Jenis Syok
Hipovolemik
Penyebab
1. Perdarahan
Bradikardi / takikardi
3. Gangguan mekanis
Regurgitasi mitral/aorta
Rupture septum interventrikular
Aneurisma ventrikel massif
Obstruksi:
misalnya:
eschericia coli, klibselia pneumonia, enterobacter,
serratia,proteus,danprovidential.
2. Kokus gram positif,
misal:
stafilokokus, enterokokus, dan streptokokusNeurogenik
Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma tulang belakang dan spinal syok
(trauma
medulla spinalis dengan quadriflegia atau para
flegia)
Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan,
Anafilaksis
Antibiotic
Biologis
Makanan
Lain-lain
Infromasi
DiagnosticHipovolemikKardiogenikNeurogenikSeptik
(Hyperdynamic
Gambar 2.3 Berbagai jenis umpan balik yang dapat menimbulkan per-kembangan syok.
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat
ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan
ireversibel (tidak dapat pulih).
Fase1 : kompensasi
Pada fase ini fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan melalui mekanisme
kompensasi tubuh dengan meningkatkan reflek simpatis, yaitu meningkatnya resistensi
sistemik dimana terjadi distribusi selektif aliran darah dari organ perifer non vital ke organ
vital seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah sistolik tetap normal sedangkan tekanan
darah sistolik meningkat akibat peninggian resistensi arteriol sistemik (tekanan nadi
menyempit).
Untuk mencukupi curah jantung maka jantung mengkompensasi secara temporer dengan
meningkatkan frekuensi jantung. Disamping itu terdapat peningkatan sekresi vasopressin
dan renin angiotensin aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal untuk menahan
natrium dan air dalam sirkulasi.
Manifestasi klinis yang tampak berupa takikardia, gaduh gelisah, kulit pucat dan dingin
dengan pengisian kapiler (capillary refilling) yang melambat > 2 detik.
Fase II : Dekompensasi.
Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah jantung yang
adekuat dan system sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan dengan perfusi yang buruk
tidak lagi mendapat oksigen yang cukup, sehingga metabolisme berlangsung secara
anaerobic yang tidak efisien. Alur anaerobic menimbulkan penumpukan asam laktat dan
asam-asam lainnya yang berakhir dengan asidosis. Asidosis akan bertambah berat dengan
terbentuknya asam karbonat intra selular akibat ketidak mampuan sirkulasi membuang CO 2.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons terhadap katekolamin.
Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme energy dependent NaKpump ditingkat selular, akibatnya integritas membrane sel terganggu, fungsi lisosom dan
mitokondria akan memburuk yang dapast berakhir dengan kerusakan sel. Lambatnya aliran
darah dan kerusakan reaksi rantai kinin serta system koagulasi dapat memperburuk
keadaan syok dengan timbulnya agregasi tombosit dan pembentukan trombos disertai
tendensi perdarahan.
Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin, serotonin, sitokin
(terutama TNF=tumor necrosis factor dan interleukin 1), xanthin, oxydase yang dapat
membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets agregatin factor). Pelepasan mediator oleh
makrofag merupakan adaptasi normal pada awal keadaan stress atau injury, pada keadan
syok yang berlanjut justru dapat memperburuk keadaan karena terjadi vasodilatasi arteriol
dan peningkatan permeabilitas kapiler dengan akibat volume intravaskular yang kembali
kejantung (venous return) semakin berkuarang diserai timbulnya depresi miokard.
Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah, tekanan darah mulai
turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled, capillary refilling bertambah
lama), oliguria dan asidosis (laju nafas bertambah cepat dan dalam) dengan depresi
susunan syaraf pusat (penurunan kesadaran).
Fase III : Irreversible
Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus berlanjut, sehingga
terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi system multi organ lainnya. Cadangan fosfat
berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar, sintesa ATP yang baru
hanya 2% / jam dengan demikian tubuh akan kehabisan energi. Kematian akan terjadi
walaupun system sirkulasi dapat dipulihkan kembali. Manifestasi klinis berupa tekanan darah
tidak terukur, nadi tak teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria
dan tanda-tanda kegagalan system organ lain.
1.4 Diagnosis
Shock adalah diagnosis klinis, jadi tidak ada diagnosis bandingnya. Diagnosis bandingnya
hanya terhadap penyebab dar shock. Diagnosis shock pada stadium dini sangat penting
untuk berhasilnya suatu pengobatan, namun sering kali hal ini tidak mudah. Karena itu
sangat penting adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya shock pada
penderita dengan resiko tinggi. Pada penderita pada resiko tersebut kita lakukan
pemantauan yang lebih ketat sehingga dapat dilakukan tindakan yang lebih dini bila
terdapat tanda-tanda shock.
