Anda di halaman 1dari 16

HIPEREMESIS GRAVIDARUM

A. Definisi
Hiperemesis gravidarum (HG) adalah mual dan muntah yang terjadi pada awal
kehamilan sampai umur kehamilan 20 minggu. Keluhan muntah kadang-kadang begitu hebat
di mana segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan sehingga dapat mempengaruhi
keadaan umum dan mengganggu pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi, dan
terdapat aseton dalam urin bahkan seperti gejala penyakit apendisitis, pielititis, dan
sebagainya.1

B. Epidemiologi
Hiperemesis gravidarum terjadi pada 0,5-2% kehamilan, dengan variasi dalam kejadian
yang timbul dari kriteria diagnostik yang berbeda dan variasi etnis. Penelitian menemukan
pertambahan sebanyak 0,8% untuk kejadian hiperemesis gravidarum dan rata-rata 1 rumah
sakit per satu pasien hiperemesis, rata-rata rawat inap di rumah sakit selama 6-4 hari. Pada
penelitian yang lain, ditemukan bahwa dari di Amerika Serikat, sebanyak 0,3-2% dipengaruhi
oleh hiperemesis gravidarum (sekitar 5 per 1000 kehamilan).2
Insuden bervariasi sesuai populasi, dan tampaknya terdapat predileksi etnis atau familial.
Dalam studi-studi berbasis populasi dari California dan Nova Scotia, angka rawat inap untuk
pasien HEG adalah 0,5 sampai 0,8 persen. Rawat inap lebih jarang pada wanita dengan
obesitas. Pada wanita yang pernah dirawat-inap karena hiperemesis pada kehamilan
sebelumnya, hamper 20 persen memerlukan rawat inap pada kehamilan berikutnya.3
C. Etiopatogenesis
Etiopatogenesis dari hiperemesis gravidarum kemungkinan multifaktorial dan tentu
membingungkan. Nampaknya menjadi terkait dengan naiknya kadar serum atau peningkatan
pesat hormon yang berhubungan dengan kehamilan. Penyebab diduga termasuk human
chorionic gonadotropin (hCG), estrogen, progesteron, leptin, pertumbuhan plasenta hormon,

prolaktin, tiroksin, dan hormon adrenocortical. Baru-baru ini terlibat adalah hormon lainnya
yang mencakup ghrelins, leptin, nesfatin-1, dan PYY-3.3
Etiologi terjadinya hiperemesis hingga saat ini belum jelas. Keadaan ini biasanya
terjadi pada trimester pertama, kehamilan pertama, riwayat keluarga hiperemesis gravidarum,
mola hidatidosa dan kehamilan multipel, dan kehamilan yang tidak direncanakan. Menurut
teori yang lain, mual dan muntah pada masa kehamilan, juga memungkinkan merupakan
sebuah adaptasi evolusioner yang mencegah masuknya makanan yang dapat membahayakan.
Substansi berbahaya seperti mikroorganisme patogenik pada daging dan toxin pada sayur dan
minuman yang diawetkan. Maka dari itu, dengan menghindari menelan komponen berbahaya
tersebut,proses mual dan muntah tersebut menjadi perlindungan terhadap embrio dari
keguguran. Wawancara yang dilakukan pada 5400 wanita hamil yang mengikuti 20 penelitian
tentang gestational aversion, dan juga didapatkan 6200 wanita hamil yang didapatkan dari 21
penelitian tentang gestational cravings, menunjukkan bahwa kebanyakan wanita selama
hamil memilih kategori makanan yang seperti kurang mengandung substansi toxic. Walaupun
demikian,HEG pada tingkat yang lebih berat, selalu lebih memerlukan intervensi medis.4
Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan pada 1.301 kasus hiperemesis gravidarum di Canada diketahui
beberapa hal yang menjadi faktor risiko terjadinya hiperemesis gravidarum diantaranya
komplikasi dari kelainan hipertiroid, gangguan psikiatri, kelainan gastrointestinal, dan
diabetes pregestasional. Tidak ada bukti bahwa penyakit ini disebabkan oleh faktor toksik,
juga tidak ditemukan kelainan biokimia.10
Beberapa faktor predisposisi dan faktor lain yang telah ditemukan adalah sebagai
berikut10:
1. Primigravida, mola hidatidosa, dan kehamilan ganda. Pada mola hidatidosa dan
kehamilan ganda, faktor hormon memegang peranan dimana hormon khorionik
gonadotropin dibentuk berlebihan.
2. Masuknya vili khorialis dalam sirkulasi maternal dan perubahan metabolik akibat
hamil serta resistensi yang menurun dari pihak ibu terhadap perubahan tersebut.
3. Alergi, sebagai salah satu respons dari jaringan ibu terhadap anak.
4. Faktor psikologis

