Suatu malam saat menemani putranya belajar, seorang ibu menghardik anaknya Aduh
kok kamu lambat banget sih nangkapnya?",..dah mama bilangin, berkali-kali gak ngertingerti juga, dasar anak bodoh !!! kalo sekarang kamu aja udah males banget mau jadi
apa kamu besar nanti? bisa-bisa cuma jadi pecundang.....
Dan banyak lagi ungkapan kejengkelen kita sebagai orangtua kepada anak kita, ketika
sang anak melakukan sebuah tindakan yang menurut kita "bodoh, nakal, lemot, dan
sejenisnya, padahal sebenarnya belum tentu begitu adanya keadaan si anak.
Apakah bila dia belum nangkap isi pelajaran yang kita ajarkan berarti anak kita lambat,
atau karena dia gak fokus kalau kita nasehatin berarti anak kita kurang ajar, atau kalau
dia melakukan hal yang udah kita larang berarti dia mau melawan......
Belum tentu seperti itu karena anak punya daya tangkap dan pemahaman yang berbeda
dari kita bahkan kalau kita mau lebih bersabar dan bertanya pada anak kita kenapa dia
mengambil keputusan dengan melakukan tindakan itu, bisa jadi alasannya membuat kita
tercengang.....
Banyak orangtua berdalih supaya si anak ngerti bahwa perbuatannya itu salah dan
berharap si anak merubah prilakunya dengan segera, tetapi si orangtua lupa bahwa si
anak sudah terlanjur terluka. Hingga boro-boro mau mengerti kesalahannya dan
merubahnya,bisa-bisa yang terjadi sebaliknya, sianak menjadi bertambah berprilaku
buruk dan bermental buruk.
Dalam ilmu psikologi apa yang dilakukan ibu tadi dinamakan labeling yaitu pemberian
nama atau sindiran, negatif atau positif, pada diri seseorang. Tindakan ini sering kita
lakukan spontan, tanpa sadar dan sengaja. Jika labeling yang terucap bernuansa positif,
seperti anak pandai, itu akan indah terdengar dan menyisakan efek positif. Namun,
jika label yang diberikan negatif dan kata-kata yang kurang enak didengar, seperti
kamu bodoh, dasar penakut, dasar anak gak tau diuntung, dan sebagainya, tentunya
efek negatifnya tak terhindarkan. Apalagi jika pelabelan diucapkan bersama emosi dan
kecewa terhadap anak.
Labeling negatif pada anak sering terjadi, karena orangtua cenderung menaruh harapan
dan obsesi terlampau besar kepada si anak. Tapi kenyataannya si anak tak mampu
menggapainya. Jika labeling ini sering terjadi pada anak, dampaknya akan menurunkan
minat, semangat, motivasi, bahkan akan mempengaruhi rasa percaya diri anak.
Biasanya, labeling yang dilontarkan keluarga dekat, seperti ayah, ibu, kakak, atau adik,
memiliki pengaruh besar pada anak yang bersangkutan.
Menurut Mary Sheedy Kurcinka, penulis buku Raising Your Spirited Child (Harper
Collins, 1992), label negatif dapat membuat anak kesulitan membangun harga diri (selfesteem) yang baik. Kurcinka berpendapat labeling tidak hanya berpengaruh terhadap
perilaku anak tetapi juga perlakuan orang tua itu sendiri. Orang tua yang menggunakan
kata positif daripada label negatif cenderung bertindak kepada anaknya dengan perilaku
dan penghargaan yang lebih baik.
Labeling negatif akan terus menyertai dalam pembangunan karakter anak. Dampaknya
banyak sekali, di antaranya timbul rasa kurang percaya diri, dan luka hati juga akan
terus bersemai di hati si anak. Selain itu, semangat dan motivasi untuk berprestasi anak
juga akan menurutn. Parahnya, anak yang dilabelkan negatif, cenderung akan menarik
diri dari lingkungan sosial. Labeling negatif pada anak juga akan mendidiknya untuk
tidak santun kepada orang lain. Labeling negatif akan lebih berbahaya, jika tidak segera
dikikis dan dibiarkan menjadi karakter anak.
Untuk mengikis kebiasan labeling negatif, perlu tekad dan pengetahuan. Juga,
kesadaran orangtua kebiasaan mereka itu berdampak sangat negatif pada psikologis
anak. Jika itu disadari, orangtua harus mulai belajar untuk memberi label positif kepada
anaknya.