Disusun oleh:
Guruh Satriya, S.Ked
0910015038
Pembimbing:
dr. Fritz Nahusuly, Sp.B
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING
MAXILLOFACIAL TRAUMA IN THE EMERGENCY
DEPARTEMENT: A REVIEW
Disusun oleh :
GURUH SATRIYA, S.Ked
0910015038
Pembimbing,
Review
a,b
, G.A. Lee
b,c
, M. Perry d, U .
Maxillofacial Unit Royal Brisbane and Womens Hospital, Brisbane, Queensland, Australia
University of Queensland, Brisbane, Australia
c Ophthalmology Unit Royal Brisbane and Womens Hospital, Brisbane, Queensland, Australia
d Department of Oral and Maxillofacial Surgery, Ulster Hospital, Dundonald, Belfast, Northern
Ireland,
United Kingdom
e Trauma Unit Royal Brisbane and Womens Hospital, Brisbane, Queensland, Australia
a
Objektif: Pada tahun 1978 panduan Advance Trauma Life Support pertama kali
diimplementasikan dan dipandang oleh banyak sebagai gold standard perawatan
pada keadaan emergensi.
Dalam hal ini belum jelas apakah penilaian dan managemen cedera
maksilofasial termasuk dalam panduan trauma ini. Artikel ini bertujuan untuk
menyediakan suatu panduan singkat dan kontemporer dalam tatalaksana trauma
maksilofasial pada keadaan emergensi.
Metode: Suatu penelitian electronic database yang diselenggarakan oleh PubMed
dan Science Direct dari berbagai artikel sejak tahun 1970 sampai saat ini. Istilah
kunci penelitian adalah Maxillofacial, Trauma, ATLS, Advanced Trauma Life
Support, EMST, Early Management of Severe Trauma, Airway, Eye, Opthalmic
and Management. Penemuan disusun dalam suatu tinjauan artikel. Kemudian
artikel ditinjau oleh ahli dalam bidang Bedah Maksilofasial dan Oftalmologi
untuk memastikan kandungan dan akurasi kontekstual.
Hasil: Kasus cedera maksilofasial yang dihadapi oleh dokter semakin meningkat.
Tindakan resusitatif dapat menjadi kompleks dan memerlukan keputusan yang
tepat terutama dalam membebaskan jalan napas secara aman. Suatu algoritma
tatalaksana yang diusulkan untuk pasien-pasien dengan trauma maksilofasial telah
di rencanakan oleh penulis.
Kesimpulan: Artikel ini penting sekali karena penilaian dan intervensi dengan
tujuan memelihara penglihatan tidak boleh dilupakan dalam tatalaksana emergensi
pada kasus trauma maksilofasial. Kami mengusulkan suatu algoritma untuk
tatalaksana trauma maksilofasial, dan merekomendasikan penggunaan CT scan
sebagai suatu pemeriksaan penunjang yang sangat baik untuk pasien-pasien
dengan kasus trauma maksilofasial.
2013 Royal College of Surgeons of Edinburgh (Scottish charity number
SC005317) and Royal College of Surgeons in Ireland. Published by Elsevier
Ltd. All rights reserved.
