Anda di halaman 1dari 8

BAB II

BAGAIMANA AJARAN RATU ADIL BERKEMBANG?


A. Pola Ideologi
Fenomena Ratu Adil agaknya tidak akan mungkin dibatasi oleh kurun
waktu (temporal) dan wilayah (spasial) tertentu. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa ajaran-ajaran tentang Ratu Adil merupakan ajaran yang
secara kodrati melekat pada sistem kepercayaan masyarakat manapun dan
dimanapun. Ini berarti pula bahwa pada hakekatnya Ratu Adil adalah sebuah
ideologi. Hanya saja, istilah-istilah, model dan motif gerakan, serta ciri-cirinya
akan berbeda-beda.
Sebagai sebuah ideologi, maka faham Ratu Adil (millenarianisme) atau
Juru Selamat (mesianisme) dalam perjuangan atau aplikasinya
menampakkan strutur yang matang. Inilah sebabnya, pada masa lalu gerakangerakan keagamaan yang telah diramu dengan faham Ratu Adil merupakan
ancaman yang sangat potensial bagi rezim kolonial. Sementara dipihak lain,
terdorong oleh ketakutan pemerintah kolonial terhadap kekuatan-kekuatan
spiritual (Islamofobi) dan sesuai pula dengan politik devide et impera
maka gerakan-gerakan tadi disamakan dengan gerakan revolusioner atau
gerakan anti asing yang harus diberantas secara tuntas.
Uraian diatas memperlihatkan kepada kita bahwa gerakan-gerakan
tersebut merupakan alat perjuangan kelompok terjajah (uraian selanjutnya
menunjukkan pengertian terjajah tidak terbatas pada konteks politik, tetapi
juga konteks sosial ekonomi) terhadap penjajah atau kelompok yang dianggap
menjajah. Dalam perjuangan tersebut, selalu ditampilkan ciri-ciri khusus, baik
yang menyangkut watak pimpinan, pola ideologi, maupun sistem
kepercayaannya.
Seorang pemimpin agama selalu dianggap sebagai prophet, guru,
dukun, tukang sihir atau utusan mesias, serta diakui diilhami oleh wahyu atau
wangsit. Salah satu contoh adalah peristiwa Tambakmerang seperti
dikemukakan pada bab I, dimana Wirasenjaya berperan sebagai mesias atau

Ratu Adil setelah diakui mendapat wahyu yang didapatnya dari berpuasa
selama 40 hari. Pada umumnya, tokoh-tokoh prophetic dipercaya sebagai
orang-orang suci yang memiliki kekuatan gaib yang didasarkan pada
pembawaan karisma seperti wahyu, keramat atau sakti.
Adapun pola ideologi semua gerakan keagamaan ialah penolakan
terhadap situasi yang ada dan harapan akan datangnya millenium (ratu adil),
yang akan menciptakan masyarakat ideal dan romantis, tiada lagi
pertentangan, ketidakadilan dan penderitaan, serta tidak akan ada penyakit dan
pencuri.
Unsur-unsur millenium ini sebetulnya sudah ada sebelum datangnya
pengaruh Barat, hanya saja belum menemukan saluran implementasinya. Dan
setelah bangsa Barat datang, barulah gerakan millenium ini mampu
membangkitkan daya potensi revolusioner yang besar untuk menolah,
mencegah atau menghilangkan perubahan-perubahan sosial yang dihasilkan
oleh masuknya kekuasaan Barat seperti rasa permusuhan antara sesama
bangsa, terpengaruhnya pejabat keagamaan oleh orang tak beriman (orang
Eropa selalu dianggap kafir), dan sebagainya.
Disinilah sistem kepercayaan menampakkan peran yang sangat besar
dalam memotivasi suatu gerakan. Ide-Ide tentang perang sabil atau perang
suci secara luar biasa mendorong militansi dikalangan pemeluk agama
(Islam), sehingga mereka dengan sukarela menyerang orang kafir dan semua
situasi dan kondisi yang diciptakan oleh orang asing. Meskipun demikian,
untuk dapat mengerti arti yang sebenarnya tentang gerakan keagamaan di
Jawa, haruslah diperhatikan aspek nativistic mereka. Aspek ini menjanjikan
datangnya bumi pertiwi yang telah pulih, tidak akan ada orang kulit putih,
serta akan diperintah oleh dinasti lama.
Contoh-contoh gerakan ratu adil yang bersifat keagamaan dapat
ditunjukkan antara lain adalah peristiwa Nyi Aciah di Sunda (1870 - 1871),
kasus Jumadilkubra di Pekalongan dan Banyumas tahun 1871, peristiwa
Jasmani di Jawa Timur tahun 1887, dan masih banyak lagi yang lain, namun
intinya sama, yaitu bahwa seseorang yang mendapat wahyu kemudian
mengajak warga desa untuk mengadakan pemberontakan terhadap
kekuasaan Eropa, dengan akibat ditumpasnya gerakan itu dengan kejam.

Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa gerakan-gerakan keagamaan


pada umumnya menyandang watak reaksi total yaitu menolak kehadiran
Eropa. Dengan demikian, millenarianisme pada asasnya berwatak
revolusioner karena berkaitan dengan perombakan status quo secara total.
Adapun alat yang dipakai sebagai dasar gerakan tersebut adalah agama, jadi
sifatnya religius.
B. Dimensi Politik Radikalisme Agraria
Seiring dengan perkembangan kondisi-kondisi sosial politik, maka
terjadi pula perubahan sifat dan pola ideologi dalam gerakan-gerakan
pedesaan. Salah satu bentuk gerakan politik di desa adalah mobilitas kaum
tani yang merupakan ungkapan paling baru dan dramatis dari keresahan
agraria yang terjadi terus-menerus.
Jika pada masa-masa silam gerakan-gerakan sosial mengandung sifat
religius dan bertujuan melenyapkan orang asing dengan segala akibat yang
ditimbulkannya, maka gerakan sosialpada akhir abad 19 dan abad 20 lebih
dilatarbelakangi oleh keadaan-keadaan keagrariaan yang dirasakan tidak adil.
Jadi disini sifat ekonomis dan politis lebih menonjol dibanding sifat religius
yang sekedar sebagai pelengkap atau sebagai alat legitimasi.
Oleh karena itu penalaran pemahaman antara kedua gerakan tersebut
juga berlainan. Untuk memahami proses politik pada tingkat desa, konsep
radikalisme harus disesuaikan dengan latar belakang masyarakat tani. Analisis
tentang radikalisme agraria harus memperhitungkan susunan dan hirarki nilainilai pedesaan, karakteristik lambang-lambang, serta tujuan dan pola-pola
tindakan dari politik agraria tersebut.
Radikalisme agraria menurut Sartono Kartodirdjo adalah gerakan
sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku, dan
ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan
dengan kaum yang punya hak istimewa atau yang berkuasa, dimana gerakan
ini menarik pengikutnya dari kaum tani. Dan perlu ditekankan disini bahwa

radikalisme agraria merupakan bagian dari gerakan ratu adil yang bersifat
revolusioner.
Dalam mengungkapkan sebab-sebab gerakan ratu adil, kita akan
menemui kesulitan ibarat sulitnya mencari ketulusan penjajahan. Kesulitan itu
terjadi karena adanya kecenderungan untuk menerangkannya dari
kolonialisme serta menghubungkannya dengan proses modernisasi. Akan
tetapi focus yang paling sering dikemukakan adalah akibat utama dari
dominasi Barat, yaitu kehancuran sistem ekonomi politik tradisional dan
terjadinya disintegrasi kebudayaan.
Seperti dimaklumi, identitas budaya kaum tani terikat secara tidak
terpisahkan dengan agama mereka, sehingga mereka akan cenderung
mempertahankan identitas tersebut apabila diancam oleh nilai-nilai asing.
Oleh karenanya, radikalisme agraria harus pula dianalisis didalam sorotan
persaingan untuk memperoleh kesetiaan kaum tani.
Stratifikasi sosial masyarakat pedesaan pada masa-masa pra dan pasca
kemerdekaan pada umumnya ditentukan oleh pemilikan tanah, disamping oleh
jabatan keagamaan. Stratifikasi ini terdiri dari 2 (dua) golongan besar yaitu
kaum bangsawan atau tuan tanah, dan kaum buruh tani.
Pada masa kolonial, para bangsawan yang biasanya kurang taat
agamanya dibandingkan kaum tani dan santri, banyak diangkat sebagai
pejabat sipil. Hal ini oleh pemerintah Belanda dimaksudkan untuk memecah
belah atau memperhebat antagonisme antara elit priyayi abangan (para
birokrat tradisional) dengan masyarakat desa (santri atau kaputihan) yang
dianggap berbahaya bagi hegemoni jajahan. Dengan demikian diskriminasi
yang dilakukan Belanda ini akan mengakibatkan kaum tani yang dahulu
mendukung para bangsawan (pelajari tentang konsep manunggaling kawulagusti) berbalik memusuhi mereka. Dari sini terlihat betapa politik devide et
impera begitu jahatnya menciptakan permusuhan antar penduduk pribumi.
Dan inilah yang merupakan salah satu alasan timbulnya radikalisme
dikalangan wong cilik atau kawula alit.
Mengenai ciri-ciri khusus radikalisme agraria, tidaklah mungkin
dikategorikan kedalam pemberontakan kaum tani secara definitif dan semata-

