Sarwoko Mangkoedihardjo
Karya ini oleh Sarwoko Mangkoedihardjo adalah dibawah lisensi Creative Commons Attribution
3.0 Unported License, yang mengijinkan penggunaan, penyebaran dan pengembangan
karya ini pada medium apa saja dengan menyebutkan sumber aslinya secara benar.
This work by Sarwoko Mangkoedihardjo is licensed under the Creative Commons Attribution 3.0 Unported License,
which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.
To view a copy of this license, visit http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/ or send a letter to
Cr e ati ve Co m m o ns , 17 1 S ec o n d St re e t, S uit e 3 00 , S an F ra n cis co , Ca lif or ni a, 9 4 10 5 , US A .
English version of the Professors speech is published by International Network for Scientific Information.
Open access www.insinet.net/jasr_october_2007.html
Journal of Applied Sciences Research, 3 (10): 1037-1044, 2007
2007, INSInet Publication
Phytotechnology Integrity in Environmental Sanitation for Sustainable Development
Sarwoko Mangkoedihardjo
Laboratory of Environmental Technology, Department of Environmental Engineering, Sepuluh
Nopember Institute of Technology, Campus ITS Sukolilo Surabaya, Indonesia 60111.
Abstract: The paper reviews the essential roles of reinvention technology, focusing on the use of plants
for design and process in environmental sanitation. Phytostructure consists of greenspace area and
distribution which are addressed to sequestrate carbon dioxide released by human activities and to prevent
environmental impact respectively. Cities may conduct an assessment for the required area based on
population number and its distribution according to the local physical conditions. Phytoprocesses are
controlling factors for quality of environmental resources to save quantity and sustainability. Conservative
substances will be controlled by phytostabilization followed by rhizofiltration, phytoextraction and
phytovolatilization to some extent, while non-conservative contaminants will undergo all processes.
Phytosacrifice to disaster offers innovations in impact prevention due to natural disaster. Lesson from the
extent of tsunami wave height, travel distance, and in analogy to open channel flow, it can be expected
that coastal greenspace is promising measure to suppress wave travel into inland. Phytotoxicology is
essential for using wastewater irrigation that should not create a risk towards crops. General assurance for
safe and healthy living components and environmental media are addressed as well by the subject. These
are challenging subjects in scientific innovations and can be put in reality for international consensus on
sustainable development.
Keywords: Phytostructure, phytoprocesses, phytosacrifice, phytotoxicology
ACKNOWLEDGEMENTS
The author wishes to thank and honor Sepuluh
Nopember Institute of Technology and Ministry of
National Education of Indonesia for the professors
speech is made possible.
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim.
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Yang terhormat:
Ketua dan anggota Senat; Ketua dan anggota Dewan Penyantun; Pimpinan Institut,
Lembaga, Biro, Fakultas, Jurusan, Program Studi, Dosen, Karyawan dan Mahasiswa di
lingkungan ITS; Pejabat Sipil, Polri dan TNI; Undangan sekalian; dan Keluarga.
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rakhmat-NYA. Terima kasih
kepada Senat ITS atas penyelenggaraan sidang terbuka pengukuhan jabatan Guru Besar,
yang diembankan kepada saya berdasar keputusan Menteri Pendidikan Nasional,
terhitung mulai tanggal 1 Juni 2007. Terima kasih kepada para hadirin sekalian atas
penghargaan kehadiran pada acara ini.
Hadirin yang saya muliakan,
Perkenankan saya untuk mengawali orasi ini dengan mengenalkan identitas jabatan
Guru Besar Ilmu Sanitasi Lingkungan dan Fitoteknologi. Fitoteknologi telah
dimanfaatkan manusia pada 3000 tahun SM sebagai teknologi alamiah tumbuhan, yang
mempunyai misi penyehatan lingkungan dalam mendukung kesehatan manusia. Misi
fitoteknologi tersebut adalah sama dengan misi teknologi sanitasi lingkungan.
Perbedaan fitoteknologi dan sanitasi lingkungan terletak pada perlakuan proses:
alamiah dan buatan manusia; dan manajemen materi: loop dan linier. Perbedaan kedua
teknologi disinergikan dalam platform jejaring keilmuan sanitasi lingkungan dan
fitoteknologi: silfi. Silfi memperkaya dan memperkuat cara penyelesaian masalah
lingkungan yang makin kompleks. Pendalaman silfi dijiwai oleh kompetensi akademik
saya, yang diperkuat melalui visi ITS mengenai wawasan lingkungan dan visi PBB
mengenai sustainable sanitation: susan. Cakupan susan meliputi penyediaan air
minum dan sanitasi, keragaman hayati dan pengelolaan ekosistem, energi,
produktivitas pertanian dan kesehatan. Cakupan silfi adalah sama dengan susan, yang
mengkhususkan tumbuhan sebagai teknologi alamiah sanitasi lingkungan. Kekhususan
tersebut memerlukan platform keilmuan setidaknya mencakup ilmu-ilmu terapan
lingkungan, mikrobiologi, ekotoksikologi dan ekologi tumbuhan. Itu sebabnya kata ilmu
mendahului dua domain teknologi dalam identitas jabatan, dengan maksud sebagai
penciri komitmen pengembangan keilmuan untuk melaksanakan tri darma pendidikan,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
-1-
Sebagai pelaksanaan komitmen itu, saya telah menyiapkan sebuah karya ilmiah,
yang diperlakukan setara karya ilmiah akademik: skripsi, tesis dan disertasi. Perlakuan
tersebut dijiwai oleh visi saya dalam pengembangan keilmuan: tanpa batas keilmuan,
tempat dan waktu; visi ITS mengenai pengakuan internasional; dan deklarasi PBB
mengenai International Year of Sanitation 2008. Atas dasar itu, maka pendalaman
keilmuan dilakukan terhadap hasil paparan visi dan misi ilmiah di hadapan Senat Komisi
Guru Besar ITS pada tanggal 11 Oktober 2006. Pendalaman keilmuan itu digali menuju
visi ITS dalam pengembangan ilmu dan pembangunan berwawasan lingkungan, yang
ditujukan khusus untuk pembangunan berkelanjutan. Kelanjutan pendalaman keilmuan
tersebut menghasilkan sebuah tema kajian, yakni integritas fitoteknologi dalam
integrasinya dengan sanitasi lingkungan. Maknanya adalah bahwa tumbuhan
mempunyai kemampuan dan taat azas dalam mendaur ulang materi secara alamiah,
sehingga menjadikan fitoteknologi setara teknologi konservasi sumber daya
lingkungan, yang esensial dalam pembangunan berkelanjutan. Tema kajian tersebut
mengarahkan penelusuran substansi terhadap 19 hasil penelitian dan publikasi yang
relevan dalam periode 2001-2007 dengan penguatan 51 referensi sejenis. Sebuah
manuskrip telah disusun dan dilanjutkan dengan penilaian oleh International Network
for Scientific Information pada bulan Juli 2007. Hasilnya adalah publikasi professors
speech berjudul Phytotechnology Integrity in Environmental Sanitation for
Sustainable Development dalam Journal of Applied Sciences Research pada bulan
Oktober 2007. Setara dengan penyelesaian karya ilmiah akademik, maka perkenankan
saya mengakhiri perlakuan karya ilmiah tersebut dengan membacakan terjemahan isi
utamanya dengan tambahan pengantar ringkasan permasalahan* dan ilustrasi contoh**
pada sidang terbuka Senat ITS saat ini.
