Anda di halaman 1dari 14

TUTORIAL KLINIK

NEURALGIA TRIGEMINAL
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD Dr. H. SOEWONDO KENDAL
PERIODE 22 JULI 15 AGUSTUS 2015

Disusun Oleh :
Bagus Ayu Purnamasari
01.210.6101
Pembimbing :
dr. Rr. Emmy Kusumawati, Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015

NEURALGIA TRIGEMINAL

I. PENDAHULUAN
Neuralgia trigeminal adalah kelainan yang ditandai oleh serangan nyeri berat
paroksismal dan singkat dalam cakupan persarafan satu atau lebih cabang nervus trigeminus,
biasanya tanpa bukti penyakit saraf organik. 1. Penyakit ini menyebabkan nyeri wajah yang
berat. Penyakit ini juga dikenal sebagai tic doulourex atau sindrom Fothergill.2
Neuralgia trigeminal pertama dijelaskan oleh dokter Arab bernama Jurjani pada abad
ke delapan. Jurjani juga merupakan orang pertama yang mengajukan teori kompresi vaskular
pada neuralgia trigeminal. Dokter Prancis, Nicoulaus Andre, memberikan penjelasan yang
detail mengenai neuralgia trigeminal pada tahun 1756 dan menciptakan istilah tic doulourex.
Dokter Inggris, John Fothergill juga menjelaskan sindrom ini pada pertengahan tahun
1700an, dan kelainan ini kadang disebut sebagai penyakit Fothergill . Pengetahuan mengenai
neuragia trigeminal berkembang perlahan selama abad ke dua puluh. Pada tahun 1960an,
pengobatan yang efektif dengan obat dan operasi mulai tersedia.2
Neuralgia trigeminal merupakan kelainan yang jarang pada serabut sensoris dari nervus
trigeminus (nervus kranial ke-5), yang menginervasi wajah dan rahang. Neuralgia pada
penyakit ini disertai dengan nyeri yang berat dan menusuk pada rahang dan wajah, biasanya
pada satu sisi dari rahang atau pipi, yang biasanya terjadi dalam beberapa detik. Nyeri
sebelum pengobatan dirasakan berat, namun demikian neuralgia trigeminal bukan termasuk
penyakit yang membahayakan nyawa. Sebagaimana diketahui, terdapat dua nervus
trigeminus, satu untuk setiap sisi dari wajah, neuralgia trigeminal sering mengenai salah satu
sisi dari wajah dan tergantung pada nervus trigeminus yang mana yang terkena.2
Nyeri neuralgia trigeminal adalah unilateral dan mengikuti distribusi sensoris dari
nervus kranial V, khas mengenai daerah maksila (V.2) atau mandibula (V.3). Pemeriksaan
fisis biasanya dapat mengeliminasi diagnosa alternatif. Tanda dari disfungsi nervus kranialis
atau abnormalitas neurologis yang lain menyingkirkan diagnosis dari neuralgia trigeminal
idiopatik dan mungkin menandakan nyeri sekunder yang dirasakan akibat lesi struktural.3

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Nervus trigeminus adalah saraf otak motorik dan sensorik. Serabut motoriknya
mempersarafi muskulus maseter, temporalis, pterigoideus internus et eksternus, tensor
timpani, omohioideus dan bagian anterior muskulus digastrikus.

Gambar 1. Anatomi dari nervus trigeminus


Inti motoriknya terletak di pons. Serabut-serabut motoriknya bergabung dengan serabutserabut sensorik nervus trigeminus yang berasal dari ganglion Gasseri. Serabut-serabut
sensoriknya menghantarkan impuls nyeri, suhu, raba dan perasaan proprioseptif.
Kawasannya ialah wajah dan mukosa lidah dan rongga mulut serta lidah, dan rongga hidung.
Impuls proprioseptif, terutama berasal dari otot-otot yang dipersarafi oleh cabang mandibular
sampai ke ganglion Gasseri.4

