Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem Terumbu Karang
penahan abrasi pantai yang disebabkan gelombang dan ombak laut, serta sebagai
sumber keanekaragaman hayati.
Untuk lebih detailnya, terumbu karang berfungsi untuk menjadi rumah bagi
organisme-organisme yang berfotosintesis seperti tumbuhan bersel tunggal
(uniseluler) seperti zooxanthellae yang sepenuhnya mendapatkan perlindungan
dari karang (Hutabarat dan Evans, 1985).
Menurut Romimoharto dan Juwana (2007), ekosistem terumbu karang
memberi manfaat langsung kepada manusia dengan menyediakan makanan, obatobatan, bahan bangunan dan bahan lainnya. Manfaat penting lagi yaitu, terumbu
karang menopang kelangsungan hidup ekosistem-ekosistem lain di sekitarnya
yang juga menjadi tumpuan hidup manusia.
Pengelolaan terumbu karang secara lestari dan berkembang sangat
penting, artinya ekosistem terumbu karang yang sangat produktif dapat
mendukung kehidupan nelayan setempat. Jika habitat terumbu karang tidak diusik
maka fungsinya akan optimal dan produksi ikan karang akan dapat dipanen secara
berkesinambungan dan memberi keuntungan secara sosial dan ekonomi bagi
masyarakat setempat di seluruh Indonesia untuk masa kini dan masa yang akan
datang sejalan pembangunan nasional. Oleh karena itu perlu dilakukannya
penelitian terumbu karang secara seksama sehingga aspek-aspek yang
berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan dapat berlangsung dengan baik
(Anonim, 2012).
I.3. Bentuk Pertumbuhan Karang
Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang Acropora
dan non-Acropora (English et.al., 1994). Perbedaan Acropora dengan non-
Tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras
sertaberlubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan
berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Bersifat
memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil yang sebagian
tubuhnya tertutup cangkang.
d. Foliose (Lembaran)
kecil dan membentuk lipatan atau melingkar, terutama pada lereng terumbu
dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi
ikan dan hewan lain.
e. Mushroom (Jamur)
berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti
punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.
f. Submassive (Submasif)
semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan adanya warna kuning di
ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh.
h. Heliopora (Karang Biru)
bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. Karang ini ditopang
dengan batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.
c. Acropora Encrusting
Digitate memiliki bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan.
2008). Transek adalah jalur sempit melintang lahan yang akan dipelajari/
diselidiki yang bertujuan untuk mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan
perubahan lingkungannya atau untuk mengetahui jenis vegetasi yang ada di suatu
lahan secara cepat. Menurut Oosting (1956), menyatakan bahwa transek
merupakan garis sampling yang ditarik menyilang pada sebuah bentukan atau
beberapa bentukan. Transek dapat juga digunakan untuk studi altitude dan
mengetahui perubahan komunitas yang ada. Ukuran dari transek tergantung pada
beberapa kondisi. Transek pada komunitas yang kecil penarikan garis menyilang
hanya beberapa meter panjangnya. Pada daerah berbatuan transek dapat dibuat
beberapa ratus meter panjangnya.
Metode Line Intercept Transect biasa digunakan oleh ahli ekologi untuk
mempelajari komunitas padang rumput dan terumbu karang bawah laut. Dalam
cara ini terlebih dahulu ditentukan dua titik sebagai pusat garis transek. Panjang
garis transek dapat 10 m, 25 m, 50 m, 100 m. Tebal garis transek biasanya 1 cm.
Pada garis transek itu kemudian dibuat segmen-segmen yang panjangnya bisa 1
m, 5 m, 10 m. Dalam metode ini garis-garis merupakan petak contoh (plot).
Tanaman yang berada tepat pada garis dicatat jenisnya dan berapa kali terdapat/
dijumpai. Metode Transek garis (Line Intercept Transect/LIT) merupakan metode
yang digunakan untuk mengestimasi penutupan karang dan penutupan komunitas
bentos yang hidup bersama karang. Metode ini cukup praktis, cepat dan sangat
sesuai untuk wilayah terumbu karang di daerah tropis. Pengambilan data
dilakukan pada umumnya di kedalaman 3 meter dan 10 meter (Anonim, 2013).
