Anda di halaman 1dari 7

Kisah Keluarga Penderita HIV/AIDS

Mar2
Cerpen ini aku buat ketika iseng-iseng mencari reviu acara Kick Andy. Karena gak terlalu
sering melihat televisi, aku lebih mengandalkan jaringan internet untuk berburu
informasi. Alhasil aku menemukan kisah tentang keluarga penderita HIV/AIDS, dan kisah
ini menjadi akar dari tulisanku ini. Semoga tidak terlalu jauh dengan reviu yang kubaca
ya, hehehe
Jangan Bedakan Kami !

Hai sobat, namaku Secilia Putri Sasmito. Putri, begitulah mereka memanggilku. Aku duduk di
bangku kelas 1 SMP. Kebahagiaanku bersama mama papa sedikit demi sedikit terkikis setelah
kepergian papa. Aku kesepian. Biasanya papa sering mengajakku jalan-jalan setiap akhir pekan.
Ada mama dan papa yang bergantian menemaniku bermain. Kini mama lah satu-satunya
temanku di rumah. Aku senang sobat, memiliki mama seperti mamaku. Mama selalu
menemaniku bermain dan belajar. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah aku membantu mama
memasak untuk sarapan pagi. Suatu hari ku lihat kemurungan di wajah mama. Itu semua garagara aku sobat. Akhir-akhir ini aku tidak memperhatikan pola makanku, nafsu makanku semakin
hari semakin berkurang. Aku sering demam sobat. Malam hari yang suhunya terkenal panas di
kota Pahlawanku ini aku sering merasakan kedinginan yang mahadahsyat. Aku sering menggigil
kedingin setiap malam, padahal suhu tubuhku waktu itu hampir 390.

Karena aku yang selalu demam, akhirnya mama pergi ke RS untuk memeriksakan kondisiku.
Mama khawatir akan kesehatanku. Aku tahu itu. Sebetulnya aku juga takut sobat, aku takut
terkena penyakit demam berdarah (DB) karena suhu tubuhku naik turun seperti tapal kuda yang
sering aku lihat pada sebuah iklan di televisi.

Di ruangan yang serba putih dengan segala perabot medis di sekelilingku. Seorang dokter cantik
mulai memeriksaku. Menyoroti mataku dengan sebuah lampu, seperti lampu senter namun lebih
kecil. Aku kurang tahu apa tujuan Bu Dina menyoroti mataku dengan benda itu. Yang aku
rasakan, aku kurang suka dengan proses pemeriksaan itu. Cahaya yang dikeluarkan lampu itu
membuat mataku memburam, terlalu terang untuk melihat keadaan di sekitarku. Hanya sesaat,
namun aku memang kurang suka, lebih tepatnya kurang nyaman. Dan yang terakhir, Bu Dina
menyiapkan sebuah suntikan kosong.
Dok, itu untuk apa? Kenapa Putri harus disuntik? Putri sakit apa?
Putri tenang ya, Ibu belum bisa memberitahu tentang penyakit apa yang di derita Putri saat ini.

Ibu membutuhkan sampel darah Putri untuk di tes di laboratorium. Supaya Ibu tahu persis apa
yang kini membuat Putri sering sakit demam
Sobat, pernahkah darah kalian di tes di laborat? Ini pengalaman pertamaku sobat. Bu Dina
menekan lengan tangan kananku. Katanya sih untuk memudahkan Bu Dina dalam mencari posisi
yang tepat sebelum mengambil darahku agar tidak terjadi pembengkakan di tangan kananku. Ku
ikuti semua perintah Bu Dina. Ku kepalkan tangan kananku sebelum bu Dina memasang
torniquet, semacam tali, sekitar sepuluh sentimeter di atas lipat sikuku. Setelah yakin dengan
pembuluh venaku, bu Dina membersihkan bagian kulitku yang nantinya akan ditusuk oleh jarum
suntik dengan menggunakan cairan bening. Rasanya dingin seperti meresap di pori-pori kulitku.
Seperti alkohol, ya mungkin itu alkohol. Setelah cairan alkohol itu kering, bu Dina mulai
menusukkan jarum untuk mengambil darahku.
Ketika jarum suntik itu sudah berhasil masuk melalui kulitku, cairan tubuhku terasa tersedot.
Darahku mulai masuk pada wadah dimana jarum suntik itu terpasang. Setelah dirasa cukup, bu
Dina melepaskan tusukan jarum suntik itu dan menutup bekas tusukan jarum dengan kapas.
Sobat, tahukah kalian? Entah mengapa aku mulai senang dengan dunia kesehatan. Dari
pemeriksaan itu aku tahu banyak tentang alat-alat medis. Berkat bibirku yang cerewet ini aku
mendapatkan pengetahuan tambahan dari penjelasan singkat yang diberikan oleh bu Dina.
Torniquet, squit, dua nama alat medis yang aku dapatkan setelah stetoskop yang aku dapatkan
dulu ketika aku duduk di bangku Sekolah Dasar.

