga resiko transportasi
menuju laboratorium keteterisasi.
Angioplasti primer efektif dalam menjaga patensi arteri koroner
dan menghindari resiko terjadinya perdarahan otak karena obat
trombolitik. Bila dibandingkan dengan terapi trombolitik ada
keuntungan antara lain perbaikan patensi yang lebih baik, fungsi
ventrikel yang lebih baik, dan kecenderungan untuk hasil klinis yang
lebih baik pula. Pasien dengan kontraindikasi terhadap trombolitik

10
mempunyai morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada yang
diterapi dengan ini. PTCA primer dapat dilakukan dengan sukses pada
sebagian besar pasien, tetapi pengalaman masih terbatas, disamping itu
keefektifan dan keselamatan diluar pusat pelayanan masih kurang baik
hasilnya.
Angioplasti yang dikombinasi dengan trombolitik
PTCA yang
dilakukan
setelah
pemberian
trombolitik
yang
dimaksudkan untuk meningkatkan reperfusi atau menurunkan resiko
reoklusi telah menunjukkan bukti rendah keberhasilannya dan
membuktikan kecenderungan meningkatkan komplikasi dan kematian.
Oleh karena itu tidak dianjurkan.
Rescue angioplasti (Angioplasti Penyelamatan)
Merupakan PTCA yang dilakukan pada arteri koroner yang tetap
mengalami oklusi setelah pemberian trombolitik. Pengalaman terbatas
yang didapat dari dua penelitian acak menunjukkan kecenderungan
adanya hasil yang lebih baik jika pembuluh darah yang mengalami
sumbatan di rekanalisasi saat angioplasti. Walaupun angka
keberhasilan angioplasti cukup tinggi, masalah yang belum
terpecahkan adalah kurang bisa diterimanya metode invasif untuk
menimbulkan patensi pembuluh darah.
3. Coronary Artery Bypass Surgery (CABG)
Pembedahan ini jarang sekali dilakukan untuk menangani infark
miokard akut tetapi diindikasikan bila PTCA gagal pada saat
kateterisasi atau bila dihubungkan dengan pembedahan untuk defek
septum intraventrikel atau regurgitasi mitral karena disfungsi dan
ruptur otot papiler.
4. Terapi Profilaksis Pada Fase Akut
Aspirin
Efektifitas aspirin ditunjukkan dari studi ISIS-2 yang menunjukkan
bahwa keuntungan aspirin dan streptokinase saling melengkapi. Pada
percobaan yang melibatkan lebih dari 17.000 pasien ini, 160 mg tablet
pertama dikunyah, selanjutnya 160 mg tablet ditelan setiap hari.
Mortalitas pada mereka yang mendapatkan aspirin pada studi ini
adalah 9,4% dibandingkan mereka yang menerima plasebo yaitu
11,8%. Hal ini efektif baik bagi mereka yang menerima trombolisis
atau yang tidak. Pada pengamatan secara keseluruhan dari studi aspirin
didapatkan 29% pengurangan angka kematian, dengan mortalitas
vaskuler 24 nyawa terselamatkan dari 1000 pasien. Bahkan didapatkan
angka yang lebih kecil untuk terjadinya stroke non fatal dan reinfark
miokard yang non fatal pada kelompok yang mendapat pengobatan.

10

11
Sedikit kontraindikasi penggunaan aspirin, aspirin tidak boleh
diberikan pada orang yang alergi, perdarahan tukak peptik, kelainan
darah, atau penyakit hepar yang parah. Aspirin mungkin dapat memicu
spasme bronkus pada asma. Tidak seperti pada trombolisis, tidak ada
bukti yang jelas hubungan antara keefektifan dan waktu dari terjadinya
keluhan dan gejala. Aspirin sebaiknya diberikan sesegera mungkin
pada semua pasien dengan sindrom koroner akut setelah diagnosis
ditegakkan (ISIS-3, 1993).
Obat anti-aritmia
Walaupun lignocaine dapat menurunkan insiden fibrilasi ventrikular
pada fase akut miokard infark, obat ini dapat meningkatkan resiko
asistole. Analisa dari 14 studi menunjukkan mortalitas yang lebih
tinggi pada kelompok yang mendapat terapi lignocaine dibanding
kontrol. Penggunaan obat ini untuk profilaksis tidak dibenarkan.
Beta blocker
Banyak percobaan tentang pemberian beta blocker secara intravena
pada fase akut miokard infark karena kemampuannya untuk membatasi
infark dan mengurangi insiden aritmia yang fatal dan untuk
mengurangi nyeri. Penelitian pada 16.000 pasien mengungkapkan
pengurangan mortalitas selama 7 hari. Pada penelitian dibeberapa
negara, penggunaan beta blocker sangatlah jarang. Terdapat indikasi
penggunaan beta blocker ketika ada takikardi (bila tidak ada gagal
jantung), hipertensi relatif, atau nyeri yang tidak berespon terhadap
opioid. Sangat berguna untuk menguji respon pasien terhadap obat ini
dengan menggunakan preparat kerja cepat (BBPP, 1988).
Nitrat
Suatu analisa dari 10 studi yang menggunakan terapi nitrat intravena
secara dini pada 2.041 pasien, menunjukkan penurunan mortalitas
sampai sepertiga. Masing-masing studi itu dalam skala kecil, hanya
dengan 329 kematian secara keseluruhan. Percobaan GISSI-3 juga
menggunakan terapi nitrat intravena (yang diikuti dengan nitrat
transdermal) pada 19.394 pasien, tidak didapatkan penurunan
mortalitas yang bermakna. Berdasarkan beberapa analisa penelitian,
penggunaan nitrat secara rutin pada fase awal infark miokard tidak
menunjukkan kegunaan secara meyakinkan.
Antagonis kalsium
Suatu meta-analisa dari penggunaan antagonis kalsium pada fase awal
infark miokard akut menunjukkan hasil yang tidak bermakna. Tidak
ada indikasi penggunaan obat golongan ini sebagai profilaksis pada
fase akut infark miokard.