Cara menggunakan metode LIT adalah garis transek dibuat dengan cara
membentangkan tali atau rol meter sepanjang 50 m sejajar garis pantai. Transek
ini diberi tanda (sebagai transek permanen) dengan menancapkan besi beton
sepanjang 1.2 m sebanyak 5 buah, dengan jarak antara 12.5 m. Genera atau
spesies dari komunitas bentos utama (seperti karang dan alga makro) serta
kategorikategori lifeform kemudian dicatat pada data sheet, oleh penyelam yang
bergerak sepanjang garis yang dibentangkan secara paralel dengan reef crest, pada
kedalaman 3 dan 10 m disetiap lokasi pengamatan. Semua bentuk pertumbuhan
karang dan biota yang terletak di bawah transek dicatat (Anonim, 2013).
Bleaching terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik secara alami maupun karena
anthropogenik yang menyababkan degenerasi atau hilangnya zooxanthellae pewarna dari
jaringan karang. Secara umum,pengertian bleaching adalah terpisahnya alga yang bersimbiosis
( zooxanthellae ) dari induk karang. Lebih lanjut Jones et al. (1998) mengatakan bahwa
bleaching adalah gangguan dalam proses fotosintesis zooxanthellae pada reaksi fotosistem II
(PSII) dan non photochemical quenching (NPQ) yang berkaitan denga mekanisme foto protektif
sebagai indikator tekanan panas. Bleaching umumnya dapat disebabkan oleh karena adanya
gangguan terhadap lingkungan dan organisme zooxanthellae. Penampilan yang pucat dari karang
scleractinian dan hydrocorals, sangat berkaitan dengan rangka cnidarian yang sangat
mengandung zat kapur yang terlihat dari luar jaringan yang tembus cahaya ( hampir tanpa
pigmentasi zooxanthellae ). Temperatur yang tinggi akan menyebabkan adanya gangguan sistem
enzim di dalam zooxanthellae, sehingga pada akhirnya akan menurunkan katahanan untuk
mengatasi oksigen toxicas. Fotosintesis dalam zooxanthellae akan menurun pada temperatur di
atas 30oC dan dampaknya dapat mengaktifkan pemisahan karang / alga simbiosjs. Batas tertinggi
suhu maksimal adalah 30-34oC dengan kemampuan toleransi suhu tertinggi 2oC. (Jokiel & Coles,
1990 ).
b. Black Band Disease
suatu cincin gelap, yang memisahkan antara jaringan karang yang masih sehat
dengan rangka karang. Penyakit ini disebut juga Black Band Ring.
Dari hasil pengamatan pada begian karang yang terkena penyakit ini, dijumpai
satu gabungan jasad renik, cyanobacterium , Spirulina, oksidasi sulfur bakteri
pereduksi sulfat, bakteri heterotropik dan jasad renik lain (Richardson et al.,
1997). BBD akan meningkat, apabila terjadi sedimentasi serta adanya pasokan
nutrient, bahan kimia beracun dan suhu yang melebihi normal (Richardson,
1998).
c. Dark Spots Disease
Dark spots disease dalam jaringan karang masif telah banyak dikenal, tetapi
belum banyak yang dipelajari. Penyakit bintik hitam muncul sebagai pigmen
gelap, warna coklat atau warna ungu yang menyerang pada karang
sclerectanian. Jaringan karang yang tertinggal tetap terlihat utuh, walaupun
terkadang mengakibatkan kematian jaringan karang dalam pusat bintik. Warna
ungu gelap kecoklatan atau kelabu dari jaringan tersebut sering melingkar
pada permukaan, tapi kadang-kadang dijumpai juga bentuk yang tidak
beeraturan pada permukaan koloni (bercak warna ungu terang terlihat pada
permukaan koloni). Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti,
namun diduga disebabkan oleh adanya akumulasi sedimen pada suatu bintik
hitam (Anonim, 2010).
d. Red Band Disease
White-band disease (WBD) pertama kali ditemukan pada tahun 1977 di Teluk
Tague, St. Croix, Kepulauan Virgin, Amerika dan umumnya terjadi pada jenis
Penyakit ini ditemukan oleh Craig Quirolo dan Jim Porter di barat Florida
pada tahun 1996. Penyakit ini ditandai dengan munculnya tambalan (bercak)
pada rangka berwarna putih kosong yang berbentuk irregular. Tambalan
(bercak) dapat terjadi di permukaan atas atau bagian bawah percabangan.