PENDAHULUAN
*Hadirin yang saya hormati,
secara linier. Pengelolaan linier menunjuk nutrien yang semestinya berguna bagi
tumbuhan menjadi terbuang dan mengakibatkan masalah pencemaran badan penerima
air. Dalam format konkret pembangunan berkelanjutan diperkenalkan istilah sanitasi
lingkungan berkelanjutan yang mencakup penyediaan air minum dan sanitasi,
keragaman hayati dan pengelolaan ekosistem, energi, produktivitas pertanian dan
kesehatan[2]. Format itu jelas memperhitungkan komponen makhluk hidup, yang secara
khusus adalah tumbuhan. Sebagai contoh adalah irigasi pertanian menggunakan air
limbah. Irigasi air limbah mampu meningkatkan produktivitas bahan pangan pada
tingkat 30 % lebih tinggi dibanding irigasi menggunakan air berikut pupuk[66]. Dalam
catatan sejarah sanitasi lingkungan menunjukkan bahwa praktek dimaksud telah
dilakukan di Yunani pada 3000 tahun SM[1]. Periode berikutnya terdapat kegelapan
sejarah sanitasi yang terintegrasi dengan pertanian selama 4500 tahun. Tetapi, sejarah
sanitasi muncul kembali dalam kurun waktu tahun 1531-1897, ketika Jerman dan
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat menggunakan lahan termasuk tumbuhan
sebagai pengolah air limbah[54]. Pada awal abad XXI sampai kini, beberapa orang
mengklaim bahwa penggunaan kembali materi adalah paradigma baru dalam
penyelesaian masalah lingkungan. Tetapi yang mungkin benar adalah orang baru
menyadari tentang kemustahilan menghilangkan materi, dan karena itu materi
seharusnya dikonversi atau dipulihkan untuk penggunaan kembali.
Pemulihan materi dan nutrien telah berkembang melalui pendekatan
fitoteknologi[15,19,58-61]. Secara umum, fitoteknologi adalah penerapan ilmu dan teknologi
untuk mengkaji dan menyiapkan solusi masalah lingkungan dengan menggunakan
tumbuhan. Fitoteknologi digunakan untuk memperluas pengertian mengenai pentingnya
tumbuhan dan peranannya dalam sistem kehidupan masyarakat dan lingkungan. Konsep
fitoteknologi adalah memusatkan tumbuhan sebagai teknologi lingkungan hidup yang
mampu menyelesaikan masalah lingkungan. Sedangkan proses tumbuhan untuk
menyerap, mengambil, mengubah dan melepaskan kontaminan dari satu medium ke
medium lain digunakan istilah fitoremediasi. Dalam tinjauan teknologi dan proses itu
memperjelas fitoteknologi sebagai cara pendekatan berbasis alam dalam penyelesaian
masalah lingkungan. Dengan demikian integrasi fitoteknologi ke dalam sanitasi
lingkungan konvensional tidak lain adalah format sanitasi lingkungan berkelanjutan.
Pendekatan khusus sanitasi lingkungan berkelanjutan adalah kesetimbangan teknologi
alamiah dan buatan manusia dalam kerangka menutup jejaring materi dan nutrien.
Karya ini memformulasikan subjek-subjek fitoteknologi secara komprehensif dan
kelayakan penerapannya dalam sanitasi lingkungan berkelanjutan dengan tujuan untuk
-3-
mendukung konsensus internasional dan komitmen Indonesia pada Agenda 21. Agenda
ini mencakup tiga azas pembangunan berkelanjutan yaitu manfaat ekonomi,
kesejahteraan masyarakat dan pencegahan dampak negatif pada lingkungan. Agenda
jangka pendek adalah untuk mencapai tujuan pembangunan milenium yang
menunjukkan pembaruan komitmen dalam pengentasan kemiskinan dan perbaikan
kesalahan aktivitas kehidupan manusia pada masa lalu. Kita ketahui bahwa tujuan
pembangunan milenium tersebut telah disepakati masyarakat internasional pada tahun
2000 yang mencakup 8 tujuan, 18 sasaran dan 48 indikator keberhasilannya.
Penyediaan air minum masuk dalam keseluruhan isi agenda dan sanitasi dasar masuk
dalam agenda itu tahun 2002[18].
*Hadirin yang saya hormati, infrastruktur penyediaan air minum dan sanitasi adalah fasilitas
kebutuhan dasar bagi penduduk. Infrastruktur tersebut perlu dijaga, yang didekati melalui
pengaturan fitostruktur ruang terbuka hijau. Pendekatan itu mengarahkan pengembangan
metode baru penetapan luas ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk dan pengaturan
sebarannya mengikuti kondisi fisik daerah setempat.
Fitostruktur Kota: Fitostruktur, dalam hal ini struktur ruang terbuka hijau (RTH)
adalah semua lahan hijau yang dinyatakan dalam pendistribusian dan luasan RTH[49].
Lahan hijau dapat berbentuk apa saja seperti jajaran pohon sepanjang jalan, pepohonan
sepanjang sungai, taman, tempat bermain, kuburan, kebun, dan banyak lainnya
termasuk di tempat pembuangan sampah. RTH telah menjadi kesatuan program
pembangunan di banyak negara dan diintensifkan untuk mengatasi pemanasan global
disebabkan peningkatan karbon dioksida di udara. Bahkan dalam kerangka pelaksanaan
perdagangan emisi karbon dunia maka percepatan pengadaan RTH dimaksudkan untuk
menyerap karbon dioksida ke dalam jaringan tumbuhan. Beberapa program RTH juga
difokuskan menggunakan tanaman pangan sebagai upaya penting untuk pengadaan
bahan pangan dan pekerjaan[3,4,40,56] sesuai tujuan pembangunan milenium.
Pendekatan tradisional dalam penetapan luas RTH adalah berdasarkan persentase
luas kota. Kebanyakan literatur mencatat luas RTH berkisar antara 20 % sampai 40 %
luas kota[67]. Belakangan ini, peraturan pemerintah Indonesia PP 63/2002[45] tentang
hutan kota mengatur luas RTH minimum 10 % luas kota. Peraturan itu menggantikan
instruksi menteri dalam negeri[17], yang menginstruksikan luas RTH minimum 40 % luas
kota. Luas RTH minimum dalam peraturan baru lebih kecil dibanding dalam instruksi
lama dan juga dalam UU 41/1999[62] tentang kehutanan, yang menetapkan luas hutan
minimum sebesar 30 % luas daerah aliran sungai. Filosofi penetapan luas RTH adalah
-4-
tidak jelas, karena itu metode baru telah dikembangkan berdasarkan jumlah
penduduk[25,49]. RTH berbasis jumlah penduduk telah dibuat berdasarkan metodologi
kesetaraan penggunaan air berikut ini.
