Anda di halaman 1dari 8

Strategi Pengobatan Neuroprotektif Delayed Cerebral Ischemia pasca Subarachnoid

Hemorrhage tinjauan literatur dan prospek di masa depan


Abstrak
Artikel ini meninjau kembali data eksperimen dan data klinis mengenai berbagai jenis
agen neuroprotektif dan pengukuran efek terapi setelah terjadi aneurismal subarachnoid
hemorrhage (SAH). Antagonis kalsium telah digunakan hingga sekarang dan masih termasuk
dalam regimen standar terapi SAH. Berbagai obat lain dan berbagai cara telah diuji
potensinya dalam menghambat proses delayed ischemia pasca SAH. Artikel ini meninjau
kembali literature mengenai studi klinis tentang efektifitas berbagai agen dan metode yang
bersifat neuroprotektan termasuk statin, steroid, dan Endothelin-antagonist dan metode
alternatif lainnya seperti lavage sisterna, obat intratekal dan hiperkapnia, menyajikan
perspektif di masa mendatang untuk pengobatan penyakit yang berbahaya ini.
Kata kunci: Subarachnoid hemorrhage, neuroproteksi, delayed cerebral infarction, delayed
ischemic neurological deficit.
Pendahuluan
Delayed ischemic neurological deficit (DIND) dan delayed cerebral infarction (DCI)
adalah factor risiko pasca operasi paling penting dengan akibat yang buruk setelah terjadinya
aneurysmal subarachnoid hemorrhage (SAH) [1]. Aneurysmal SAH berhubungan dengan
jumlah total mortalitas sebanyak 50% termasuk pasien yang meninggal sebelum sampai di
Rumah Sakit. Meskipun alat diagnostik telah maju, terapi perawatan intensif modern, dan
oklusi aneurisma masih dalam tahap awal, mortalitas di rumah sakit adalah sebanyak 25%
[2]. Sebagian besar pasien yang berhasil bertahan hidup tidak dapat pulih ke kondisi sebelum
terjadinya hemorrhage [3]. Sehingga, SAH menyebabkan kerusakan pribadi pasien dan
tanggungan ekonomi yang berat kepada sistem kesehatan.
Kerusakan otak awal dalam menit pertama setelah rupturnya aneurisma tidak dapat
ditangani atau dikembalikan, karena biasanya terjadi di luar rumah sakit. Pengobatan dapat
dimulai ketika dokter IGD atau paramedic adalah orang pertama yang kontak dengan pasien.
Pada awalnya, hanya tindakan umum yang dapat diberikan seperti terapi analgesik,pemberian
oksigen, atau terkadang intubasi dan ventilasi mekanik. Pengobatan khusus tidak dapat
diberikan sebelum diagnosis SAH ditegakkan dengan CT-scan. Selanjutnya dalam perjalanan
penyakit, pasien terancam oleh terjadinya delayed ischemia yang dapat terjadi dalam

beberapa hari setelah ruptur aneurisma terjadi. Mengenai defisit delayed perfusion,
bagaimanapun terdapat kemungkinan unik dimana pemberian terapi

lanjutan dapat

dilakukan, sebelum aliran darah serebral (cerebral blood flow, CBF) menurun dibawah
ambang batas iskemia [4]. Berbagai bentuk pengobatan telah diuji dan digunakan untuk
meningkatkan CBF dan melindungi otak dari deficit iskemik. Diantara obat yang telah diuji,
antagonis

kalsium

adalah

substansi

utama

yang

paling

menjanjikan.