Proses pemeriksaan hari itu telah usai, bu Dina meminta agar kami sabar menunggu hasil laborat
keluar untuk mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan aku sering demam. Untuk menekan
tingginya suhu tubuhku, bu Dina hanya memberikan beberapa obat untuk ku minum sembari
menunggu kepastian dari hasil laborat yang kami tunggu.
***

Esok hari, cuaca di luar sangat cerah. Dengan baju kemeja putih dan celana hitam dengan hiasan
bando pita hitam untuk melengkapi penampilanku. Ku temani mama melangkah ke RSUD
Sutomo, tempat dimana empat hari yang lalu kami bertemu dengan Bu Dina. Aku bersyukur,
pagi ini aku sudah sehat sobat. Aku tidak demam lagi. Namun, di lengan tangan kananku bagian
atas, kutemui beberapa bercak merah seperti luka cacar seperti yang dialami Rina, teman
sekolahku yang seminggu lalu terpaksa tidak masuk sekolah karena sakit cacar air. Apa mungkin
aku tertular Rina? Ah, sudahlah. Yang aku pikirkan saat ini, semoga aku tidak sakit DB. Semoga
hanya sakit demam biasa, ya maksimal sakit cacar air karena tertular Rina.
Selamat pagi Dok sapa mama kepada Bu Dina.
Iya pagi jawab Bu Dina singkat. Bu Dina berbeda sobat, bu Dina tak seramah empat hari yang
lalu. Wajahnya sedikit ketus, dan terkesan terburu-buru.
Maaf Bu, kami kesini untuk melihat hasil laborat anak saya Putri

Oh iya, ini hasilnya. Bisakah saya berbicara empat mata dengan Anda saja bu Vivi? Ada hal
penting yang harus saya sampaikan pada Anda. Pinta bu Dina yang diikuti perintah mama agar
aku menunggu mama di luar ruangan.

Apa yang terjadi padaku sobat? Samar-samar kudengar bu Dina menyebut penyakitku dengan
sebutan HIV. Tubuh ini seketika dingin ketakutan. Aku tidak percaya sobat, aku pernah melihat
sebuah berita di televisi tentang penyakit itu. Penyakit yang hingga kini belum ditemukan
obatnya. Aku merasa tidak percaya. Setauku, dari berita di televisi itu, penyebab HIV dari free
sex dan jarum suntik yang digunakan secara bergantian oleh pengguna narkoba. Apakah aku
pantas menerima ganjaran ini, sedangkan aku tak pernah menjamah kedua hal negatif itu. Aku
masih terlalu bau kencur untuk mendengar penyakit HIV. Mata ini hampir berair, namun ku
tahan agar tak membuat mama sedih. Kudapati mama mengusap kedua matanya dengan tisu
ketika keluar dari ruangan bu Dina.
Mama, Putri sakit apa?
Mama mengajakku duduk diruang tunggu,
Putri sehat, Putri tidak sakit apa-apa kok sayang, kemarin Putri cuma demam. Yang penting
mulai sekarang Putri harus makan teratur, berdoa supaya selalu sehat dan doakan mama ya
supaya mama mendapatkan pekerjaan untuk kehidupan kita sayang jelas mama yang ia tutup
dengan pelukkannya. Semakin lama semakin erat. Dengan iringan isakan yang mama tahan agar
ku tak mendengarnya. Tapi tetap saja dengan jelas kudengar isakan mama, karena mama
menangis tepat di samping telinga kiriku.