Diagnosis shock pada anak dan bayi kadang-kadang sulit, tanda-tanda shock berat dengan
gejala yang jelas seperti nadi yang lemah atau tidak teraba, akral dingin dan sianosis mudah
dikenali, tapi pad compensated shock dimana tekanan darah sentral masih dapat
dipertahankan, seringkali diagnsosi renjatan shock sulit ditegakkan. Pengambilan anamnesa
yang baik dan benar sangat penting untuk menegakkan diagnosis etiologis dari renjatan,
seperti adanya muntah dan diare akan mengarahkan kita pada shock hipovolemik, trauma
atau pasca operasi kemungkinan menjadi penyebab renjatan hipovolemik karena
perdarahan. Pada neonatus panas pada ibu pada aktu melahirkan, ketuban pecah prematur
(KPP), perdarahan intrapartum atau distress fetal dapat membantu memperkirakan
penyebab renjatan pada bayi.
Manifestasi klinis tergantung pada:
1.5 penatalaksanaan
1. Airway dan Breathing
1.
2.
Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway).
3.
Berikan oksigen minimal 6 liter/menit
4.
Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup
(Ambu bag) atau ETT.
2. Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan darah, warna
kulit, isi vena, dan produksi urin.
Cari dan Atasi Penyebab :
Penderita dijaga agar tetap merasa hangat dan kaki sedikit dinaikkan untuk
Jika muntah, kepala dimiringkan ke satu sisi untuk mencegah terhirupnya muntahan.
Jangan diberikan apapun melalui mulut.
Tenaga kesehatan bisa memberikan bantuan pernafasan mekanis.
Obat-obatan diberikan secara intravena. Obat bius (narkotik), obat tidur dan obat
Cairan intravena dan transfusi darah mungkin tidak mempu mengatasi syok jika
perdarahan atau hilangnya cairan terlus berlanjut atau jika syok disebabkan oleh
serangan jantung atau keadaan lainnya yang tidak berhubungan dengan volume darah.
Untuk menambah aliran darah ke otak atau jantung bisa diberikan obat yang
mengkerutkan pembuluh darah. Pemberian obat ini dilakukan sesingkat mungkin karena
bisa mengurangi aliran darah ke jaringan.
Jika penyebabnya adalah aksi pompa jantung yang tidak memadai, dilakukan usaha
untuk memperbaiki kinerja jantung. Kelainan denyut dan irama jantung diperbaiki dan
volume darah ditingkatkan (bila perlu). Untuk memperlambat denyut jantung bisa
diberikan atropin. Obat lainnya bisa diberikan untuk memperbaiki kemampuan kontraksi
otot jantung.
Pemberian Cairan :
Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah,
kejang, akan dioperasi/dibius dan yang akan mendapat trauma pada perut serta kepala
(otak) karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi
kontra.
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan
yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus
diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus
diganti dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan
kristaloid memerlukan volume 3-4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila
menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan
yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi
dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang
berlebihan.
Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan
yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk
menghilangkan nyeri.
Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada
syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ Disfunction).
Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, Swan Ganz kateter,
dan pemeriksaan analisa gas darah
1.6
Komplikasi
Gagal hati
Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan takikardia. Baroreseptor
ini terdapat di snus karotikus, arkus aorta, atrium kiri dan kanan, ventrikel kiri dan dalam
sirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus merupakan baroreseptor perifer yang paling
berperan dalam pengaturan tekanan darah.
1.
Kemoreseptor
Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun sampai
60mmHg, maka yang bekerja adalah kemoreseptor, yang terangsang bila terjadi hipoksia
dan asidosis jaringan. Akibat rangsangan kemoreseptor ini adalah vasokonstriksi yang luas
dan rangsangan pernafasan.
1.
Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg maka akan terjadi sympathetic
discharge massif. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat dari pada reseptor-reseptor
perifer .
1.
Reseptor humoral
Bila terjadi hipovolemik/ hipotensi maka tubuh akan mengeluarkan hormone-hormon stress
seperti epinefrin, glucagon, dan kortisol yang merupakan hormone yang mempunyai efek
kontra dengan insulin. Akibat dari pengeluaran dari hormone ini adalah terjadinya takikardia,
vasokonstriksi dan hiperglikemi. Vasokonstriksi diharapkan akan meningkatkan tekanan
darah perifer dan preload, isi sekuncup dan curah jantung. Sekresi ADH aleh hipofisee
posteriosr juga meningkat sehingga pengeluaran air dari ginjal dapat dikurangi.