Cabang pertama N.V. ialah cabang oftalmikus. Ia menghantarkan impuls protopatik


dari bola mata serta rung orbita, kulit dahi sampai vertex. Impuls sekretomotorik dihantarkan
ke glandula lakrimalis. Serabut-serabut dari dahi menyusun nervus frontalis. Ia masuk
melalui ruang orbita melalui foramen supraorbitale. Serabut-serabut dari bola mata dan
rongga hidung bergabung menjadi seberkas saraf yang dikenal sebagai nervus nasosiliaris.
Berkas saraf yang menuju ke glandula lakrimalis dikenal sebagai nervus lakrimalis. Ketiga
berkas saraf, yakni nervus frontali, nervus nasosiliaris dan nervus lakrimalis saling mendekat
pada fisura orbitalis superior dan di belakang fisura tersebut bergabung menjadi cabang I
N.V. (nervus oftalmikus). Cabang tersebut menembus duramater dan melanjutkan perjalanan
di dalam dinding sinus kavernosus. Pada samping prosesus klinoideus posterior ia keluar dari
dinding tersebut dan berakhir di ganglion Gasseri.4
Cabang kedua ialah cabang maksilaris yang hanya tersusun oleh serabut-serabut
somatosensorik yang menghantarkan impuls protopatik dari pipi, kelopak mata bagian
bawah, bibir atas, hidung dan sebagian rongga hidung, geligi rahang atas, ruang nasofarings,
sinus maksilaris, palatum molle dan atap rongga mulut. Serabut-serabut sensorik masuk ke
dalam os. maksilaris melalui foramen infraorbitalis. Berkas saraf ini dinamakan nervus
infraorbialis. Saraf-saraf dari mukosa cavum nasi dan rahang atas serta geligi atas juga
bergabung dalam saraf ini dan setelahnya disebut nervus maksilaris, cabang II N.V. Ia masuk
ke dalam rongga tengkorak melalui foramen rotundum kemudian menembus duramater untuk
berjalan di dalanm dinding sinus kavernosus dan berakhir di ganglion Gasseri. Cabang
maksilar nervus V juga menerima serabut-serabut sensorik yang berasal dari dura fossa
crania media dan fossa pterigopalatinum.4
Cabang mandibularis (cabang III N.V. tersusun oleh serabut somatomotorik dan
sensorik serta sekretomotorik (parasimpatetik). Serabut-serabut somatomotorik muncul dari
daerah lateral pons menggabungkan diri dengan berkas serabut sensorik yang dinamakan
cabang mandibular ganglion gasseri. Secara eferen, cabang mandibular keluar dari ruang
intracranial melalui foramen ovale dan tiba di fossa infratemporalis. Di situ nervus meningea
media (sensorik) yang mempersarafi meninges menggabungkan diri pada pangkal cabang
madibular. Di bagian depan fossa infratemporalis, cabang III N.V. bercabang dua . Yang satu
terletak lebih belakang dari yang lain. Cabang belakang merupakan pangkal dari saraf aferen
dari kulit daun telinga (nervus aurikulotemporalis), kulit yang menutupi rahang bawah,

mukosa bibir bawah, dua pertiga bagian depan lidah (nervus lingualis), glandula parotis dan
gusi rahang bawah ( nervus dentalis inferior) dan serabut eferen yang mempersarafi otot-otot
omohioideus dan bagian anterior muskulus digastrikus Cabang anterior dari cabang
madibular terdiri dari serabut aferen yang menghantarkan impuls dari kulit dan mukosa pipi
bagian bawah dan serabut eferen yang mempersyarafi otot-otot temporalis, masseter,
pterigoideus dan tensor timpani. Serabut-serabut aferen sel-sel ganglion gasseri bersinaps di
sepanjang wilayah inti nukleus sensibilis prinsipalis (untuk raba dan tekan)serta nukleus
spinalis nervi trigemini (untuk rasa nyeri) dan dikenal sebagai tractus spinalis nervi
trigemini.4

III.