Faktor psikologis seperti depresi, gangguan psikiatri, rumah tangga yang retak,
kehilangan pekerjaan, takut terhadap kehamilan dan persalinan, takut terhadap tanggung
jawab sebagai ibu, tidak siap untuk menerima kehamilan memegang peranan yang cukup
penting dalam menimbulkan hiperemesis gravidarum.
Patofisiologi dasar hiperemesis gravidarum hingga saat ini masih kontroversial.
Hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan cadangan karbohidrat dan lemak habis
terpakai untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak yang tidak sempurna, maka
terjadilah ketosis dengan tertimbunya asam aseton asetik, asam hidroksi butirik, dan
aseton dalam darah. Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan akibat
muntah akan menyababkan dehidrasi, sehingga cairan ekstra vaskuler dan plasma akan
berkurang.10
Natrium dan khlorida darah turun, demikian juga dengan klorida urine. Selain itu
dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehigga aliran darah ke jaringan berkurang.
Hal ini menyebabkan zat makanan dan oksigen ke jaringan berkurang dan tertimbunya
zat metabolik dan toksik. Kekurangan kalium sebagai akibat dari muntah dan
bertambahnya ekskresi lewat ginjal, meningkatkan frekuensi muntah yang lebih banyak,
merusak hati, sehigga memperberat keadaan penderita.10
1) Human Chorionic Gonadotrophin (HCG)
Merupakan faktor endokrin yang paling sering dikaitkan dengan perkembangan
HEG. Kesimpulan ini berdasar pada pengamatan asosiasi antara peningkatan produksi
HCG (seperti pada mola dan kehamilan multiple) dan faktanya bahwa insidensi
hiperemesis tertinggi pada saat produksi HCG mencapai puncak selama kehamilan
(sekitar minggu ke-9 kehamilan). Walaupun demikian, tidak terdapat bukti yang
mendukung hipotesis ini dan beberapa wanita hamil tidakmengalami mual dan muntah
walaupun level HCG mengalami peningkatan. Sebagai tambahan, pasien yang mengalami
chrionic carcinoma-penyakit yang juga berhubungan dengan peningkatan HCG- biasanya
tidak mengalami muntah. Penemuan kontroversi tersebut mungkin disebabkan aktivitas
biological yang bervariasi dari isoform HCG yang berbeda, seperti sensitivitas pada
stimulus emetogenik. Tambahan, interaksi reseptor hormon dapat mempengaruhi efek
dari HCG pada beberapa kasus HEG namun tidak mempunyai konsekuensi emetic pada
yang lain.4

2) Infeksi Helicobacter Pylori


Infeksi kronik dari H. pylori dapat menyebabkan HEG. Pemeriksaan histology
pada mukosa lambung dari total 30 wanita hamil (20 pasin HEG dan 10 relawan wanita
hamil) menunjukkan bahwa bakteri terdapat pada 95% pasien HEG. Perbedaan antara 2
grup secara statistik signifikan.4
Sebuah studi lain yang menarik menemukan adanya hubungan antara infeksi
kronik Helicobacter pylori dengan terjadinya hiperemesis gravidarum. Pada studi
tersebut,