11

12
Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor
Sekarang ditetapkan bahwa pemberian ACE inhibitor dimulai waktu di
rumah sakit pada pasien yang mempunyai fraksi ejeksi yang rendah
dan yang pernah mengalami gagal jantung pada fase awal. Akhir-akhir
ini penelitian GISSI-3, ISIS-4 dan di Cina menunjukkan bahwa ACE
inhibitor yang diberikan pada hari pertama dapat menurunkan
mortalitas pada 4-6 minggu berikutnya dalam jumlah yang kecil tetapi
bermakna. Percobaan CONSENSUS II akan tetapi gagal menunjukkan
keuntungan. Pengamatan secara sistematis dari percobaan terhadap
ACE inhibitor pada fase akut miokard infark menunjukkan bahwa
terapi ini akan menghasilkan 4-6 kematian yang lebih sedikit per 1000
pasien yang diobati. Walau disadari ada bahaya pada analisa sub grup,
tampak kemungkinan bahwa terapi ini berharga khususnya pada
kelompok dengan faktor resiko tertentu, seperti mereka yang
mempunyai gagal jantung atau dengan infark sebelumnya. Keuntungan
obat ini pada infark miokard tergantung pada kelasnya. Sebagaimana
didiskusikan sebelumnya terdapat perbedaan pendapat apakah
pemberian terapi ACE inhibitor pada semua pasien (yang tidak ada
kontraindikasi) pada hari pertama atau dimulai pada kelompok yang
diseleksi segera setelahnya. Dari pandangan Task Force terdapat
argumentasi yang valid untuk keduanya. Seharusnya ada ambang batas
dan fraksi ejeksi yang rendah untuk menggunakan obat pada tahap
awal jika gagal jantung tidak berespon dengan cepat dengan parameter
konvensional (Lindsay, 1995).
Magnesium
Analisa dengan terapi magnesium pada fase akut miokard infark
menunjukkan keuntungan yang signifikan, tetapi penelitian ISIS-4
dosis yang digunakan tidak mendukung hal ini. Walaupun ada
sanggahan bahwa pada penelitian ISIS-4 dosis yang digunakan tidak
optimal, tetapi belum ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan
penggunaan rutin obat ini (Woods, 1992).
5. Perawatan Lanjut di Rumah Sakit
Penatalaksanaan Umum
Kebanyakan pasien harus beristirahat di tempat tidur selama 12-24 jam
pertama, selama waktu tersebut akan tampak apakah infark tersebut
akan mengalami komplikasi. Pada kasus yang tidak mengalami
komplikasi, pasien dapat duduk di tempat tidur pada akhir hari
pertama, diizinkan menggunakan suatu meja kecil, merawat diri
sendiri dan makan sendiri. Mobilisasi dapat dimulai hari berikutnya
dan pasien tersebut dapat berjalan hingga 200 m pada permukaan yang
datar, dan naik tangga dalam beberapa hari. Mereka yang pernah
mengalami gagal jantung, syok, atau aritmia yang serius harus tetap
berada di tempat tidur lebih lama, dan aktivitas fisiknya meningkat

12

13
secara perlahan, tergantung pada gejala dan derajat kerusakan miokard
(I.S.G., 1990).
Trombus Vena Dalam dan Emboli Paru
Komplikasi-komplikasi ini sekarang relatif jarang setelah infark,
kecuali pada pasien yang tetap di tempat tidur oleh karena gagal
jantung. Pada pasien semacam itu, komplikasi-komplikasi tersebut
dapat dicegah oleh heparin. Jika hal-hal tersebut terjadi, harus diterapi
dengan heparin, diikuti pemberian antikoagulan oral selama 3-6 bulan.
Trombus Intraventrikular dan Emboli Sistemik
Echokardiografi akan mampu menunjukkan trombi intraventrikular
pada banyak kasus, terutama infark anterior yang luas. Apabila trombi
yang bergerak dan menonjol, keadaan tersebut harus ditangani, mulamula dengan heparin dan selanjutnya dengan antikoagulan oral selama
3-6 bulan.
Perikarditis
Perikarditis akut dapat sebagai penyulit infark miokard, meningkatkan
nyeri dada yang dapat disalahartikan sebagai infark rekuren atau
angina. Nyeri tersebut, dibedakan menurut sifatnya yang tajam, dan
hubungannya dengan postur dan respirasi. Diagnosisnya dapat
ditegakkan dengan suatu pericardial rub. Bila nyeri mengganggu,
dapat ditangani dengan pemberian aspirin oral dosis tinggi atau
intravena, NSAID, atau steroid. Suatu efusi haemorhagik dengan
tamponade jarang terjadi, dan khususnya dihubungkan dengan
penanganan antikoagulan. Hal tersebut dapat diketahui melalui
ekhokardiografi. Penanganannya ialah dengan pericardiocentesis bila
gangguan hemodinamik terjadi.
Aritmia Ventrikel
Tarikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel terjadi pada hari pertama
menyebabkan hanya sedikit prognosis buruk, namun aritmia-aritmia
yang terjadi lebih lanjut, dalam perjalanannya aritmia-aritmia tersebut
cenderung berulang dan dihubungkan dengan resiko kematian yang
tinggi. Hal ini terjadi karena hubungan dengan kerusakan miokard
yang berat; penilaian terhadap anatomi koroner dan fungsi ventrikel
harus
dilakukan.
Apabila
aritmia
diinduksi
oleh
iskemia,
revaskularisasi dengan jalan angioplasti atau pembedahan harus
dipertimbangkan. Apabila ini tidak mungkin, beragam cara pendekatan
terapetik tersedia, namun sementara ini, belum diteliti secara adekuat.
Hal-hal tersebut meliputi penggunaan -blocker, amiodaron, dan terapi
anti-aritmia yang dipandu secara elektrofisiologik. Pada beberapa
kasus, penggunaan suatu conventer defibrilator diindikasikan.

13

14
Angina dan Iskemia Pasca Infark
Angina ringan yang terjadi pada mereka berespons memuaskan
terhadap penanganan medis biasa, namun angina baru khususnya saat
istirahat, pada awal fase pascainfark membutuhkan perhatian lebih
dalam.
Penggunaan rutin PTCA secara efektif menguji peran terapi
trombolitik dibandingkan dengan percobaan konservatif pada beberapa
uji random. Dapat disimpulkan bahwa PTCA rutin tanpa keberadaan
iskemia spontan atau yang dapat diprovokasi tidak memperbaiki fungsi
ventrikel kiri atau survival. Dalam menangani angina atau iskemia
rekuren, apakah disebabkan oleh oklusi atau stenosis residual, PTCA
memiliki suatu peran yang pasti. PTCA juga memiliki nilai dalam
penatalaksanaan aritmia yang dihubungkan dengan iskemia persisten.
Sekalipun analisa dari beberapa uji telah mengidentifikasi patensi
pembuluh-pembuluh darah sebagai suatu petanda bagi hasil jangka
panjang yang baik, belum jelas peran PTCA lanjut untuk sasaran utama
mengembalikan kepatenan oleh kejadian yang lain.
Pembedahan pintas arteri koroner dapat diindikasikan bila gejala
tidak terkontrol dengan cara-cara yang ada atau angiografi koroner
menunjukkan lesi, stenosis pembuluh koroner utama kiri atau penyakit
tiga pembuluh darah dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun,
dimana pembedahan dapat memperbaiki prognosis (Hopper, 1989;
Maynard, 1993).
Penilaian Resiko, Program Rehabilitasi, dan Preventif Sekunder
Penilaian resiko
Penilaian resiko sebelum memulangkan penderita memiliki tujuan
memperkirakan prognosis, dengan cara pengamatan lebih lanjut apa
yang dibutuhkan, dan membantu dalam mengatur strategi terapetik
individu mana yang terbaik bagi pasien yang telah melampaui masa
akut tersebut. Penilaian ini tergantung pada data klinis, termasuk usia,
faktor resiko yang ada sebelumnya, infark sebelumnya, diabetes,
keadaan hemodinamik, aritmia selama fase akut, dan pengamatan dan
penginderaan status ( imaging) fungsional (Monica, 1994).
Penggolongan resiko klinis dapat digunakan untuk membagi
pasien ke dalam kategori resiko tinggi, sedang, dan rendah,
penggolongan resiko klinis ini penting.
Pasien-pasien beresiko tinggi adalah mereka dengan gagal
jantung persisten, fungsi ventrikel kiri yang rusak berat, atau
penampakan awal dari angina saat istirahat atau aritmia rekuren, dan
mereka yang tidak mampu melakukan uji exercise sebelum keluar RS.
Pasien-pasien semacam itu cenderung berusia lebih tua, memiliki
faktor resiko banyak, dan telah mengalami infark sebelumnya. Fungsi
ventrikel kiri harus dievaluasi dengan echokardiografi dan/atau
scintigrafi. Angiografi koroner memberikan informasi prognostik yang

