Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini bersifat intraseluler dan banyak
menyerang organ paru (Alsagaff, Hood, et al. 2010). TB terbukti pertama kali
ditemukan pada mummie Mesir sekitar 1500 sebelum masehi. Hipocrates
kemudian menyebutnya sebagai Phtiasis Pulmonalis atau plak putih (Dooley &
Chaison, 2009).
Tuberkulosis paru dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Hal ini
dapat dilihat dari pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam yaitu bayangan berawan/nodular, kavitas, atau
bayangan bercak milier pada parenkim paru. Gambaran foto toraks juga dapat
menginformasikan sejauh mana tuberkulosis telah merusak paru dan jaringan lain
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002).
Tuberkulosis (TB) paru merupakan masalah kesehatan terbesar yang belum
dapat teratasi. Sekitar sepertiga penduduk dunia diperkirakan terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Menurut survei pada tahun 1995 diperkirakan ada 9
juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia dimana 95%
kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara
berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada
kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Dari semua penderita TB,

sekitar 75% adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50
tahun) (DepkesRI, 2007).
Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan
banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang
dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden
countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB
sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Munculnya pandemi HIV/AIDS di
dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan
risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda
kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi
masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.
(DepkesRI, 2007).
Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 35 % dari kasus
seluruh TB di dunia. TB juga menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di
Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ke-5 untuk insidens kasus TB
terbanyak di dunia setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria dari total
jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada
539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif
sekitar 110 per 100.000 penduduk. Survey Kesehatan Rumah tangga (SKRT)
pada tahun 2001 menunjukkan TB menjadi penyebab kematian pertama dari
golongan penyakit infeksi (DepkesRI, 2007).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff, Hood, et al. 2010).
2.2 Etiologi
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh M. tuberculosis merupakan bakteri
berbentuk batang non motil dengan ukuran 0,2-0,6 x 1-10m (Brooks et al, 2010).
Sifat dari bakteri ini adalah aerob, sehingga lebih senang hidup pada jaringan
yang memiliki kandungan oksigen tinggi seperti apeks paru (Sudoyo, 2009).
Bakteri ini lebih dikenal dengan sebutan Basil Taham Asam (BTA), hal ini
dikarenakan komponen dinding sel bakteri ini sebagian besar terdiri atas asam
lemak (lipid) yang memberi karakteristik pertumbuhan yang lambat, sebagai
antigen, resisten terhadap detergen serta resisten terhadap beberapa antibiotik
(Brooks et al, 2010).
BTA ini juga tahan terhadap rangsangan kimia maupun fisik, dan dapat
bertahan hidup pada udara kering maupun keadaan dorman yakni keadaan dingin
selama bertahun-tahun dan dapat menjadi aktif kembali (Sudoyo, 2009).
2.3 Epidemiologi
Tuberkulosis saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
bersifat global di seluruh dunia. Pada tahun 2010, terdapat estimasi sekitar 8,8 juta
kasus tuberkulosis baru yaitu sekitar 128 kasus per 100.000 populasi penduduk.

Sebagian besar kasus tersebut pada tahun 2010 terjadi di Asia (59%) dan Afrika
(26%), sedangkan proporsi yang lebih kecil terjadi di Mediterian Timur (7%),
Eropa (5%), dan Amerika (3%). Dari estimasi jumlah kasus tuberkulosis baru
tersebut, 59% terjadi di benua Asia. Indonesia merupakan negara dengan insidensi
kasus tuberkulosis baru terbesar keempat di dunia pada tahun 2010 setelah India,
China dan Afrika Selatan. Tercatat sekitar 450.000 kasus tuberkulosis baru dan
64.000 kasus kematian akibat tuberkulosis di Indonesia (WHO, 2011).
Berdasarkan WHO report mengenai Global Tuberculosis Control (2011),
estimated epidemiological burden TB rate populasi pada tahun 2010 telah
meningkat secara signifikan apabila dibandingkan dengan tahun 2009. Pada tahun
2010, estimasi mortalitas tuberkulosis sekitar 64 per per 100.000 populasi, angka
prevalensi tuberkulosis sekitar 690 per 100.000 populasi, dan angka insidensi
sekitar 450 per 100.000 populasi (WHO, 2011).