Kini mama tak seperti dulu sobat. Mama sering melamun sambil menangis. Aku kurang tahu
penyebab apa yang kini membuat mama sering menangis. Mungkin mama merindukan papa
yang kini telah berada di surga terlebih dahulu. Papaku itu jago main gitar lho sobat, makanya
dulu sebelum papa meninggal rumahku tak pernah sepi. Setiap malam papa selalu memetik
senar-senar gitar dan diikuti nyanyian mama. Tapi itu dulu. Kini rumahku sepi tanpa papa. Aku
merindukan papa..

Mama temenin Putri belajar IPA yuk Ma..


Putri belajar sendiri dulu ya, nanti Mama nyusul. Mama pusing sayang. Pinta mama dengan
sedikit lesu. Hatiku pilu. Niatku mengajak mama belajar agar mama tidak murung lagi ditolak
mama. Kulangkahkan kaki berbalik arah menuju kamar dengan kepala tertunduk. Saat-saat
seperti inilah yang membuatku semakin merindukan papa. Andai papa masih ada,pasti papa akan
menemaniku.

Luka di lengan tangan kananku tak kunjung kering sobat. Semakin hari semakin gatal. Sesuai
perintah mama, aku tak pernah menggaruk lukaku itu. Hanya kutaburi bedak dingin untuk
mengurangi rasa gatal pada lukaku. Hari ini aku malas belajar sobat, apalagi tanpa ada mama
yang membimbingku. Pikiranku terpusat pada luka dan vonis penyakit yang diucapkan bu Dina
tempo hari. HIV. Ada perasaan marah di sini. Ada pula tanda tanya besar di sini. Pertanyaan yang
selalu muncul untukku, darimana asal mula aku mendapatkan penyakit menjijikkan ini? Kepala
manakah yang tega menitipkan segumpal virus yang kini telah merajalela dan mulai mencampuri
setiap mili darahku. Apakah mama? Ataukah papa? Setiap elihat mama sebenarnya aku ingin
menanyakan ha ini agar aku peroleh kepastian dari mulut mama, tapi sepertinya mama kurang
suka jika hal ini ku lakukan. Aku bingung sobat.. biarlah penyakit ini menari-nari bersama segala
kebingunganku.

Mataku jauh menerawang. Menerka-nerka tentang penyakit yang kini bersarang di tubuhku. Lalu
memikirkan papa yang kini jauh dari kami. Aku yakin pasti sekarang papa sedang bersedih
melihat mama. Papa jangan bersedih, Putri disini janji akan menjaga mama dan
membahagiakan mama. Ucapku lirih mengantarkan mataku tertutup karena kantuk. Kudengar
seretan kaki perlahan-lahan datang mendekatiku. Menciumi pipiku, dan membopongku
memindahkanku ke ranjang. Mama kembali menciumiku. Maafkan mama sayang, mama baru
menyadari. Ternyata kita mengidap penyakit yang sama. Gara-gara mama kamu jadi menderita.
Mungkin inilah penyebab utama meninggalnya papamu. Barang haram yang dipakai papamu
dulu membuatmu menderita sayang.. Maafkan mama, maafkan papamu Putri.. Mama berjanji
akan mencari pekerjaan untuk pengobatanmu nak. Biarkan mama yang menanggung
penderitaan ini. Anak mama harus sembuh.

Aku masih mampu mendengar jelas. Ternyata aku mengidap penyakit yang ditularkan oleh papa.
Yang lebih dulu menulari mama sebelum penyakit iku kini juga menggerogoti kesehatanku. Aku
takut sobat. Ternyata aku tidak hanya sakit demam. Ternyata yang diucapkan bu Dina benar. Aku
seorang penderita HIV. Mata ini semakin kurapatkan, agar mama tak melihat mataku yang mulai
berkaca-kaca. Rasa gatal di lengan tanganku ternyata bukan hanya cacar air seperti yang diderita
Rina beberapa hari yang lalu. Ini salah satu gejala yang muncul pada penderita HIV sobat.

Tuhan lah yang pertama kali pihak yang kusalahkan. Mengapa Tuhan mengutukku seperti ini?
Aku tak perah sekalipun menjamah barang-barang haram itu. Bahkan untuk memikirkannya saja
tak terlintas sedikitpun di otakku. Jujur sobat, aku sempat membenci papa setelah mendengar
bisikan mama yang bercampur tangis. Papa yang membuat kami menderita. Karena hobi papa
mengkonsumsi narkoba aku dan mama juga menanggung akibatnya.