14

15
independen dan bermakna sebagai petunjuk untuk penanganan lebih
lanjut seperti halnya revaskularisasi.
Pasien yang secara klinis berisiko sedang mungkin berusia lebih
dari 55 tahun, pernah mengalami gagal jantung sementara, pernah
mengalami infark sebelumnya atau memiliki faktor resiko seperti
halnya hipertensi atau diabetes. Pasien-pasien ini harus dinilai
disfungsi ventrikel kiri dan iskemia residualnya. Iskemia residual
dapat dinilai dengan ECG exercise, scanning perfursi miokard atau
stress echokardiografi, tergantung pada ketersediaan peralatan. Pasien
dengan fungsi ventrikel kiri yang rusak dan/atau iskemia yang dapat
diinduksi harus dipertimbangkan untuk angiografi. Pendekatan untuk
penggolongan ini ditunjukkan sebagai diagram alur pada Bagan 1.
Bagan 1. Strategi Penilaian Terhadap Resiko

IMA

PENILAIAN RISIKO KLINIS

RISIKO
TINGGI

IS K EMI P ERS IS TEN


GAGAL J ANTUNG
L. V. R ENDAH

- IM A
- GAGAL JANTUNG
- FAKTOR R IS IKO BANYAK

IN TERVENS I ATAU
LATIHA N
P ILIH AN LA IN

YA
BAIK

RISIKO
RENDAH

RISIKO
MENENGAH

EKG LATIHA N

EKG

P ER IKS A FUNGS I L. V.

MULA I LATIH AN JE LEK


L. V. MENUR UN

ANGIOG R AF I KOR ONER

-UMUR MUDA
-INFAR K KEC IL
-KOMP ENS AS I

N ILA I RENDAH

LATIH AN BAIK
L. V. FUNGS I NOR MA L

N ILA I

TANGANI
FAKTOR

R IS IK O
(EUR . HEART. J. 1996)

15

16
Pasien resiko rendah berusia lebih muda (kurang dari 55 tahun),
tidak memiliki infark sebelumnya dan memiliki perjalanan klinis yang
bebas keluhan. ECG exercise merupakan pemeriksaan pertama yang
paling berguna pada kelompok ini. Ini dapat berupa tes submaksimal
sebelum pemulangan atau tes yang dibatasi gejala pada treadmill atau
cycle ergometer pada 3-8 minggu pascainfark atau keduanya.
Keragaman yang mencerminkan iskemia miokard residual yang
diinduksi olahraga tampaknya tidak berhubungan erat dengan
kematian.
Pasien yang gagal mencapai beban kerja pada pengujian
olahraga, atau mengalami angina atau menunjukkan tanda iskemik
pada EKG, atau mengalami sesak nafas berat harus dipertimbangkan
untuk pemeriksaan lebih lanjut. Secara jelas, keakuratan prediktif
negatif bagi pasien yang dapat menyelesaikan tahap III dari protokol
standar Bruce atau ekuivalennya tanpa nyeri dada atau perubahan
iskemia pada ECG adalah tinggi. Sebagai tambahan, efek dari
semangat pasien adalah positif, dan informasi tersebut membantu
dalam merencanakan rehabilitasi. Tidak terdapat keharusan untuk
menghentikan pengobatan sebelum pengujian olahraga.
Penilaian Iskemia
Pasien-pasien yang gagal mencapai beban kerja yang diharapkan pada
pengujian olahraga, atau mengalami angina atau menunjukkan tanda
iskemik pada ECG saat beban kerja sedang harus dipertimbangkan
untuk evaluasi lebih lanjut untuk mengkuantifikasi jumlah miokard
yang rusak, demikian pula dengan derajat miokard yang berpotensi
baik. Pilihan antara echokardiografi stress dan scanning perfusi radioisotop tergantung pada pengalaman dari tiap sentra dan sumberdaya
yang tersedia. Bagi dokter yang berkompeten, kedua teknik-teknik ini
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan ECG exercise.
Evaluasi dari Fungsi Pompa
Evaluasi dari kerusakan miokard melalui ekhokardiografi atau
ventrikulografi radionuklida berguna untuk menilai pasien tanpa bukti
gagal jantung, khususnya jika dikerjakan pada kondisi stress,
meskipun fungsi ventrikel kiri mungkin cukup baik pada kasus-kasus
resiko rendah.
Evaluasi Resiko Aritmia
Monitoring Holter dan kajian elektrofisiologis dalam menilai pasien
yang dianggap bersiko tinggi mendapat aritmia. Variabilitas denyut
jantung, dispersi QT, sensitivitas barorefleks, semua memiliki nilai
prognostik setelah infark miokard, namun pengalaman klinis
dibutuhkan untuk menentukan apakah perlu tambahan tes-tes
prognostik yang lebih konvensional.
Juga penting untuk mengukur petanda-petanda resiko metabolik
seperti halnya total kolesterol, LDL dan HDL, trigliserida dan glukosa
darah puasa pada semua pasien.