EPIDEMIOLOGI
Tidak ada studi sistematik mengenai prevalensi dari neuralgia trigeminal, namun suatu

kutipan yang diperkirakan diterbitkan pada tahun 1968 mengatakan bahwa prevalensi dari
neuralgia trigeminal mendekati 15,5 per 100.000 orang di United States. 2,3 Sumber lain
mengatakan bahwa insiden tahunannya adalah 4-5 per 100.000 orang, dimana menandakan
tingginya prevalensi. Di beberapa tempat, penyakit ini jarang ditemukan. Onsetnya usia
diatas 40 tahun pada 90% penderita. Neuralgia trigeminal sedikit lebih umum terjadi pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki.2
Penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan dan biasanya timbul setelah umur 50
tahun, jarang setelah umur 70 tahun. Insiden familial sedikit lebih tinggi (2%) dibanding
insiden sporadik. Faktor resiko epidemiologis (umur, ras, kebiasaan merokok dan minum
alkohol) diperkirakan penting dalam hubungannya dengan apakah wajah atas atau wajah
bawah yang terkena.1 Perbandingan frekuensi antara laki-laki dan perempuan adalah 2:3,
sedangkan perkembagan dari neuralgia trigeminal pada usia muda dihubungkan dengan
kemungkinan dari multiple sklerosis. Neuralgia trigeminal yang idiopatik khas terjadi pada
dekade kelima kehidupan, tapi dapat pula terjadi pada semua umur, sedangkan simptomatik
atau neuralgia trigeminal sekunder cenderung terjadi pada pasien yang lebih muda.3
IV.

ETIOPATOGENESIS

Etiologi kondisi idiopatik ini tidaklah diketahui sepenuhnya. Namun, kasus-kasus


simtomatik akibat lesi organic yang dapat diidentifikasi lebih umum ditemui daripada yang
sebelumnya disadari.1
Beberapa kasus mencerminkan gangguan serabut eferen nervus V oleh berbagai
struktur abnormal sehingga disebut sebagai kasus-kasus neuralgia trigeminal simtomatik. 4
Pada beberapa kasus seperti ini, nervus trigeminus tertekan oleh pembuluh darah
vertebrobasiler yang ektasis atau`akibat tumor-tumor seperti neuroma trigeminal atau
akustik, meningioma dan epidermoid pada sudut serebellopontin (adams). 5 Selain itu, traksi
juga dapat diakibatkan oleh hidrosefalus akibat stenozis aquaductus.1
Beberapa kasus walaupun jarang merupakan manifestasi dari sklerosis multipel yang
menyerang radiks desendens nervus trigeminus dan merupakan penyebab terbanyak kasus
pada penderita muda.1,5 Selain itu, kausa lain yang dipostulatkan adalah inflamasi ganglion
nonspesifik, maloklusi gigi, iskemia serta proses degeneratif sistem saraf.1

V.

GAMBARAN KLINIS
Ciri khas neuralgia trigeminal adalah nyeri seperti tertusuk-tusuk singkat dan

paroksismal, yang untuk waktu yang lama biasanya terbatas pada salah satu daerah
persarafan cabang nervus V. Jika terbatas pada daerah yang dipersarafi oleh salah satu
cabang, kondisi yang ada dapat disebut neuralgia supraorbital, infraorbital atau mandibular
tergantung saraf yang terlibat. Cabang I jauh lebih jarang terserang dan kadang-kadang
setelah cabang II sudah terserang. Jika nyeri berawal pada daerah yang dipersarafi cabang II
atau III, biasanya akan menyebar ke kedua cabang lainnya. Pada beberapa kasus dapat terjadi
nyeri bilateral walaupun sangat jarang terjadi bersamaan pada kedua sisi. Menurut definisi
yang ada, pasien akan bebas dari rasa nyeri di antara dua serangan paroksismal beruruan ,
walaupun nyeri sisahan kadang kadang ada.

