Oleh
Maria Lisdiana
H1A 006 028
Ditujukan kepada Yth
Penguji : dr. I Komang Gerudug, MPH
Pembimbing Fakultas : dr. Lina Nurbaiti
BAB I
PENDAHULUAN
14 kasus. Untuk itu, laporan ini akan membahas tentang deteksi dan penanganan gizi
buruk di masyarakat wilayah kerja puskesmas Kediri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. GAMBARAN GIZI BURUK DI PUSKESMAS KEDIRI
Kasus Gizi Buruk yang ditemukan di Puskesmas Kediri Tahun 2008
Grafik 1.
Kasus Gizi Buruk selama tahun 2008 ditemukan sebanyak 12 kasus, dari 12 kasus
tersebut 100% sudah ditangani, dan 8 Balita yang diberikan PMT Pemulihan. Setelah
ditangani 5 balita menjadi Gizi Baik dan 3 balita masih Gizi kurang.
Selama tahun 2009, ditemukan sebanyak 9 kasus gizi buruk. Sembilan kasus
tersebut telah ditangani dengan pemberian PMT Pemulihan. Setelah ditangani, 7 balita
menjadi normal, 1 balita termasuk dalam kategori kurus (gizi normal).
Kasus Gizi Buruk yang ditemukan di Puskesmas Kediri Tahun 2010
Grafik 2. Penanganan Gizi Buruk Tahun 2010
Jika kita membandingkan jumlah kasus gizi buruk dari tahun 2008 hingga 2010, tampak
adanya peningkatan jumlah kasus gizi buruk, walaupun di tahun 2009 sempat terjadi
penurunan kasus menjadi 9 kasus gizi buruk.
2.2. KONSEP GIZI BURUK
A. Definisi Gizi Buruk
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut
umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight (Kemenkes RI,
2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi tingkat berat pada
anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau
ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.
B. Epidemiologi
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini
dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4%
pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi
jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi provinsi
NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila dibandingkan dengan target
pencapaian program perbaikan gizi tahun 2015 sebesar 20% dan target MDG untuk
NTB sebesar 24,8% berada di atas nasional yang 18,5% maka NTB belum melampaui
target nasional 2015 sebesar 20%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa
prevalensi gizi buruk NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011). Sedangkan menurut
data hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009 tahun 2009 prevalensi gizi buruk di
NTB sebesar 5,49 dan tahun 2010 turun menjadi 4,77.
Untuk data Lombok Barat, prevalensi gizi buruk berdasarkan indeks berat badan
menurut umur tahun 2009-2010 sebesar 4,56. Dari data puskesmas Kediri menunjukkan
kenaikan dari tahun ke tahun meskipun semapt menurun di tahun 2009. Terhitung 2007
terdapat kenaikan jumlah penderita gizi buruk. Tahun 2007 ditemukan adanya 11 kasus,
tahun 2008 sebanyak 12 kasus, tahun 2009 sebanyak 9 kasus, dan tahun 2010 sebanyak
14 kasus.
C. Klasifikasi Gizi Buruk
Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmuskwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari
masing-masing tipe yang berbeda-beda.
1. Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang
timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di
bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,
gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya.
Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih
merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah (Depkes RI, 2000) :
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya,
tinggal tulang terbungkus kulit
D. Etiologi
Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak langsung. Menurut
Depkes RI (1997) dalam Mastari (2009), faktor penyebab langsung timbulnya masalah
gizi pada balita adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan
kebutuhan anak, sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan faktor seperti
tingkat sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan, ketersediaan pangan di
tingkat keluarga, pola konsumsi, serta akses ke fasilitas pelayanan. Selain itu,
pemeliharaan kesehatan juga memegang peranan penting. Di bawah ini dijelaskan
beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah gizi balita, yaitu:
a. Tingkat Pendapatan Keluarga.
Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan untuk
konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya. Pengaruh peningkatan penghasilan
terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi
dengan status gizi yang berlawanan hampir universal.
Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua dalam hal
memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang higienis.
b. Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan
pada tiga kenyataan yaitu:
Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal.
Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun
menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang, maka
ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk
dikonsumsi.
Pengetahuan gizi yang dimaksud di sini termasuk pengetahuan tentang penilaian
status gizi balita. Dengan demikian ibu bisa lebih bijak menanggapi tentang masalah
yang berkaitan dengan gangguan status gizi balita.
c. Tingkatan Pendidikan Ibu.
Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat
pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan
kesehatan, kebersihan pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran
terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Di samping itu pendidikan
berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainya seperti pendapatan, pekerjaan,
kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal.
Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap
dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bisa dijadikan landasan
untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga,
pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di
dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya.
Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk
menghadapi berbagai masalah, misal memintakan vaksinasi untuk anaknya,
memberikan oralit waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari ibu
yang mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta
tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru guna
pemeliharaan kesehatan anak maupun salah satu penjelasannya.
d. Akses Pelayanan Kesehatan.
Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical service) dan
pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara umum akses kesehatan
masyarakat adalah merupakan subsistem akses kesehatan, yang tujuan utamanya adalah
pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran
masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak
melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).
Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan dan status
gizi pada golongan rawan gizi seperti pada wanita hamil, ibu menyusui, bayi dan anakanak kecil, sehingga dapat menurunkan angka kematian. Pusat kesehatan yang paling
sering melayani masyarakat, membantu mengatasi dan mencegah gizi kurang melalui
program-program pendidikan gizi dalam masyarakat. Akses kesehatan yang selalu siap
dan dekat dengan masyarakat akan sangat membantu meningkatkan derajat kesehatan.
Dengan akses kesehatan masyarakat yang optimal kebutuhan kesehatan dan
pengetahuan gizi masyarakat akan terpenuhi.
E. Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat
dan lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh
karena adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi
buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang
kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat
(Krisnansari, 2010).
F.
Berikut
disertakan
alur
pemeriksaan
anak
dengan
gizi
buruk
Selain itu, berikut disertakan alur pelayanan anak gizi buruk di rumah sakit/puskesmas
perawatan.
Berikut juga disertakan salah satu tatalaksana anak dengan gizi buruk tanpa tada
bahaya atau tanda penting tertentu
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan untuk anak
di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair, kemudian makanan
lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan keenceran
1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk meningkatkan energi
ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3 jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat pipa
(per-sonde)
2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara
berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai
150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.
3. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh
makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya
diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan,
memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.
Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.
d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau 100.000
SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A diberikan dengan dosis
total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi (Fe) dan
asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP berat.
Tabel 1. Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk
kondisi
ini
berdampak
buruk
terhadap
pertumbuhan
maupun
perkembangannya.
Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance
anak, akibat kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan
perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental
dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak
itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah
salah satu aset yang vital bagi anak.
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap
perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan
gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah
penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi
sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan
tentu saja merosotnya prestasi anak
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien
: An. TO
Umur
: 20 bulan
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Gersik Utara RT 03
Kunjungan ke PKM
: 10 Juni 2012
Identitas keluarga
Identitas
Nama
Umur
Pendidikan/Berapa tahun
Pekerjaan
Ibu
Ny. J
28 Th
SMA
Dagang
Ayah
Tn. R
35 Th
SMA
TKI
Riwayat Nutrisi
Menurut pengakuan ibu pasien, pasien diberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan.
Pasien mulai diberikan makanan pendamping ASI pada usia 6 bulan berupa bubur,
dan saat ini pasien sudah diberikan makanan keluarga.
Status Imunisasi
Menurut pengakuan orang tua pasien dan berdasarkan buku KIA, pasien
mendapatkan imunisasi sesuai jadwal di posyandu.