16

17
Indikasi untuk Angiografi Koroner
Angiografi koroner sebaiknya dilakukan pada awal periode post infark
(Maynard, 1993) jika ada :
Angina yang tidak berkurang terhadap pengobatan farmakologis
Angina atau bukti adanya iskemia pada saat istirahat
Angina yang diinduksi oleh latihan atau iskemia miokard pada saat
kerja ringan, atau pada monitoring Holter ketika tidak ada
peningkatan denyut jantung.
Angiografi harus dipertimbangkan bila ada :
Angina atau bukti yang obyektif iskemia miokard
yang dapat
dirangsang (dengan tanda-tanda yang digambarkan diatas)
Angina post infark yang berkurang terhadap terapi farmakologi
Disfungsi ventrikel kiri yang berat
Aritmia ventrikel yang kompleks lebih dari 48 jam setelah gejala.
Pada kasus yang dipilih, khususnya pada individu yang muda,
angiografi koroner dapat dipertimbangkan untuk pasien tanpa
komplikasi untuk mengevaluasi keberhasilan reperfusi, untuk
mengidentifikasi mereka dengan penyakit arteri koroner yang luas, dan
untuk memudahkan mereka yang pulang dari rumah sakit untuk cepat
dan kembali bekerja.
Rehabilitasi
Rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan pasien ke kehidupan
seperti semula, dan harus dipertimbangkan faktor fisik, psikologis, dan
sosioekonominya. Prosesnya harus dimulai sesegera mungkin setelah
penatalaksanaan di rumah sakit, dan diteruskan pada minggu dan
bulan-bulan berikutnya. Rehabilitasi secara detail tidak dibahas di
sini, karena pertimbangan panjang lebar dan metodenya terdapat dalam
laporan Working Group on Rehabilitation of the European Society of
Cardiology.
Aspek Psikologis dan Sosioekonomi
Kecemasan selalu muncul, baik pada pasien dan rekan kerjanya,
sehingga keyakinan diri dan penjelasan mengenai penyakit adalah
sangat penting dan harus ditangani secara hati-hati. Juga harus
dikonfirmasikan mengenai sering terjadinya depresi dan iritasi setelah
pulang. Juga disadari bahwa penolakan sering terjadi : hal ini
merupakan perlindungan pada fase akut, dan diagnosis selanjutnya
menjadi lebih sulit. Diskusi tentang bisa kembali kerja dan aktivitas
lainnya harus dilakukan setelah kepulangan dari rumah sakit.

17

18
Nasehat tentang gaya hidup
Penyebab yang mungkin dari penyakit jantung koroner harus
didiskusikan dengan pasien dan rekannya selama perawatan di rumah
sakit, dan nasehat secara individu mengenai diet yang sehat,
pengontrolan berat badan, merokok dan olahraga harus diberikan.
Aktivitas Fisik
Semua pasien harus diberi nasehat, dengan mengamati aktivitas fisik
berdasarkan hasil pemulihan mereka dari serangan jantung, umurnya,
kadar aktivitas mereka sebelum serangan, dan keterbatasan fisik
mereka. Penilaian tersebut sangat dibantu dengan tes sebelum
kepulangan, yang tidak hanya merupakan informasi klinis yang sangat
berharga tetapi juga dapat meyakinkan kembali pasien yang terlalu
cemas (Amstrong, 1972).
6. Preventif Sekunder
Merokok
Walau belum ada penelitian secara acak yang dilakukan, bukti
meyakinkan bahwa bagi mereka yang menghentikan kebiasaan
merokok mempunyai mortalitas separuh lebih sedikit dibanding dengan
mereka yang tidak berhenti. Hal ini merupakan pencegahan sekunder
yang potensial : usaha keras harus dilakukan untuk penghentian
merokok. Kebanyakan pasien tidak merokok selama serangan akut dan
periode laten ini merupakan kesempatan bagi tenaga kesehatan
profesional untuk membantu pasien menghentikan kebiasaan tersebut.
Merokok biasanya dilakukan kembali setelah pulang ke rumah
sehingga dukungan dan nasehat selama rehabilitasi diperlukan. Studi
secara acak menunjukkan keefektifan dari program yang diarahkan
untuk perawat : protokol untuk penghentian merokok harus diadopsi
oleh setiap rumah sakit (Monica, 1994).
Suplemen Makanan dan Diet
Terdapat bukti yang kecil mengenai keefektifan terapi diet pada pasien
post infark, tetapi pengurangan berat badan harus dianjurkan bagi
mereka yang berat badannya berlebihan. Semua pasien harus
dianjurkan untuk diet makanan yang mengandung lemak dengan
saturasi rendah dan banyak makan buah dan sayuran. Satu penelitian
menyebutkan bahwa mengkonsumsi lemak ikan 2 kali seminggu
menurunkan resiko reinfark dan kematian. Peranan antioksidan dalam
pencegahan penyakit koroner belum dibakukan.
Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan
Dari analisa yang dilakukan The Trialists Colaboration dilaporkan
sekitar 25% penurunan reinfark dan kematian pada pasien post infark.
Pada penelitian tersebut aspirin yang diberikan bervariasi antara 75-

18

19
325 mg per hari dan terdapat bukti bahwa penggunaan dosis yang lebih
kecil akan efektif dan efek sampingnya kecil.
Percobaan yang dilakukan secara luas menggunakan aspirin
menunjukkan bahwa antikoagulan oral efektif dalam mencegah
reinfark dan kematian pada infark miokard. Pasien dalam percobaan
ini diacak paling tidak selama 2 minggu setelah infark. Peranan
antikoagulan oral setelah infark miokard akut kurang jelas dan hanya
dievaluasi setelah pemberian trombolitik. Pada pasien tersebut belum
ada
bukti
yang
jelas
mengenai
keuntungan
antikoagulan.
Kemungkinannya, pada beberapa pasien, yang mempunyai aneurisma
ventrikel kiri, yang mempunyai fibrilasi atrial, atau secara ECG
terbukti ada trombus pada ventrikel kiri, akan menguntungkan bila
diberikan antikoagulan oral awal, tetapi penelitian tentang ini sangat
sedikit. Kombinasi antara antikoagulan dan antiplatelet setelah infark
miokard akut memberikan hasil
sementara ini cukup memuaskan
(GISSI, 1986).
Beta Blocker
Beberapa uji dan meta-analisis menunjukkan bahwa obat-obat
penghambat -adrenoseptor mengurangi kematian dan reinfark 20-25%
pada mereka yang sembuh dari infark miokard akut. Uji positif telah
dilakukan dengan propranolol, metaprolol, timolol, dan acebutolol,
namun kajian dengan -blocker lainnya, meskipun tidak bermakna,
mempunyai efek yang sama baiknya. Sekitar 25% penderita memiliki
kontraindikasi terhadap -blocker karena gagal jantung yang tak
terkontrol, penyakit pernafasan, atau kondisi-kondisi lain. Dari
sisanya, mungkin separuh dapat didefinisikan sebagai resiko rendah
dimana penghambat hanya memberi suatu keuntungan marginal,
dengan berpikir efek samping minor namun terkadang menyulitkan.
Masih terdapat opini yang berbeda, apakah -blocker harus diberikan
kepada semua orang yang indikasi, atau apakah -blocker seharusnya
hanya diberikan kepada mereka dengan resiko sedang yang memiliki
banyak keuntungan (BBPP, 1988).
Kalsium Antagonis
Uji dengan verapamil dan diltiazem telah memberi kesan bahwa
keduanya dapat mencegah reinfark dan kematian, namun harus hatihati, perlu dipikirkan keberadaan fungsi ventrikel yang menurun.
Kalsium antagonis mungkin tepat bila -blocker merupakan kontra
indikasi (terutama pada penyakit obstruksi jalan nafas).
Uji dengan dihidropiridin gagal menunjukkan keuntungan untuk
memperbaiki prognosis setelah reinfark miokard; oleh karenanya,
hanya diberikan bagi indikasi-indikasi klinis yang jelas, dengan
berpikir efek samping yang dapat terjadi pada mereka dengan fungsi
ventrikel kiri yang rendah (Gibbons, 1993).