Gambar 2.1 Estimasi insidensi TB di dunia (WHO, 2011)

Estimasi prevalensi TB pada semua kasus di Indonesia adalah sebesar


660,000 dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah
kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2011; WHO, 2011).
2.4 Faktor resiko
1. Riwayat kontak dengan penderita TB
Riwayat kontak dengan penderita TB yang infeksius dapat meningkatkan
resiko terinfeksi TB akibat terpajan dengan droplet nuclei yang dikeluarkan
oleh penderita TB pada individu yang sehat (Supriyatno, 2008).
2. Status Immunocompromise

Penurunan imunitas akibat terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)


ataupun akibat pengobatan imunosupresan akan meyebabkan melemahnya
respon tubuh terhadap pajanan infeksi yang berasal dari luar, hal ini kan
meningkatkan resiko infeksi (Havlir & Barnes, 2006).
3. Malnutrisi
Kekurangan Energi Protein (KEP) serta kekurangan nutrisi yang lain terutama
mikronutrisi akan menyebabkan penurunan kemampuan merespon infeksi
akibat bahan baku yang tidak adekuat (PERKENI,2006).
4. Diabetes Melitus
Kadar

glukosa

darah

yang

tinggi

meningkatkan

kemudahan

atau

memperburuk infeksi (PERKENI,2006).

5. Sosioekonomi rendah
Kemiskinan, keadaan sanitasi yang rendah, akses kesehatan yang tidak
memadai menyebakan peningkatan transimi bakteri penyebab TB (Havlir &
Barnes, 2006).
2.5 Patogenesis
Mikobakterium dalam droplet berdiameter 1-5 m terhirup dan mencapai
alveoli. Penyakit disebabkan karena kehadiran dan proliferasi organisme virulen
dan interaksinya dengan pejamu. Basil avirulen yang disuntikkan (misalnya,
BCG) dapat hidup hanya selama beberapa bulan atau tahun pada pejamu normal
(Brook,G,F, et al, 2008).
Produksi dan perkembangan lesi serta penyembuhan atau progresifitasnya
terutama ditentukan oleh (1) jumlah mikobakterium dalam inokulum dan
multiplikasi berikutnya, dan (2) resistensi dan hipersensitivitas pejamu
(Brook,G,F, et al, 2008).
Patogenesis dan manifestasi patologi tuberkulosis paru merupakan hasil
respon imun seluler (Cell Mediated Immunity) dan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat terhadap antigen kuman tuberkulosis. Perjalanan infeksi tuberkulosis
terjadi melalui 5 tahapan.
Pada tahap pertama, dimulai dari masuknya kuman tuberkulosis ke alveoli.
Kuman akan difagositosis oleh makrofag alveolar dan umumnya dapat
dihancurkan. Bila daya tahan bunuh makrofag rendah, kuman tuberkulosis akan
berproliferasi dalam sitoplasma dan menyebabkan lisis makrofag. Pada umumnya