mata bersifat ratu adil, juru selamat, pribumi atau perang suci. Ini berarti
bahwa dalam setiap gerakan tercakup corak-corak millenarianisme,
mesianisme, nativisme dan kepercayaan kepada perang salib.
Millenarianisme adalah gerakan yang mencita-citakan diakhirinya
ketidakadilan dan dipulihkannya keharmonisan. Namun sebelum hal itu
terwujud, akan didahului atau ditandai dengan bencana alam, dekadensi moral
dan kemelaratan masyarakat. Kepercayaan mesianistis merupakan suatu
gagasan tentang juru selamat yang menyatakan suatu abad keemasan, dimana
gerakan mesianistis inipun cenderung bersifat millenarianistis. Adapun
nativisme atau kepribumian seperti telah disinggung diatas yaitu suatu
tuntutan bagi pemulihan nilai dan cara hidup tradisional yang telah mengalami
degradasi akibat ulah tingkah orang asing. Namun dalam prakteknya, gerakan
kepribumian ini tidak hanya ditujukan kepada kekuasaan asing, melainkan
juga kelas Jawa yang sedang berkuasa (elite birokrasi pribumi) yang dianggap
sebagai penghianat.
Dari deskripsi diatas, secara tersirat telah terkandung 3 (tiga) kelompok
manifestasi dalam radikalisme agraria. Kelompok pertama mencakup
pergolakan pergolakan agraria yang memuat ketidakpuasan sosial ekonomi
lokal sehingga ideologi menjadi sangat penting. Contoh kelompok ini adalah
pemberontakan Bekasi tahun 1869.
Dalam kelompok kedua, terjadi protes yang digeneralisasikan dari
kekerasan ekonomi khusus menjadi kritik yang lebih luas mengenai
kemerosotan budaya dan moral. Salah satu contoh adalah peristiwa Haji
Rifangi di Kalisasak tahun 1870-an. Adapun kelompok ketiga
memperlihatkan perkembangan tipe protes keagrariaan yang lebih berbau
politik, dengan pengertian bahwa keluhan-keluhan petani dan merosotnya
nilai budaya memberikan petunjuk untuk memanfaatkan rangkaian tradisi
gerakan ratu adil, kepribumian dan perang suci sebagai titik tolak ideologi
perlawanan mereka. Contoh gerakan protes yang lebih bersifat politis ini
adalah peristiwa Kiai Nurhakim dan peristiwa Cimareme tahun 1919 yang
dipimpin oleh Haji Hasan.
Pada masa-masa setelah kemerdekaan, gerakan-gerakan tersebut dapat
dibagi kedalam 2 (dua) golongan. Yang pertama merupakan gerakan sosial

yang mewakili suatu penolakan lengkap dari apa yang secara konvensional
dipandang sebagai politik. Gerakan ini percaya bahwa perubahan secara
mendasar dalam suatu peristiwa hanya dapat terjadi melalui bentuk
kebangkitan kembali keagamaan, baik kebangkitan kembali Islam radikal atau
nilai-nilai dan adat istiadat abangan. Contoh gerakan ini misalnya gerakan
Hidup Betul dan Agama Adam Makrifat yang didirikan oleh Rama Resi PranSuh Sastrasuwignya. Adapun golongan kedua mencakup gerakan sosial yang
mempunyai watak politik tinggi dan revolusioner. Sebagai contoh dapat
ditunjuk misalnya gerakan Embah Sura di Nginggil dan gerakan Semana di
Loano, Purworejo.
Dari pembahasan mengenai radikalisme agraria ini, dapat kita
simpulkan bahwa satu aspek yang paling menarik tentang gerakan sosial di
Jawa adalah dimensi politiknya. Meski begitu, ideologi mereka tetap diliputi
oleh lambang keagamaan. Dengan demikian sejauh protes agraria terus diberi
bentuk oleh lambang keagamaan tradisional, maka efektivitas gerakan
millenaristis sebagai suatu landasan aksi politik secara massal, tetap tidak
akan melemah.
C. Pergeseran Penafsiran Pola Ideologi
Ciri-ciri yang menonjol dari gerakan millenaristis pada hakekatnya
adalah persamaan, homogenitas, tak bernama, dan tidak memiliki harta benda.
Sedang tujuan dari aliran ini adalah melahirkan negara yang sempurna, semua
anggota masyarakat berstatus sederajat, kedudukan sosial dihapus, dan
kepatuhan mutlak pada pimpinan.
Rumusan tujuan dan ciri-ciri gerakan Ratu Adil seperti itu dapat
menimbulkan minimal 2 (dua) penafsiran yang sangat bertentangan satu sama
lain. Disatu pihak, sifat-sifat yang melekat pada gerakan tersebut dapat
dikatakan merupakan refleksi dan implikasi dari ajaran keagamaan yang
cukup kental (untuk tidak mengatakan ekstrem). Agama mengajarkan bahwa
seluruh manusia di bumi adalah sama, hanya taqwa-lah yang membedakan
kemuliaannya. Selain itu, umat manusia yang beriman juga diwajibkan untuk
taat dan patuh kepada Allah, Rasul dan para pemimpin atau ulil amri (baca QS
4 : 59).