Pendahuluan
Pada tahun 1978, panduan Advanced Trauma Life Support (ATLS) pertama kali
diterapkan dan dianggap sebagai standar emas (gold standard) pelayanan pada
keadaan emergensi. Dalam hal ini belum jelas apakah penilaian dan tatalaksana
cedera maksilofasial termasuk dalam panduan trauma ini. Artikel ini bertujuan
untuk menyediakan suatu panduan singkat dan kontemporer dalam tatalaksana
trauma maksilofasial pada keadaan emergensi. Cedera maksilofasial dapat terjadi
dalam isolasi, meskipun kasus tersebut seringkali dihubungkan dengan cedera
ditempat lain yang terjadi secara bersamaan dengan cedera maksilofasial.1-3
Cedera diatas klavikula awalnya muncul dalam bentuk minor tetapi dengan cepat
dapat mengalami perburukan dan kemudian menjadi kasus yang mengancam
nyawa dan penglihatan.4 Hal ini sangat penting, mengingat cedera kepala
berhubungan erat dengan trauma maksilofasial yang terjadi secara bersamaan. 1
Oleh karena itu, para dokter harus tetap mempertahankan indeks kecurigaan yang
tinggi terhadap cedera intrakranial yang tersembunyi dan penilaian kembali harus
dilakukan secara reguler dan periodik. Antara 8.1% dan 22% cedera traumatik
terlupa (missed injury) selama penilaian awal.5,6
Metode
Suatu penelitian electronic database telah diselenggarakan oleh PubMed dan
Science Direct dari berbagai artikel sejak tahun 197 sampai sekarang. Istilah kunci
pada penelitian adalah Maksilofasial, Trauma, ATLS, Advanced Trauma Life
Support, EMST, Early Management of Severe Trauma, Airway, Eye, Opthalmic
4
and Management. Penelitian terbatas pada Bahasa Inggris dan manusia. Semua
abstrak dan artikel teks penuh (full text) yang tersedia dibaca untuk
mengidentifikasi daftar informasi yang berhubungan. Suatu penelitian tulisan
tangan dari daftar referensi artikel yang terpilih telah dilakukan. Penelitian
dilakukan pada mesin pencari (search engine) multipel yang lain dan website
pemerintah menggunakan kata kunci yang sama. Artikel relevan dipilih oleh dua
penulis pertama. Artikel ini kemudian ditinjau oleh ahli pada bidang bedah
maksilofasial dan oftalmologi untuk memastikan kandungan dan akurasi
kontekstual.
Diskusi
Jalan napas (airway)
Trauma maksilofasial menempatkan jalan napas pada risiko. Risiko ini
dipersulit oleh kondisi intoksikasi alkohol, dan selanjutnya penurunan kesadaran,
kehilangan refleks jalan napas dan kecenderungan alkohol untuk menginduksi
muntah.7,8 Pergeseran jaringan akibat trauma, oedema, perdarahan, benda asing
seperti gigi palsu atau lepasnya gigi, semua kondisi tersebut dapat berperan dalam
menyumbat jalan napas (gambar 1).9
Risiko ini diperburuk oleh posisi pasien yang telentang atau tertahan.
Memastikan patensi jalan napas merupakan hal yang penting sekali melalui
5
inspeksi langsung dan penghisapan orofaring.10 Pada pasien dengan fraktur fasial,
terutama suatu fraktur mandibular, aktivitas menelan akan terganggu karena nyeri,
sehingga proses pembersihan jalan napas akan terhambat.11 Pasien yang dapat
berbicara bukan berarti jalan napasnya tidak memiliki risiko (gambar 1). Oleh
karena itu, diperlukan penilaian ulang secara regular.
Memperbolehkan pasien yang sadar untuk duduk berdiri merupakan suatu
arti yang efektif untuk memastikan patensi dalan napas (gambar 2) tanpa intubasi,
tetapi hal ini seringkali tidak dapat dipraktekkan terutama pada pasien dengan
kecurigaan cedera tulang belakang.7 Melakukan maneuver jaw thrust, atau pada
kasus fraktur mandibula bilateral atau comminuted, melakukan traksi anterior
pada segmen yang mengapung merupakan suatu jalan yang efektif bagi operator
tunggal untuk membuka jalan napas,10 meskipun tidak mengamankan jalan napas
dalam mencegah aspirasi. Traksi dapat memperburuk perdarahan oral dan hal ini
harus dipertimbangkan manfaat yang diperoleh.