tahap ini tidak terjadi pertumbuhan kuman (Wibisiono,M,J, Winariani,Hariadi,S,


2010).
Pada tahap kedua, kuman tumbuh secara logaritmik dalam non-activated
makrofag yang gagal mendestruksi kuman tuberkulosis. Makrofag kemudian
hancur dan kuman tuberkulosis di fagositosis oleh makrofag lain yang masuk ke
tempat radang karena faktor kemotaksis komponen komplemen C5a dan
monocyte chemoatractant protein (MPC-1). Lama kelamaan makin banyak
makrofag dan kuman tuberkulosis yang berkumpul di tempat lesi (Wibisiono,M,J,
Winariani,Hariadi,S, 2010).
Pada tahap ketiga, terjadi nekrosis kaseosa dengan jumlah kuman
tuberkulosis menetap karena pertumbuhanya dihambat oleh respons imun tubuh
terhadap tuberculin-like antigen. Pada stage ini delayed type of hipersensitivity
(DTH) merupakan respons imun utama yang mampu menghancurkan makrofag
yang berisi kuman. Respons ini terbentuk 4 8 minggu dari saat infeksi.
Pertumbuhan kuman TB secara logaritmik terhenti, namun respons imun DTH ini
menyebabkan perluasan caseosus center dan progresifitas penyakit. Kuman
tuberkulosis masih dapat hidup dalam solid caseous necrosis tapi tidak dapat
berkembang biak karena keadaan anoksia, penurunan pH dan adanya inhibitory
fatty acid (Wibisiono,M,J, Winariani, Hariadi,S, 2010).
Pada tahap keempat, respons imun cell mediated immunity (CMI) memegang
peran utama, CMI akan mengaktifkan makrofag sehingga mampu memfagositosis
dan menghancurkan kuman. Activated macrophage menyelimuti tepi caseosus
necrosis untuk mencegah terlepasnya kuman. Pada keadaan dimana CMI lemah,

kemampuan makrofag untuk menghancurkan kuman akan hilang. Kuman


kemudian dapat berkembang biak didalamnya dan selanjutnya akan dihancurkan
oleh repon imuns DTH sehingga caseous necrosis akan semakin luas
(Wibisiono,M,J, Winariani,Hariadi,S, 2010).
Pada tahap kelima, terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama
kalinya terjadi multiplikasi kuman tuberkulosis ekstraseluler yang dapat mencapai
jumlah besar. Respon imun CMI sering tidak mampu mengendalikannya. Dengan
progresifitas penyakit terjadi perlunakan caseous necrosis, membentuk kavitas
dan erosi dinding bronkus. Perlunakan ini disebabkan oleh enzim hidrolisis dan
respon DTH terhadap tuberkuloprotein, menyebabkan makrofag tidak dapat hidup
dan merupakan media pertumbuhan yang baik bagi kuman. Kuman tuberkulosis
masuk ke dalam cabang cabang bronkus, menyebar ke bagian paru lain dan
jaringan sekitarnya (Wibisiono,M,J, Winariani,Hariadi,S, 2010).
2.6 Manifestasi klinis
1. Batuk lama atau batuk darah
Gejala ini merupakan gejala yang paling banyak ditemukan,batuk terjadi akibat
adanya iritasi pada bronkus. Batuk diperlukan untuk membuang produk-produk
radang keluar tubuh. Keterlibatan bronkus pada penyakit tidak sama, mungkin
saja batuk baru muncul setelah penyakit berkembang luas. Sifat batuk mulai
dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Pada keadaan lanjut dahak dihasilkan dapat
bercampur dengan darah, akibat adanya pembuluh darah yang ruptur (Sudoyo,
2009).

2. Demam
Peningkatan suhu tubuh biasnya subfebril pada pasien TB menyerupai demam
influenza. Tetapi kadang panas badan dapat mencapai 40-45oC. Demam dapat
hilang timbul karena dipengaruhi oleh pertahan tubuh untuk melawan bakteri
yang masuk kedalam tubuh (Sudoyo, 2009).
3. Sesak nafas dan nyeri dada
Sesak nafas dapat ditemui pada fase awal dan sesak nafas biasnya ditemukan
pada perjalanan penyakit yang sudah lanjut (Sudoyo, 2009).
4. Malaise dan penurunanan berat badan
TB merupakan penyakit radang kronis sehingga sering ditemukan gejala
malaise, anoreksia sampai penurunan berat badan yang drastis (Sudoyo, 2009).
2.7 Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pasien dapat dianggap curiga TB apabila ditemukan gejala-gejala berikut :
a. Respiratorik : batuk lebih dari tiga minggu, berdahak, batuk darah, nyeri
dada, sesak nafas
b. Sistemik : demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat

badan menurun (Hasan, 2010).