19

20

Nitrat
Tidak ada bukti bahwa nitrat oral atau transdermal memperbaiki
prognosis setelah infark miokard, Uji ISIS-4 dan GISSI-3 gagal
menunjukkan suatu keuntungan pada 4-6 minggu setelah kejadian.
Nitrat, tentu saja, tetap menjadi terapi pertama hanya bagi angina
pectoris.
ACE inhibitor
Beberapa uji telah membuktikan bahwa ACE inhibitor mengurangi
kematian setelah infark miokard. Dalam uji SAVE pasien dilibatkan 11
hari setelah masa akut memiliki fraksi ejeksi kurang dari 40% pada
pencitraan nuklir, dan jika mereka bebas dari iskemia yang manifes
pada sebuah tes olahraga. Tidak didapatkan keuntungan dalam hal
penurunan mortalitas pada tahun pertama, namun terdapat pengurangan
19% pada 3-5 tahun berikutnya dari follow-up (dari 24,6%). Reinfark
dan gagal jantung lebih sedikit, terlihat bahkan dalam tahun pertama.
Pada uji AIRE pasien diacak untuk ramipil dengan rata-rata 5
hari setelah onset infark miokard ditunjukkan oleh gambaran klinis
dan radiologis dari gagal jantung. Pada rata-rata 15 bulan kemudian,
kematian berkurang dari 22,6% hingga 16,9%. Pada kajian TRACE,
pasien diacak untuk tradolapril atau placebo suatu median 4 hari
setelah infark, mereka memiliki disfungsi ventrikel kiri yang
diperlihatkan oleh indeks wall motion 1,2 atau kurang. Rata-rata
follow-up 108 minggu, angka kematian 34,7% pada kelompok
perlakuan dan 42,3% pada kelompok pacebo. Mengambil ketiga kajian
tersebut bersama-sama, diindikasikan pemberian ACE inhibitor kepada
pasien yang mengalami gagal jantung pada keadaan IMA, memiliki
fraksi ejeksi kurang dari 40% atau indeks wall motion 1,2 atau kurang,
dan tidak ada kontraindikasi (Lindsay, 1995).
Sebagaimana diskusi diatas, dapat diberikan ACE inhibitor
kepada semua pasien dengan infark akut sejak masuk RS, dengan
syarat tidak terdapat kontra indikasi. Berlawanan terhadap kebijakan
tersebut, terdapat kenaikan insiden dari hipotensi dan gagal ginjal
pada mereka yang menerima ACE inhibitor pada tahap akut, dan
sedikit keuntungan pada mereka dengan resiko relatif rendah, seperti
halnya pasien dengan infark inferior yang kecil.
Lipid-Lowering Agents
Scandinavian Simvastatin Survival Study (4S) melaporkan keuntungan
akan
penurunan lemak pada suatu populasi 4.444 pasien angina
dan/atau pascainfark dengan kolesterol serum 5,5 6,0 mmol/l (212
308 mg/dl) setelah pelaksanaan diet dilakukan. Pasien tidak
dimasukkan ke dalam uji sampai 6 bulan setelah infark akut, dan
kelompok resiko relatif rendah diikutkan. Angka kematian
keseluruhan pada suatu median 5-4 tahun turun 30% (dari 12 8%).

20

21
Diperoleh 33 yang diselamatkan per 1.000 pasien yang diberi
perlakuan selama periode ini. Terdapat penurunan angka kematian
akibat penyakit koroner, dibanding pembedahan pintas koroner. Pasien
di atas usia 60 tahun tampak hasilnya sama dengan pasien yang lebih
muda. Wanita diuntungkan dalam hal kejadian koroner mayor, namun
pengurangan kematian yang bermakna secara statistik belum jelas; hal
ini mungkin karena jumlah yang relatif kecil dari wanita yang direkrut.
Lipid-lowering Agents seharusnya diberikan kepada pasien
dengan dislipidemia, namun masih terdapat kontroversi tentang
seberapa cepat penanganan harus dimulai setelah kejadian, dan apakah
kriteria untuk penanganan dapat diperluas kepada mereka dengan kadar
lipid yang lebih rendah (Monica, 1994).
3. KOMPLIKASI DAN PENATALAKSANAAN
1. Gagal jantung
Kegagalan ventrikel kiri selama fase akut dari infark miokard
dihubungkan dengan prognosis yang buruk jangka pendek dan panjang.
Gambaran klinis berupa sesak nafas, suara jantung ketiga (S 3 )dan
ronchi paru yang mulanya pada daerah basal namun dapat meluas ke
seluruh lapangan dari kedua paru. Namun demikian, kongesti paru
yang nyata dapat terjadi tanpa tanda-tanda yang jelas. Auskultasi
diulang pada daerah jantung dan paru dan dilakukan pada semua pasien
selama periode awal infark miokard, bersama-sama dengan pengamatan
tanda-tanda vital lainnya (Amstrong, 1972).
Pengawasan umum termasuk pemantauan aritmia, pemeriksaan
kelainan elektrolit, dan penegakan diagnosa dari keadaan yang terjadi
bersamaan seperti disfungsi katub atau kelainan paru. Kongesti
pulmonal dapat dinilai dengan menggunakan alat foto X-ray thorax
yang mudah dibawa. Echokardiografi berguna dalam menilai fungsi
ventrikel, dan menentukan kelainan, seperti regurgitasi mitral dan
defek septum ventrikel, yang menyebabkan fungsi jantung menurun.
Pada beberapa kasus, angiografi koroner mampu memberikan penilaian
tambahan program terapetik.
Dearajat kegagalan jantung dapat dikategorikan menurut
klasifikasi killip; kelas 1 : tidak ada ronchi atau S 3 ; kelas 2 : ronchi
pada kurang dari 50% lapangan paru atau adanya S 3 ; kelas 3 : ronchi
lebih dari 50% dari lapangan paru; kelas 4 : shock.
Gagal Jantung Ringan dan Sedang
Oksigen harus diberikan awal melalui masker atau intranasal,
namun perlu juga diperhatikan adanya penyakit paru menahun.
Derajat ringan gagal jantung seringkali berespons secara cepat
terhadap diuretik, seperti halnya furosemid 10-40 mg yang diberikan
perlahan iv, diulang dengan jarak setiap 1-4 jam, bila diperlukan. Bila
tidak terdapat respons yang memuaskan, nitrogliserin iv atau nitrat
oral dianjurkan. Dosisnya harus dititrasi sambil memantau tekanan