sebanyak

61,8%

perempuan

hamil

dengan

hiperemesis

gravidarum

menunjukkan hasil tes deteksi genom H. pylori yang positif,3 namun studi tersebut masih
kontroversial. Sebuah studi lain di Amerika Serikat mendapatkan tidak terdapat hubungan
antara hiperemesis gravidarum dengan infeksi H. pylori.5
Hubungan infeksi H. pylori telah diajukan, tetapi bukti belum ada. Goldberd, dkk
menunjukkan studi 14 kasus kontrol. Meskipun analisis diindikasikan, hubungan antara
H. pylori dan hiperemesis, heterogenisitas antara beberapa kelompok studi ekstensif.
Pada waktu ini, kami tidak mendiagnosis dan merawat infeksi gaster pada perempuan
dengan hiperemesis. Selain itu, H. pylori juga berhubungan dengan peningkatan risiko
terjadinya preeklampsia. Pada studi oleh Dodds dkk, insiden hipertensi dalam kehamilan
tidak berbeda antara kelompok kasus dan kontrol. H. pylori juga berhubungan dengan
defisiensi besi pada kehamilan.1,4
3) Faktor Hormonal
Beberapa hormone dapat menyebabkan hiperemesis. Hormon tersebut ada;ah
estrogen, progesterone, hormon adrenocorticotropic (ACTH), cortisol, growth hormone
dan prolactin. Bukti keterlibatan serotonin pada kemoterapi menginduksi mual dan
muntah, telah ditemukan beberapa tahun yang lalu, yang secara tidak langsung, hormone
ini mungkin mempunyai peran penting pada HEG namun hasil penelitiannya selalu
berubah-ubah. Pada sebuah penelitian prospektif pada total 33 wanita (13 mengalami
hyperemesis, 10 wanita hamil sehat, dan 10 wanita tidak hamil) kadar serotonin
diperiksa. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan antara ketiga kelompok tersebut.
a) Progesterone
Penurunan dan peningkatan kadar hormone telah dilaporkan pada pasien
hiperemesis. Perubahan ini terjadi karena perubahan yang berhubungan dengan

kehamilan pada system imun ibu. Pada sebuah studi pada 44 perempuan hamil (22
perempuan hiperemesis, dan 22 perempuan hamil sehat) menunjukkan bahwa
perempuan hiperemesis mempunya kadar progesteron lebih tinggi dibandingkan
perempuan tanpa hiperemesis. Meskipun demikian, terdapat penelitian lain yang
membuktikan sebaliknya. Progesteron mungkin mengurangi motilitas gastrointestinal
selama kehamilan.4
b) Estrogen
Peningkatan kadar estrogen dan estradiol diketahui menyebabkan mual dan
muntah selama kehamilan. Adanya hubungan antara fetus perempuan dengan mual
dan muntah, menjelaskan terjadinya peningkatan konsentrasi estrogen in utero.4
c) Hipertiroidisme
Fungsi tiroid secara fisiologis berubah selama kehamilan, termasuk stimulasi oleh
HCG. Hipertiroidisme dengan fT3 dan fT4, tetapi kadar TSH menurun, mungkin
berimplikasi pada hiperemesis gravidarum. THHG (transient hyperthyroidism of
hyperemesis gravidarum) adalah penemuan berdasarkan skrining pada perempuan
dengan peningkatan kadar HCG dan fT4. THHG mungkin bertahan hingga minggu
18 kehamilan, dan tidak membutuhkan pengobatan. Kondisi ini mungkin sebagian
disebabkan oleh kadar HCG yang tinggi dan sering dijumpai pada pasien dengan
hiperemesis gravidarum karena HCG dan TSH mempunya struktur protein yang
mirip, sehingga HCG mampu bertindak seperti TRH dan terjadi hiperstimulasi tiroid.
THHG didiagnosis berdasarkan:
a. Serologi patologis selama hiperemesis;
b. Tidak ada riwayat hipertiroid sebelum kehamilan;
c. Tidak adanya antibodi tiroid.6
4) Psikogenik
Tidak diragukan bahwa tidak semua kasus berat, terdapat hubungan psikologis.
Pada beberapa kasus, hiperemesis merupakan alasan untuk terminasi elektif.3,4
5) Defisiensi diet
Diduga cadangan karbohidrat sedikit. Selain itu, defisiensi vitamin B6, vitamin
B1, dan protein mungkin juga memberikan efek.1,5