Pemeriksaan fisik pasien TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk
membedakan TB dengan penyakit paru lainnya. Tanda fisik tergantung pada
lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda
antara lain penarikan struktur sekitar, suara nafas bronkial, amforik, ronki basah.
Pada efusi pleura yang merupakan komplikasi dari TB dapat didapatkan gerak

nafas tertinggal, keredupan dan suara nafas menurun sampai tidak terdengar
(Alsagaff, Hood, et al. 2010).
2. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan dalam menegakkan diagnosis.
Spesimen umumnya berupa dahak untuk menemukan BTA . Semua suspek TB
diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu Sewaktu - Pagi - Sewaktu
(SPS). Hasil biakan diberi pewarnaan Ziel-Nielson atau kinyon Gabbet.
Interpretasi pembacaan hasil perwarnaan berdasarkan skala IUATLD (Alsagaff,
Hood, et al. 2010; Depkes RI, 2007).
Skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung
Diseases) merupakan skala yang biasanya digunakan dalam menginterpretasikan
hasil biakan BTA dengan pewarnaan Ziel-Nielson (karuniawati et all, 2005).
Tabel 2.1. Skala IUALTD
Pembacaan dibawah mikroskop
Pelaporan hasil
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang Negatif
1-9 BTA dalam 100 lapang pandang
Sejumlah BTA yang ditemukan
10-99 BTA dalam 100 lapang pandang
1 (+)
1-10 BTA dalam 1 lapang pandang
2 (+)
>10 BTA dalam 1 lapang pandang
3 (+)
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Hasil pemeriksaan dikatakan positif bila
ditemukan dua dari tiga spesimen dahak positif. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya (Depkes RI, 2007).
2.8 Gambaran Radiologis TB Paru

10

Pemeriksaan radiologis merupakan salah satu cara yang praktis yang dapat
membantu menemukan lesi tuberkulosis. Selain itu, gambaran radiologis ini juga
berperan untuk membantu penegakan diagnosis, terutama jika hanya dijumpai
satu spesimen BTA (+), selain itu juga berguna mengetahui adanya komplikasi
(Hasan, 2010).
Lokasi lesi TB umumnya berada di daerah apeks paru (segmen apikal lobus
atas atau segmen apikal lobus bawah), namun dapat juga mengenai lobus bawah
(inferior) atau didaerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit,
gambaran radiologisnya berupa bercak-bercak seperti awan dengan batas-batas
yang tidak tegas, lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma (Sudoyo, 2009).
Pada kavitas, bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis,
lama-lama dinding menjadi skelerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis
terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangan tampak bercakbercak padat dengan densitas tinggi (Sudoyo, 2009).
Pada foto polos PA posisi erek, pasien dengan tuberculosis primer akan
menunjukkan gambaran semiopak terletak di suprahiler (di atas hilus), perihiler,
parakardial (disamping kor) dengan batas tak tegas. Tampak pembesaran
limfonodi lnn. Hilus, lnn. Parabronkial, lnn paratektal. Pada fase lanjut tampak
garis-garis fibrosis berupa garis garis berjalan radier dari hilus ke arah luar
(superior), kalsifikasi di lnn. Hilus, cairan di sinus costophrenikus, pericardial
effusion serta atelektasis di perihiller (Malueka, 2008).
Sedangkan pada foto polos thoraks posisi erek, pasien dengan tuberculosis
post primer, akan tampak gambaran bercak semiopak bentuk amorf seperti kapas