21

22
darah untuk menghindari hipotensi. Pemakaian terapi ACE perlu
dipertimbangkan dalam 24-48 jam berikutnya tanpa bukti hipotensi
atau gagal ginjal.
Gagal Jantung Berat
Oksigen harus diberikan segera dan diuretik loop diberikan seperti di
atas. Kecuali jika pasien mengalami hipotensi, nitrogliserin iv
sebaiknya diberikan, dimulai dengan 0,25 ug.kg - 1 per menit, dan
ditingkatkan setiap 5 menit sampai terjadi penurunan tekanan darah
sampai 15mmHg atau sampai tekanan diastolik turun menjadi
90mmHg. Harus dipertimbangkan untuk mengukur tekanan aorta, dan
output jantung dengan kateter serta cardiac index per menit.
Obat inotropik mungkin berguna jika ada hipotensi. Jika ada
tanda-tanda hipoperfusi pada ginjal, dopamin dianjurkan untuk
memberikan dengan dosis 2,6-5 ug.kg - 1 per menit secara intra vena.
Jika kongesti pulmoner dominan, dobutamin lebih dianjurkan dengan
dosis awal 2,5 ug.kg - 1 per menit dan ditingkatkan secara bertahap
setiap 5-10 menit sampai 10 ug.kg - 1 per menit atau sampai diperoleh
perbaikan hemodinamik. Terapi ACE inhibitor dan phosphodiesterase
mungkin dapat dipertimbangkan.
Analisa gas darah juga harus dilakukan. Pemberian tekanan
udara yang positif dapat diindikasikan bila tekanan oksigen tidak dapat
dipertahankan sampai >60mmHg per 8-10 menit.
Tabel 2. Keadaan Hemodinamik pada IMA.
No.
STATUS
DATA HEMODINAMIK
1.
Normal
TD normal HR dan RR normal, sirkulasi
perifer baik
2.
Hiperdinamik
Takhikardi, BJ keras, sirkulasi perifer
baik
3.
Bradikardi hipotensi
Bradikardi, venodilatasi, JVP normal,
perfusi jaringan meningkat
4.
Hipovolumi
Venokonstriksi,
JVP rendah,
perfusi
jaringan menurun
5.
Infark ventrikel kanan JVP meningkat, syok, perfusi jaringan
turun, hipotensi, bradikardi
6.
Gagal pompa
Takhipnu, takhikardi perfusi jaringan
jelek, udema paru
7.
Kardiogenik syok
Oliguri, hipotensi, takhikardi, udema
paru, perfusi jaringan jelek
(Eur. Heart. J. 1996)
2. Syok Kardiogenik
Didefinisikan sebagai tekanan sistolik <90mmHg dan ada gejala
penurunan sirkulasi perifer yang ditandai dengan vasokonstriksi
perifer, output urine yang rendah (<20ml per jam) dan penurunan
kesadaran.

22

23
Diagnosis syok kardiogenik ditegakkan bila kemungkinan
terjadinya hipotensi dapat disingkirkan seperti hipovolemi, reaksi
vasovagal, gangguan elektrolit, efek samping farmakologis, atau
aritmia. Umumnya dihubungkan dengan kerusakan pada ventrikel kiri
tetapi dapat juga terjadi pada infark ventrikel kanan. Kelainan
ventrikel harus diperiksa dengan EKG dan hemodinamiknya diukur
dengan kateter balon. Pasien dengan syok kardiogenik dapat
menyebabkan asidosis. Koreksi asidosis merupakan hal yang penting
mengingat ketekolamin mempunyai efek pada medium asam.
3. Ruptur Jantung dan Regurgitasi Mitral
Ruptur dinding jantung
Ditemui pada 1-3% dari pasien IMA yang dirawat di rumah sakit. Pada
30-50% terjadi dalam 24 jam dan 80-90% terjadi pada 2 minggu
pertama.
Ditandai dengan kolaps dengan perubahan elektromekanikal
seperti aktivitas elektrik yang terus menerus dengan menurunnya
cardiac output dan nadi. Biasanya fatal dalam beberapa menit dan
sangat jarang untuk sempat dilakukan pembedahan.
Ruptur dinding jantung sub akut
Pada 25% kasus, darah dalam jumlah kecil memasuki ruang perikardial
dan menyebabkan perubahan hemodinamik yang cepat. Gambaran
klinisnya dapat berupa reinfark karena nyeri yang berulang dan elevasi
segmen ST tetapi lebih sering berupa perburukan hemodinamik yang
mendadak dengan hipotensi yang transient dan terus menerus. Gejala
klasik tamponade jantung tampak dan dapat diketahui dengan EKG.
Pembedahan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan
klinis penderita mengingat kebanyakan pada kasus ini diikuti oleh
episode akut. Pembedahan dilakukan dengan teknik tanpa jahitan yang
digambarkan oleh Pedro dkk. Yang tidak membutuhkan pintas
kardiopulmoner.
Defek Septum Ventrikel
VSD muncul segera setelah miokard infark pada 1-2% dari semua
kasus infark. Tanpa pembedahan, 54% mengalami kematian dalam
minggu pertama, dan 92% dalam tahun pertama. Diagnosis pertama
kali diduga karena terdapatnya bising sistolik yang keras disertai
dengan perburukan klinis yang cepat. Hal ini dapat dikonfirmasi
dengan EKG dan/atau mendeteksi bertambahnya oksigen pada
ventrikel kanan. Bising yang terjadi dapat juga pelan dan bahkan tidak
muncul. Terapi farmakologis dengan vasodilator nitrogliserin intravena
dapat memperbaiki jika tidak ada syok kardiogenik, tetapi terapi
dengan balon intraaortik merupakan metode paling efektif. Operasi
merupakan satu-satunya harapan pada VSD pasca infark yang besar
dengan syok kardiogenik.

23

24
Tujuan utama pembedahan awal adalah penutupan defek yang
memungkinkan menggunakan teknik argumentasi patch. Angiografi pre
operasi seharusnya dilakukan. Grafts bypass dilakukan sesuai
kebutuhan. Prognosa post operasi yang jelek ditandai dengan syok
kardiogenik, lokasi posterior, disfungsi ventrikel kanan, umur, waktu
yang lama antara ruptur dan pembedahan.
Regugirtasi Mitral
Biasanya regugirtasi mitral pada kasus ini ringan dan refluknya
sementara. Bila terjadi regurgitasi akut diperlukan terapi agresif yaitu
pembedahan. Kematian akibat mitral regurgitasi diakibatkan
penyempitan arteri sirkumfleksa kiri dan kanan dengan keterlibatan
otot papilary posteromedial.
Syok kardiogenik dan oedem paru dengan regurgitasi mitral
yang berat membutuhkan operasi darurat. Angiografi koroner
dilakukan bila kondisi pasien memungkinkan. Pada gagal jantung
kongestif, kateterisasi primer dan reperfusi dengan trombolisis atau
PTCA dapat dilakukan. Penggantian katup merupakan pilihan prosedur
pada ruptur dan disfungsi otot papilary walaupun harus diseleksi.
Revaskularisasi dilakukan pada obstruksi pembuluh darah besar.
4. Aritmia dan Gangguan Konduksi
Aritmia dan gangguan konduksi sering terjadi pada jam-jam awal
infark miokard. Pada beberapa kasus, takikardi ventrikuler dan
fibrilasi ventrikel sangat membahayakan dan memerlukan penanganan
segera. Seringkali aritmia tidak membahayakan secara langsung tetapi
merupakan akibat dari beberapa keadaan yang mendasarinya seperti
iskemia, aktivitas yang berlebihan dari vagal, atau gangguan elektrolit.
Aritmia Ventrikuler
Ritme ventrikuler yang ektopik sering terjadi pada hari pertama, dari
aritmia kompleks (kompleks multiform, waktu yang cepat, atau
fenomena R on T). Kelainan tersebut sebagai prediksi kejadian
fibrilasi ventrikuler masih dipertanyakan.
Takikardi ventrikuler
Durasi yang cepat dari takikardi ventrikuler dapat ditoleransi dan tidak
membutuhkan penanganan, tetapi dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan hipotensi dan gagal jantung. Lignocaine adalah obat
pilihan, tetapi beberapa obat lain juga cukup efektif. Dosis awal 1mg
per kg diberikan secara intravena, dan separuhnya diulang tiap 8-10
menit sampai maksimumnya 4mg. Hal ini dapat diteruskan dengan
pemberian infus intravena untuk mencegah rekurensi. Countershock
dibutuhkan bila ada takikardia ventrikuler yang menetap. Penting
untuk membedakan takikardi ventrikuler yang sementara dan yang
menetap. Penting untuk membedakan takikardi ventrikuler dengan