Jaringan karang terlihat mengelupas, namun tidak rata, sedangkan laju
penghilangan jaringan karang terjadi sangat cepat. Jaringan karang pada
umumnya ditempeli alga berfilamen dalam beberapa hari. Peristiwa
mengelupasnya jaringan karang ini masih belum diketahui secara pasti, namun
kemungkinan disebabkan oleh bakteri pathogen (Anonim, 2010)
h. Yellow Band Disease
DAFPUS
http://www.terangi.or.id
Anonim. 2013. http://karangrumpi.blogspot.com/2013/02/bagaimana-melakukan-surveikarang.html. Diakses pada 10 Juni 2015.
Anonim. 2012. http://ndhh-lestari.blogspot.com/2012/02/metode-transek.html. Diakses pada 10
Juni 2015 pukul 6.07 PM WIB
Anonimous, 2011a. Coral_reef dalam http://en.wikipedia.org/wiki. Dikunjungi pada 10 Juni
2015, 11.20 WIB.
English, S., C. Wilkinson and V. Baker.1994. Survey manual for Tropical marine Resources.
Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia.
Hutabarat, S dan Evans, S.M., 1985. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia, cet ke2. hal 140 143.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis.. Penerbit. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 325-363.
Razak, T, B dan Simatupang, K. L. M. A., 2005. Buku panduan pelestarian Terumbu Karang;
Selamatkan Terumbu Karang Indonesia. Yayasan Terangi, Jakarta, 113 hal.
Romimohtarto, K, Juwana, S. 2007. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut.
Penerbit Djambatan, Jakarta. Ed. Rev.,cet. ke-3. pp 321 - 332.
Nybakken, J.W. 1997. Marine Biology: An Ecological Approach, Fourth Edition. AddisonWesley Educational Publishers Inc. Dalam http://faridmuzaki.blogspot.com/biologikarang.htm. Dikunjungi pada 01 November 2011, 10.32
Admin, 2008. Metode Transek. http://www.indonesianbiodiversity.com/indexphp?
pilih=newa&mod=yes&aksi=arsi&topik=1 Campbell, N.A. 2004. Biologi. Jilid 3. Jakarta :
Erlangga.
Dahuri, H. R., Rais, J., Ginting, S. P., Sitepu, M. J., 2008. Pengelolaan Sumber Daya
Wiayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Ed. Rev.,cet.ke-4. Pp 197 201.
Oosting. 1956. The Study of Plant Communities. W.H. Freeman and Company, San
Fransisco
Anonim. 2010. http://skp.unair.ac.id/repository/webpdf/web_Penyakit_Pada_Karang_BAGUS_RIZKI_NOVIANTO.pdf. Diakses pada 10
Juni 2015 pukul 6. 46 PM WIB
Jones, R.J., Hoegh-Guldberg, O., Larkum, A.W.D. and Schreiber, U. 1998. Temperature-induced bleaching of
corals begins with impairment of the CO2 fixation mechanism in zooxanthellae. Plant, Cell and Environment 21:
1219-1230.
Jokiel, P.L. and Coles, S.L. 1990. Response of Hawaiian and other Indo-Pacific reef corals to elevated sea
temperatures. Coral Reefs 8: 155-162.
Richardson L.L., K.G. Kuta, S. Schnell & R.G. Carlton. 1997. Ecology of the Black Band Disease Microbial
Consortium. Proc. 8th Intl. Coral Reef Symp., Smithsonian Trops. Res. Inst., Panama 1:597-600
Richardson L.L., R.B. Aronson, W.M. Goldberg, G.W. Smith, K.B. Ritchie, J.C. Halas, J.S. Feingold and S.M.
Miller. 1998. Florida;s Mistery Coral-Killer Identified. Nature 392: 557-558.
Richardson, L.L. 1992.vRed band disease: a new cyanobacterial infestation of corals. Proc. Tenth Ann. Amer. Acad.
Underw. Sci. 153-160.
Bruckner A.W. & R.J. Bruckner. 1997. The Persistence of Black Band Disease in Jamaica: Impact on Community
Structure. Proc. 8th Intl. Coral Reef Symp., Smithsonian Trop. Res. Inst., Panama 1: 601-606
Gladfelter, W.B. 1991. Population structure of Acropora palmata on the windward fore reef, Buck Island National
Monument, St. Croix, U.S.Virgin Islands. U.S. Department of the Interior, National Park Service, U.S.Virgin
Islands. 172 pp
Santavy, D.L. and E.C. Peters. 1997. Microbial pests: Coral diseaseresearch in the western Atlantic. Proc. Eighth
Intern.Coral Reef Symp. 1:607-612.
Green, E.P. and A. W. Buckner. 2000. The significance of coral disease epizootiology for coral reef conservation.
Biological Conservation. 96: 347-361.