Baik manusia maupun tumbuhan memerlukan air untuk respirasi dan menghasilkan
karbon dioksida. Tetapi tumbuhan bertanggung jawab menyerap karbon dioksida
sebagai takdir prosesnya menjalankan fotosintesis. Penggunaaan air adalah
berfluktuasi yang bergantung kepada aktivitas manusia. Fluktuasi penggunaan air
dalam hubungan dengan jumlah penduduk adalah data untuk menghitung satuan volume
reservoir air. Postulat yang digunakan adalah fluktuasi penggunaan air akan diikuti oleh
fluktuasi emisi karbon dioksida, meskipun kejadian waktu antara penggunaan air dan
lepasan karbon dioksida adalah berbeda. Analog dengan penggunaan fluktuasi
penggunaan air, maka fluktuasi emisi karbon dioksida dapat digunakan untuk
menghitung satuan volume reservoir karbon dioksida. Reservoir karbon dioksida itu
tidak lain adalah RTH sebagai analogi reservoir air. Kesetimbangan volumetrik
digunakan untuk emisi karbon dioksida dan penyerapannya. Volume karbon dioksida
-5-
dari hasil aktivitas penduduk terdistribusi ke seluruh media lingkungan kota. Media
lingkungan kota terdiri dari tanah, air, dan udara, serta tumbuhan sebagai medium
hidup. Untuk skala yang ditentukan pada volume media lingkungan kota, diperoleh
satuan luas RTH adalah semakin kecil sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Contoh diberikan untuk kota Surabaya yang mempunyai luas kota 340 Km2 dengan
jumlah penduduk 2.8 Juta (2000) dan 3.2 Juta (2005). Satuan RTH kota ini seharusnya 18
m2 jiwa-1 dan 17 m2 jiwa-1 pada tahun-tahun dimaksud, dan luas RTH semestinya 51 Km2
(2000) dan 55 Km2 (2005). Penetapan RTH secara rinci dapat ditinjau dalam Samudro dan
Mangkoedihardjo[49]. Metode itu menyampaikan pesan penting bahwa luasan RTH tidak
dapat digeneralisasi dan diatur untuk semua kota, kecuali sebaran RTH.
Berkaitan dengan peraturan, maka penyebaran RTH dapat dinyatakan secara umum
mengikuti kondisi alamiah. RTH didistribusikan sepanjang sungai dan lahan basah[27] di
mana terdapat ketersediaan air untuk keperluan fotosintesis. Aturan ini sesuai dengan
teknik pengelolaan zona riparian (ekoton)[14,22,46,58] yang merupakan lahan berhubungan
langsung, atau dalam pengaruh, dengan badan air[22]. Selain itu, RTH didistribusikan
membujur lintasan sinar matahari[49] yang secara efektif penting bagi fotosintesis,
dengan demikian, arah utara-selatan akan lebih baik dibanding arah timur-barat. Secara
khusus adalah kondisi topografi kota yang mempengaruhi intensitas sinar matahari dan
-6-
juga dampak lingkungan. Intensitas sinar matahari adalah lebih tinggi di dataran tinggi
dibanding dataran rendah. Dari sudut ini maka distribusi RTH adalah lebih luas di
dataran tinggi daripada dataran rendah untuk menjamin ketersediaan energi
fotosintesis. Hal itu memperkuat pemikiran tradisional dan praktek konvensional bahwa
penghijauan di dataran tinggi adalah untuk memaksimumkan intersepsi air hujan ke
dalam tanah bagian hulu. Selanjutnya, penempatan itu juga memaksimumkan
ketersediaan air tanah dan menekan limpasan air hujan di permukaan lahan, yang
akhirnya mengurangi daerah banjir di lahan bagian hilir. Analisis mendalam mengenai
sebaran RTH secara topografi dapat ditinjau lebih lanjut dalam Mangkoedihardjo[35].
*Hadirin yang saya hormati, pengaturan fitostruktur adalah penting dan diperlukan untuk
pengelolaan kuantitas lingkungan. Sedangkan pengelolaan kualitasnya merupakan subjek
fitoproses. Delapan ragam fitoproses tersedia, yang mencakup perpindahan dan transformasi
kontaminan oleh tumbuhan, dan pengendalian kontaminan dan air tanah oleh tumbuhan pada
musim kemarau dan penghujan.
Kajian Fitoproses: Kita telah mengetahui dengan baik bahwa pertumbuhan tumbuhan
memerlukan air dari tanah dan karbon dioksida dari udara. Air tanah diserap sejalan
dengan proses transpirasi, yang umumnya berjalan di hari terang. Pada tanah tercemar,
tumbuhan dan/atau kombinasinya dengan mikroba tanah akan melakukan imobilisasi
dan pengambilan zat kimia. Kemampuan tumbuhan untuk mengeliminasi kontaminan
telah didokumentasikan dengan baik[19,21,23,29,31,69,39,43,48,51,53,57,59-61]. Proses pengurangan
kontaminan oleh tumbuhan dikenal sebagai fitoremediasi, yang mencakup delapan
proses. Penulis menggunakan istilah fitoproses guna pemanfaatan tumbuhan dalam
penyelesaian berbagai masalah pengolahan seperti sumber air, air limbah dan lindi,
yang secara deskriptif diketengahkan berikut ini.
Fitostabilisasi, inaktivasi tempat, atau hiperaukumulasi adalah proses imobilisasi
kontaminan dalam tanah. Rizofiltrasi, fitofiltrasi, atau fitoimobilisasi merujuk proses
adsorpsi atau presipitasi kontaminan pada akar atau penyerapan ke dalam akar,
sedangkan rizodegradasi atau penguatan biodegradasi rizosfer adalah proses
penguraian kontaminan dalam tanah oleh aktivitas mikroba, yang mendapat pasokan
sumber karbon organik dari tumbuhan, yang dikenal sebagai eksudat akar tumbuhan.
Fitoekstraksi, fitoakumulasi, fitoabsorpsi, atau fitoserapan adalah proses pengambilan
kontaminan dan terdistribusi ke dalam berbagai organ tumbuhan. Fitodegradasi,
fitolignifikasi, atau fitotransformasi adalah penguraian kontaminan yang terserap
melalui proses metabolik dalam tumbuhan, atau penguraian kontaminan di luar
-7-
**Ragam fitoproses
Sumber Air: Bermula dari evaporasi air laut, penguapan tersebut adalah proses
alamiah pengolahan air laut menjadi air tawar dan diberikan cuma-cuma. Dengan
anggapan permukaan daratan ditumbuhi penuh bangunan dan hunian dengan cara
membabat RTH, maka hujan turun akan segera lepas ke laut. Bahkan, air daratan
memerlukan pengolahan menggunakan teknologi manusia seperti pengendapan dan
penyaringan[50] yang memerlukan sumber daya dan tidak gratis. Fitoteknologi
dikombinasikan dengan ekohidrologi adalah upaya untuk mengurangi intensifikasi
teknologi manusia dan sekaligus memperlama waktu tinggal air di daratan[58].
Disamping menyimpan air, kualitas air dapat diperbaiki melalui fitoproses.