1.
Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran rennin oleh apparatus
yukstaglomerulus yang merubah angiotensin menjadi angiotensin I. angiotensin I ini oleh
converting enzyme dirubah menjadi angiotensin II yang mempunyai sifat:
Vasokonstriksi kuat
1.
Autotransfusi
Autotransfusi adalah suatu mekanisme didalam tubuh untuk mempertahankan agar volume
dan tekanan darah tetap stabil. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara
jumlah cairan intravascular yang keluar ke ekstravaskular atau sebaliknya. Hal ini
tergantung pada keseimbangan antara tekanan hidrostatik intravascular akan menurun
makan akan terjadi aliran cairan dari ekstra ke intravascular sehingga tekanan darah dapat
dipertahankan. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya cairan, bila proses hilangnya
cairan tubuh cepat maka proses ini tidak akan mampu menaikkan tekanan darah.
Akibat dari semua ini maka akan terjadi:
Vasokonstriksi yang paling kuat terjadi pada pembu;uh darah skeletal, splancnic dan kulit,
sedang pada pembuluh darah otak dan koronaria tidak terjadi vasokonstriksi, nahkan aliran
darah pada kelenjar adrenal meningkat sebagai usaha kompensasi tubuh utuk
meningkatkan respon katekolamin pada syok. Vasokonstriksi ini menyebabkan suhu tubuh
perifer menjadi dingin dan kulit menjadi pucat.
Sebagai akibat vasokonstriksi ini maka tekanan distolik akan meningkat pada fase
awal, sehingga tekanan nadi menyempit, tetapi bila proses berlanjut ini tidak dapat
dipertahankan dan tekanan datah akan semakin menurun sampai tidak teratur.
Takikardia
lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah
yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan
menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan
fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan
penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus,
arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon
dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit,
otot, dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari
apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I,
yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II
mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok
hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari
korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya
akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik
Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai
respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap
penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung
ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis,
duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
Manifestasi klinis
Tergantung pada penyakit primer penyebab syok, kecepatan dan jumlah cairan yang hilang,
lama renjatan serta kerusakan jaringan yang terjadi, tipe dan stadium renjatan. Secara klinis
perjalanan renjatan dapat dibagi dalam 3 fase yaitu fase kompensasi, dekomensasi, dan
ireversibel.
Tabel 3.2 Manifestasi Klinis Syok Hipovolemik
Tanda klinis
Kompensasi
Dekompensasi
I reversible
Blood loss ( %)
Sampai 2525 40> 40Heart rate
Takikardia +Takikardia ++Taki/bradikardiaTekanan Sistolik
NormalNormal/menurunTidak terukurNadi/volume
Normal/menurunMenurun +Menurun ++Capillary refill
Normal/meningkat
3-5 detikMeningkat > 5 detikMeningkat ++KulitDingin, pucatDingin/mottledDingin+/deadly
pale
PernafasanTakipneuTakipneu +Sighing respiration
KesadaranGelisahLethargi
Table 3.3 Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentasi Penderita
Pemeriksaan laobarotorium
Urin
Produksi urin akan menuru, lebih gelap dan pekat. Berat jenis urin menigkat >1,020. Sering
didapat adanya proteinuria
Pemeriksaan BGA
pH, PaO2, PaCO2 dan HCO3 darah menurun. Bila proses berlangsung terus maka proses
kompensasi tidak mampu lagi dan akan mulai tampak tanda-tanda kegagalan dengan makin
menurunnya pH dan PaO2 dan meningkatnya PaCO2 dan HCO3. Terdapat perbedaan yang
jelas antara PO2 dan PCO2 arterial dan vena.
Pada renjatan sering kali didapat adanya gangguan keseimbangan elektrolit seperti
hiponatremi, hiperkalemia, dan hipokalsemia terutama pada penderita dengan asidosis
Pemeriksaan fungsi ginjal pemeriksaan BUN dan serum kreatinin penting pada
renjatan terutama bila ada tanda-tanda gagal ginjal
Pemeriksaan faal hemostasis
Pemeriksaan yang lain untuk menentukan penyebab penyakit primer
Penatalaksanaan
1. Bebaskan jalan nafas, oksigen (FiO2100%), kalau perlu bias diberiakan ventilator
support.