11

batas tak tegas di infraklavikula (ini menunjukkan infiltrat), tampak densitas


inhomogen bentuk amorf di apeks dan basis paru (ini menunjukkan
fibroeksudatif), tampak garis-garis fibrosis, densitas sama dengan jantung yang
menarik organ sekitarnya ke arah ipsilateral (mediastinum, trakea, dan diafragma),
tampak kaverna (bulatan opak dengan lusen di tengah) bentuk bulat atau oval,
tampak bulatan opak, batas tegas, tepi ireguler, inhomogen di dalamnya terdapat
kalsifikasi amorf (ini merupakan gambaran tuberkel/tuberkuloma) (Malueka,
2008).
Gambaran radiologis dapat dicurigai sebagai lesi TB aktif jika ditemukan
(Hasan, 2010) :
1. Bayangan berawan / noduler disegmen apikal dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, yang dikelilingi bayangan opak berawan atau
noduler
3. Bayangan bercak milier
4. Efusi pleura
Gambaran radiologis yang dicurigai TB inaktif (Hasan, 2010) :
1. Fibrotik, terutama pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas dan atau
segmen posterior lobus atas dan atau segmen superior lobus bawah.
2. Kalsifikasi
3. Penebalan pleura
Kelainan radiologis gambaran paru menurut klasifikasi The National
Tuberculosis Association of USA (1961) (Sembiring, 2005) sebagai berikut :

12

1. Lesi minimal
a. Infiltrat kecil tanpa kavitas
b. Mengenai sebagian kecil dari satu paru atau keduanya
c. Jumlah keseluruhan paru yang ditemui tanpa memperhitungkan distribusi
tidak lebih dari dari luas antara persendian chondrosternal ke II sampai
corpus vertebrae thorakalis V
2. Lesi moderate advance tidak melebihi ketentuan sebagai berikut :
a. Dapat mengenai sebelah paru atau kedua paru
b. Bercak infiltrat tersebar tidak melebihi volume sebelum paru
c. Infiltrat yang mengelompok yang luasnya tidak melebihi 1/3 volume
sebelum paru
d. Diameter kavernae kalau ada tidak melebihi 4 cm
3. Lesi Far-advance
Lesi melewati lesi moderat advance atau ada kavernae yang sangat besar
Pada klasifikasi yang lain, lesi TB juga dapat dikelompokkan menjadi :
a. Typical Lesion
Lesi yang terjadi pada lobus atas paru dengan atau tanpa lesi kavitas
b. Atypycal Lesion
Setiap lesi yang muncul yang tidak dapat dikategorikan sebagai lesi tipikal.
Gambaran radiologis TB bergantung pada banyak faktor, termasuk durasi
penyakit serta status imun penjamu atau host. Secara klinis, hal ini penting karena
gambaran ini kemungkinan misdiagnosis dengan pneumonia atau kanker (Dooley
& Chaisson, 2009).

13

Berikut ini merupakan beberapa contoh gambaran radiologi yang dapat


ditemukan pada pasien dengan tuberculosis:
Pada

foto

thorak

berikut

tampak

infiltrate dengan kavitas pada lobus superior


paru

bilateral,

menunjukkan

adanya

tuberculosis pulmonal aktif. Secara umum,


kavitas dengan dinding yang tipis (< 5 mm)
mengarah pada infektif dan, saat ditemukan
dinding yang tebal (> 10 mm), squamous sel
karsinoma pada paru dapat menjadi diagnosis
banding. Tuberculosis cenderung mengenai lobus superior dan segmen apical
lobus inferior. Diagnosa banding dari temuan lesi kavitas pulmonal adalah infeksi
Staphylococcus, Klebsiella, anaerob, dan penyebab non-infeksiosus seperti
squamous sel karsinoma pada paru, infark
pulmonal,

Wegeners granulomatosis, dan

nodule rheumatoid.
Pada foto thorak ini tampak bayangan
difuse miliar (diameter < 2mm) disebabkan
oleh tuberculosis miliar. Diagnosa banding
termasuk, infeksi varisella sebelumnya, disseminated histoplasmosis, dan silikosis.

14

Pada foto thorak ini tampak adanya


nodule tipis multiple yang tersebar
pada kedua paru. Gambaran ini sering
tampak pada Tuberkulosis Milier.

Pada foto thorak ini menunjukkan


adanya

gambaran

adenopati

paratrakeal kanan dan hilar kiri.


Gambaran tersebut dapat ditemukan
pada Tuberkulosis primer.

15

Tuberkulosis Post Primer. Garis linier


parenkimal meluas pada kedua apeks,
dengan tampakan retraksi pada kedua
hila. Temuan pada foto thorak ini
adalah

fibrosis

lobus

superior

bilateral.