6) Alergi atau imunologi


Laporan terbaru menunjukkan hubungan antara keparahan hiperemesis dengan
konsentrasi sel-sel bebas DNA fetus. DNA fetus berasal dari destruksi trofoblas villi yang
membatas rongga intervilli diisi dengan darah maternal. DNA fetus dihancurkan oleh
sistem imun maternal yang hiperaktif. Aktivasi fungsional dari natural killer dan sel Tsitotoksik ditemukan lebih jelas pada perempuan hiperemesis daripada tanpa hiperemesis.
Secara klinis, keparahan hiperemesis berhubungan dengan peningkatan DNA fetus. Jika
sistem imun maternal telah mentoleransi fetus, miometrium diinvasi oleh pertumbuhan
trofoblas, tetapi adanya interaksi imun antara ibu dan fetus, invasi trofoblas ke
miometrium akan menyebabkan peningkatakan konsentrasi DNA fetus dalam plasma
maternal. Hiperaktivasi sistem imun maternal akan menyebabkan hiperemesis. Lebih
lanjut, kadar TNF-alfa ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan hiperemesis, dan dapat
menjadi etiologi. Kadar IL-6 juga ditemukan memperkuat sekresi -hCG dari sel
trofoblas.5
7) Faktor lain
Faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko perawatan adalah hipertiroidisme,
riwayat kehamilan mola, diabetes, penyakit gastrointestinal, dan asma. Untuk sebab yang
tidak jelas, pada fetus perempuan risiko terjadinya hiperemesis meningkat hingga 1.5
kali.1
D. Perubahan Metabolisme, Biokimia, dan Sirkulasi
Tidak adekuatnya asupan makanan menyebabkan kekurangan glikogen. Suplai energi,
simpanan lemak dipecah. Karena karbohidrat yang rendah, terdapat oksidasi tidak lengkap
dari lemak dan akumulasi badan keton dalam darah. Aseton biasanya diekskresikan melalui
ginjal dan pernapasan. Selain itu, terjadi pula peningkatan metabolisme protein dari jaringan
endogen sehingga terjadi ekskresi berlebihan dari nitrogen nonprotein dalam urine.
Hilangnya air dan garam melalui muntah menyebabkan penurunan natrium, kalium, dan
klorida plasma. Klorida urine mungkin dibawah normal 5 mg/liter atau mungkin tidak ada.
Disfungsi hepar menyebakan asidosis dan ketosis sehingga terjadi peningkatan urea darah
dan asam urat, hipoglikemia, hipoproteinemia, hipovitaminosis, dan hiperbilirubinemia.

Dalam sistem sirkulasi, dapat terjadi hemokonsentrasi sehingga terjadi peningkatan


persentase hemoglobin, jumlah sel darah merah dan nilai hematokrit. Selain itu, terdapat
jumlah sel darah putih dengan peningkatan eosinofil. Selain itu, terjadi pengurangan cairan
ekstraseluler.7
E. Diagnosis
Diagnosis hiperemesis gravidarum ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang1,11:

Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan amenorea, tanda kehamilan muda, mual, dan muntah.
Kemudian diperdalam lagi apakah mual dan muntah terjadi terus menerus, dirangsang
oleh jenis makanan tertentu, dan mengganggu aktivitas pasien seharihari. Selain itu dari
anamnesis juga dapat diperoleh informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
terjadinya hiperemesis gravidarum seperti stres, lingkungan sosial pasien, asupan nutrisi
dan riwayat penyakit sebelumnya (hipertiroid, gastritis, penyakit hati, diabetes mellitus,
dan tumor serebri).

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perhatikan keadaan umum pasien, tanda-tanda vital, tanda
dehidrasi, dan besarnya kehamilan. Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan tiroid
dan abdominal untuk menyingkirkan diagnosis banding.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan yang dilakukan adalah darah lengkap,
urinalisis, gula darah, elektrolit, USG (pemeriksaan penunjang dasar), analisis gas darah,
tes fungsi hati dan ginjal. Pada keadaan tertentu, jika pasien dicurigai menderita
hipertiroid dapat dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid dengan parameter TSH dan T 4.
Pada kasus hiperemesis gravidarum dengan hipertiroid 50-60% terjadi penurunan kadar
TSH. Jika dicurigai terjadi infeksi gastrointestinal dapat dilakukan pemeriksaan antibodi
Helicobacter pylori. Pemeriksaan laboratorium umumnya menunjukan tanda-tanda
dehidrasi dan pemeriksaan berat jenis urin, ketonuria, peningkatan blood urea nitrogen,