Mengikuti

perkembangan ilmu pengetahuan mengenai mekanisme patofisiologi, berbagai agen lain telah
diuji untuk mengetahui efektifitas terapinya.
Patofisiologi
Aneurysmal SAH ditandai oleh 3 bentuk iskemia cerebral yang berbeda. Pertama,
iskemia menyeluruh terbentuk segera setelah rupture aneurisma. Ekstravasasi darah ke ruang
subarachnoid menyebabkan peningkatan tekanan intracranial (intracranial pressure, ICP) dan
kemudian diikuti penurunan tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure, CPP).
Pada tahap ini, kondisi penyakit ini tidak dapat dintervensi dengan pengobatan karena terjadi
di luar Rumah Sakit dan sebelum diagnosis SAH ditegakkan. Rekasi akut vaskuler
menyeluruh juga meningkat pada detik atau menit pertama setelah ruptur aneurisma,
mempengaruhi seluruh vaskuler cerebral setidaknya dalam beberapa jam meskipun CPP telah
kembali normal [5].
Hari berikutnya, berbagai faktor lokal menyebabkan disfungsi endotel dan
vasokontstriksi. Sehingga terjadi perubahan dinding pembuluh darah dengan penebalan
intima dan proliferasi dinding media [6]. Beberapa hari pasca SAH, terbentuk vasospasme
pada 70% pasien yang mengalami SAH. HIngga kini, patogenesisnya belum dapat dipastikan.
Proses inflamasi berhubungan dengan fenomena ini dan berperan dalam penyempitan arteri
[7]. Jumlah darah subarachnoid adalah factor prognostic yang baik dalam pembentukan
vasospasme cerebral dan DIND mengindikasikan bahwa hemoglobin di ruang subarachnoid
adalah antigen yang menyebabkan reaksi inflamasi [8,9].
Nitric oxide (NO) menginduksi pembentukan cyclic guanosyl monophosphate (cGMP)
yang menghasilkan vasodilatasi melalui berbagai mekanisme [10,11]. Akibat afinitasnya yang
tinggi, NO mengikat hemoglobin, menghasilkan penurunan jumlah NO. Jumlah neuron
perivaskuler yang membawa NO dalam jumlah besar dan menyediakan pembuluh darah
besar intrakranial, menurun pasca SAH menyebabkan penurunan NO lebih lanjut [12,13].
Radikal bebas dihasilkan pasca SAH melalui hancurnya leukosit dan autooksidasi
hemoglobin [7,14]. Degradasi membrane protein dan lipid adalah konsekuensi akibat radikal
bebas yang menyebabkan rusaknya sel endothelial, sel otot polos, dan neuron perivaskuler.

Substansi vasoaktif terlepaskan, khususnya metabolit asam arakidonat. Masuknya secara


langsung kalsium ke sel otot polos menyebabkan kerusakan integritas membrane.
Hemoglobin menginduksi kerusakan membrane sel akibat radikal bebas dan aktivasi
Phospholipase A2. Akhirnya, pergeseran kearah metabolit asam arakidonat terjadi. Tingkat
prostasiklin berkurang dalam CSF pada pasien SAH yang terbentuk delayed vasospasm [15].
Endtohelin-1 adalah factor vasokonstriksi terkuat yang dikenal saat ini. Endtohelin-1
telah ditemukan meningkat dalam darah dan CSF pasien yang menghasilkan vasospasme
pasca SAH. Peningkatan kadar Endtohelin-1 berkorelasi dengan derajat vasospasme [16].
Ekstravasasi hemoglobin ke dalam ruang subarachnoid adalah stimulus toxin. Sistem
imun bereaksi dengan jawaban spesifik. Beberapa jam pasca SAH, molekul adesi selular
ditemukan pada permukaan luminal sel endothelial [17]. Kaskade inflamasi terbentuk,
termasuk adesi dan ekstravasasi leukosit. Berbeda dengan tipe jaringan lainnya, tidak ada
kejelasan ruang subarachnoid oleh system limfatik. Sehingga, kerusakan leukosit dan
substansi vasoaktif seperti Endothelin-1 dan radikal bebas

dibebaskan. Vasospasme

kemungkinan besar bukan monofaktorial.