16

Ada beberapa cara pembagian kelainan yang dapat dilihat pada foto roentgen.
Salah satu pembagian adalah menurut bentuk kelainan yaitu (Sjahriar Rasad,
1999):
1.

Sarang eksudatif, berbentuk awan-awan atau bercak, yang batasnya tidak

2.

tegas dengan densitas rendah.


Sarang produktif, berbentuk butir-butir bulat kecil yang batasnya tegas dan

3.

dengan densitas rendah.


Searang induratif atau fibrotik, yaitu berbentuk garis-garis, atau pita tebal,

4.
5.

berbatas tegas dengan densitas tinggi.


Kavitas (lubang)
Sarang kapur (kalsifikasi)

Sedangkan di Indonesia lebih banyak dipergunakan pembagian yang lazim


digunakan di Amerika Serikat yaitu (Sjahriar Rasad, 1999):

17

1.

Sarang-sarang berbentuk awan atau bercak-bercak dengan densitas rendah


atau sedang dengan batas tidak tegas. Sarang-sarang ini menunjukkan

2.

bahwa proses aktif.


Lubang (kavitasi), ini selalu berarti proses aktif kecuali lubang sudah

3.

sangat kecil, yang dinamakan lubang sisa (residual cavity).


Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur (kalsifikasi)
yang biasa menunjukkan bahwa proses sudah tenang.

Awan-awan dan bercak-bercak; tingkat Minimal ATA (Sjahriar Rasad, 1999)

18

Awan-awan dan lubang-lubang besar (diameter total 4 cm). Tingkat sangat Lanjut
ATA (Sjahriar Rasad, 1999)

Garis-garis Fibrotik (proses lama dan tenang) (Sjahriar Rasad, 1999)

19

Tuberkulosis Miliaris (Sjahriar Rasad, 1999)

Kemungkinan kelanjutan dari sarang tuberkulosis (Sjahriar Rasad, 1999):


a.

Penyembuhan
1.
Penyembuhan tanpa bekas
Sering terjadi pada anak-anak, bahkan kadang penderita tidak
menyadari bahwa ia pernah terserang tuberkulosis.
2.

Penyembuhan dengan meinggalkan cacat


Penyembuhan ini berupa garis-garis fibrotik berdensitas tinggi/sarang
fibrotik atau bintik-bintik kapur (sarang kalsiferus). Sarang-sarang
fibrotik yang tebal dan kalsiferus disingkat sarang fibrokalsiferus, di
kedua lapangan atas dapat menyebabkan penarikan pembuluhpembuluh darah besar di kedua hili ke atas sehingga menyerupai
kenatong celana (broekzak fenomeen). Sarang-sarang kapur kecil yang
mengelompok di puncak paru dinamakan sarang simon (simons foci).
Secara roentgenologis, sarang baru dapat dinilai sembuh (proses
tenang) bila setelah jangka waktu sekurang-kurangnya tiga bulan
bentuknya sama (stationary). Sifat bayangan tidak boleh bercakbercak, awan atau lubang, melainkan garis-garis dan bintik kapur.

20

b.

Perburukan (perluasan penyakit)


1.
Pleuritis
Terjadi karena meluasnya infiltrat primer langsung ke pleura atau
melalui penyebaran hematogen.
2.

Penyebaran milier
Akibat penyebaran hematogen tampak sarang-sarang sekecil 1-2 mm
atau sebesar kepala jarum (milium) tersebar secara merata di kedua
belah paru. Pada foto toraks, tuberkulosis miliaris ini dapat
menyerupai gambaran badai kabut (snow storm appereance).
Penyebaran ini juga dapat terjadi ke ginjal, tulang, sendi, delaput otak
dan sebagainya.

3.

Stenosis bronkus
Terjadi akibat atelektasis lobus atau segmen paru yang bersangkutan,
sering menduduki lobus kanan (sindroma lobus medius).

4.