24

25
irama idioventrikuler yang dipercepat, biasanya tidak berbahaya dari
proses reperfusi dimana rate ventrikuler kurang dari 120 per menit.
Fibrilasi ventrikuler
Jika alat defibrilator tersedia, defibrilasi yang cepat sebaiknya
dilakukan. Jika tidak ada, pukulan prekordial bermanfaat untuk
dilakukan. Rekomendasi dari European Resuscitation Council harus
diikuti.
Aritmia Supraventrikuler
Merupakan komplikasi dari 15-20% kasus infark miokard dan sering
dihubungkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal
jantung. Biasanya bersifat self limited. Biasanya berlangsung beberapa
menit sampai beberapa jam dan berulang. Pada beberapa kasus tidak
memerlukan penanganan jika berlangsung dengan singkat. Digoksin
merupakan obat yang efektif dalam memperlambat, tetapi amiodarone
lebih manjur dalam menghentikan aritmia. Countershock mungkin
diperlukan tetapi hanya jika terjadi rekurensi yang tinggi. Takikardi
supraventrikuler yang lain sangat jarang terjadi dan biasanya self
limited. Pada umumnya berespon terdapap tekanan sinus karotikus, blocker, lebih efektif jika tidak ada kontra indikasi, verapamil tidak
dianjurkan. Countershock juga mungkin digunakan jika aritmia tidak
dapat ditoleransi.
Sinus Bradikardia dan Blok Jantung
Merupakan hal yang umum terjadi pada jam-jam pertama khususnya
pada infark inferior. Dapat disertai dengan hipotensi yang memerlukan
atropin intra vena, dimulai dengan dosis 03-0,5 mg. Diulang sampai
1,5-2 mg. Jika gagal dengan atropin maka pacu jantung sementara
dianjurkan.
Bok jantung derajat pertama tidak membutuhkan penanganan.
Blok AV (atrioventrikular) tipe I derajat dua (Wenkebach) biasanya
dihubungkan dengan infark inferior dan jarang menyebabkan efek yang
buruk pada hemodinamik. Bila itu terjadi, atropin harus diberikan
pertama kali : jika ini gagal, pacu jantung harus dipasang.
Blok AV tipe II derajat dua (Mobitz) dan komplit blok
merupakan indikasi bagi pemasangan suatu elektrode pacu jantung.
Pacu jantung harus dikerjakan bila suatu denyut jantung yang lambat
tampak menjadi sebab dari hipotensi atau gagal jantung. Bila gangguan
hemodinamik sangat parah, pemberian pacu jantung sekuensial AV
harus dipertimbangkan.
Asistole mungkin mengikuti blok AV, blok bi- atau trifasikular
atau countershock elektrik. Apabila suatu elektrode pacu jantung
diperlukan, pacu jantung harus dicoba. Jika tidak, kompresi dada dan
ventilasi harus segera diawali, dan pacu jantung eksternal dimulai.
Suatu elektrode pacu jantung transvena harus dimasukkan
seperti yang didiskusikan di atas pada keadaan blok atrioventrikular
lanjut, dan dipertimbangkan bila blok bifasikular atau blok trifasikular

25

26
terjadi. Banyak ahli jantung lebih memilih jalur subklavia namun ini
seharusnya dihindari pada keberadaan trombolisis atau antikoagulan.
Tempat alternatif harus dipilih dalam situasi ini.
IV. PENUTUP
Suatu rekomendasi untuk :
1. Pasien
Pasien dengan kecurigaan adanya serangan jantung harus mendapatkan
diagnosis yang cepat, penyembuhan nyerinya, resusitasi dan terapi
reperfusi jika diperlukan. Pasien dengan kecurigaan atau telah
didiagnosis infark miokard harus dirawat oleh staf yang terlatih dan
berpengalaman di unit jantung yang modern. Mereka sebaiknya
mempunyai akses untuk mendapat metode diagnosis yang modern dan
perawatan, baik itu di tempat perawatan awal atau di tempat yang lebih
khusus. Mereka harus mendapat informasi yang cukup setelah pulang,
rehabilitasi, dan pencegahan sekunder. Dia dan rekannya yang terkait
harus tahu, mengenali dan bereaksi bila ada serangan jantung lagi.
2. Dokter Ahli Kardiologi
Ahli kardiologi, yang berhubungan dengan dokter-dokter unit gawat
darurat dan pihak yang berwenang, harus yakin bahwa ada sistem yang
optimal untuk rawat jantung di daerah mereka. Hal ini termasuk
pelatihan yang memadai dari personel ambulans dan dokter lini
pertama, pengaturan yang efisien mengenai diagnosis dan perawatan
infark miokard di unit gawat darurat, dan pengaturan untuk pemberian
trombolitik.
Ahli jantung beserta ahli anestesi dan spesialis yang lainnya, harus
mengatur bahwa staf medis dan paramedis kompeten dalam teknik
resusitasi.
Pencatatan harus dibuat secara baik, sejak awal perawatan dan
pemberian trombolisis (cato-needle time), dan sejak dari masuknya ke
rumah sakit sampai trombolisis diberikan (door-to-needle time). Yang
pertama sebaiknya tidak lebih dari 90 menit, dan pasien jalur cepat
dengan indikasi untuk trombolisis tidak boleh melebihi 20 menit.
PTCA dapat dilakukan sebagai alternatif yang efektif dan baik
terhadap terapi trombolitik apabila tenaga dan alat yang dibutuhkan
tersedia. Hasilnya dicatat dalam catatan perencanaan. Program
rehabilitasi harus dibuat untuk semua pasien, yang diarahkan untuk
kebutuhan pribadi mereka. Harus ada kemauan untuk penghentian
merokok. Hal ini terdiri dari program yang terus menerus yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional yang tidak hanya
mempengaruhi pasien untuk berhenti merokok tetapi juga mendorong
pasien untuk menjaga hal tersebut.
Catatan harus dibuat untuk terapi pencegahan sekunder bagi mereka
yang selamat dari infark miokard definitif. Bagi mereka yang