Kini seluruh proses diperkirakan sebagai factor yang berpengaruh dalam penyempitan
arteri yang mungkin adalah dasar dari iskemia sekunder yang terbentuk beberapa hari pasca
aneurysmal SAH. Bagaimanapun, vasospasme iskemia sepertinya bukanlah satu-satunya
factor penyebab DCI pasca SAH. Tlah dibuktikan bahwa DCI pasca SAH dapat terjadi tanpa
vasospasme cerebral yang signifikan [18]. Di sisi lain, jumlah pasien yang menderita
vasospasme arteri lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang mengalami DCI [19].
Mekanisme patofisiologi tambahan telah diajukan untuk menjelaskan iskemia sekunder pasca
SAH. Drier et al. [20] dan Pluta et al. [21] mengusulkan double-hit model iskemia sekunder
dimana mekanisme yang menyebabkan disturbansi ion dan hipermetabolisme melapisi
penyempitan arteri dan menyebabkan DCI. Meskipun etiologi DCI tidak diketahui secara
pasti, seluruh faktor patofisiologi memiliki kecenderungan untuk berubah menjadi perbedaan
antara kebutuhan dan permintaan oksigen di otak. Megikuti perkembangan ilmu pengetahuan
mengenai mekanisme patofisiologi, beberapa usaha telah dilakukan untuk mengobati atau
mencegah iskemia sekunder pasca SAH dan meningkatkan hasil pada pasien SAH.
Bukti Efektifitas Obat pada Clinical Trials
Tidak ada, saat ini, agen spesifik yang dapat membuktikan efektifitas pengobatan
iskemia awal pasca SAH. Manajemen awal pasien SAH termasuk intubasi dan ventilasi
mekanik jika normal ventilasi dan oksigenasi berisiko, ventrikulostomi pada hidrosefalus
oklusif, penanganan peningkatan tekanan intracranial, dan pengobatan awal aneurisma

dengan surgical clipping atau endovascular coiling, terapi dinamis hiper moderat untuk
mengamankan perfusi serebral dan menghindari komplikasi medis. Karena kejadian iskemia
sekunder pasca SAH terjadi dalam beberapa hari, terdapat kemungkinan untuk memulai
pengobatan neuroprotektif spesifik untuk iskemia. Hal inilah yang membedakan secara jelas
stroke embolik yang mengenai pasien di rumah atau di lapangan, pada kebanyakan kasus
tanpa sinyal peringatan sebelumnya [22]. Berbagai jenis substansi telah diuji dalam clinical
trial.
Kostikosteroid
Reaksi inflamasi dipercaya sebagai factor yang berpengaruh dalam penyempitan arteri
pasca SAH [7,17]. Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi, menstabilkan membrane sel
dan mengarahkan kerusakan sel melalui bahan radikal dan efek influx kalsium ke dalam sel
endothelial, sel otot polos, neuron dan sel glia yang diperantarai Phospholipase A2. Efektifitas
terapi dosis tinggi dengan kortikosteroid pasca aneurismal SAH tidak diklarifikasi hingga
sekarang. Fludrocortisone mineralocorticosteroid [23,24] dan hidrokortison glukokortikoid
[25] telah diuji di studi klinis. Pada meta analisis, terapi dengan kortikosteroid tidak
menunjukkan manfaat yang signifikan untuk pasien [26]. Pada analisa terpisah, pengobatan
dengan mineralokortikoid menghasilkan komplikasi iskemia yang lebih sedikit. Efek samping
serius seperti perdarahan gastrointestinal dan ketidakseimbangan elektrolit mencegah efek
terapi pada parameter yang diamati pada terapi dengan menggunakan hidrokortison. Sebagai
ringkasan, jumlah pasien yang termasuk dalam 3 clinical trial terlalu sedikit (256 pasien) dan
studi yang dilakukan tidak sama hasilnya untuk mengindikasikan keuntungan pengguanaan
kortikosteroid. Akhir-akhir ini, randomized, placebo-controlled clinical trial dipublikasikan
dengan 95 pasien dengan aneurysmal SAH yang mendapat methylprednisolone dengan dosis
harian 16 mg/kg BB selama 3 hari. Pengobatan menghasilkan perkembangan klinis yang
mendekati tingkat signifikan [27].
Trilazard
Trilazard