Daerah tropika atau tempat dengan dua musim menjadikan fitoteknologi begitu
penting, karena pencahayaan harian matahari berlangsung 12 jam sangat
mempengaruhi fluktuasi musim dan hujan. Fluktuasi musim berlangsung dua kali
setahun menghasilkan volume besar sumber air pada musim hujan dan volume kecil
sumber air pada musim kemarau. Berdasarkan metode kesetimbangan air maka dapat
dideduksi kebutuhan besar volume reservoir air. Dalam kesamaan skala tinggi air maka
diperlukan kebutuhan besar luas RTH. Apabila daerah tidak mempunyai cukup luasan
RTH, yang menunjukkan volume simpanan air tidak memenuhi neraca air tahunan, maka
hasilnya adalah kekurangan air pada musim kemarau dan banjir musim penghujan.
Kecukupan luas RTH setara reservoir air menjadikan fitoteknologi penting dalam
pengelolaan neraca air daerah tropik.
-9-
Pengolahan Limbah: Indeks pompa tumbuhan adalah berguna untuk memilih jenis
tumbuhan terutama untuk sanitasi setempat, yang diterapkan pada bidang
evapotranspirasi[28,29], dan di mana ketinggian muka air tanah adalah tinggi.
Mangkoedihardjo[34] melakukan kajian bagi enam jenis tumbuhan pada simulator bidang
evapotranspirasi. Semua jenis tumbuhan uji yaitu bayam, kacang tanah, rumput gajah,
-10-
nyamplung, ketapang dan mengkudu memperlihatkan rasio Et/E lebih dari 1. Rasio Et/E
tinggi disertai RGR tinggi diperlihatkan secara nyata oleh bayam, kacang tanah dan
rumput gajah. Rasio Et/E rendah dan RGR rendah adalah karakteristik nyamplung dan
ketapang. Fakta tersebut menjelaskan bahwa air diserap dan digunakan untuk
pertumbuhan jaringan tumbuhan. Sedangkan tumbuhan mengkudu (Morinda citrafolia)
mempunyai rasio Et/E tinggi dengan RGR rendah, yang menyatakan tumbuhan itulah
sebagai pompa tumbuhan sebenarnya dan cocok untuk diterapkan pada bidang
evapotranspirasi. Prospek indeks pompa tumbuhan untuk pengolahan sumber air adalah
penerapan RTH pesisir. Tumbuhan yang adaptif terhadap garam laut seperti mangrove
dapat berperan untuk kontrol hidrolik dan imobilisasi garam, dengan cara itu maka air
tawar daratan dapat diamankan. Jadi, RTH pesisir merupakan penghalang kontaminan
dan mengamankan ketersediaan air tawar secara berkelanjutan.
**Fitoteknologi pesisir
Fitoteknologi dapat diarahkan untuk pengolahan limbah. Air limbah perkotaan dan
industri dipertimbangkan sebagai sumber masalah serius lingkungan perkotaan. Banyak
studi telah dilakukan untuk masalah tersebut dan didokumentasikan dengan
baik[5,8,11,12,33,41,42,68,70]. Perhatian khusus diberikan kepada limbah organik bersifat sulit
terurai biologis karena dapat bertahan lama di lingkungan. Eliminasinya dilakukan
melalui pengolahan pendahuluan untuk meningkatkan rasio BOD/COD sehingga mudah
terurai biologis (biodegradable). Peningkatan rasio BOD/COD kecil dapat dilakukan
secara pengolahan fisik menggunakan proses hidrotermal[16,20,52,65], oksidasi fotokatalisa
ultra violet[6], dan ozonasi[64]; secara pengolahan kimiawi dengan penambahan
karbohidrat[13]; secara pengolahan mikrobial menggunakan kombinasi proses anaerobik
-11-
dan aerobik[7,47]. Suatu pilihan penggunaaan eksudat tumbuhan adalah menjanjikan yang
telah diteliti oleh Mangkoedihardjo[23,30]. Eksudat mengandung asam organik, fenol,
ensim dan protein yang semuanya mudah terurai biologis. Suatu campuran limbah
organik dengan rasio BOD/COD kecil dan eksudat dengan rasio BOD/COD tinggi dapat
menghasilkan limbah organik mudah terurai biologis. Fakta tersebut menunjuk
fitoteknologi dapat diterapkan mendahului proses mikrobial pengolahan limbah.
harus dijamin untuk mendapatkan kualitas kompos yang baik, sehingga menuju
tercapainya industri kompos dan pemasaran yang kompetitif. Mangkoedihardjo[32] telah
membuat penilaian kembali kedua indeks dan menganjurkan bahwa kematangan
kompos mempunyai rasio C/N kurang dari 14, yang sesuai dengan stabilitas rasio
BOD/COD kurang dari 0.1. Kematangan kompos adalah ukuran kompos yang bersifat
kondusif bagi pertumbuhan tanaman[63] yang secara langsung berkaitan dengan
fitoteknologi.
-13-
Tumbuhan Korban: Indonesia menjadi salah satu negara di mana telah mengalami
bencana alam setingkat gelombang tsunami. Bencana tsunami di Aceh dan Sumatera
Utara terjadi pada 26 Desember 2004 dan dilaporkan sebagai bencana global pertama di
dunia. Aliran gelombang laut menjalani daratan sejauh 6 Km dengan tinggi gelombang
sebanding dengan bangunan bertingkat tiga, sekitar ketinggian 15 m. Perhatian
terhadap bencana alam yang penuh ketidaktentuan maka pendekatan pencegahan
adalah menekan dampak kejadian. PP 30/2005[44] menyiapkan cara-cara rehabilitasi dan
pencegahan, tetapi suatu rancangan rinci harus dilakukan.
Untuk itu, model hidrolika dapat digunakan dengan anggapan bahwa angka
kekasaran pantai penuh RTH adalah sekitar tiga kali angka kekasaran pantai tanpa RTH
(dari berbagai literatur hidrolika). Dengan menggunakan rumus Manning untuk hidrolika
saluran terbuka maka kita akan memperoleh bentang RTH sebesar 700 m tegak lurus
garis pantai guna mengeliminasi tinggi gelombang yang sama. Tetapi tinggi gelombang
tsunami tidak dapat diprediksi, sehingga spasi RTH sebesar 1 Km mungkin cukup aman.
Tentu saja, luasan RTH seharusnya mencakup sepanjang pantai untuk pertimbangan
keamanan pencegahan dampak. Ukuran RTH sebesar itu bisa saja hancur ketika terjadi
tsunami, dan tumbuhan itulah yang dikorbankan daripada mengorbankan manusia.
Kajian terinci model hidrolika RTH pesisir didokumentasikan dalam Mangkoedihardjo[38].
-14-
Prof Wahyono Hadi dan Prof Joni Hermana, yang selalu konstruktif dalam merespon
identitas khusus Guru Besar. Kepada Jurusan Teknik Lingkungan, terutama penghargaan
tinggi saya sampaikan kepada para dosen sejak berdirinya embrio jurusan, dan terima
kasih mendalam kepada seluruh karyawan, mahasiswa dan alumni di mana pun berada
atas segala dukungan pengembangan keilmuan lingkungan.