Timbulnya lubang

Timbulnya lubang ini akibat melunaknya sarang keju. Dinding lubang sering
tipis berbatas licin, tetapi mungkin pula tebal berbatas tidak licin. Di dalamnya
mungkin terlihat cairan yang biasanya sedikit (diagnosis diferensial dengan suatu
abses yang biasanya mempuanyai cairan lebih banyak). Lubang kecil dikelilingi
oleh jaringan fibrotik dan bersifat tidak berubah-ubah pada pemeriksaan berkala
dinamakan lubang sisa (residula cavity) dan berarti suatu proses spesifik lama
yang sudah tenang.
2.9 Penatalaksanaan

21

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,


mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2007).
Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007), pengobatan
tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT=Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2007).
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2007).

22

Obat TB utama yang digunakan (first line, lini pertama) saat ini adalah
rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin
(S).Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan
pirazinamid, etambutol, dan streptomisin (Sudoyo, 2009).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007), OAT yang lazim
digunakan dalam pengobatan tuberkulosis menurut jenis, sifat dan dosis
tercantum dalam tabel berikut :
Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT
Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT

Sifat

(mg/kg)
Harian
3x seminggu
Isoniazid (H)
Bakterisid
5 (4-6)
10 (8-12)
Rifampicin (R)
Bakterisid
10 (8-12)
10 (8-12)
Pirazinamid (Z)
Bakterisid
25 (20-30)
35 (30-40)
Streptomisin (S)
Bakterisid
15 (12-18)
15 (12-18)
Etambutol (E)
Bakteriostatik
15 (15-20)
30 (20-35)
Menurut Wibisiono et al (2010) pengobatan tuberkulosis paru dibagi menurut
kategori diagnosis tuberkulosis pasien. Pengobatan pasien menurut masingmasing kategori dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.2 Regimen Pengobatan Berdasarkan Kategori Diagnosis TB

Kategori
I

Pasien TB
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif dan foto

Regimen Pengobatan TB
Fase Inisial
Fase
2HRZE

Lanjutan
4(HR)3
atau

II

c.
a.
b.
c.

toraks positif
Pasien TB ekstra paru berat
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah

2HRZES

putus berobat (default)

1HRZE

6HE
5HRE

atau

23

III

Pasien TB ekstra paru tidak terlalu berat

2HRZE

4(HR)3
atau

IV

a. Pasien TB kronis (hasil BTA tetap


posistif setelah pengobatan ulang)
b. kasus MDR-TB

6HE
Penentuan regimen
berdasarkan pengobatan
standar regimen untuk MDR
TB atau regiman
berdasarkan Drug
Sensitivity Test (DST)

individu
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007) dalam Program
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia, pengobatan tuberkulosis
terdiri dari pengobatan kategori 1, kategori 2, kategori anak dan sisipan.
Pengobatan OAT kategori 1 dan 2 disediakan dalam bentuk paket berbentuk
kombinasi dosis tetap (KDT), sedangkan kategori anak disediakan dalam bentuk
kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam
satu tablet. Kombinasi 2KDT terdiri dari rifampisin dan isoniazid, sedangkan
kombinasi 4KDT terdiri dari rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Pada kategori 1, pasien diberikan pengobatan dalam bentuk KDT yang
disesuaikan dengan berat badan pasien. Pada tahap intensif pasien diberikan KDT
berupa RHZE (150/75/400/275) setiap hari selama 56 hari. Kemudian pada tahap
lanjutan, pasien diberikan KDT berupa RH (150/150) setiap 3 kali seminggu
selama 16 minggu (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007)

24

Pada kategori 2, pasien diberikan pengobatan berupa KDT dan injeksi


strepstomisin yang dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Pada tahap
intensif, pasien meminum regimen obat KDT berupa RHZE (150/75/400/275) + S
selama 56 hari. Pada tahap lanjutan, pasien meminum regimen obat KDT berupa
RH(150/150) + E (400) selama 20 minggu (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia ,2007).
Paket sisipan KDT merupakan paket KDT yang diberikan apabila hasil BTA
positif setelah evaluasi pengobatan akhir fase intensif kategori 1. Paket sisipan
KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan (28 hari) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia ,
2007).