2. Infus RL atau koloid 20 ml/kg BB dalam 10-15 menit, dapat diulang 2-3 kali. Bila akses
vena sulit pada anak balita dapat dilakukan akses intraosseous di pretibia. Pada renjatan
berat pemberian cairan dapat mencapai > 60 ml/kg BB dalam 1 jam. Bila resusitasi cairan
sudah mencapai 2-3 kali tapi respons belum adekuat, maka dipertimbangkan untuk intubasi
dan bantuan ventilasi. Bila tetap hipotensi sebaiknya dipasang kateter tekanan vena sentral
(CVP).
3. Inotropik, indikasi : renjatan refrakter terhadap pemberian cairan, renjatan kardiogenik.
Dopamin : 2-5 tg/kg BB/ menit.
Epinephrine : 0,1 g/KgBB/menit iv, dosis bisa ditingkatkan bertahap sampai efek yang
diharapkan, pada kasus-kasus berat bisa sampai 2-3 g/kg BB/ men it.
Dobutamin : 5 g/KgBB/menit iv, ditingkatkan bertahap sampai 20 g/KgBB/menit iv.
Norepinephrine : 0,1 g/KgBB/menit iv, dapat ditingkatkan sampai efek yang diharapkan.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid yang diberikan adalah hydrocortison dengan dosis 50 mg/KgBB iv bolus
dilanjutkan dengan dosis yang sama dalam 24 jam secara continuous infusion.
Gangguan koagulasi/pembekuan
Evaluasi gejala sisa SSP sangat penting, mengingat organ ini sangat sensitif terhadap
hipoksia yang dapat terjadi pada renjatan berkepanjangan.
Renjatan ireversibel.
yang ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk berkontraksi. Tujuan utama
pengobatan
adalah meningkatkan
curah jantung.
Etiologi shock kardiogenik
Kerusakan katup jantung: stenosis mitral, insufisiensi mitral, stenosis katup aorta,
sinoaurikular blok.
Patofisiologi Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan faal pompa jantung yang mengakibatkan curah
jantung menjadi kecil atau berhenti sama sekali. Secara mekanisme mungkin disebabkan
oleh robeknya dinding ventrikel, regurgitasi oleh karena infark juga mengenai katub jantung,
aritmia, atau disfungsi dari ventrikel kiri, kanan ataupun keduanya.
Pada robeknya dinding ventrikel terjadi 3-6 hari sesudah infark diikuti dengan tamponade
dan syok dan peninggian CVP serta tekanan baji pada arteri pulmonalis. Sedangkan
regurgitasi dapat terjadi karena infark mengenai muskulus papilaris. Disfungsi dari ventrikel
kanan dapat dilihat dari meningginya CVP sedangkan pada ventrikel kiri ditandai dengan
edema paru.
Kegagalan pompa jantung menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung (cardiac
output) dan menyebabkan kegagalan perfusi ke jaringan, akibatnya berbagai organ
mengalami kekurangan oksigen sementara terjadi kompensasi tubuh untuk
mempertahankan pengaliran darah ke otak.
Gambar Mekanisme Syok Kardiogenik pada Infark Miokard
Syok kardiogenik dapat dipandang sebagai bentuk yang berat dari kegagalan ventrikel kiri.
Penurunan kontraktilitas jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri sehingga menyebabkan kongesti paru dan edema.
Dengan menurunnya tekanan arteri sistemik, maka terjadi perangsangan baroreseptor pada
aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpatoadrenal menimbulkan reflek vasokonstriksi,
takikardi, dan peningkatan kontraktilitas untuk menambah curah jantung dan menstabilkan
tekanan darah. Kontraktilitas akan terus meningkat melalui hukum starling melalui retensi
natrium dan air. Jadi menurunnya kontraktilitas pada syok kardiogenik akan memulai respon
kompensatorik yang meningkatkan beban akhir dan beban awal. Meskipun mekanisme ini
pada mulanya akan meningkatkan tekanan arteri darah dan perfusi jaringan, namun efeknya
terhadap miokard justru buruk karena meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan
oksigen miokard. Aliran darah koroner yang tidak memadai (terbukti dengan adanya infark)
menyebabkan meningkatnya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen
terhadap miokardium.
Syok kardiogenik dicirikan oleh lingkaran setan (vicious circle) dimana terjadi penurunan
kontraktilitas miokardium (depression of myocardial contractility), biasanya karena iskemia,
menyebabkan pengurangan cardiac output dan tekanan arteri (arterial pressure), dimana
menghasilkan hipoperfusi miokardium dan iskemia lanjutan dan penurunan cardiac output.