kreatinin dan hematokrit. Pemeriksaan USG penting dilakukan untuk mendeteksi adanya
kehamilan ganda ataupun mola hidatidosa.
F. Diagnosis Banding
Keluhan muntah yang berat dan persisten tidak selalu menandakan hiperemesis
gravidarum. Penyebab-penyebab lain seperti penyakit gastrointestinal, pielonefritis dan
penyakit metabolik perlu dieksklusi. Satu indikator sederhana yang berguna adalah awitan
mual dan muntah pada hiperemesis gravidarum biasanya dimulai dalam delapan minggu
setelah hari pertama haid terakhir. Karena itu, awitan pada trimester kedua atau ketiga
menurunkan kemungkinan hiperemesis gravidarum. Demam, nyeri perut atau sakit kepala
juga bukan merupakan gejala khas hiperemesis gravidarum. Pemeriksaan ultrasonografi
perlu dilakukan untuk mendeteksi kehamilan ganda atau mola hidatidosa.5
Diagnosis banding hiperemesis gravidarum antara lain ulkus peptikum, kolestasis
obstetrik, perlemakan hati akut, apendisitis akut, diare akut, hipertiroidisme dan infeksi
Helicobacter pylori. Ulkus peptikum pada ibu hamil biasanya adalah penyakit ulkus
peptikum kronik yang mengalami eksaserbasi sehingga dalam anamnesis dapat ditemukan
riwayat sebelumnya. Gejala khas ulkus peptikum adalah nyeri epigastrium yang berkurang
dengan makanan atau antasid dan memberat dengan alkohol, kopi atau obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS). Nyeri tekan epigastrium, hematemesis dan melena dapat ditemukan
pada ulkus peptikum. Pada kolestasis dapat ditemukan pruritus pada seluruh tubuh tanpa
adanya ruam. ikterus, warna urin gelap dan tinja berwarna pucat disertai peningkatan kadar
enzim hati dan bilirubin.5
Pada perlemakan hati akut ditemukan gejala kegagalan fungsi hati seperti hipoglikemia,
gangguan pembekuan darah, dan perubahan kesadaran sekunder akibat ensefalopati hepatik.
Keracunan parasetamol dan hepatitis virus akut juga dapat menyebabkan gambaran klinis
gagal hati. Pasien dengan apendisitis akut biasanya mengalami demam dan nyeri perut
kanan bawah. Nyeri dapat berupa nyeri tekan maupun nyeri lepas dan lokasi nyeri dapat
berpindah ke atas sesuai usia kehamilan karena uterus yang semakin membesar. Apendisitis
akut pada kehamilan memiliki tanda-tanda yang khas, yaitu tanda Bryan (timbul nyeri bila
uterus digeser ke kanan) dan tanda Alder (apabila pasien berbaring miring ke kiri, letak nyeri
tidak berubah)5

Meskipun jarang, penyakit Graves juga dapat menyebabkan hiperemesis. Oleh karena itu,
perlu dicari apakah terdapat peningkatan FT4 atau penurunan TSH. Kadar FT4 dan TSH
pada pasien hiperemesis gravidarum dapat sama dengan pasien penyakit Graves, tetapi
pasien hiperemesis tidak memiliki antibodi tiroid atau temuan klinis penyakit Graves, seperti
proptosis dan pembesaran kelenjar tiroid. Jika kadar FT4 meningkat tanpa didapatkan bukti
penyakit Graves, pemeriksaan tersebut perlu diulang pada usia gestasi yang lebih lanjut,
yaitu sekitar 20 minggu usia gestasi, saat kadar FT4 dapat menjadi normal pada pasien
tanpa hipertiroidisme. Pemberian propiltiourasil pada pasien hipertiroidisme dapat
meredakan gejala-gejala hipertiroidisme, tetapi tidak meredakan mual dan muntah.5
G.

Manifestasi Klinis
Batasan seberapa banyak terjadinya mual muntah yang disebut hiperemesis gravidarum
belum ada kesepakatannya. Akan tetapi jika keluhan mual muntah tersebut sampai
mempengaruhi keadaan umum ibu dan sampai mengganggu aktivitas sehari-hari sudah dapat
dianggap sebagai hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum, menurut berat
ringannya gejala dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu10:

Tingkat I.
Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum penderita, ibu merasa
lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan merasa nyeri pada epigastrium.
Nadi meningkat sekitar 100 per menit, tekanan darah sistolik menurun, turgor kulit
menurun, lidah mengering dan mata cekung.

Tingkat II.
Penderita tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih menurun, lidah
mengering dan nampak kotor, nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang naik dan mata
sedikit ikterus. Berat badan turun dan mata menjadi cekung, tensi turun,
hemokonsentrasi, oliguria dan konstipasi. Aseton dapat tercium dalam bau pernapasan,
karena mempunyai aroma yang khas dan dapat pula ditemukan dalam kencing.