Kepada mitra ilmuwan di dalam dan luar negeri, yang dalam 3 tahun terakhir ini
memperkuat keilmuan secara global. Penguatan keilmuan itu menjadikan spirit saya
untuk lebih bermanfaat bagi pengembangan keilmuan ke depan. Secara khusus
dilayangkan ucapan terima kasih tanpa batas kepada tim manajemen International
Network for Scientific Information (Pakistan, India, Jordan, Mesir dan Inggris), yang
mempublikasikan karya ilmiah untuk maksud pengukuhan ini. Juga kepada Prof Yetrie
Ludang, Jurusan Kehutanan Universitas Palangka Raya, atas kerjasama dan dukungan
spontan publikasi karya ilmiah.
Kepada jajaran pimpinan beserta seluruh karyawan pada Jurusan Teknik
Lingkungan, FTSP dan BAUK ITS, yang dalam 2 tahun ini memproses administrasi
penyiapan promosi sampai penyerahan SK ke tangan saya. Demikian juga atas
spontanitas perhatian secara menyeluruh untuk penyelenggaraan sidang terbuka tanpa
kekurangan apapun. Untuk semua itu, saya sampaikan terima kasih mendalam.
Kepada Menteri, Sekretaris Jenderal, Tim Penilai Pusat Jabatan Fungsional Dosen dan
jajaran Departemen Pendidikan Nasional, yang dalam 1 tahun memproses promosi. Atas
kepercayaan dan penetapan Guru Besar ini, saya sampaikan penghargaan tinggi.
Kepada para hadirin sekalian, yang begitu sabar mengikuti acara pengukuhan
sampai selesai pada hari ini. Saya mengucapkan terima kasih mendalam disertai
permohonan maaf atas kekurangan substansial yang ada.
Sikap dasar ke-tiga tumbuhan mengakhiri ucapan terima kasih untuk membuka
harapan baru. Tumbuhan mengajarkan: tiap pangkasan tumbuhan sehat akan diikuti
pertumbuhan tunas-tunas baru. Sikapnya menjadi contoh bagi saya, semoga senantiasa
tahan uji dalam menghadapi berbagai masalah dan pantang surut mengembangkan
tunas keilmuan serta regenerasi tunas ilmuwan yang makin baik.
Mengakhiri orasi, saya memohon doa para hadirin sekalian untuk kemudahan
pelaksanaan tugas saya ke depan dan perkenankan saya memanjatkan doa tiada henti
berikut ini: Dengan nama Allah yang maha pemurah dan maha penyayang. Tiada
henti permohonanku mendapat ampunan-MU atas segala kesalahan menjalankan
tugas kehidupan. Tiada henti permohonanku mendapat perlindungan-MU agar
-19-
senantiasa rendah hati, ikhlas, tahan uji dan mampu menjalankan tugas
kehidupan ke depan. Tiada henti puji syukurku atas segala anugerah-MU. Amin.
Syukur alhamdulillah, semoga Allah senantiasa memberikan taufik, hidayah dan inayahNYA kepada kita semua. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
REFERENSI
1. Angelakis, AN, MHF Marecos de Monte, L. Bontoux, and T. Asano. 1999. The Status of
Wastewater Reuse Practice in the Mediterranean Basin: Need for Guidelines. Water
Research, 33 (10): 22012218.
2. Annan, KA. 2002. Toward A Sustainable Future. Environment, 44 (7): 10-15. ProQuest, USC,
Los Angeles, 8 May 2004. Available at http://www.proquest.com
3. Bakker, N., M. Dubbeling, S. Guendel, U. Sabel-Koschella, and H. de Zeeuw, 2000. Growing
Cities, Growing Food Urban Agriculture on the Policy Agenda. DSE, Eurasburg, Germany.
4. Baumgartner, B., and H. Belevi, 2001. A Systematic Overview of Urban Agriculture in
Developing
Countries.
EAWAG/SANDEC.
Available
at
http://www.sandec.ch/urban_agri/Aindex.html.
5. Bich, N.N., M.I. Yaziz, and N.B.K. Bakti, 1999. Combination of Chlorella vulgaris and
Eichhornia crassipes for wastewater N removal. Water Research, 33 (10): 2357-2362.
6. Bolduc, L. and W.A. Anderson. 1997. Enhancement of the biodegradability of model
wastewater containing recalcitrant or inhibitory chemical compounds by photocatalytic preoxidation. Biodegradation, 8 (4): 237-249.
7. Borglin, S.E., Hazen, T.C., and C.M. Oldenburg. 2004. Comparison of aerobic and anaerobic
biotreatment of municipal solid waste. Air & Waste Management Association, 54: 815-822.
8. Briggs, G.G., R.H. Bromilow, and A.A. Evans, 1982. Relationship between Lipophilicity and
Root Uptake and Translocation of Non-ionized Chemicals by Barley. Pesticide Science, 13:
495504.
9. Burken, J.G., and J.L. Schnoor, 1998. Predictive Relationships for Uptake of Organic
Contaminants by Hybrid Poplar Trees. Environmental Science & Technology, 32 (21): 33793385.
10. Burken, J.G., and J.L. Schnoor, 1999. Distribution and Volatilization of Organic Compounds
Following Uptake by Hybrid Poplars. International Journal of Phytoremediation, 1 (2): 39151.
11. Caicedo, J.R., O.A. Van Der Steen, and H.J. Gijzen, 2000. Effect of Ammonia N Concentration
and pH on Growth Rates of Duckweed. Water Research, 34(15): 3829-3835.
-20-
12. Coleman, J., K. Hench, K. Garbutt, A. Sexstone, G. Bissonnette, and J. Skousen, 2001.
Treatment of Domestic Wastewater by Three Plant Species in Constructed Wetlands. Water,
Air, and Soil Pollution, 128: 283295.
13. De Lucas Martinez Antonio, Canizares Canizares Pablo, Rodriguez Mayor Lourdes, Villasenor
Camacho Jos. 2001. Short-term effects of wastewater biodegradability on biological
phosphorus removal. J. Environmental Engineering, 127 (3): 259-265.
14. DER-Department of Environmental Resources, 1999. Low-Impact Development Design
Strategies, An Integrated Design Approach. Prince Georges County, Maryland. P 150
15. Flathman, P.E, and G.R. Lanza. 1998. Phytoremediation: Current Views on an Emerging Green
Technology. Journal of Soil Contamination, 7: 415432.
16. Henze, M., Gujer, W., Mino, T., Matsuo, T., Wentzel, M. C. and G. v. R Marais. 1995. Activated
sludge model No.2, Scientific and Technical Report No.3, International Association on Water
Quality.
17. IMDN 14/1988-Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 Tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan.
18. IRC-International Water and Sanitation Centre, 2004. Monitoring Millennium Development
Goals for Water and Sanitation. A review of experiences and challenges. IRC International
Water and Sanitation Centre and KfW. Pp 84.
19. ITRC-Interstate Technology Regulatory Council, 2001. Technical and Regulatory Guidance
Document, Phytotechnology. Available at http://www.itrcweb.org
20. Kappeler, J. and W. Gujer. 1992. Estimation of kinetic parameters of heterotrophic biomass
under aerobic conditions and characterization of wastewater for activated sludge modeling,
Water Science and Technology, 25(6): 125-139.
