1.
Pendahuluan
Halaman 1
2.
Metode
2.1
a.
b.
c.
Halaman 2
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Halaman 5
Halaman 4
c. Meletakkan tabung-tabung dalam alat PCR (thermocycler). Menjalankan PCR dengan suhu
denaturasi 94oC selama 1 menit, suhu annealing 36oC selama 1 menit, dan suhu elongasi 72 oC
selama 2 menit, sebanyak 45 siklus. Sebagai kontrol negatif, tabung PCR diisi komponenkomponen PCR tanpa DNA sampel, untuk tiap-tiap primer. Sebelumnya dilakukan lebih dulu PCR
dan elektroforesis DNA genom sampel-sampel dengan primer sekuen 18s rDNA yang conserved
untuk kontrol internal, yaitu dengan forward primer 5-TCCTGAGTAACGAACGAGACC-3,
reverse primer 5-CACGATGAAATTTCCCAAGAT-3 (Sitwat Aman, 2012).
d. Membuat gel agarose 1% dengan buffer TAE 1x, menuangnya ke dalam gel tray, memasukkan sisir
dan mengangkat sisir setelah gel mengeras pada suhu ruang. Meletakkan gel tray di dalam
electrophoresis chamber dan menambahkan buffer TAE 1x hingga gel terendam sedalam 2-3 mm.
e. Mencampurkan 10 l produk PCR dengan 2 l loading dye di eppendorf bersih.
f. Load DNA marker (1 Kb) dalam sumur ke-1, kontrol negatif pada sumur ke-2, kontrol positif
(sampel dari daun) pada sumur ke-3, sampel dari kursi 2008 pada sumur ke-4, dan sampel dari
kursi 2011 pada sumur ke-5, untuk masing-masing primer.
g. Atur voltasi dari power supply, saat marker bromothymol blue telah bermigrasi hingga lebih dari
2/3 panjang gel, matikan power supply dan angkat gel.
h. Visualisasi pola pita-pita DNA dengan UV transilluminator, pilih hasil terbaik, dan
membandingkan pita-pita sampel dengan kontrol positif maupun kontrol negatif.
bo. (N. Senthil Kumar dan G. Gurusubramanian, 2011)
bp.45 siklus, suhu siklus 94oC
PCR
Elektroforesis gel agarose, urutan pengisian
Visualisasi +
bq. 36oC 1 menit, 72oC 2
1 menit,
sumur : DNA marker, kontrol negatif, kontrol
analisa hasil
br.
menit, 10 macam primer.
positif, sampel 2008, sampel 2011.
3.
bs.
Isolasi DNA dilakukan untuk mendapatkan DNA genom suatu organisme,
yang dalam kasus ini adalah tanaman, baik dari tanaman muda (daunnya) maupun kayu
(kursi). Ekstraksi DNA dari daun atau biji jauh lebih mudah daripada kayu karena
mengandung DNA dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang baik. Ekstraksi DNA dari
kayu, apalagi yang sudah berumur tua, sangatlah sulit karena DNA yang terkandung di
dalamnya sudah mengalami degradasi, sehingga kuantitasnya sangat sedikit dengan kualitas
yang kurang baik. Metode ekstraksi DNA dari kayu dapat berbeda antara jenis satu dengan
jenis lainnya, tergantung juga dari kandungan yang terdapat pada kayu tersebut (Avi
Wicaksono, 2013). Degen dan Fladung (2007) mengatakan bahwa DNA dari sepotong kayu
akan selalu terkandung di dalamnya, akan selalu terbawa dan tidak dapat atau susah untuk
dihilangkan atau dirusak. Dengan sifat stabil dari DNA dan semua jaringan pada individu yang
sama mempunyai susunan DNA yang sama, maka di dalam penyusunan database, dapat
dilakukan dengan menggunakan materi genetik yang lain yaitu daun (yang paling baik dan
lengkap kandungan dan susunan DNA-nya). Selain itu, karena tidak bisa atau sangat sulitnya
memanipulasi DNA, maka DNA dari pohon ditebang sampai dengan diproses, termasuk kursi
kayu, akan sama atau hanya berkurang sedikit karena terdegradasi. (Avi Wicaksono, 2013).
bt.