mesylate

adalah

21-aminosteroid

dengan

aktivitas

mineralo-

dan

glukokortikoid yang sangat sedikit. Trilazard berfungsi sebagai radical scavenger dan
pelindung membrane [28]. Substansi ini menghambat kerusakan membrane endotel dan
neuron yang disebabkan oleh radikal bebas. Setelah hasil yang menjanjikan pada studi
eksperimental beberapa percobaan klinis dilakukan. Di beberapa studi, pasien diobati dengan
antagonis kalsium Nimodipine. Meta-analysis menunjukkan bahwa penyempitan arteri
direduki oleh pengobatan dengan trilazard. Namun, efek ini tidak diikuti oleh reduksi yang
signifikan dari DCI dan perbaikan fungsi neurologis [29].

Statin
Hydroxymethylglutaryl coenzyme A reductase inhibitors (Statin) memiliki berbagai
fungsi yang memiliki potensi menghambat vasospame cerebral. Diantara adalah aktifitas
antiinflamasi dan proteksi sel endothelial. Beberapa uji klinis telah dilakukan. Studi klinis
awal menunjukkan insidensi vasospasme cerebral, deficit neurologis terkait vasospasme, dan
mortalitas yang rendah [30,31]. Namun, uji klinis ini kecil dan memiliki variasi hasil yang
kuat. Uji klinis akhir-akhir ini melaporkan hasil yang tidak begitu menjanjikan karena tidak
dapat menunjukkan efek positif terhadap penyempitan pembuluh darah, DCI, dan fungsi
neurologis [32,33]. Usaha untuk mendapatkan Cochrane Review gagal akibat kualitas yang
buruk dari beberapa uji klinis dan tidak adanya persamaan dalam uji coba yang dilakukan
[34]. Pernyataan penutup mengenai pengobatan statin pasca SAH tidak dapat disimpulkan
[35,36].
Antagonis reseptor Endothelin
Tiga randomized clinical study telah dipublikasikan di literatur. Uji pertama
menginvestigasi non-selective (ETA/ETB) Endothelin-receptor antagonist (TAK-044), uji
kedua mencari tau mengenai selective ETA-receptors antagonist Clazosentan [37-39].
Tujuannya adalah menghambat aktivitas vasokonstriksi kuat yang digunakan oleh ET Areceptors karena konsentrasi Endothelin-1meningkat di darah dan CSF pada pasien SAH
yang mengalami vasospasme cerebral.
Sebanyak 867 pasien diikutkan dalam uji ini. Pengobatan menghasilkan reduksi
penyempitan arteri yang berbeda (OR 0.31). Insidensi DCI lebih sedikit disebutkan (OR 0.68)
dan hanya terdapat perkembangan marjinal neurologis, yang ditetapkan sebagai baik
(Glasgow Outcome Scale (GOS) 4 dan 5) dibanding buruk (GOS 1-3) (OR 0.87). Mortalitas
meningkat (OR 1.09) [40]. Ketidaksesuaian antara vasospasme cerebral dan DCI mungkin
dapat dijelaskan oleh efek hipotensi dari antagonis reseptor ET A, yang dapat mengahambat
perkembangan perfusi cerebral meskipun melemahkan penyempitan arteri. Ketidaksesuaian
antara penurunan insidensi DCI dan kegagalan peningkatan hasil klinis dan peningkatan
mortalitas mungkin dapat dijelaskan oleh efek samping sistemik yang serius seperti
pneumonia dan edema pulmonal [40].
Antagonis kalsium
Di tahun 1980-an dan 1990-an, uji klinis telah dilakukan untuk menguji efektifitas
pyrrolopyrimidine-type calcium antagonists. Substansi ini digunakan untuk menghambat
influx kalsium selular ke sel otot polos serebrovaskuler melalui kanalkalsium tipe L voltagedependent yang dicurigai bertanggung jawab terhadap terjadinya vasospame cerebral pasca