21. Kumar, P.B.A.N., V. Dushenkov, H. Motto, and I. Raskin, 1995. Phytoextraction: The Use of
Plants to Remove Heavy Metals from Soils. Environmental Science & Technology, 29: 1232
1238.
22. Lovett, S. and Price, P. (eds), 1999. Riparian Land Management Technical Guidelines, Volume
One:Principles of Sound Management,LWRRDC,Canberra. P198
23. Mangkoedihardjo, S. 2002. Efek Zat Organic Air Limbah Terhadap Pertumbuhan Eceng
Gondok. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, 23 Juli 2002.
24. Mangkoedihardjo, S. 2002. Waterhyacinth Leaves Indicate Wastewater Quality. Biosains, 7
(1): 10-13.
25. Mangkoedihardjo, S. 2003. Luas dan Sebaran Ruang Terbuka Hijau. Seminar Nasional
Teknologi Lingkungan, PDAM Surabaya, 1-2 Oktober 2003.
26. Mangkoedihardjo, S. 2005. Fitoteknologi dan Ekotoksikologi dalam Desain Operasi
-21-
Pengomposan. Seminar Nasional Manajemen Penanganan Limbah Padat dan Limbah Cair
Berkelanjutan, ITS, 27 September 2005.
27. Mangkoedihardjo, S. 2005. Perencanaan Tata Ruang Fitostruktur Wilayah Pesisir Sebagai
Penyangga Perencanaan Tata Ruang Wilayah Daratan. Seminar Nasional Inovasi Penataan
Ruang, ITS, 22 September 2005.
28. Mangkoedihardjo, S. 2005. The Limiting Factors of Sand Bed Reactor for Heterotrophic
Denitrification Process in Tropical Conditions. Malaysian Journal of Soil Science, 9: 65-74.
29. Mangkoedihardjo, S. 2006. The Kinetics of Biodeconcentration for Nitrate: Case Study for
Microbial Denitrification and Plant Absorption. Malaysian Journal of Soil Science, 10: in press
30. Mangkoedihardjo, S. 2006. Biodegradability Improvement of Industrial Wastewater Using
Hyacinth. Journal of Applied Sciences, 6 (6): 1409-1414.
31. Mangkoedihardjo, S. 2006. Phyto-Assisted Sanitation System. Journal of Applied Sciences in
Environmental Sanitation, 1: 9 16.
32. Mangkoedihardjo, S. 2006. Revaluation of Maturity and Stability Indices for Compost. Journal
of Applied Sciences and Environmental Management, 10 (3): 83-85.
33. Mangkoedihardjo, S. 2007. Physiochemical Performance of Leachate Treatment, a Case Study
for Separation Technique. Journal of Applied Sciences, 7: in press
34. Mangkoedihardjo, S. 2007. Phytopumping Indices for Evapotranspiration Bed. Trends in
Applied Science Research, 2 (3): 237-240
35. Mangkoedihardjo, S. 2007. Topographical Assessment for Phytostructure Distribution. Trends
in Applied Science Research, 2 (1): 61-65
36. Mangkoedihardjo, S. 2007. Leaf Area for Phytopumping of Wastewater. Applied Ecology and
Environmental Research, 5 (1): 37-42.
37. Mangkoedihardjo, S., Pamungkas, A.P., Ramadhan, A.F., Saputro, A.Y., Putri, D.W., Khirom, I.
and M. Soleh, 2007. Priority Improvement of Solid Waste Management Practice in Java.
Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation, 2 (1): 29-34.
38. Mangkoedihardjo, S. 2007. The Significance of Greenspace in Coastal Area of Indonesia.
Global Journal of Environmental Research, 1 (2): in press
39. Mitsch W., and S. E. Jorgensen, 2004. Ecological Engineering and Ecosystem Restoraton. John
Wiley and Sons. Inc. USA. 411 p.
40. Moffat, A., and T. Hutchings, 2005. Greening of Brownfield Land. Environmental and Human
Sciences Division Forest Research, Alice Holt Lodge, Farnham, Surrey, GU10 4LH. Paper
presented to the SUBR: IM Conference, March 1st 2005.
41. Newman, L.A. and C. M. Reynolds, 2004. Phytodegradation of Organic Compounds. Current
Opinion in Biotechnology. 15: 225-230.
-22-
42. Newman, L.A., S.E. Strand, N. Choe, J. Duffy, G. Ekuan, M. Ruszaj, B.B. Shurtleff, J. Wilmoth, P.
Heilman, and M.P. Gordon, 1997. Uptake and Biotransformation of Trichloroethylene by
Hybrid Poplars. Environmental Science & Technology, 31: 10621067.
43. Olson, P.E. and J.S. Fletcher, 2000. Ecological Recovery of Vegetation at a Former Industrial
Sludge Basin and Its Implications to Phytoremediation. Environmental Science and Pollution
Research, 7: 1-10.
44. PP 30/2005-Lampiran 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005
Tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Buku
Rinci Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam.
45. PP 63/2002-Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota.
46. Price, P. and Lovett, S. (eds), 1999. Riparian Land Management Technical Guidelines, Volume
Two: On-ground Management Tools and Techniques, LWRRDC, Canberra. P 133
47. Rodrigo del Pozo, Didem Okutman Ta, Hakan Dulkadiro lu, Derin Orhon , Victorino Diez.
2003. Biodegradability of slaughterhouse wastewater with high blood content under
anaerobic and aerobic conditions. J. Chemical Technology and Biotechnology, 78 (4): 384-391.
48. Salt, D.E., M. Blaylock, P.B.A. Nanda Kumar, V. Dushenkov, B.D. Ensley, I. Chet, and I. Raskin,
1995. Phytoremediation: A Novel Strategy for the Removal of Toxic Metals from the
Environment Using Plants. Biotechnology, 13: 468-474.
49. Samudro, G. and S. Mangkoedihardjo. 2006. Water Equivalent Method for City Phytostructure
of Indonesia. International Journal of Environmental Science and Technology, 3 (3): 261-267.
50. Samudro, G. dan S. Mangkoedihardjo. 2006. Sedimentation and Filtration for Ferrous
Treatment of Saline Water. World Applied Sciences Journal, 1(1):1-3.
51. Schnoor J.L., L.A. Light, S.C. McCutcheon, N.L. Wolfe, and L.H. Carriera, 1995.
Phytoremediation of Organic and Nutrient Chemicals. Environmental Science & Technology,
29: 318323.
52. Seviour R. J., Mino T. and M. Onuki. 2003. The microbiology of biological phosphorus removal
in activated sludge systems. Microbiology Reviews, 27: 99-127.
53. Shimp, J.F., J.C. Tracy, L.C. Davis, E. Lee, W. Huang, L.E. Erickson, and J.L. Schnoor, 1993.
Beneficial Effects of Plants in the Remediation of Soil and Groundwater Contaminated with
Organic Materials. Critical Review in Environmental Science and Technology, 23: 41-77.
54. Shuval, HI, A. Adin, B. Fattal, E. Rawitz and P. Yekutiel. 1986. Wastewater Irrigation in
Developing Countries. Health Effects and Technical Solution. World Bank Technical Paper 51,
Washington DC.