Tingkat III.
Keadaan umum lebih buruk, muntah berhenti, kesadaran menurun dari somnolen
sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu meningkat dan tensi menurun. Komplikasi fatal
terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai Encephalopathy Wernicke dengan gejala

nistagmus, diplopia, dan perubahan mental. Keadaan ini terjadi akibat defisiensi zat
makanan, termasuk vitamin B kompleks. Timbulnya ikterus menunjukan adanya
gangguan hati.
H. Penatalaksanaan
a) Non Farmakologi
Tata laksana awal dan utama untuk mual dan muntah tanpa komplikasi adalah
istirahat dan menghindari makanan yang merangsang, seperti makanan pedas,
makanan berlemak, atau suplemen besi.Perubahan pola diet yang sederhana, yaitu
mengkonsumsi makanan dan minuman dalam porsi yang kecil namun sering cukup
efektif untuk mengatasi mual dan muntah derajat ringan. Jenis makanan yang
direkomendasikan adalah makanan ringan, kacang-kacangan, produk susu, kacang
panjang, dan biskuit kering. Minuman elektrolit dan suplemen nutrisi peroral
disarankan sebagai tambahan untuk memastikan terjaganya keseimbangan elektrolit
dan pemenuhan kebutuhan kalori. Menu makanan yang banyak mengandung protein
juga memiliki efek positif karena bersifat eupeptic dan efektif meredakan mual.
Manajemen stres juga dapat berperan dalam menurunkan gejala mual..4
Diet pada hiperemesis gravidarum bertujuan untuk mengganti persediaan
glikogen tubuh dan mengontrol asidosis secara berangsur memberikan makanan
berenergi dan zat gizi yang cukup. Diet hiperemesis gravidarum memiliki beberapa
syarat, diantaranyanadalah:

Karbohidrat tinggi

Lemak rendah

Protein sedang

Makanan diberikan dalam bentuk kering; pemberian cairan disesuaikan dengan


keadaan pasien, yaitu 7-10 gelas per hari

Makanan mudah cerna, tidak merangsang saluran pencernaan, dan diberikan


sering dalam porsi kecil

Bila makan pagi dan siang sulit diterima, pemberian dioptimalkan pada makan
malam dan selingan malam.

Makanan secara berangsur ditingkatkan dalam porsi dan nilai gizi sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan gizi pasien
Ada 3 macam diet pada hiperemesis gravidarum, yaitu :

DietbHiperemesisbI
Diet hiperemesis I diberikan kepada pasien dengan hiperemesis gravidarum berat.
Makanan hanya terdiri dari roti kering, singkong bakar atau rebus, ubi bakar atau
rebus, dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan bersama makanan tetapi 1-2 jam
sesudahnya. Karena pada diet ini zat gizi yang terkandung di dalamnya kurang,
maka tidak diberikan dalam waktu lama.

DietbHiperemesisbII
Diet ini diberikan bila rasa mual dan muntah sudah berkurang. Diet diberikan
secara berangsur dan dimulai dengan memberikan bahan makanan yang bernilai
gizi tinggi. Minuman tidak diberikan bersamaan dengan makanan. Pemilihan
bahan makanan yang tepat pada tahap ini dapat memenuhi kebutuhan gizi kecuali
kebutuhan energi.

DietbHiperemesisbIII
Diet hiperemesis III diberikan kepada pasien hiperemesis gravidarum ringan. Diet
diberikan sesuai kesanggupan pasien, dan minuman boleh diberikan bersama
makanan. Makanan pada diet ini mencukupi kebutuhan energi dan semua zat gizi.

b) Farmakologi
Pasien hiperemesis gravidarum harus dirawat inap dirumah sakit dan dilakukan
rehidrasi dengan cairan natrium klorida atau ringer laktat, penghentian pemberian
makanan per oral selama 24-48 jam, serta pemberian antiemetik jika dibutuhkan.
Penambahan glukosa, multivitamin, magnesium, pyridoxine, atau tiamin perlu
dipertimbangkan. Cairan dekstrosa dapat menghentikan pemecahan lemak. Untuk
pasien dengan defisiensi vitamin, tiamin 100 mg diberikan sebelum pemberian cairan
dekstrosa. Penatalaksanaan dilanjutkan sampai pasien dapat mentoleransi cairan per
oral dan didapatkan perbaikan hasil laboratorium.
Resusitasi cairan merupakan prioritas utama, untuk mencegah mekanisme
kompensasi yaitu vasokonstriksi dan gangguan perfusi uterus. Selama terjadi