Akhir-akhir ini aku jarang masuk sekolah sobat. Demamku yang biasanya hanya tiga atau empat
hari kini intervalnya semakin panjang. Kondisiku melemah. Aku semakin marah dengan mama.
Kata-kata nasehatnya tak pernah ku dengar. Aku merasa malas berbicara dan menatap wajah
mama sobat. Apalagi melihat mama yang hanya berdiam diri dirumah dan hanya memegang
sebuah map ketika menunggu telepon rumah berbunyi. Hanya itu yang dilakukan mama. Aku
menyesalkan usaha mama, mengapa setelah mama memebagi penyakitnya ini mama hanya
berdiam diri, mengapa mama tidak mencarikan obat untuk aku? Apakah mama merelakan
tubuhku yang tidak bersalah ini meninggal bersama virus sumber masalah untuk hidupku ini
sobat?

sudah pukul enam lebih, kenapa Putri tidak segera siap-siap ke sekolah? Buruan mandi sayang,
apa kamu tidak ingin belajar IPA lagi di sekolah? ucap mama yang ia tutup dengan batuk-batuk
kecil dan gerakan menata syal di lehernya.
Putri gak enak badan Ma. Jawabku ketus sambil berlalu meninggalkan mama berada di depan
pintu kamarku.
Awalnya aku memutuskan untuk tidak masuk kelas karena aku malu dengan temen-temanku
sobat. Bercak-bercak merah yang gatal ini semakin meluas. Begitu pun mama. Karena kondisi
yang semakin parah itu, kami dikucilkan sobat. Rupanya mereka, orang-orang disekitarku, mulai
mencium bau penyakit hina kami. Perasaan penasaran mereka mendorong mulut mereka untuk
segera menanyakan pada mama. Mama orangnya jujur sobat, tidak seperti aku. Aku hingga detik
ini tidak berani mengatakan dengan jujur pada orang yang menanyakan penyakitku. Berbeda
dengan mama, beberapa hari yang lalu tetangga sebelah rumah menanyakan tentang sakit mama.
Dengan senyuman mama menjawab HIV. Senyum miris sobat.

Tuhan masih ada sayang. Meskipun mereka mengucilkan kita, masih ada Tuhan yang baik
dengan kita. Masih sudi memberi nafas untuk kita. Biarkanlah mereka mencibir kita. Putri harus
ikhlas. Yang terpenting, kita tidak melukai hati mereka. Yang lebih terpenting lagi, Putri dan
mama harus kembali berbaik hati dengan Tuhan. Supaya Tuhan menyiapkan obat untuk kita
jelas mama dengan penuh kehati-hatian. Keharuan menyelimuti kami di ruang tengah.
Mama, kenapa Tuhan tega menitipkan penyakit ini untuk Putri? Putri merasa tidak ernah
menyakiti Tuhan. Tapi kenapa Tuhan menyakiti Putri seperti ini? Putri masih ingin bermain
dengan teman-teman, Putri masih ingin bahagia menjalani masa-masa remaja Putri. Mengapa
penyakit ini merusak kebahagiaan Putri ma?tanyaku ke mama yang membuat kami kembali
terisak.
Maafkan mama Putri, mama yang terlalu jahat sama Putri, membiarkan Tuhan menitipkan
penyakit ini pada Putri. Maafkan mama sayang. Putri yang sabar. Mama masih berusaha
mencarikan obat buat Putri. Putri anak mama pasti sembuh.

Melihat mama yang menangis dan memohon maaf untukku rasanya tak tega sobat. Benar
memang aku marah dengan Tuhan, papa, dan juga mama. Tapi melihat mama, melihat ucapan
mama barusan, membuat hatiku tak tega memarahai mereka dan juga Tuhan. Aku tak ingin urapura menjadi gadis yang ikhlas menerima penyakit ini begitu saja. Biarkan hatiku sendiri yang
mencari jalan apakah harus ikhlas menerima takdir atau menjadi sosok yang pendendam baik ke
papa mama maupun Tuhan.

Bagaimana Pak dengan surat lamaran pekerjaan saya? Apakah diterima atau tidak?
.
Iya Pak, ada. Saya pp..pen..penderita HIV/AIDS.