Nyeri biasanya terbatas pada disteribusi

kutaseus cabang nV, tidak melintasi linea mediana dan dapat dipicu oleh lebih dari satu titik
pemicu. Nyeri dapat sangat dirasakan pada kening, pipi, rahang atas atau bawah, atau lidah.
Nyeri cenderung menyebar ke daerah persarafan cabang lain. Penampakan klinis yang khas
adalah nyeri dapat dipresipitasi oleh sentuhan pada wajah , seperti saat cuci muka atau

bercukur, berbicara, mengunyah dan menelan. Nyeri yang timbul biasanya sangat berat
sehingga pasien sangat menderita. Nyeri seringkali menimbulkan spasme reflex otot wajah
yang terlibat sehingga disebut tic douloreaux, kemerahan pada wajah, lakrimasi dan
salivasi.1
Pada neuralgia trigeminal seringkali tidak ditemukan berkurangnya sensibilitas tetapi
dapat ditemukan penumpulan rangsang raba atau hilangnya refleks kornea walaupun jarang.
Serangan yang timbul dapat mengurangi nafsu makan, rekurensi dalam jangka lama dapat
menyebabkan kehilangan berat badan, depresi hingga bunuh diri. Untungnya, serangan biasa
berhenti pada malam hari, walaupun pasien dapat juga terbangun dari tidur akibat serangan.
Remisi dari rasa sakit selamam berminggu-minggu hingga berbulan-bulan merupakan tanda
dari penyakit tahap awal.1

VI.

DIAGNOSIS
Kesulitan dalam mendiagnosis sangat kecil jika perhatian dipusatkan pada tanda-tanda

kardinal, khususnya serangan paroksismal dengan rasa bebas dari nyeri setelahnya, serta
adanya daerah-daerah pemicu pada wajah yang dapat dideskripsikan oleh pasien.1 Pasien
tidak akan menyentuh daerah tersebut tapi hanya menunjukkan daerah-daerah tersebut
dengan jarinya.5 Diagnosis dapat dipermudah jika ditemukan semua atau kebanyakan dari
poin-poin yang ada pada tabel berikut:
Tabel 1. Ciri khas neuralgia trigeminal 6
A.
B.
C.
D.

Nyeri: paroksismal, intensitas tinggi, durasi pendek, sensasi shooting


Cabang kedua atau ketiga n. trigeminus
Kejadian: unilateral
Onset: umur pertengahan; wanita (3:2); kambuh-kambuhan sering pada

musim semi dan gugur


E. Daerah pencetus: 50%; sensitive terhadap sentuhan atau gerakan
F. Kehilangan fungsi sensorik: tidak ada ( kecuali pernah dirawat
sebelumnya)
G. Perjalanan penyakit: intermitten; cenderung memburuk; jarang hilang
spontan
H. Insidensi familial: jarang (2%)

Pada anamnesa yang perlu diperhatikan adalah lokalisasi nyeri, kapan dimulainya
nyeri, menentukan interval bebas nyeri, menentukan lamanya, efek samping, dosis, dan
respons terhadap pengobatan, menanyakan riwayat penyakit lain seperti ada penyakit herpes
atau tidak. Pada pemeriksaan fisik neurologi dapat ditemukan sewaktu terjadi serangan,
penderita tampak menderita sedangkan diluar serangan tampak normal. Reflek kornea dan
test sensibilitas untuk menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus bilateral.
Membuka mulut dan deviasi dagu untuk menilai fungsi otot masseter (otot pengunyah) dan
fungsi otot pterygoideus. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti CT scan kepala
atau MRI kepala. CT scan kepala dari fossa posterior bermanfaat untuk mendeteksi tumor
yang tidak terlalu kecil dan aneurisma. MRI sangat bermanfaat karena dengan alat ini dapat
dilihat hubungan antara saraf dan pembuluh darah juga dapat mendeteksi tumor yang masih
kecil, MRI juga diindikasikan pada penderita dengan nyeri yang tidak khas distribusinya atau
waktunya maupun yang tidak mempan pengobatan. Indikasi lain misalnya pada penderita
yang onsetnya masih muda, terutama bila jarang jarang ada saat saat remisi dan terdapat
gangguan sensisibilitas yang objektif.
Tidak ada uji spesifik dan definitif untuk neuralgia trigeminal. Pemeriksaan radiologis
seperti CT scan dan MRI atau pengukuran elektrofisiologis periode laten kedipan dan refleks
rahang

dikombinasikan

dengan

elketromiografi

masseter

dapat

digunakan

untuk

membedakan kasus-kasus simtomatik akibat gangguan struktural dari kasus idiopatik.1,2