SAH. Obat ini masuk secara cepat, sehingga tidak dapat mencegah vasospasme arteri. Di
British clinical multicenter trial, penurunan insidensi DCI dan peningkatan fungsi neurologis
dengan pengobatan Nimodipine diobservasi [41]. Meskipun ini adalah uji klinis terbesar, ini
adalah satu-satunya yang mengobservasi efek terapi yang signifikan. Uji klini lain dengan
nimodipine dan antagonis kalsium gagal untuk mereduksi insidensi DCI dan meningkatkan
fungsi pasca SAH. Cochrane review 2007 menganalisis 7 prospective, randomized, placebocontrolled cinical trial dengan nimodipine dan direkomendasikan profilaksisnya pada pasien
SAH. Bagaimanapun, penulis menyimpulkan bahwa rekomendasi ini bukanlah tanpa
keraguan. Jika di atas disebutkan British multicenter trial diambil dari analisis statistik, tidak
ada efek yang menguntungkan dari pengobatan yang dihitung dan dibandingkan pengobatanpalcebo [42].
Pengobatan profilaksis dengan nimodipine telah menjadi standar terapi di berbagai
center. Namun, penggunaan standarnya harus dikritisi ulang karena terdapat variasi konflik
terhadap penggunaan nimodipine. Tidak ada bukti untuk penggunaan intravena, yang dahulu
dipromosikan oleh pabrik. Informasi mengenai penggunaan oral agen jarang ada. Pada pasien
yang diventilasi mekanik, nimodipine oral harus dimasukkan melalui stomach tube.
Khususnya dalam fase weaning setelah beebrapa hari ventilasi mekanik, yang sama dengan
berbagai kasus vasospasme maksimum, refluk gaster membuat uptake substansi melalui oral
tidak dapat dihitung. Nimodipine dapat menyebabkan hipotensi dan dapat membuka aliran
arterioveno pulmonal yang menghasilkan masalah oksigenasi. Akhirnya, meta-analyses
mengenai penggunaan anatgonis kalsium yang tersedia hingga saat ini, berkenaan dengan
clinical trial yang dilakukan lebih dari 25 tahun yang lalu. Tujuan penggunaan nimodipine
dan antagonis kalsium lainnya adalah menghindari deficit perfusi cerebral. Selama 25 tahun
terakhir, terapi perawatan intensif telah berkembang, banyak aneurisma yang diterapi dengan
endovascular coiling, dan endovascular balloon dilatation dan vasospasmolysis digunakan
untuk mengobati penyempitan arteri dari pembuluh darah cerebral dan meningkatkan CBF
[43]. Prasyarat telah berubah dan ini menjadi meragukan apakah pengobatan oral profilaksis
dengan nimodipine masih memberikan efek yang menguntungkan dibawah standar pelayanan
pengobatan modern [44].
Magnesium sulfate
Magnesium telah disebut sebagai penghambat kalsium fisiologis alam yang
merupakan mineral fisiologis dan ikut bercampur dengan kalsium dalam berbagai jalan [45].
Kation magnesium bivalen dapat bersaing dengan ion kalsium untuk mengikat reseptor atau
melewati kanal ion. Dia akan mendilatasi pembuluh darah dengan inhibisi kompetitif kanal