Umumnya, isolasi DNA dari kayu maupun daun dijadikan bentuk serbuk
terlebih dahulu dengan menggunakan nitrogen cair. Pada buffer ekstraksi, SDS (Sodium
Dodecyl Sulfate) dapat merusak membran, mendenaturasi protein, dan memisahkan DNA dari
protein histon. Buffer Tris menjaga range pH agar enzim pendegradasi tidak aktif. NaCl
memisahkan nuclear protein dari DNA. EDTA merupakan agen pengkelat yang mengkelat ion
logam yang menstimulasi aktivitas DNAse. RNAse dapat mendegradasi RNA. Isopropanol
yang bersifat semi polar dapat mengendapkan atau presipitasi DNA sehingga membentuk
pellet DNA. Proteinase K (untuk mendegradasi protein) tidak perlu digunakan karena selain
menambah biaya, protein dan polisakarida akan terpresipitasi secara simultan karena adanya
konsentrasi tinggi dari kalium asetat pada SDS (Kurt Weising, et al., 2005).
bu.
Pada reaksi PCR RAPD, menurut Waugh dan Powel (1992) primer pendek
yang banyak digunakan adalah terdiri dari 9-10 nukleotida karena makin panjang primer,
makin tinggi spesifisitas penempelannya. Primer-primer RAPD yang dipilih dalam penelitian
ini memiliki proporsi GC>40%. Newton dan Graham (1994) menyatakan bila mungkin
menggunakan primer dengan susunan keempat basa yang jumlahnya seimbang, tapi yang
sesuai untuk eukariot ialah proporsi GC sebesar 60%. Makin besar %GC (terutama pada 4
basa terdekat dengan 3-end), makin banyak produk amplifikasi. Primer RAPD yang
digunakan tidak hanya 1 macam, karena belum tentu primer itu menghasilkan pita-pita yang
jelas pada visualisasi dengan gel elektroforesis. (Kurt Weising, et al., 2005).
bv.
Sebelum dilakukan PCR dengan primer-primer RAPD, dilakukan lebih
dahulu PCR dan elektroforesis DNA genom sampel-sampel dengan primer sekuen 18s rDNA
yang conserved untuk kontrol internal, yaitu dengan forward primer 5TCCTGAGTAACGAACGAGACC-3, reverse primer 5-CACGATGAAATTTCCCAAGAT3 (Sitwat Aman, 2012). Hal ini dilakukan untuk memastikan keberhasilan isolasi DNA,
memastikan DNA genom sampel layak diamplifikasi, dan memastikan DNA genom yang
diisolasi adalah milik tanaman, ditandai dengan munculnya pita-pita hasil elektroforesis pada
gel agarose. Jika pita tidak muncul, kemungkinan besar pita hasil PCR RAPD juga tidak
muncul. Reaksi PCR RAPD memiliki spesifisitas rendah sehingga akan menghasilkan banyak
pita pada gel elektroforesis. Karena itu suhu annealing dibuat lebih rendah dari PCR standar,
yaitu 36C. PCR RAPD dilakukan sampai 45 siklus atau lebih karena akan menghasilkan
yield produk RAPD lebih tinggi daripada PCR RAPD yang kurang dari 45 siklus (Kurt
Weising, et al., 2005).
bw.
Teknik RAPD dipilih karena tidak membutuhkan probe dan informasi sekuen
untuk mendesain primer spesifik, tidak melibatkan hibridisasi atau blotting, cepat, sederhana,
efisien, menghasilkan banyak fragmen, primer RAPD mudah didapat, biaya lebih rendah
dibandingkan teknik DNA fingerprinting lain, serta hanya membutuhkan sejumlah kecil DNA
per reaksi (N. Senthil Kumar dan G. Gurusubramanian, 2011). Mengingat sampel yang ingin
dibuktikan keberadaan asam nukleatnya adalah kayu yang kuantitas DNA-nya sedikit, teknik
RAPD cocok digunakan. Namun, RAPD memiliki beberapa kelemahan, yaitu reproduktivitas
rendah, dapat memberikan hasil yang berbeda-beda apabila diulang sehingga dianggap kurang
handal (reliable) (William J.G., et al., 1990), hampir semua marker RAPD dominan, dan tidak
bisa mendeteksi alel null (N. Senthil Kumar dan G. Gurusubramanian, 2011). Karena
reproduktivitasnya rendah, sampel yang akan dianalisa dengan primer yang sama harus
dianalisa di waktu dan kondisi yang sama. Sebenarnya teknik RFLP dan AFLP juga dapat
digunakan karena tidak membutuhkan informasi sekuen, tetapi teknik-teknik ini
membutuhkan waktu lama, membutuhkan sejumlah besar DNA yang kualitas DNA-nya harus
baik, serta mahal biayanya walaupun reproduktivitasnya tinggi (Kurt Weising, et al., 2005).
bx.