Pengukuran potensial somatosensorik yang timbul setelah perangsangan

nervus

trigeminus dapat juga digunakan untuk menentukan kasus yang disebabkan oleh ektasis arteri
sehingga dapat ditangani dengan dekompresi operatif badan saraf pada fossa posterior.1

VII.

DIAGNOSA BANDING
Neuralgia trigeminal harus dibedakan dari tipe nyeri lainnya yang muncul pada wajah

dan kepala.6
Nyeri neuralgia postherpetikum dapat menyerupai neuralgia trigeminal, tetapi adanya
eskar bekas erupsi vesikel dapat mengarahkan kepada neuralgia postherpetikum. Neuralgia

postherpetikum pada wajah biasanya terbatas pada daerah yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus cabang pertama.1,5
Sindrom Costen yang bermanifestasi sebagai nyeri menjalar ke rahang bawah dan
pelipis saat mengunya) dapat menyerupai neuralgia trigeminal tetapi hanya dipicu oleh
proses mengunyah; biasanya disebabkan oleh artrosis temporomandibular dan maloklusi
gigi.1
Nyeri psikogenik daerah wajah sering menyebabkan kesulitan diagnosis. Sindrom yang
disebut neuralgia fasial atipik ini (nyeri wajah atipikal) sering ditemukan pada wanita muda
atau setengah baya. Nyeri bersifat tumpul dan menetap, sering kali unilateral pada rahang
atas (walaupun dapat menyebar ke bagian lain kepala dan leher) dan biasanya dihubungkan
dengan manifestasi ansietas kronik dan depresi. Tanda-tanda fisis tidak ditemukan dan
pemberian analgetika tidak mempan. Perbaikan biasanya diperoleh dengan penggunaan
antidepresan dan obat penenang oleh karena itu, penentuan diagnosis harus sebaik mungkin 1
Neuralgia migrainosa (nyeri kepala sebelah) dapat menyebabkan nyeri paroksismal
berat pada daerah persarafan trigeminal tetapi dapat dibedakan berdasarkan periode,
ketiadaan faktor pencetus dan durasi tiap nyeri paroksismal yang lebih lama.1,6
Diagnosis
Banding

Persebaran

Karakteristik
Klinis

Faktor yang
Meringankan/

Penyakit yang
Dihubungkan

Tata Laksana

Neuralgia

Daerah

Laki- laki/

Memperburuk
Titik-titik

Idiopatik

Carbamazepine

Trigeminal

persarafan

perempuan =

rangsang

Skeloris

Phenytoin

cabang 2

1:3

sentuh,

multipel pada

Gabapentin

dan 3

Lebih dari 50

mengunyah,

dewasa muda

Injeksi alkohol

nervus

tahun

senyum, bicara,

Kelainan

Koagulasi atau

trigeminus,

Paroksismal

dan menguap

pembuluh

dekompresi

unilateral

(10-30 detik),

darah

bedah

nyeri bersifat

Tumor nervus

menusuk-nusuk

atau sensasi

terbakar,
persisten selama
bermingguminggu atau
lebih
Ada titik-titik
pemicu
Tidak ada
paralisis motorik
maupun
Neuragia