Riwayat Tumbuh Kembang
Os mulai bisa duduk, saat berusia 6 bulan, mulai berdiri sejak usia 10 bulan, dan
berjalan usia 1 tahun.
Ikhtisar Keluarga
Ayah
Ibu
Anak
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
Pasien tinggal di daerah Gersik Utara RT 3. Pasien hanya tinggal bersama sang ibu di
rumah, sedang sang ayah pergi merantau menjadi TKI di Malaysia. Skema putus-putus
menunjukkan anggota keluarga yang tinggal bersama pasien.
: sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda vital :
HR
RR
: 30 x/menit
T ax
: 37,2 C
BB
: 6,8 kg
PB
: 71,5 cm
Status gizi
: gizi buruk
o
1.
2.
3.
4.
Edema (-)
Mata :
o
1.
Simetris
2.
Alis : normal
3.
Exopthalmus (-)
4.
Ptosis (-)
5.
Nystagmus (-)
6.
Strabismus (-)
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Kornea : normal
13.
Lensa : normal
Telinga :
1. Bentuk : normal,
2. Lubang telinga : normal, sekret (-)
3. Nyeri tekan (-)
Hidung :
o
1.
2.
3.
o
1.
Simetris
2.
3.
4.
5.
Mukosa basah
Leher :
o
1.
Simetris (-)
2.
3.
Scrofuloderma (-)
4.
Pemb.KGB (-)
5.
Trakea : ditengah
Thorax :
o
Cor
Pulmo
Inspeksi : Bentuk simetris
Pergerakan simetris
Iga dan sela iga : retraksi (-)
Pernapasan : frekuensi 30 x/menit, teratur
Palpasi : Pergerakan simetris
Fremitus raba dan vokal tidak dievaluasi
Perkusi : Auskultasi : Suara tambahan rhonki -/Suara tambahan wheezing -/Abdomen :
Ekstremitas bawah:
V. DIAGNOSIS KERJA
Gizi buruk tipe campuran (marasmik-kwashiorkor)
VII. RENCANA KERJA
Rencana Terapi
Asam folat 1 x 5 mg
Vitamin A 1 x 1
F-75 per 2 jam
Tujuan Terapi
BAB IV
PENELUSURAN (HOME VISIT)
4.1.
Gizi buruk merupakan masalah yang perlu penanganan serius karena tidak hanya
meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian tetapi juga menurunkan
produktifitas, menghambat pertumbuhan sel-sel otak yang mengakibatkan kebodohan
dan keterbelakangan. Hal ini terutama menyerang anak balita, yang merupakan sumber
daya masa depan. Selain itu, dari data laporan tahunan gizi, kasus gizi buruk terus
meningkat.
Berdasarkan hal tersebut, perlu dicari tahu mengapa kasus gizi buruk ini banyak
terdapat di masyarakat di wilayah Kediri.
4.2.
Tujuan
Mengetahui faktor penyebab utama terjadinya gizi buruk pada pasien An. TO
4.3.
Metodologi
Metodologi yang dipakai : wawancara dan pengamatan lingkungan tempat
tinggal pasien. Variabel yang dipakai adalah faktor risiko gizi buruk, tanda dan gejala
gizi buruk.
4.4.
Hasil Penelusuran
Pasien adalah anak pertama pasangan Ny. J dan Tn. R. Pasien tinggal di rumah
berdua dengan ibunya, sedangkan sang ayah sedang bekerja di Malaysia sebagai
TKI
Rumah yang dihuni saat ini terdiri dari 1 kamar tidur dan 1 ruang tamu. Luas
rumah pasien 8 x 5 meter, jarak rumah pasien dengan rumah tetangga di depan
(utara) 3 meter, samping kiri (barat) 4 meter, samping kanan (timur) 4
meter, serta belakang rumah (selatan) 3 meter dari rumah tetangga. Dapur
berada di depan pintu, sedangkan kamar mandi umum terletak 10 meter dari
rumah pasien.
