Anda di halaman 1dari 2

MUSIM KEMARAU

Lelaki kurus itu sudah hampir seminggu sering menyendiri, nampaknya sudah menjadi sebuah
pekerjaannya menghabiskan waktu dengan menyendiri. Setiap pagi menjelang matahari
menjalankan tugasnya, dia sudah terpekur menata sarungnya di antara ujung kaki hingga
menutupi setengah badannya, kemudian dia pun menatap langit dan bermainlah dia dengan
pikirannya.
Lama sekali dia menatap langit itu, kala itu langit masih berselimutkan gelap dan kabut asap,
dinginnya suhu udara kota Bandung, sedikit pun tidak mengganggunya, malahan gerentes
hatinya dingin adalah jiwa yang mengakar dalam kehidupannya selama dia ditinggalkan oleh
pujaan hatinya selepas menyelesaikan studi sarjana setahun yang lalu, tanpa sebab yang jelas.
Dia sering menyalahkan diri sendiri, kenapa dia tidak bisa menangkal kepergian perempuan itu,
yang sudah hampir dua tahun mematri ranah-ranah hidup, bermimpi fastastik, dan seringkali
bergurau bercengkrama bermain hasrat jika kelak kita telah sah menjadi pasangan agama dan
Negara.
Ah, pasti bahagia jika kau sekarang di sampingku: setiap pagi kau bangunkan ku dengan
kecupan dan wangi aroma melati di tubuhmu menggodaku, jika aku pulang ke rumah selepas
mengejar nafkah untukmu dan anak kita.
Astagfirullah, dia bangkit dalam lamunannya. Perempuanku hingga empat bulan kau
meninggalkan ku, aku masih terlarut padamu: Tuhan jika memang ini pendampingku di dunia
ini, tolong mudahkanlah dia datang kembali padaku, aku tak mau berspekulasi mendahului
kehendak Mu. Tapi, jika dia memang bukan untuk ku, jagalah dia selalu tuhan: berikan dia
kebahagiaan. Amin
Cahaya matahari yang menyentuh pipinya membuyarkan lamunan lelaki kurus itu, dengan
berurai air mata dia pergi ke kamar mandi yang berada di pojok rumahnya, lelaki itu setiap kali
bersimbah air mata berusaha menutup kesedihan dengan berwudhu, supaya seisi rumah tidak
tahu bahwa dia sedang bermuram durja, terutama bunda, dia tak ingin bundanya tahu bahwa
perempuan yang sering dia bawa dua tahun terakhir telah meninggalkannya.
Dia tak mau bundanya bersedih, karena bunda telah menitipkan harapan besar kepada
perempuan itu, meskipun belum terucapkan. aku tak bisa membayangkan jika bunda tahu
perempuan harapannya itu telah meninggalkan putra jantan satu-satunya ini.
Dalam hatinya, perempuan itu adalah perempuan terbaik yang pernah aku bawa menghadap
bunda, anaknya baik dan pintar: aku ingat sekali ketika pertama kali ku perkenalkan padanya,
bunda memanggilnya Eneng dengan penuh getaran suara tak biasa dan mimik bercahaya,
sebutan dan prilaku yang biasa bunda berikan kepada perempuan yang dianggapnya baik.
Kenapa nak? aku kaget setengah mati, dia telah memperhatikan ku dari tadi, sejak subuh yang
lalu: tangan yang mencoba menghapus buyaran air mati ini, jadi tak konsen, tidak bun, kataku,
hanya kelilipan saja, tadi semut iseng main di mataku. aku bergeges melangkah menuju kamar
mandi. kemudian dia pun menangis sejadi-jadinya. Prilaku murungku, akhirnya tercium juga
oleh bunda: selepas beraktivitas menjelang waktu isya pada pertengahan bulan maret tahun
pemilu legislatif kedua secara langsung dilaksanakan di Negara kita, bunda mengagetkanku
dengan satu pertanyaan: bunda menanyakan kabar perempuan yang sering aku bawa itu.

Kenapa sudah dua bulan lebih si eneng tidak main lagi kesini yana? padahal dulu hampir setiap
sebulan sering kesini, aku kaget: kaget setengah mati, pura-pura tak mendengar, aku menata
bantal yang setengah merosot dari kepalaku, mungkin lagi sibuk bun, terakhir dia nelpon minta
doa akan mengikuti kegiatan pendidikan, dan bisnis katanya. oh, rajin ya? tolong kalau, yana
ketemu salam dari bunda ya, iya bun.
Dalam hati yang penuh kebingungan, aku baca raut tanda Tanya yang besar dari perempuan yang
melahirkanku ini: aku harus menjelaskan gimana tentang prinsip yang berbeda yang menjadi
dasar kita berpisah. Kita bubar, tak tau arah pulang.
Hari sepertinya lama sekali berganti, suara riuh telpon setiap jam sekali biasanya berisi pesanmu,
atau bahkan sesekali menelpon menanyakan kabarku, jangan lupa makan, sedang dimana,
jangan lupa pakai jaket, kaos tangan dan hati-hati di jalan. Dia setiap harinya seperti ini,
sekalipun dia sibuk beraktivitas, dia pasti menyempatkan mengerim pesan padaku.
Aku tak pernah bosan membaca pesan itu, begitu pun dia: mungkin tak pernah bosan untuk
mengingatkan aku. Tapi kali ini, setelah kau menyatakan aku harus pergi dulu, aku tak lagi
mempunyai tenaga untuk beraktivitas, seperti tak ada lagi tujuanku beraktivitas. Dari minggu ke
minggu aku hanya dikejar-kejar rutinitas, yang sampai hari ini aku belum sepenuhnya
menikmatinya.
Sepenuh hatiku sudah sepenuhnya terisi kehidupannya, wajar saja jika sepeninggalnya dia dari
kehidupanku aku hilang bentuk dan arah. Maafkan kata kasar yang telah terucap membabi buta
di hatimu waktu itu, aku tak tahu ini bakal sangat membekas di hatimu, sampai kini kau
berkesimpulan pergi dari kehidupanku.

Anda mungkin juga menyukai