Unilateral

sensorik
Lebih banyak

Fasial

atau

Atipik

Tidak ada

Status ansietas

Anti ansietas

ditemukan pada

atau depresi

dan anti

bilateral,

wanita usia 30-

Histeria

depresan

pipi atau

50 tahun

Idiopatil

angulus

Nyeri hebat

nasolabialis, berkelanjutan
hidung

umumnya pada

bagian

daerah maksila

Neuralgia

dalam
Unilateral

Riwayat herpes

Sentuhan,

Postherpeti

Biasanya

Nyeri seperti

pergerakan

kum

pada daerah

sensasi terbakar,

persebaran

berdenyut-

cabang

denyut

oftalmikus

Parastesia,

nervus V

kehilangan

Herpes Zoster

Carbamazepin,
anti depresan
dan sedatif

sensasi sensorik
keringat
Sikatriks pada
Sindrom

Unilateral,

kulit
Nyeri berat

Mengunyah,

Ompong,

Perbaikan

Costen

dibelakang

berdenyut-

tekanan sendi

arthritis

geligi, operasi

atau di

denyut

temporomandib

rematoid

pada beberapa

depan

diperberat oleh

ular

telinga,

proses

pelipis,

mengunyah

wajah

Nyeri tekan

kasus

sendi
temporomandib
ula
Maloklusi atau
Neuralgia

Orbito-

ketiadaan molar
Nyeri kepala

Migrenosu

frontal,

sebelah

pelipis,

Alkohol pada
beberapa kasus

Tidak ada

Ergotamin
sebagai
profilaksis

rahang atas,
angulus
nasolabial
Tabel 1 : Tabel Diagnosis Banding

VIII. PENATALAKSANAAN
A. Medikamentosa
Obat yang paling efektif adalah karbamazepin (tegretol ) 100-200 mg 3-4X sehari
tergantung toleransi. Obat ini, suatu antikonvulsan, efektif pada kebanyakan kasus tetapi
menyebabkan rasa pusing dan mual pada beberapa pasien sedangkan pada pasien lain
timbul ruam pada kulit dan leucopenia sehingga terpaksa dihentikan. Setelah beberapa
minggu atau bulan pemberian, obat dapat dihentikan tetapi harus diberikan lagi jika
nyeri berulang.1
Obat-obatan anti konvulsan selain karbamazepin dapat memperpendek durasi dan
beratnya serangan. Obat-obat seperti ini contohnya phenitoin (300-400 mg/hari), asam
falproat (800-1200 mg/hari), klonazepam (2-6 mg/hari), dan gabapentin (300-900

mg/hari). Baclofen dapat digunakan pada pasien yang tidak mentoleransi karbamazepin
atau gabapentin, tetapi sebenarnya paling efektif digunakan sebagai adjuvan terhadap
salah satu antikonvulsan. Capsaisin yang diberikan lokal pada titik pemicu atau
diberikan sebagai tetes mata topikal pada mata (proparakain 0,5%) cukup membantu
pada beberapa pasien.7
Sekitar 80% pasien berespon pada pengobatan karbamazepin atau gabapentin
dengan dosis yang tepat. Pengobatan harus dilakukan setiap hari dan dosisnya dinaikkan
secara bermakna hingga nyeri yang dirasakan berkurang.8
B. Injeksi
Jika nyeri terbatas pada daerah persebaran saraf supraorbital dan infraorbital, injeksi
alkohol atau fenol seringkali dapat memberikan kelegaan yang bertahan berbulan-bulan
hingga menahun. Setelah itu, injeksi harus diulang jika nyeri rekuren. Sayangnya, injeksi
berikutnya lebih sulit dilakukan akibat sikatriks yang timbul akibat injeksi sebelumnya.
Walaupun begitu, terapi injeksi cukup berguna untuk menghindari operasi selama
beberapa waktu dan pada waktu bersamaan membiasakan pasien dengan efek samping
yang tidak terhindarkan yang dapat ditimbulkan oleh operasi, utamanya hilang rasa.1,6
C. Operatif
Operasi klasik untuk penyakit ini bertujuan membagi ganglion sensorik nervus
trigeminus yang terletak proksimal dari ganglion Gasseri pada fossa crania medialis.
Ganglion motorik tetap tidak mendapat intervensi dan dengan menyisakan serabut saraf
bagian atas, pasien tetap dapat merasa pada daerah yang dipersarafi cabang I. sehingga
serabut saraf sensorik kornea dan reflex kornea tetap normal. Rasa nyeri dan raba akan
hilang selamanya pada daerah yang dipersarafi serabut saraf yang diinsisi. Jika saraf
perifer diinsisi di distal ganglion Gasseri, dapat terjadi regenerasi sehingga nyeri muncul
lagi. Cabang sensorik juga dapat dibagi di dalam fossa kranial posterior di mana serabut
tersebut bergabung dengan pons. Dengan pendekatan yang serupa, tractus medulla
desendens nervus trigeminus dapat dipotong pada medulla. Karena traktus ini hany
mengandung serabut saraf nyeri, sensasi sentuh tetap dipertahankan. Tractotomi jauh
lebih berbahaya dengan hasil tidak pasti disbanding pembelahan cabang sensorik
sehingga biasanya dilakukan hanya pada kondisi-kondisi tertentu seperti jika nyeri