Kamar tersebut dihuni oleh os dan ibunya. Ventilasi pada kamar I kurang baik
karena terdapat satu jendela yang jarang dibuka, sedangkan pada kamar II tidak
memiliki ventilasi karena tembok kamar menyatu dengan rumah tetangga.
Lantai rumah terbuat dari semen, dinding rumah berupa tembok, plafon terbuat
dari triplek, dan atap rumah terbuat dari genteng.
Sumber air minum berasal dari air sumur bersama, berjarak 2 meter dari
rumah. Air sumur digunakan untuk kebutuhan mandi dan cuci, sumber air
minum dan untuk mengolah masakan.
Keluarga pasien memiliki fasilitas jamban pribadi yang terletak di luar rumah.
Pendapatan keluarga dari penghasilan ayah pasien yang bekerja sebagai tenaga
kerja Indonesia di Malaysia per bulannya kira-kira mencapai Rp.400.000.
U
Keterangan :
a
a : teras rumah
b
: ruang tamu
c : ruang tidur
d
c
d
Gb 3. Ruang tamu
LINGKUNGAN :
Lingkungan pemukiman
Masalah pemberian
makan
Gizi Buruk
Pendidikan ibu
YANKES :
Peran kader dalam penemuan kasus
gizi buruk dan penanganannya
belum maksimal.
Penatalaksanaan kasus gizi buruk
yang belum maksimal
Kurangnya informasi tentang gizi
buruk kepada masyarakat
SOSEK- BUDAYA :
Sosial ekonomi rendah
(tingkat pendapatan
keluarga)
BAB V
PEMBAHASAN
A. Aspek Klinik
Dari hasil anamnesis didapatkan keluhan adanya bengkak yang muncul pada
punggung tangan dan kaki pasien, serta pada wajahnya. Bengkak atau edema yang
ditemukan berupa pitting edema, yaitu edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti
semula. Hal ini disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik
intravaskular menurun. Penurunan tersebut menyebabkan ekstravasasi plasma ke ruang
interstisial. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya
gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik.
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan rambut yang mudah dicabut hal ini
dihubungkan dengan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena
keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan tanda dan gejala klinis gizi
buruk berupa, edema yang muncul di wajah, tangan dan kaki, anak menjadi rewel,
hiperpigmentasi kulit, rambut yang mudah dicabut, tampak halus, tipis dan kemerahan,
dan adanya baggy pants pada regio gluteus pasien.
Pemeriksaan penunjang yang sebenarnya dapat dilakukan adalah dengan
melakukan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan kadar labumin serum, keton
urin, pemeriksaan glukosa darah dan sebagainya, namun diagnosis gizi buruk sudah
cukup ditegakkan dengan penemuan melihat gejala klinis gizi buruk dan perhitungan Z
score.
Terapi yang diberikan untuk pasien ini adalah rencana V, yaitu pemberian
formula 75 (F-75). Hal ini disesuaikan dengan klinis dan pedoman tata laksana gizi
buruk. Dua jam pertama pemberian F-75 dilakukan per 30 menit sambil melakukan
monitoring vital sign dan jumlah asupan F-75 yang diberikan. Sepuluh jam berikutnya,
F-75 tetap diberikan setiap 2 jam.
Selain pemberian F-75, terapi tambahan yang diberikan adalah vitamin A dan
asam folat. Kedua obat tambahan ini diberikan dengan tujuan memenuhi kekurangan
mikronutrien.
serta kebersihan peralatan makan pada setiap keluarga. Makin tersedia air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari, makin kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi.
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor
fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung
dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dll. Pengukuran faktor ekologi
dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat
sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi.
Pada kasus ini, sanitasi lingkungan pasien bisa dikatakan cukup bersih, air bersih
tersedia, yaitu berupa sumur bersama yang terletak beberapa meter di depan rumah.