Bukankah kemarin Bapak mengatakan bahwa masih ada lowongan pekerjaan Pak?
.
Tapi Pak.
Wajah mama kecewa sobat, sepertinya mama gagal mendapatkan pekerjaan lagi karena
pengakuan mama. Mengapa jujur. Padahal keluarga kami sangat sedang membutuhkan biaya
untuk berobat. Apakah aku yang terlalu egois atau mama yang kurang lihai mengambil hati
bapak-bapak diseberang telpon sana.
***

Tiga bulan merasakan penderitaan dirumah bersama mama. Dikucilkan. Ditolak mentah-mentah
oleh berbagai RS karena alasan yang berbagai macam. Mulai dari peralatan RS yang terbatas,
hingga penyakit kami terlalu beresiko bagi para dokter jika menolong penyembuhan kami.

Pada suatu pertemuan di salah satu acara televisi Kick Andy, aku dan mama diundang secara
langsung oleh pihak Kick Andy sebagai narasumber. Sebenarnya aku malu sobat. Tapi mama
terus mendesakku. Mama bilang, aku tidak perlu malu. Aku harus tetap ikhlas. Berangkat dengan
niat membagi pengalaman agar orang-orang lain lebih waspada dalam bergaul, begitulah nasehat
mama. Di acara itu aku bertemu dengan Ibu Nafsiah Mboi dan Bapak Baby Jim Aditya. Mereka
semua baik sobat. Jauh dari apa yang sudah aku takutkan sebelum aku berada di tempat ini.
Mereka tidak jijik melihat aku dan mama. Ibu Nafsiah orangnya berjilbab, cantik, usianya jauh di
atas mama. Ibu Nafsiah bertubuh agak gemuk. Bu Nafsiah baik sobat, mau duduk bersampingan
denganku dan mama. Ya meski tetap ada jarak antara kami. Tapi tidak sejauh tetangga-

tetanggaku di dekat rumah. Apalagi duduk bersampingan dengan aku dan mama, untuk menyapa
kami saja mereka mereka tak sudi. Hanya senyuman sinis yang mereka berikan pada kami.

Di sana, kami menceritakan semua unek-unek kami. Mama yang lebih sering bicara. Mulai dari
awal mula terinfeksinya kami karena virus-virus itu, hingga penolakan-penolakan beberapa RS
di Surabaya selatan untuk merawat kami. Mengetahui hal itu, dengan senang hati Bu Nafsiah
memberikan kartu nama untuk kami. Kartu nama yang bertuliskan Panti Rehabilitasi HIV/AIDS,
adalah sebuah yayasan dimana para penderita HIV/AIDS ditampung dan menurutku untuk
mengembalikan mental para penderita HIV/AIDS, seperti aku, akibat pendiskriminasian
masyarakat. Bu Nafsiah menawarkan pada kami untuk tinggal di panti rehabilitasi yang beliau
sarankan. Aku senang sobat. Ternyata masih ada orang yang peduli pada kami. Peduli ketika
kami mengidap penyakit yang membuat semua orang jijik pada kami. Paling tidak di sana nanti
aku tidak akan mendapatkan cibiran lagi dari para tetangga. Terima kasih Tuhan. Terima kasih
Pak Andy. Terima kasih Bu Nafsiah berkat cahaya darimu, aku mampu berharap kembali.

Anda mungkin juga menyukai

  • DENDAM
    DENDAM
    Dokumen10 halaman
    DENDAM
    Riyanti Deti Sone
    71% (7)
  • Menjaga Kesucian
    Menjaga Kesucian
    Dokumen5 halaman
    Menjaga Kesucian
    Riyanti Deti Sone
    Belum ada peringkat
  • Home
    Home
    Dokumen2 halaman
    Home
    Riyanti Deti Sone
    Belum ada peringkat
  • ๑
    Dokumen2 halaman
    Riyanti Deti Sone
    Belum ada peringkat
  • 1
    1
    Dokumen2 halaman
    1
    Riyanti Deti Sone
    Belum ada peringkat
  • SNSD Fun Facts
    SNSD Fun Facts
    Dokumen12 halaman
    SNSD Fun Facts
    Riyanti Deti Sone
    Belum ada peringkat