26

27
mengalami kenaikan lipid harus mendapat nasehat diet makanan yang
tepat. Untuk memenuhi tujuan ini dapat digunakan obat penurunan
lipid.
3. Dokter Umum
Mengingat dokter umum merupakan titik pertama dalam kontak
terhadap penderita yang dicurigai mengalami infark miokard, mereka
harus bisa bertindak dengan cepat atau membuat persiapan untuk
melakukan defibrilasi dan trombolisis secara efektif. Mereka
sebaiknya terlibat dalam program lokal penanganan kedaruratan
jantung. Mereka harus melihat segera setelah pasien pulang dari rumah
sakit, untuk meyakinkan bahwa rehabilitasi diatur dengan baik dan
mengamati pelaksanaan pencegahan sekunder yang baik.
4. Pemegang kebijaksanaan
Mereka harus mendorong pelatihan masyarakat untuk RKP dasar dan
personel ambulans dalam BLS dan ALS. Mereka harus mengatur suatu
sistem yang optimal untuk perawatan pasien yang mengalami henti
jantung dan infark miokard, dengan mengkoordinasikan aktivitas
pelayanan ambulans, dokter umum, dan pelayanan rumah sakit. Mereka
juga sebaiknya memastikan bahwa unit gawat darurat mempunyai
protokol yang baik untuk penanganan pasien yang dicurigai mengalami
infark miokard serta tenaga terlatih yang tersedia setiap saat. Dan
sebaiknya disediakan tempat tidur yang sesuai untuk perawatan infark
miokard. Dokter yang terlatih mengenai kardiologi harus selalu ada.
Dan harus diselenggarakan rehabilitasi pasien sepulang dari rumah
sakit setelah infark miokard. Harus dipastikan bahwa tersedia fasilitas
di rumah sakit mereka atau daerah untuk managemen lebih lanjut dan
penanganan komplikasi infark miokard, atau bila tidak ada, harus
diatur hubungan dengan pusat kesehatan yang lain.

27

28
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Amstrong A. Duncan B. Oliver MF et al. Natural history of acute
heart attacks: a community study. Br. Heart J 1972; 34: 67-80
2. WHO MONICA Project. Myocardial infarction and coronary deaths
in the World Health Organization MONICA project. Circulation
1994; 90: 583-612
3. Stevenson R. Ranjadayalan K. Wilkinson P. Robets R. Timmis AD.
Short and long-term prognosis of acute myocardial infarction
since the introduction of trombolysis. BMJ 1993; 307: 349-53
4. Hopper J. Pathik B. Hunt D. Chan W. Improved prognosis since
1969 of myocardial infarction treated in a coronary care unit: lack
of relation with changes in severity. BMJ 1989; 299: 892-6
5. Maynard C. Weaver WD. Litwin PE et al. Hospital mortality in
acute myocardial infarction in the era of reperfusion therapy. Am
J. Cardiol 1993; 72: 877-92
6. Adams J. Trent R. Rawies J. On behalf of the GREAT Group.
Earliest electrocardiographic evidence of myocardial infarction:
implications for thrombolytic therapy. BMJ 1993; 307: 409-13
7. Basic Life Support Group of the European Resuscitation Council.
Guidelines for basic life support. BMJ 1993; 306: 1587-9
8. Advanced Life Support Working party of the European
Rescucitation Council. Guidelines for advanced life support.
Resuscitation 1992; 24: 111-24
9. Fibrinolytic Therapy Trialists (FTT) Collaborative Group.
Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute myocardial
infarction: collaborative overview of early mortality and major
morbidity results from all randomised trials of more than 1000
patients. Lancet 1994; 343: 311-322
10. ISIS-3 (Third International Study of Interfact Survival)
Collaborative Group. ISIS-3 : A randomised comparison of
streptokinase vs tissue plasminogen activator vs anistreplase and
of aspirin plus heparin vs aspirin alone among 41.299 cases of
suspected acute myocardial infarction. Lancet 1992; 339: 753-70
11. Gruppo Italiano per lo Studyo della Streptochinasi nell infarto
Miocardico (GISSI). Effectiveness of intravenous thrombolytic
treatment in acute myocardial infarction. Lancet 1986; 1: 397-402
12. The International Study Group. In-hospital mortality and clinical
course of 20.891 patients with suspected acute myocardial
infarction randomised between alteplase and streptokinase with or
without heparin. Lancet 1990; 336: 71-5
13. The GUSTO Investigators. An Intenational Randomized Trial
Comparising four thrombolyticstrategies for acute myoicardial
infarction. N. Engl J Med 1993; 329: 673-82
14. The European Myocardial Infarction Project Group. Prehospital
thrombolytic therapy in patients with suspected acute myocardial
infarction. N. Engl. J Med 1993; 329: 383-9

28

29
15. Topol EJ, George BS. Kereiakes DJ et al. And the TAMI Study
Group. A randomized controlled trial of intravenous tissue
plasminogen activator and early intravenous heparin in acute
myocardial infarction. Circulation 1989; 79: 281-6
16. Gibbons RJ, Holmes DR, Reeder GS, Bayley KR, Hopfenspirger
MR, Gersh BJ. Immediate angioplasty compared with the
administration of a thrombolytic agent followed by conservative
treatment for myocardial infarction. N Engl J Med 1993; 328:
685-91
17. Zijlstra F. de Boer MJ. Hoorntje JCA. Reiffers S. Reiber JHC.
Suryapranata H. A comparison of immediate coronary angioplasty
with intravenous streptokinase in acute myocardial infarction. N
Engl J Med 1993; 328: 680-4
18. TIMI Research Group. Immediatevs delayed catheterization and
angioplasty following thrombolytic therapy. Am J Med 1987; 317:
581-8
19. Lindsay HSJ, Zaman AG, Cowan JC. ACE inhibitor after
myocardial infarction: patient selection or treatment for all? Br
Heart J 1995; 73: 397-400
20. Walsh JT, Gray D, Keating NA, Cowley AJ hampton JR. ACE for
whom? Implications for clinical practice of post infarct trials. Br
Heart J 1995; 73: 470-4
21. Woods KL, Flectcher S, Roffe C, Haider Y. Intravenous
magnesium sulphate in suspected acute myocardial infarction: the
second Leicester intravenous magnesium Intervention Trial
(LIMIT-2). Lancet 1992; 339: 1553-58
22. TIMI IIIB investigators. Effects of tissue plasminogen activator
and comparison of early invasive and conservative strategies in
unstable angina and non-Q wave myocardial infarction. Results of
the TIMI IIIB Trial. Circulation 1994; 89: 1545
23. The Beta-Blocker Pooling Research Group. The Beta-Blocker
Pooling Project (BBPP); subgroup findings from randomized trials
in post infarction patients. Eur Heart J 1988; 9: 8-16
24. The TIMI Study Group. Comparison of invasive and conservative
strategies after treatment with aintavenous tissue plasminogen
activator in acute myocardial infarction: results of the
Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) Phase II trial. N
Engl J Med 1989; 320: 618-27.

29

Anda mungkin juga menyukai