55. Simpson-Hbert, M., and S. Woods (eds), 1998. Sanitation Promotion. World Health
-23-
Organisation, Geneva.
56. Smit, J., 1996. Urban Agriculture - Food, Jobs and Sustainable Cities. UNDP United Nations
Development Program, New York.
57. Speir, T.W., J.A. August, and C.W. Feltham, 1992. Assessment of the Feasibility of Using CCA
(Copper, Chromium and Arsenic) -Treated and Boric Acid-Treated Sawdust as Soil
Amendments. I. Plant Growth and Element Uptake. Plant and Soil, 142: 235248.
58. UNEP-United Nation Environmental Program, 2004. Integrated Watershed Management
Ecohydrology & Phytotechnology -- Manual Available at http://www.unep.or.jp
59. USEPA-United States Environmental Protection Agency, 2000. Introduction to
Phytoremediation.
EPA/600/R-99/107.
Available
at
http://www.epa.gov/clariton/clhtml/pubtitle.html
60. USEPA-United States Environmental Protection Agency, 2001. Ground Water Issue.
Phytoremediation of Contaminated Soil and Ground Water at Hazardous Waste Sites.
EPA/540/S-01/500, February 2001.
61. USEPA-United States Environmental Protection Agency. 1999. Phytoremediation Resource
Guide. EPA/542/B-99/003. Available at http://www.epa.gov/tio.
62. UU 41/1999-Undang-Undang Republik Indonesia No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
63. Wang, P., C.M. Changa, M.E. Watson, W.A. Dick, Y. Chen, and H.A.J. Hoitink, 2004. Maturity
Indices for Composted Dairy and Pig Manures. Soil Biology & Biochemistry, 36: 767-776.
64. Wang, Y., Min Yang, Jing Zhang, Yu Zhang, Mengchun Gao. 2004. Improvement of
biodegradability of oil field drilling wastewater using ozone. Ozone Science and Engineering,
26 (3): 309-315.
65. Wei Y., Houten R. T. V., Borger A. R., Eikelboom D. H. and Y. Fan. 2003. Minimization of excess
sludge production for biological wastewater treatment. Water Research, 37: 4453-4467.
66. WHO-World Health Organization, 2006. Guidelines for the safe use of wastewater, excreta
and greywater. Volume 2 Wastewater use in agriculture. WHO Press Switzerland.
67. Wright, R. M., 2000. The Evolving Physical Condition of the Greater Toronto Area: Space,
Form and Change. Toronto: University of Toronto, and the Neptis Foundation.
68. Yirong, C., and U. Puetpaiboon, 2004. Performance of Constructed Wetland Treating
Wastewater from Seafood Industry. Water Science & Technology, 49 (5-6): 289 294.
69. Zablotowicz, R.M., R.E. Hoagland, M.A. Locke and W.J. Hickey, 1995. Gluthathione Stransferase activity and metabolism of Gluthathione conjugates by rhizosphere bacteria.
Applied Environmental Microbiology, 61:1054-1060.
70. Zuhriah, A. and S. Mangkoedihardjo, 2005. Comparison Model to Evapotranspiration Bed
Using Upflow and Downflow of Domestic Waste. Jurnal Purifikasi, 6 (1): 1-6.
-24-
1. PRIBADI
1.1. Nama Lengkap: Sarwoko Mangkoedihardjo
1.2. Tempat, Tanggal lahir: Purbalingga, 24 Agustus 1954
1.3. Nama Isteri: Marliani
1.4. Nama Anak Kandung
1.4.1. Ganjar Samudro, ST, MT
Dosen pada Program Studi Teknik Lingkungan, Universitas Diponegoro,
2008 1.4.2. Harida Samudro
Mahasiswa pada Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
2004 1.5. Alamat Rumah: Wisma Kedung Asem Indah L 12, Rungkut, Surabaya 60298.
2. KEPEGAWAIAN
2.1. Nomor Induk Pegawai: 131415730
2.2. Satuan Kerja: Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
2.3. Alamat Kantor: Gedung Jurusan Teknik Lingkungan, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya
60111, Tel 031.5948886, Fax 031.5928387, e-mail: sarwoko@enviro.its.ac.id
2.4. Kepangkatan
2.4.1. Calon Pegawai Negeri Sipil TMT 1 Maret 1984
2.4.2. Penata Muda Gol III/a TMT 1 November 1985
2.4.3. Penata Muda Tk I Gol III/b TMT 1 Oktober 1986
2.4.4. Penata Gol III/c TMT 1 Oktober 1992
2.4.5. Penata Tk I Gol III/d TMT 1 Oktober 1994
-25-
4. KEAHLIAN AKADEMIK
4.1. Identitas Keahlian: Sanitasi Lingkungan dan Fitoteknologi
4.2. Judul Karya Ilmiah Bergelar Akademik/Jabatan
4.2.1. Perencanaan Sistem Distribusi Air Minum Kota Majalengka (Tugas Akhir
Sarjana Teknik Institut Teknologi Bandung, 1981)
4.2.2. Denitrification of Drinking Water in a Polyurethane Reactor (Thesis Master
of Science State University of Ghent Belgium, 1990)
4.2.3. Efek Zat Organik Air Limbah Terhadap Pertumbuhan Eceng Gondok
(Disertasi Doktor Universitas Brawijaya Malang, 2002)
4.2.4. Integritas Fitoteknologi dalam Sanitasi Lingkungan untuk Pembangunan
Berkelanjutan (Pidato Pengukuhan Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, 26 Januari 2008) English version: Phytotechnology Integrity
in Environmental Sanitation for Sustainable Development (Professors
speech. Journal of Applied Sciences Research, 3 (10): 1037-1044, 2007)