Keluarga pasien memiliki sarana jamban pribadi, walau pun berada di luar rumah.
3. Faktor Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Orangtua adalah ibu dan ayah dari pendertia anak gizi buruk. Peranan orangtua,
baik ibu maupun ayah merupakan kunci di dalam menjaga, merawat dan mendidik anak
yang berkualitas sehingga mencapai sukses. Oleh sebab itu di dalam pertumbuhan anak,
perhatian orangtua adalah hal yang tiak bisa dipungkiri. Orangtua berkewajiban
menjaga anaknya dari berbagai serangan penyakit, memberi makanan yang cukup dan
memenuhi gizi sesuai dengan pertumbuhannya. Seorang ayah berperan sebagai
pengayom dalam rumah tangga di mana anak akan merasa terlindungi di dalam proses
hidup kesehariannya. Sedangkan seorang ibu, berperan untuk merawat anak-anak
dirumah
dari
dalam
kandungan
hingga
mencapai
usia
dewasa,
kemuidan
memperhatikan pola makan anak, gizi anak, pertumbuhan dan perkembangan anak
sesuai dengan usianya. Selain itu peranan nenek, bibi, dan pembantu rumah tangga
dalam mengasuh anak-anak juga sangat diperhitungkan di saat orangtua tidak bersama
anak. Namun peranan mereka tidak sebanding dengan peran orangtua dalam mengasuh
anak.
Dari segi budaya budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di
berbagai masyarakat dan negara. Unsur-unsur budaya manusia menciptakan suatu
kebiasaan makan penduduk yang kadangkadang bertentangan dengan prinsip gizi.
Dalam hal pangan, ada budaya yang memprioritaskan keluarga tertentu untuk
mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan yaitu kepala keluarga. Anggota
keluarga lain menempati prioritas berikutnya dan yang paling umum mendapatkan
prioritas terakhir adalah ibu rumah tangga. Apabila hal demikian masih dianut oleh
suatu budaya, maka dapat saja terjadi distribusi pangan yang tidak baik di antara
anggota keluarga. Apabila keadaan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama dapat
berakibat timbulnya masalah gizi kurang di dalam keluarga yang bersangkutan.
Pada kasus ini, budaya di atas tidak berlaku, karena pasien hanya tinggal berdua
dengan ibunya, sehingga tidak ada anggota keluarga lain yang mendapat prioritas.
4. Faktor Pelayanan Kesehatan
Status gizi anak berkaitan dengan keterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan
dasar. Anak balita sulit dijangkau oleh berbagai kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan
lainnya karena tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang ditentukan tanpa
diantar.
Beberapa aspek pelayanan kesehatan dasar yang berkaitan dengan status gizi
anak antara lain: imunisasi, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan
kesehatan anak, serta sarana kesehatan seperti posyandu, puskesmas, rumah sakit,
praktek bidan dan dokter. Makin tinggi jangkauan masyarakat terhadap sarana
pelayanan kesehatan dasar tersebut di atas, makin kecil risiko terjadinya penyakit gizi
kurang.
Pada pasien ini akses terhadap pelayanan kesehatan terjangkau, baik dari segi
posyandu yang diikuti berupa imunisasi dan penimbangan anak secara rutin.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada laporan gizi tahunan terhitung 2009-2011, kasus gizi buruk terus
B. Saran
Diperlukan adanya penyuluhan atau pemberian informasi tentang gizi, dimulai
dari pemilihan makanan untuk balita, pengolahan makanan, hingga tanda-tanda anak
gizi buruk serta langkah yang perlu dilakukan untuk melaporkan keadaan anak gizi
buruk. Alangkah baiknya kegiatan ini dapat dijalan kan bersamaan dengan kegiatan
posyandu (penyuluhan terpadu lintas program), di mana ibu-ibu membawa anak dan
balitanya untuk dilakukan penimbangan rutin.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta :
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.
Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak.
Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor
1