Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri
(Abelson, 1998).
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai
pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari
7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis
bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis
posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis
(Watkinson, 1997). Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis (Nuty, 1998).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka perlu dilakukan penulisan dan
penelusuran kasus terkait Epistaksis, baik kasus pada anak maupun dewasa.

C. Tujuan
Tujuan penulisan adalah untuk mempelajari dan menambah pengetahuan bagi penulis dan
pembaca, khususnya bagi dokter-dokter muda yang sedang menjalani kepaniteraan klinik
stase THT. Tujuan lainnya adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik penulis di stase
THT RSUD Cianjur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI dan VASKULARISASI RONGGA HIDUNG

Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan arteri
karotis eksterna (AKE) (Kanowitz, 2009 dalam Budiman, 2012). Arteri optalmika, yang
merupakan cabang dari AKI, bercabang dua
menjadi arteri ethmoidalis anterior dan
posterior.

Cabang

anterior

lebih

besar

dibanding cabang posterior dan pada bagian


medial akan melintasi atap rongga hidung,
untuk mendarahi bagian superior dari septum
Gambar 1. Pembuluh darah di daerah septum nasi

nasi dan dinding lateral hidung. AKE

bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri fasialis memperdarahi
bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior (Kanowitz, 2009 dalam Budiman,
2012).
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri sfenopalatina,
arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri sfenopalatina memasuki rongga
hidung pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah septum dan sebagian
dinding lateral hidung (Kanowitz, 2009 dalam Budiman, 2012).
Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor,
ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus
Kiesselbach atau Littles area (Dhingra, 2009 dalam Budiman, 2012).
Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari
konka media terdapat plexus Woodruff yang merupakan
anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan
faringeal asendens (Dhingra, 2009 dalam Budiman, 2012).
Gambar 2. Pembuluh darah di dinding lateral
hidung.5

Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach. Epistaksis anterior lebih
mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi dibandingkan epistaksis posterior.
Batas yang membagi antara epistaksis anterior dan epistaksis posterior adalah ostium sinus
maksilaris (Wormald, 2006 dalam Budiman, 2012).
B. DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri (Abelson,
1998 dalam Munir, 2009).
C. PATOFISIOLOGI
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat perubahan
progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi
dari fibrosisinterstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi
perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding
pembuluhdarah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma (Watkinson, 1997 dalam Munir, 2009).

Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:


1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
biasanya dapat berhenti sendiri (Nuty, 1998 dalam Munir, 2009). Perdarahan pada lokasi
ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa
pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi

(Ballenger, 1994 dalam Munir, 2009). Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan
konkha inferior (Abelson, 1998 dalam Munir, 2009). Mukosa pada daerah ini sangat
rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya ( Becker, 1994 dalam Munir, 2009).
Daerah ini terbuka terhadap
efek

pengeringan

udarainspirasi

dan

trauma.

Akibatnya terjadi ulkus, ruptur


atau kondisi patologik lainnya
dan

selanjutnya

menimbulkan

akan

perdarahan

(Ballenger, 1994 dalam Munir, 2009).


2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari
arteri sfenopalatina dan arteri etmoid
posterior. Pendarahan biasanya hebat dan
jarang berhenti dengan sendirinya. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis

atau

pasien

dengan

penyakit kardiovaskuler (Nuty, 1998 dalam Munir, 2009). melaporkan 81% epistaksis
posterior berasal dari dinding nasal lateral (Thornton, 2005 dalam Munir, 2009).
D. ETIOLOGI

Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat,
bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas. Disamping
itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing dan trauma pada
pembedahan. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik

seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi
pada tumor seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma (Thuesen, 2005 dalam Munir,
2009).
Tiwari (2005) melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab pistaksis yang tidak
biasa.8 Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis
sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan
endokrin pada wanita hamil dan menopause, kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta
infeksi sistemik pada demam berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis.
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-Osler-Weber disease.
Disamping itu epistaksis dapat terjadi pada penyelam yang merupakan akibat perubahan tekanan
atmosfer (Hoogen, 2005 dalam Munir, 2009).

E. DIAGNOSIS

Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya harus
segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil
hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior
atau media biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran
tekanan darah dan periksa factor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT,
dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu
CT-scan (Becker, 1994 dalam Munir, 2009).
F. PENATALAKSANAAN