gangguan hemodinamik, uterus termasuk organ non vital sehingga pasokan darah
berkurang.2 Pada kasus hiperemesis gravidarum, jenis dehidrasi yang terjadi termasuk
dalam dehidrasi karena kehilangan cairan (pure dehidration). Maka tindakan yang
dilakukan adalah rehidrasi yaitu mengganti cairan tubuh yang hilang ke volume
normal, osmolaritas yang efektif dan komposisi cairan yang tepat untuk
keseimbangan asam basa. Pemberian cairan untuk dehidrasi harus memperhitungkan
secara cermat berdasarkan: berapa jumlah cairan yang diperlukan, defisit natrium,
defisit kalium dan ada tidaknya asidosis.5
Berikan cairan parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat, dan protein dengan
glukosa 5% dalam cairan garam fisiologis sebanyak 2-3 liter sehari. Bila perlu dapat
ditambahkan kalium dan vitamin, terutama vitamin B kompleks dan vitamin C, dapat
diberikan pula asam amino secara intravena apabila terjadi kekurangan protein.5
Pemberian obat secara intravena dipertimbangkan jika toleransi oral pasien buruk.
Obat-obatan yang digunakan antara lain adalah vitamin B6 (piridoksin), antihistamin
dan agen-agen prokinetik. American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) merekomendasikan 10 mg piridoksin ditambah 12,5 mg doxylamine per oral
setiap 8 jam sebagai farmakoterapi lini pertama yang aman dan efektif. Dalam sebuah
randomized trial, kombinasi piridoksin dan doxylamine terbukti menurunkan 70%
mual dan muntah dalam kehamilan. Suplementasi dengan tiamin dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya komplikasi berat hiperemesis, yaitu Wernickes
encephalopathy. Komplikasi ini jarang terjadi, tetapi perlu diwaspadai jika terdapat
muntah berat yang disertai dengan gejala okular, seperti perdarahan retina atau
hambatan gerakan ekstraokular.
Antiemetik konvensional, seperti fenotiazin dan benzamin, telah terbukti efektif
dan aman bagi ibu. Antiemetik seperti proklorperazin, prometazin, klorpromazin
menyembuhkan mual dan muntah dengan cara menghambat postsynaptic mesolimbic
dopamine receptors melalui efek antikolinergik dan penekanan reticular activating
system.

Obat-obatan

tersebut

dikontraindikasikan

terhadap

pasien

dengan

hipersensitivitas terhadap golongan fenotiazin, penyakit kardiovaskuler berat,


penurunan kesadaran berat, depresi sistem saraf pusat, kejang yang tidak terkendali,

dan glaucoma sudut tertutup. Namun, hanya didapatkan sedikit informasi mengenai
efek terapi antiemetik terhadap janin.
Fenotiazin atau metoklopramid diberikan jika pengobatan dengan antihistamin
gagal. Prochlorperazine juga tersedia dalam sediaan tablet bukal dengan efek samping
sedasi yang lebih kecil. Dalam sebuah randomized trial, metoklopramid dan
prometazin intravena memiliki efektivitas yang sama untuk mengatasi hiperemesis,
tetapi metoklopramid memiliki efek samping mengantuk dan pusing yang lebih
ringan. Studi kohort telah menunjukkan bahwa penggunaan metoklopramid tidak
berhubungan dengan malformasi kongenital, berat badan lahir rendah, persalinan
preterm, atau kematian perinatal. Namun, metoklopramid memiliki efek samping
tardive dyskinesia, tergantung durasi pengobatan dan total dosis kumulatifnya. Oleh
karena itu, penggunaan selama lebih dari 12 minggu harus dihindari.
Antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine (5HT3) seperti ondansetron mulai sering
digunakan, tetapi informasi mengenai penggunaannya dalam kehamilan masih
terbatas. Seperti metoklopramid, ondansetron memiliki efektivitas yang sama dengan
prometazin, tetapi efek samping sedasi ondansetron lebih kecil. Ondansetron tidak
meningkatkan risiko malformasi mayor pada penggunaannya dalam trimester pertama
kehamilan. Droperidol efektif untuk mual dan muntah dalam kehamilan, tetapi
sekarang jarang digunakan karena risiko pemanjangan interval QT dan torsades de
pointes. Pemeriksaan elektrokardiografi sebelum, selama dan tiga jam setelah
pemberian droperidol perlu dilakukan.
Untuk kasus-kasus refrakter, metilprednisolon dapat menjadi obat pilihan.
Metilprednisolon lebih efektif daripada promethazine untuk penatalaksanaan mual
dan muntah dalam kehamilan. Efek samping metilprednisolon sebagai sebuah
glukokortikoid juga patut diperhatikan. Dalam sebuah metaanalisis dari empat studi,
penggunaan glukokortikoid sebelum usia gestasi 10 minggu berhubungan dengan
risiko bibir sumbing dan tergantung dosis yang diberikan. Oleh karena itu,
penggunaan glukokortikoid direkomendasikan hanya pada usia gestasi lebih dari 10
minggu.5