5. BIDANG KEGIATAN PENGAJARAN PADA JABATAN LEKTOR KEPALA, 2001-2007
5.1. Perkuliahan S1
5.1.1. Biomonitoring Kualitas Lingkungan
5.1.2. Ekotoksikologi
5.1.3. Metodologi Penelitian
5.1.4. Pengelolaan Sumber Daya Tanah
5.1.5. Pengendalian Pencemaran Laut dan Pesisir
5.1.6. Proses Pengolahan Air Minum
5.1.7. Sistem Pengolahan Secara Alamiah
5.2. Perkuliahan S2
5.2.1. Manajemen Pengendalian Kualitas Air
5.2.2. Metodologi Penelitian
5.2.3. Pengantar Teknik Lingkungan
5.2.4. Pengelolaan Kualitas Lingkungan
5.2.5. Pra-Thesis
5.2.6. Seminar Proposal Thesis
5.2.7. Teknik Remediasi Lingkungan Tercemar
5.2.8. Toksikologi Lingkungan
5.3. Perkuliahan S3: Koagulasi-Flokulasi-Sedimentasi untuk 1 Mahasiswa Program
Doktor MIPA Universitas Airlangga, 2004
5.4. Bimbingan
5.4.1. Kerja Praktek S1
-27-
7.1. Pelatihan: Pelatihan inspeksi dan sampling toksikologi. FTSP ITS, Bapedalda Prov
Jawa Timur, BEJIS AusAID. Surabaya 26 31 Agustus 2002
7.2. Pendampingan Pembangunan: Penasehat penyiapan pembangunan instalasi
pengolahan air minum Karangpilang III berkapasitas 2000 Lpd untuk PDAM
Surabaya, 2006 8. BIDANG KEGIATAN PENUNJANG TRIDHARMA PADA JABATAN LEKTOR KEPALA, 2001-2007
8.1. Kepanitiaan Jurusan
8.1.1. Ujian-ujian
8.1.2. Rapat Kerja
8.1.3. Task Force Portfolio Akreditasi Program S2, 2003
8.1.4. Dewan Pertimbangan Jurusan
8.1.5. Task Force Program Doktor, 2006
8.2. Mewakili ITS Antarlembaga
8.2.1. Pelatihan pengelolaan air minum. PPs Jurusan Teknik Lingkungan FTSP ITS,
PPSDM, P3KT, BUIP, Bappeda Provinsi Bali. Surabaya 21 25 Oktober 2002
8.2.2. Pembinaan pengendalian kerusakan lingkungan dan bahan berbahaya dan
beracun. Bapedal Provinsi Jawa Timur. Batu 24 Oktober 2002
8.2.3. Lokakarya akreditasi program magister. Program Pascasarjana ITS.
Surabaya 14 Januari 2003
8.2.4. Menyiasati peluang pasar usaha kompos sebagai upaya mengatasi
masalah sampah perkotaan. Kementerian Lingkungan Hidup RI dan Kamar
Dagang dan Industri Indonesia. Jakarta 13 Maret 2003
8.2.5. Peningkatan kualitas lingkungan perkotaan: pengelolaan sampah dalam
perspektif keberlanjutan. Kementerian Bappenas. Jakarta 12 November
2003
8.2.6. Penasehat senior Perusahaan Daerah Air Bersih Provinsi Jawa Timur, 20032004
8.2.7. Japan-Indonesia Estuary Workshop. Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulaupulau Kecil. Jakarta 22 Agustus 2005
8.2.8. Bimbingan Teknis Quality Control Laboratorium Lingkungan Bapedal
Provinsi Jawa Timur, Batu 8 Februari 2006
8.2.9. Participant in Workshop on Advances in Solid Waste Treatment, Organized
by Department of Environmental Engineering ITS and Department of
Environmental Engineering for Symbiosis of Soka University, Surabaya 1st
August 2007
8.2.10. Pembicara tunggal dalam Lokakarya Penulisan Artikel Jurnal Nasional dan
-31-
-32-
-33-
RINGKASAN NASKAH
Sarwoko Mangkoedihardjo menekuni fitoteknologi, yang telah dimanfaatkan manusia pada 3000
tahun SM. Fitoteknologi adalah teknologi alamiah tumbuhan dengan misi penyehatan lingkungan dalam
mendukung kesehatan manusia. Misi fitoteknologi adalah sama dengan misi teknologi sanitasi
lingkungan. Perbedaan kedua teknologi terletak pada perlakuan proses: alamiah dan buatan manusia;
dan manajemen materi: loop dan linier. Perbedaan kedua teknologi disinergikan dalam platform jejaring
keilmuan sanitasi lingkungan dan fitoteknologi: silfi. Silfi memperkaya dan memperkuat cara
penyelesaian masalah lingkungan yang makin kompleks. Pendalaman silfi dijiwai oleh kompetensi
akademik penulis, yang diperkuat oleh visi ITS mengenai wawasan lingkungan dan visi PBB mengenai
sustainable sanitation: susan. Cakupan susan meliputi penyediaan air minum dan sanitasi, keragaman
hayati dan pengelolaan ekosistem, energi, produktivitas pertanian dan kesehatan. Cakupan silfi adalah
sama dengan susan, yang mengkhususkan tumbuhan sebagai teknologi alamiah sanitasi lingkungan.
Karya ilmiah ini disusun melalui proses akademik dan menghasilkan statusnya sebagai publikasi
internasional. Perlakuan tersebut dijiwai oleh visi penulis mengenai pengembangan keilmuan, visi ITS
mengenai pengakuan internasional dan deklarasi PBB mengenai International Year of Sanitation 2008.
Tema kajian adalah integritas fitoteknologi dalam integrasinya dengan sanitasi lingkungan. Maknanya
adalah bahwa tumbuhan mempunyai kemampuan dan taat azas dalam mendaur ulang materi secara
alamiah, sehingga menjadikan fitoteknologi setara teknologi konservasi sumber daya lingkungan, yang
esensial dalam pembangunan berkelanjutan.
Substansi karya ilmiah ini diawali dengan tinjauan fitostruktur ruang terbuka hijau sebagai
pendekatan untuk menjaga infrastruktur penyediaan air minum dan sanitasi. Metode baru penetapan
luas ruang terbuka hijau dikembangkan berdasarkan jumlah penduduk dan pengaturan sebarannya
mengikuti kondisi fisik daerah setempat. Pengaturan fitostruktur tersebut adalah penting dan
diperlukan untuk pengelolaan kuantitas lingkungan. Sedangkan pengelolaan kualitasnya merupakan
tinjauan fitoproses. Delapan ragam fitoproses tersedia, yang mencakup perpindahan dan transformasi
kontaminan oleh tumbuhan, dan pengendalian kontaminan dan air tanah oleh tumbuhan pada musim
kemarau dan penghujan. Fitostruktur dan fitoproses menjadi dasar tinjauan pengelolaan sumber air,
pengolahan limbah, rehabilitasi lingkungan, pencegah dampak bencana alam dan penjaminan kualitas
lingkungan. Secara khusus, tumbuhan sebagai payung hijau mencerminkan kemampuannya menjalani
filsafat Jawa: mendem jero (=melindungi) lahan tercemar dari hujan sekaligus memulihkannya.
Tumbuhan juga mampu mikul duwur (=menonjolkan manfaat) lahan hijau tak tercemar untuk
menampung air hujan sebagai berkah siklus hidrologi. Selanjutnya indeks pompa tumbuhan
dikembangkan untuk kualifikasi kemampuan tumbuhan sebagai pompa alamiah, sekaligus untuk
menunjuk jenis tumbuhan dalam fungsi yang sama. Pada saat berhadapan dengan masalah tempat
tercemar dalam pelaksanaan pengelolaan sampah, sanitasi dan lingkungan umumnya, maka
fitoremediasi menawarkan potensi tumbuhan untuk memulihkannya. Tumbuhan juga mampu bertindak
sebagai tumbuhan korban dalam menghadapi terjangan gelombang setara tsunami, yang berarti
menjadi pelindung manusia dari dampak bencana alam. Terjangan gelombang adalah analog dengan
paparan bahan kimia dan sejenis, yang efeknya dikaji menggunakan ekotoksikologi tumbuhan:
fitotoksikologi. Karya ilmiah ini diakhiri dengan mengikat fitoteknologi dalam sanitasi lingkungan untuk
kesetimbangan teknologi alam dan teknologi manusia, dan untuk mendaur ulang materi dan nutrien
dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, serta membuka peluang pengembangan keilmuan
multidisiplin.
2008 Sarwoko Mangkoedihardjo
PENCETAK/PENERBIT
-34-