Pada gel elektroforesis, pita-pita DNA kursi produksi 2008 yang sudah pasti
bukan dari jenis Tuchpa assa dapat dijadikan kontrol negatif yang bukan merupakan DNA
target. Kemungkinan hasil yang diperoleh sebagai berikut. Kemungkinan pertama, pada gel
(Gambar 1), band-band pada well ke-5 (DNA kursi 2011) sama dengan band-band pada well
ke-4 (kontrol negatif, DNA dari daun tanaman Cicebon tupeyale). Artinya, kursi produksi
2011 bukan tanaman Tuchpa assa dan perusahaan Assis bukan penjahat. Kemungkinan kedua,
pada gel (Gambar 2), band-band pada well ke-5 sama dengan band-band pada well ke-3 dan
berbeda dengan kontrol negatif. Artinya, perusahaan Assis yang menjadi tersangka dalam
kasus ini adalah penjahat, karena adanya materi genetik Tuchpa assa pada kursi yang
diproduksi tahun 2011.
by.
MW - + - S
MW - + - S
bz.
ca.
Gambar 1. Kemungkinan hasil PCR RAPD,
RAPD,
Halaman 4
cb.
pita-pita sampel tidak sama dengan kontrol positif.
positif.
cc.
4.
Kesimpulan
cd.
Perusahaan Assis merupakan tersangka karena diduga telah menggunakan
Tuchpa assa untuk produksi kursi kayu. Untuk menganalisa keberadaan materi genetik
Tuchpa assa dari set kursi produksi tahun 2011, digunakan DNA fingerprinting dengan teknik
RAPD. Pada gel elektroforesis, bila pita-pita DNA kursi 2011 tidak sama dengan pita-pita
DNA tanaman muda Tuchpa assa, tidak ada materi genetik dalam kursi produksi 2011 dan
perusahaan Assis bukan penjahat. Bila pita-pita DNA kursi 2011 sama dengan pita-pita DNA
tanaman muda Tuchpa assa, ada materi genetik dalam kursi produksi 2011 dan perusahaan
Assis memang penjahat.
ce.
5.
Daftar Pustaka
[1] Aman, Sitwat, et al. (2012). Identification And Validation Of Stable Internal Control For Heat Induced Gene
Expression Of Agave Americana. Department of Biochemistry, Quaid-i-Azam University, Islamabad, 45320
Pakistan.
[2] Julisaniah, N. I., Liliek, S., dan Arifin, N. S. (2008). Analisis Kekerabatan Mentimun (Cucumis sativus L.)
menggunakan Metode RAPD-PCR dan Isozim. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Mataram (UNRAM),
Mataram.
[3] Kumar, N. Senthil dan G. Gurusubramanian. (2011). Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Markers
And Its Applications. Department of Biotechnology, Department of Zoology, Mizoram University, Aizawl
796 004, India.
[4] Layla, Zulqoyah. (2001). Teknik Penggunaan Marka RAPD dengan PCR. Temu Teknis Fungsional Non
Peneliti, Balai Penelitian Ternak, Bogor.
[5] RAPD Primers List. www.operon.com/products/downloads/OperonsRAPD10merSequences.xls, diakses
terakhir tanggal 19 Mei 2014.
[6] Soediro, Abaii D. A. (2010). Metode Analisis DNA Fingerprinting. www.scribd.com/doc/40166464/DnaFingerprinting, diakses terakhir tanggal 20 Mei 2014.
[7] Verbylaite, R., et al. (2010). Comparison of Ten DNA Extraction Protocols from Wood of European Aspen
(Populus tremula L.). Baltic Forestry, 16 (1): 35-42.
[8] Weising, K., et al. (2005). DNA Fingerprinting in Plants : Principles, Methods, and Applications 2 nd Edition.
Amerika : CRC Press.
[9] Wicaksono, Avi. (2013). Identifikasi Jenis dan Asal-usul Kayu dengan Penanda DNA. Balai Besar Penelitian
Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, AYPBC Widyatmoko.
[10] Yuwono, Triwibowo. (2006). Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta : Penerbit
ANDI.