Pasien-pasien
trauma
harus
diberikan
oksigen
aliran
tinggi
dan
melalui non-rebreather mask (NRM) sebesar 15 liter atau melalui bag dan mask,
meskipun usaha ini dapat terhambat oleh perubahan anatomi yang terjadi akibat
trauma.7
Jika jalan napas tidak aman, maka segera buat keputusan untuk membebaskan
jalan napas definitif tingkat lanjut.9 Intubasi endotrakeal merupakan standar emas
dalam melindungi jalan napas pada keadaan emergensi awal. 12 Kekurangan pada
pendekatan ini adalah kehilangan komunikasi dengan pasien yang sadar
yangmana dapat menghalangi penggalian informasi dan penilaian klinis, terutama
pada penilaian neurologis dan okuler.7
Intubasi endotrakeal emegensi merupakan suatu keahlian yang memerlukan
pelatihan yang signifikan dan staff yang tidak berpengalaman harus memanggil
asisten senior untuk melakukan prosedur tersebut, hal ini terutama pada kasuskasus pada keadaan trauma maksilofasial. Jika suatu praktisi tidak merasa nyaman
memasukkan suatu endotracheal tube (ETT), mereka dapat mempertimbangkan
pemakaian Laryngeal Mask Airway (LMA) sampai suatu jalan napas yang lebih
aman dapat diinsersikan.13 Meskipun LMA merupakan suatu tabung bermanset, ia
tidak menyediakan perlindungan pada jalan napas selama ia dapat mengotori
trakea, dan dapat menginduksi muntah pada pasien dengan keadaan setengah
sadar. Suatu trolley intubasi yang sulit berisi beberapa perlengkapan jalan napas
emergensi seperti bougie, McCoy blade, retrograde intubation kit dan laringoskop
yang dibantu oleh video harus ada. Perlengkapan tersebut penting terutama ketika
jalan napas telah dinilai sebagai potensial bahaya (gambar 3).
pembedahan
harus
dipertimbangkan.
Suatu
tinjauan
multicenter
Menggunakan
suatu
semi-rigid
Laerdal
Stifneck
cervical
collar
yang dapat menambah rasa percaya diri pada skenario ini adalah the National
Emergency X-Radiography Utilization Study (NEXUS)26 dan the Canadian CSpine Rule (CCR).27 Pasien-pasien trauma maksilofasial harus dipertimbangkan
memiliki risiko tinggi dalam algoritma ini, membuat tindakan mereka menjadi
terbatas.
Eksklusi klinis dibuat tidak mungkin oleh cedera yang mengacaukan, suatu
perubahan Glasgow Coma Scale (GCS) atau intoksikasi obat dan alkohol. 7 Jika
tidak dapat membersihkan tulang belakang servikal secara klinis, maka computed
tomography scan (CT-scan) harus dilakukan sebagai pilihan modalitas
pencitraan.13,28,29
Para dokter harus waspada terhadap cedera tulang belakang servikal dan halhal yang sering berkaitan dengannya, seperti cedera wajah tengah (midface)
dihubungkan dengan gangguan pada C5-7, whilst trauma pada wajah bagian
bawah lebih sering dihubungkan dengan gangguan C1-4.9,30
Sirkulasi
Perdarahan terjadi sekitar 30-40% mortalitas trauma.31,32 Meskipun perdarahan
maksilofasial jarang mengancam nyawa, namun ketika terjadi kasus tersebut
diperlukan intervensi yang tepat.33,34 Whilst bleeding dari regio maksilofasial dapat
menjadi dramatis dan mengkhawatirkan dokter yang hadir pada saat kejadian,
perdarahan maksilofasial jarang menyebabkan hipotensi yang dalam. Para klinisi
harus mencari penyebab lain dari kehilangan darah dan syok pada pasien
hipotensi.
Perdarahan dari sebagian besar lokasi maksilofasial akan dapat diidentifikasi.