kalsium voltage-dependent di sel otot polos vaskuler [46], meningkatkan fungsi neurologis
dengan menghambat agregasi platelet [47,48], dan meningkatkan deformabilitas sel darah
merah [49]. Dibawah kondisi eksperimental, dia menghambat influx kalsium seluler dan
melepaskan asam amino eksitatorik di neuron deng memblok kanal kalsium tipe N dan L
[50], mencegah kalsium seluler masuk melalui kanal reseptor NMDA [51], mereduksi
disfungsi mitokondria yang diinduksi kalsium [53]. Dengan mekanisme ini, magnesium dapat
menghambat atau menunda kematian sel iskemik selama dan setelah kejadian iskemik
cerebral.
Tekanan darah yang rendah adalah factor risiko untuk menambah kerusakan akibat
iskemik pada iskemia cerebral menurunkan alirna kolateral di penumbra iskemik. Oleh
karena itu, dosis magnesium harus dijaga agar cukup rendah untuk memastikan tekanan darah
yang stabil jika diberikan sebagai neuroprotektor. Di studi eksperimental temporary middle
cerebral artery occlusion (MCAO) pada tikus, konsentrasi serum 2.0-2.5 mmol/l
menunjukkan efek neuroprotektif tertinggi [54]. Pada dosis yang lebih tinggi, efek
cardiopressive sepertinya membatasi tingkat neuroproteksi.
Fungsi potensial pengobatan denganmagnesium didukung oleh observasi bahwa
magnesemia sering terjadi pada pasien SAH dan berhubungan dengan jumlah darah yang ada
di ruang subarachnoid dan dengan kondisi neurologis pasien di waktu dibawa masuk rumah
sakit. Hipomagnesemia meningkat selama pemberian obat berhubungan dengan munculnya
deficit neurologis sekunder dan infark iskemik [55]. Percobaan klinis telah dilakukan untuk
mengukur kemampuan untuk mereduksi deficit neurologis sekunder pasca SAH. Beberapa
studi observasi kecil dan placebo-controlled studies menggunakan dosis berbeda magnesium
sulfate intravena membuahkan hasil yang menjanjikan [56-61]. Pada randomized, placebocontrolled multicenter study yang dilakukan oleh van den Bergh et al., pasien mendapat dosis
harian 64 mmol MgSO4 selama 14 hari. Hasilnya menjanjikan. Pengobatan magnesium
mereuksi risiko DCI sebesar 34% dan fungsi yang buruk sebesar 23%. Termasuk 283 pasien,
tetapi, studi ini belum kuat [62]. Di percobaan Asia Tenggara/Australia, 327 pasien
dirandomisasi untuk mendapatkan placebo atau dosis harian 80 mmol/l MgSO 4. Peneliti
melaporkan keuntungan yang tidak signifikan pengobatan magnesium memperhatikan DCI
dan fungsi neurologis setelah 6 bulan [63]. Percobaan klinis terbesar telah dilakukan oleh
Mees et al. Di percobaan multicenter ini, 1.204 pasien dengan aneurysmal SAH diikutkan dan
dirandomisasi untuk mendapat 64 mmol MgSO4 tiap hari atau placebo. Pemberian MgSO4
tidak meningkatkan fungsi klinis pada 3 bulan pasca SAH [64].

Hasil ini juga membutuhkan analisis kritis. Kecuali percobaan klinis kecil oleh Luo et
al. [56], yang membandingkan pengobatan magnesium dengan grup placebo, seluruh pasien
yang ikut dalam percobaan diterapi juga dengan nimodipine. Penliti studi terakhir
menyimpulkan bahwa magnesium intravena gagal meningkatkan fungsi neurologi dan
mortalitas kecuali menurunkan insidensi CI [65]. Diantara percobaan yanga da, dosis
magnesium bervariasi secara signifikan. Namun, seluruh studi yang tidak menunjukkan
manfaat pengobatan magnesium menggunakan nimodipine sebagai pengobatan standar yang
dimasukkan ke dalam grup uji dan grup control. Schmid-Elsaesser et al. membandingkan
percobaan dengan magnesium dengan nimodipine. Pasien grup magnesium tidak mendapat
nimodipine. Peneliti tidak menemukan perbedaan yang signifikan dari dua terapi tersebut
[66]. Pada studi kami sendiri, pengobatan magnesium dibandingkan dengan grup placebo dan
menghasilkan peningkatan yang signifikan peningkatan DCI dan spasme arteri. Nimodipine
diberikan tidak kepada kedua grup [67]. The combined administration

Anda mungkin juga menyukai