Akan tetapi sebaliknya, ciri-ciri dan tujuan diatas sedikit banyak sejalan
dengan ciri-ciri masyarakat yang berdasar pada faham sosialisme-komunisme.
Disinilah pangkal dari gerakan-gerakan sosial modern, dimana nilai-nilai
religius telah dibelokkan/dimanipulasi dan diberi muatan-muatan politis oleh
kelompok tertentu untuk memobilisasi rakyat pedesaan guna mencapai tujuan
kelompok tersebut.
Apabila diperhatikan lebih seksama, akan terlihat satu gejala bahwa
dalam pergerakan sosial-politik-keagamaan di desa, para petanilah yang
memegang peran utama dan secara aktif mendukung gerakan tersebut.
Gerakan para petani inilah yang dimaksudkan sebagai mobilisasi pedesaan.
Permasalahan yang sangat krusial disini adalah, sejauh manakah terdapat
kecenderungan atau kemungkinan dikalangan penduduk desa untuk
dimobilisasikan kearah partisipasi dan integrasi politik didalam perhimpunan
politik modern? Juga, seruan-seruan macam apakah yang dapat
membangkitkan sambutan baik yang lebih besar dari rakyat, serta bagaimana
hubungannya dengan perkembangan politik di Indonesia?
Masalah keadilan, rupanya merupakan faktor yang sangat sensitif,
sehingga faktor ini pulalah yang dijadikan motivasi untuk memobilisasikan
kaum tani. Para tuan tanah atau kaum tani besar yang melaksanakan teknologi
revolusi hijau, dapat melepas atau mengusir para penyewa tanahnya, dan
mengkonsentrasikan pada pola pemilikan tanah dengan cara membeli tanah
milik kaun tani kecil. Keadaan demikian dan ditambah pula dengan terjadinya
proses polarisasi, menyebabkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin
semakin miskin.
Keadaan yang begitu kritis, telah dimanfaatkan oleh PKI untuk
mempengaruhi dan menghasut kaum tani untuk melenyapkan segala
penghisapan dan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kaum ningrat, setengah
feodal dan kelas-kelas yang ada. Bahkan dalam program PKI yang
dirumuskan menjelang Konggres Barisan Tani Indonesia (BTI) dinyatakan
bahwa semua tanah yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah asing dan Indonesia
akan disita tanpa ganti rugi. Kepada semua petani tak bertanah dan petani
miskin akan dibagikan tanah secara cuma-cuma.

Seruan-seruan semacam inilah yang menarik kaum tani untuk


mendukung dan masuk menjadi anggota PKI, sehingga dalam 1 (satu)
dasawarsa anggota BTI yang dikuasai PKI meningkat dari 400.000 menjadi 4
(empat) juta orang. Jadi tidak terlalu mengherankan apabila pada Pemilu 1955,
PKI muncul sebagai salah satu dari empat partai besar. Di Kabupaten Klaten,
Jawa Tengah, suara mayoritas untuk parlemen menempatkan PKI diurutan
teratas dengan 204.778 suara, disusul PNI (100.859 suara) dan Masyumi
(48.683 suara).
Disamping berusaha menarik anggota dari kalangan tani sebanyakbanyaknya, PKI juga membentuk Daerah Basis (DB) dan Tentara Rakyat guna
melakukan perang rakyat. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu
memobilisasi kaum petani untuk melawan kelas yang berkuasa dan menjadi
pelaksana revolusi.
Demikianlah, gerakan-gerakan petani dengan ideologi ratu adil yang
dulu bersemangatkan nafas keagamaan, kini menjadi gerakan radikal dibidang
politik. Dan apabila gerakan itu dahulu bertujuan untuk menghapuskan segala
hal yang berbau asing yang mengembalikan unsur-unsur nativisik, sekarang
tujuan utamanya adalah menuntut keadilan (dalam pengertian sama rata sama
rasa) serta distribusi tanah yang merata.
Pergeseran dalam pola dan motivasi gerakan seperti tersebut diatas
harus membangkitkan kesadaran dan kejelian kita untuk menilai dan
menyikapi suatu gerakan yang telah, sedang atau akan muncul. Hal ini sangat
penting agar kita tidak mudah terjebak dan terbawa arus dinamika perubahan.
Perubahan memang diperlukan, tetapi yang hendaknya dan seharusnya
diterapkan adalah perubahan yang sesuai dengan jiwa dan budaya masyarakat,
serta perubahan yang membawa kebaikan dan kebajikan.

Anda mungkin juga menyukai