Hal ini mungkin tidak menjadi kasus pada laserasi oksipital, dimana C-spine
collar dan imobilisasi dapat membuat kesulitan untuk mengidentifikasi sumber
perdarahan.32 Daerah yang kaya akan pembuluh darah pada wajah bagian tengah
yang berasal dari arteri karotis interna dan eksterna bilateral memiliki anastomosis
yang multipel yang dapat menjadi permasalahan dalam mengontrol perdarahan. 9,34
Pasien-pasien dengan cedera wajah bagian tengah mayor atau panfasial
memerlukan tatalaksana secara cepat dan observasi secara ketat ketika mereka
dapat memburuk dengan cepat.35
10
11
Mata (Eyes)
Cedera okuler secara seringkali terjadi pada trauma fasial. Insiden dari
komplikasi oftalmik pada fraktur fasial dilaporkan sebesar 13% dengan cedera
yang mengancam penglihatan terjadi sebesar 0.8%. 37 Cedera ini biasanya
dihubungkan dengan fraktur wajah tengah atau frontal.38,39
Cedera okuler seringkali terlupa atau salah diagnosis pada keadaan trauma. 40
Perubahan
tingkat
kesadaran,
cedera
yang
mengacaukan
atau
tidak
formal pada fungsi okuler dapat dilakukan setelah Airway, Breathing, Circulation
dan Disability datang dibawah memimpin E untuk mata (eyes).38
Pemeriksaan okuler mencakup penilaian ketajaman penglihatan pada setiap
mata, refleks cahaya pupil, pergerakan mata, lapangan pandang, pemeriksaan
segmen eksternal dan anterior, pemeriksaan untuk suatu refleks merah dari retina,
aspek luar dan dalam (eversi ganda) dari kelopak mata.9,40 Tajam penglihatan
merupakan prioritas untuk menilai prognosis. Penilaian dapat menjadi suatu
pemeriksaan disamping (bedsite test) yang sederhana; CF count finger (hitung
jari); HM hand movement (pergerakan tangan); PL perception of light
(persepsi cahaya) atau NPL no perception of light (tidak ada persepsi cahaya).41
Suatu formal eye chart tidak diperlukan pada keadaan trauma. Aspek lain pada
pemeriksaan memerlukan modifikasi berdasarkan tipe cedera. Sebagai contoh,
eversi ganda (double-eversion) pada kelopak mata tidak harus dilakukan pada
kasus kecurigaan cedera mata penetrasi.
Edema, ekimosis, ptosis, hipertelorisme, eksoftalmos, dan enoftalmos harus
dicatat.40 Funduskopi juga direkomendasikan tetapi tidak tepat atau tidak dapat
dipercaya pada keadaan trauma karena kurangnya perlengkapan atau sifat dari
cedera.38 Jika pupil secara farmakologis berdilatasi, obat, dosis, dan waktu
pemberian harus dicatat untuk memastikan suatu pupil yang berdilatasi tidak
keliru akibat suatu perburukan status neurologis. Obat-obatan lain mencakup
narkotik akan menyebabkan miosis.
Proptosis harus dinilai pada semua kasus cedera kepala. Hal ini terjadi pada
3% pasien trauma mayor,42 dan dapat dengan mudah terlupakan jika pemeriksaan
spesifik tidak dilakukan. Proptosis dapat disebabkan oleh herniasi jaringan, edema
orbital, dan gangguan endokrin. Perdarahan retrobulbar merupakan suatu
penyebab proptosis yang secara potensial dapat reversibel, dan terjadi pada
keadaan akut mengikuti trauma orbital. Hal ini karena suatu perdarahan
intrakonal, yangmana menyebabkan suatu sindrom kompartemen. Tanda-tanda
klinis mencakup proptosis, perdarahan subkonjungtival difus dengan ekstensi
posterior
dan
tekanan
intraokuler
yang
meningkat.
Funduskopi
dapat
menunjukkan pulsasi arteri retina sentral dan lipatan choroid. 40 Jika tanda ini
muncul, maka pemeriksaan CT scan mata (orbital) harus dilakukan untuk
13
14
15
16
Kesimpulan
Para dokter yang bekerja di departemen emergensi mengalami peningkatan
paparan terhadap cedera maksilofasial mayor. Akurasi penilaian awal dan
tatalaksana pada cedera maksilofasial ini merupakan hal yang vital. Tindakan
resusitatif dapat menjadi kompleks dan memerlukan keputusan yang tepat
terutama memperoleh suatu jalan napas yang aman. Suatu algoritma tatalaksana
yang diusulkan untuk pasien-pasien trauma maksilofasial tercakup pada gambar 6.
Perdarahan, muntah, intoksikasi, cedera intrakranial yang berhubungan dengan
fraktur servikal dan fasial dapat menyulitkan beberapa tindakan resusitasi. Hal ini
penting bahwa penilaian dan intervensi yang memelihara penglihatan tidak
terlupakan
dalam
managemen
emergensi
trauma
maksilofasial.
Kami
17
18
7.
19