25

BAB III
SIMPULAN

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas yang membahas tentang Tuberkulosis


dan temuan radiologinya, dapat dirangkum beberapa kesimpulan. Adapun
simpulan dari tinjauan pustaka ini adalah:
1. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis
2. Pada pasien dengan TB memiliki gejala berupa, gejala respiratorik dan
sistemik
3. Diagnosa TB dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan bakteriologis, dan Foto thorak.
4. Berdasarkan pemeriksaan radiologi dapat dijumpai gambaran berupa lesi di
daerah apeks, dan beberapa gambaran khas pada TB aktif maupun TB inaktif.

26

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood, et al. 2010. Buku ajar Ilmu Penyakit Paru. Departmen Ilmu
penyakit paru FK UNAIR : Surabaya
Brook,G,F, Butel,J,S, Morse,S,A, 2008, Mikrobiologi Kedokteran Jawetz,
Melnick, Adelberg Ed. 2. EGC : Jakarta.
Brooks, et al,

2010. Medical Microbiology 25th edition. The Mc Graw-

Hillcompany : United State


Departemen

Kesehatan

Republik

Indonesia.

2007.

Pedoman

nasional

penanggulangan tuberkulosis. Ed.2. Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. Jakarta
Dooley, Kelly & Chaisson, Richard. (2009). Tuberculosis And Diabetes Melitus:
Convergence

of

Two

Epidemics.

Avalaible

from

http://xa.yimg.com/kq/groups/16063327/1692951348/name/TB+e+DM+
(LID09).pdf.

27

Hasan, H., 2010. Tuberkulosis paru. In: M.J. Wibisono, Winariani, S. Hariadi,
eds. 2010. Buku ajar ilmu penyakit paru. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK
Unair RSUD Dr. Soetomo. Surabaya.
Havlir, Dane & Barnes, Peter. (1999). Tuberculosis In Patients With Human
Immunodeficiency Virus Infection. Avalaible from : www.nejm.org.
Karuniawati, A et al. (2005). Perbandingan Tan Thiam Hok, Ziehl Neelsen Dan
Fluorokrom Sebagai Metode Pewarnaan Basil Tahan Asam untuk
Pemeriksaan

Mikroskopik

Sputum.

Avalaible

from

http://journal.ui.ac.id/upload/artikel/05_PerbandinganThanTiamHok_AnisK_
LayoutPDF.
Kemenkes RI, 2011, Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014,
available from http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/STRANAS_
TB.pdf
Malueka, Rusdy G., 2008, Radiologi Diagnostik, Pustaka Cendekia Press,
Yogyakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. Tuberkulosis pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Available at

http://www.klikpdpi.com/

konsensus/tb/tb.pdf
Perkeni, 2006. Konsensus pengelolaan DM di Indodesia. PERKENI. Jakarta.
Sjahriar Rasad. 1999. Tuberkulosis Paru. In: Sjahriar rasad et al. Radiologi
Diagnostik. Jakarta: Penerbit FK UI.

28

Sembiring, Hilaludin. (2005). Hubungan pemeriksaan Dahak dengan Kelainan


Radiologis

pada

penderita

TBC

Paru

Dewasa. Available

from

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3446/1/paru-hilaluddin.pdf.
Sudoyo et al, 2009. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam FKUI. Internal publishing:
jakarta
Supriyatno, Bambang

etall. (2008). Pedomanan Nasional Tuberkulosis anak.

IDAI : Jakarta
WHO. 2011, Global Tuberculosis Control. A Short Update to The 2011 Report,
Geneva : WHO, available from : http://www.who.int/en/
Wibisiono,M,J, Winariani,Hariadi,S, 2010, Buku Ajar Penyakit Paru 2010,
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair :Surabaya.
World Health Organization, 2010. Treatment of tuberculosis guideline 4th edition.
Switzerland:

WHO

press

(Published

2010).

Available

at

http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241547833_eng.pdf

29

Anda mungkin juga menyukai