Gambar 1. Algoritme terapi farmakologi untuk mual dan muntah dalam kehamilan 5

Tabel 1. Obat-obatan untuk tatalaksana mual dan muntah dalam kehamilan 5


c) Terapi alternatif
Terapi alternatif seperti akupunktur dan jahe telah diteliti untuk penatalaksanaan
mual dan muntah dalam kehamilan. Akar jahe (Zingiber officinale Roscoe) adalah
salah satu pilihan nonfarmakologik dengan efek yang cukup baik. Bahan aktifnya,
gingerol, dapat menghambat pertumbuhan seluruh galur H. pylori, terutama galur
Cytotoxin associated gene (Cag) A+ yang sering menyebabkan infeksi. Empat
randomized trials menunjukkan bahwa ekstrak jahe lebih efektif daripada plasebo dan
efektivitasnya sama dengan vitamin B6. Efek samping berupa refluks gastroesofageal
dilaporkan pada beberapa penelitian, tetapi tidak ditemukan efek samping signifikan
terhadap keluaran kehamilan Dosisnya adalah 250 mg kapsul akar jahe bubuk per
oral, empat kali sehari. Terapi akupunktur untuk meredakan gejala mual dan muntah
masih menjadi kontroversi. Penggunaan acupressure pada titik akupuntur Neiguan P6
di pergelangan lengan menunjukkan hasil yang tidak konsisten dan penelitiannya

masih terbatas karena kurangnya uji yang tersamar. Dalam sebuah studi yang besar
didapatkan tidak terdapat efek yang menguntungkan dari penggunaan acupressure,
namun The Systematic Cochrane Review mendukung penggunaan stimulasi
akupunktur P6 pada pasien tanpa profilaksis antiemetik. Stimulasi ini dapat
mengurangi risiko mual. Terapi stimulasi saraf tingkat rendah pada aspek volar
pergelangan tangan juga dapat menurunkan mual dan muntah serta merangsang
kenaikan berat badan.5
I. Komplikasi
Muntah berkepanjangan, sering, dan memberat dan beberapa komplikasi fatal dapat
terjadi. Derajat yang berbeda dari kerusakan ginjal akut dari dehidrasi dapat terjadi.
Kemungkinan yang lain yaitu pneumothorax, pneumomediastinum, diaphragmatic rupture,
dan rupture gastroesophageal, yaitu Boerhaave syndrome.3
Pada beberapa kasus yang berat, kadar plasma zink meningkat, Cu menurun, dan kadar
magnesium stabil. Setidaknya, pada dua kasus defisiensi vitamin,

dilaporkan terjadi

bersamaan dengan HEG. Frekuensi kejadian Encephalopathy Wernicke akibat defisiensi


vitamin, telah dilaporkan meningkat. Pada review 49 kasus serupa, dilaporkan bahwa
setengahnya

mengalami

trias

confusion, ocular

findings,

dan ataxia.

Dengan

encephalopathy ini, didpatkan hasil EEG abnormal. Setidaknya 3 kematian maternal telah
diuraikan, dengan sequele jangka panjang yaitu kebutaan, kejang, dan koma. Terakhir,
defisiensi vitamin K telah dilaporkan menyebabkan koagulopati maternal dan perdarahan
intrakranium janin.3

Gambar 1. Gambaran endoskopik rebokan Mallory-Weiss3

Anda mungkin juga menyukai