terbatas pada nervus supraorbitalis dan reflex kornea ingin dipertahankan, atau terdapat
keterlibatan bilateral dan cabang motorik ingin dipastikan bertahan.6
Taarnhoj meyakini bahwa neuralgia trigeminal diakibatkan oleh jepitan saraf ketika
melalui sambungan fossa posterior dan medial sehingga dilakukan operasi dekompresi
tanpa pembelahan saraf tetapi rekurensi setelah operasi seperti ini cukup tinggi.
Penelitian selanjutnya memperlihatkan keraguan akan adanya dekompresi dan bahwa
hasil yang diperoleh dari operasi dekompresi diakibatkan oleh jejas pada saraf dan bukan
dekompresi sesuai teori.6
Hasil operasi disimpulkan oleh White dan Sweet. Secara umum, dengan kompetensi
yang cukup, rhizotomi retroGasseri memiliki angka mortalitas < 1%. Insidensi
komplikasi berupa palsi fasial < 5%. Kelegaan dari nyeri cukup memuaskan dan
permanen.6
IX.

PROGNOSIS
Neuralgia trigeminal bukan merupakan penyakit yang mengancam nyawa. Namun,

neuralgia trigeminal cenderung memburuk bersama dengan perjalanan penyakit dan banyak
pasien yang sebelumnya diobati dengan tatalaksana medikamentosa harus dioperas pada
akhirnya. Banyak dokter menyarankan operasi seperti dekompresi mikrovaskular pada awal
penyakit untuk menghindari jejas demyelinasi. Namun, masih ada perdebatan dan
ketidakpastian mengenai penyebab neuralgia trigeminal, serta mekanisme dan faedah dari
pengobatan yang memberikan kelegaan pada banyak pasien.2

DAFTAR PUSTAKA
1. Walton, Sir John. Brains Disease of Nervous System. New York: Oxford Universiy
Press; 1985.p.110-2
2. Turkingston, Carol A. Trigeminal Neuralgia. In: Stacey L C and Brigham N, editors. The
Gale Encyclopedia Of Neurological Disorder. Detroit: Thomson Gale; 2006.p.875-7.
3. Huff S J. Trigeminal Neuralgia. [Online] 2010 [cited 2011 January 31]:[1 screen].
Available from: URL: http://emedicine.org/trigeminal-neuralgia.htm
4. Marjono, Mahar and Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat;
1988.p.149-59
5. Merrit H H. A Textbook Of Neurology 5th ed. Philadelphia: Lea and Febiger; 1973.p.3658
6. Kane CA and Walter W. Craniofacial Neuralgia. In: Baker A B. Clinical Neurology. New
York: Harper and Row; 1965.p.1897-904
7. Ropper AH and Robert H B. Adams And Victors Principles Of Neurology 8 th ed. New
York: McGraw-Hill; 2006.p.161-3
8. Mumenthaler M, Heinrich M, and Ethan T. Fundamentals Of Neurology An Illustrated
Guide. New York: Thieme; 2006.p.253-4

Anda mungkin juga menyukai