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,


mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis (Nuty, 1998 dalam Munir 2005).
Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah
terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah
dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk
menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan
adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga
hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan
selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah
sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior (Nuty, 1998 dalam Munir 2005).
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan
kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat
dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan
defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan
masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai
dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan
pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping penggantian cairan
(Abelson, 1997 dalam Munir 2005).
1. Epistaksis Anterior
a. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan
tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan
epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %
(Abelson, 1997 dalam Munir 2005). Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung

dan dibiarkan selama 5 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan
vasokonstriksi (Becker, 1994 dalam Munir 2005). Kauterisasi secara kimia dapat
dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 30% atau dengan asam
triklorasetat 10%. Becker (1994) menggunakan larutan asam triklorasetat 40 70%.
Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan tersebut
sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis
superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat
menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter
atau laser (Becker, 1994 dalam Munir 2005). Yang (2005) menggunakan electrokauter
pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya.
b. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak
dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan
menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotic
(Abelson, 1997 dalam Munir 2005). Tampon ini dipertahankan selama 3 4 hari dan
kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. Vaghela (2005) menggunakan
swimmers nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior.
2. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior (Nuty, 1998). Epistaksis
posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior, balloon tamponade ,
ligasi arteri dan embolisasi (Abelson, 1997 dalam Munir 2005).
a. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya
dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan
terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring.
Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali

diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat dengan tiga
pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian
ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada
kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga
hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari
untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan ini
(Naumann, 1994 dalam Munir 2005). Apabila masih tampak perdarahan keluar dari
rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi.
Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan
kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak
bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya
untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 3 hari.
b. Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan
tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis
posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang
dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal
perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor.
Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat
di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley
ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika
dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu,
kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter
difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila

tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon
posterior (Thornton, 2005 dalam Munir 2005).
c. Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan
segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang
tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri
yang mensuplai darah ke mukosa hidung.
1). Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi
suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini
dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari
dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m.sternokleidomastoideus.
Setelah flap subplatisma dielevasi, m. sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior
dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi
bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk
melakukan ligasi dibawah a.faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal
dari bagian posterior hidung atau nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi dengan
benang 3/0 silk atau linen.
2). Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.
Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi local atau umum lalu dilakukan insisi
Caldwell Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila,
secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret
atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita.
Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium

posterior. Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk
melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan
ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator
clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan nervehook. Setelah a. maksila
interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan
identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon
yang telah diberi salap antibiotik selama 24 jam. Maceri (1984) menjelaskan
pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna. Plane of buccinator dimasuki
melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan identifikasi
perlekatan m. temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksi tumpul
pada daerah ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan,
dijepit atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat
dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini
adalah lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan dengan pendekatan
transantral sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya kegagalan. Komplikasi
utama pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus yang dapat berlangsung
selama tiga bulan. Shah (2005) menggunakan clip titanium pada arteri sphenopalatine
untuk mengatasi epistaksis posterior.
3). Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi
dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan
pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang
berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm

posterior dari Krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya
4 - 7 mm. sebelah anterior n. optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk
mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita
dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura
pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan
rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior
tidak diganggu untuk menghindari trauma n.optikus. Tetapi bila perdarahan persisten,
a.etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk
menghindari trauma.
4). Angiografi dan Embolisasi
Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan pada a.
maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis
yang persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan angiografi dalam
menentukan sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan penggunaan embolisasi
untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis (primer dan
traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan penyakit pendarahan. Mereka
menjumpai kesulitan dalam melakukan embolisasi a.etmoidalis tetapi tindakan ini
lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan ligasi a. maksila interna oleh karena
terjadinya obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis
fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga sering dijumpai.
Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable

gelatin sponge merupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun tekhnik ini
masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis
dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD.Rhinology and Sinus Disease AproblemOriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc,1998: 43 9.
2. Abelson TI. Epistaxis. Dalam: Paparella MM, Shumrick DA, Glucman JL, Meyerhoff
WL. Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3 rd. Philadelphia: WB Saunders Company, 1997:
1831 41.
3. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa staf ahli bagian
THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa Aksara,1994: 1 27, 112 6.

4. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket reference. Second
Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 80 dan 253 60.

5. Dhingra PL. Epistaxis. In: Disease of Ear, Nose and Throat, 4th Edition. Noida: Elsivier;
2009. p. 166-70.
6. Kanowitz SJ, Citardi MJ, Batra PS. Contemporary Management Strategies for Epistaxis.
In: Stucker FJ, de Souza C, Kenyon GS et al editors. Rhinology and Facial Plastic
Surgery. Berlin: Springer; 2009. p. 139-49.
7. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam:
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FK UI,
1998: 127 31.
Sys L, van den Hoogen FJ. Rendu-Osler-Weber disease. Ned Tijdschr Tandheelkd. 2005.
Vol. 112 (9): 336 9
8. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of common bleeding sites.
Laryngodcope, 2005. Vol.115 (4): 588 90.

9. Thuesen AD, Jacobsen J, Nepper-Rasmussen J. Juvenile angofobroma. Ugeskr Leager.


2005. Vol. 167 (34): 3163 6.

10. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott Browns Otolaryngology.
Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann,1997: 119.
11. Wormald PJ. Epistaxis. In: Bailey BJ, Johnson JT et al editors. Otolaryngology Head and
Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 50614.

Anda mungkin juga menyukai