Disfungsi miokardial sistolik mengurangi stroke volume; dan bersama dengan disfungsi
diastolik, memicu peninggian tekananend-diastolic ventrikel kiri dan pulmonary capillary
wedge pressure/PCWP (> 18 mmHg) seperti pada kongesti paru.
Penurunan/pengurangan perfusi koroner memacu pemburukan iskemia, disfungsi
miokardium progresif, dan spiral menurun yang cepat (rapid downward spiral), bilamana jika
tidak diputus, seringkali menyebabkan kematian (Anurogo, 2009).
Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg atau 30-60 mmHg dibawah batas bawah
sebelumnya
Adanya bukti penurunan aliran darah ke sistem organ-organ utama :
Keluaran urin < 20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar natrium dalam urin
Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi.
Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik.
Medikamentosa :
1. Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri.
2. Anti ansietas, bila cemas.
3. Digitalis, bila takiaritmi dan atrium fibrilasi.
4. Sulfas atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit.
5. Dopamin dan dobutamin (inotropik dan kronotropik), bila perfusi jantung tidak adekuat.
Dosis dopamin 2-15 mikrogram/kg/m.
6. Dobutamin 2,5-10 mikrogram/kg/m: bila ada dapat juga diberikan amrinon IV.
7. Norepinefrin 2-20 mikrogram/kg/m.
8. Diuretik/furosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan oksigenasi jaringan.
9. Digitalis bila ada fibrilasi atrial atau takikardi supraventrikel.
3.3 Shock septic
Sepsis merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman-kuman atau
bahan-bahan yang berasal dari atau dibuat oleh kuman-kuman. Organism yang
paling sering menyebabkan shock septic dalah kuman gram negative. Tetapi
shock juga bias disebabkn oleh kuman gram positif bahkan jamur, rickettsia dan
bermacam-macam virus dapat menimbulkan shock yang sifatnya tidak banyak
berbeda.
Respon penderita terhadap pencetus yaitu masuknya kuman kedalam tubuh
ditentukan oleh keadaan penderita sebelumnya.
Kuman (pencetus)
neuroendokrin
Reaksi penderita
kelainan metabolisme
status imunologi
keadaan host sebelumnya:
status volume darah
status nutrisi
status kompetensi miokard
Faktor-faktor tersebut dibawah memegang peranan:
1.
1.
Efek langsung yang disebabkan oleh kuman atau bahan-bahan terhadap
system kardiovaskuler.
2.
2.
Kekacauan system metabolism
3.
3.
Efek kardiovaskuler terhadap produk-produk yang timbul secara sekunder
karena infeksi antara lain: komplemen, koagulasi kalikrein dan bahan-bahan toksin.
4.
4.
Pelepasan bahan-bahan vasoaktif lain.
5.
5.
Mekanisme kompensasi penderita dan keadaan penderita sebelum terjadi
sepsis
Etiologi
Syok sepsik dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70% (Pseudomonas
auriginosa, Klebsiella, Enterobakter, E. choli, Proteus). Infeksi bakteri gram positif 20-40%
(Stafilokokus aureus, Stretokokus, Pneumokokus), infeksi jamur dan virus 2-3% (Dengue
Hemorrhagic Fever, Herpes viruses), protozoa (Malaria falciparum). Sedangkan pada kultur
yang sering ditemukan adalah Pseudomonas, disusul oleh Stapilokokus dan Pneumokokus.
Syok sepsik yang terjadi karena infeksi gram negatif adalah 40% dari kasus, sedangkan
gram positif adalah 5-15% dari kasus (Japardi, 2002). Syok septik sering terjadi pada:
1.
Bayi baru lahir,
2.
Usia diatas 50 tahun,
3.
Penderita gangguan sistem kekebalan.
leukosit darah > 12.000/ mm3, < 4000/mm3 atau stab > 10%
sepsis
keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS
sepsis berat
sepsis yang disertai dengan disfungsi rgan, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis
laktat, oliguria dan penurunan kesadaran.
Sepsis dengan hipotensi
Sepsis dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik
>40 mmHg dan tidak ditemukan penyebab hipotensi
Renjatan septic
Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau
memerlukan vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.
Patofisiologi
Terjadinya syok septik dapat melalui dua cara yaitu aktivasi lintasan humoral dan
aktivasi cytokines. Lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada dinding bakteri gram negatif
dan endotoksinnya serta komponen dinding sel bakteri gram positif dapat mengaktifkan:
1.
Sistem komplemen,
2.
Membentuk kompleks LPS dan protein yang menempel pada sel monosit,
3.
Faktor XII (Hageman faktor).
Sistem komplemen yang sudah diaktifkan akan merangsang netrofil untuk saling mengikat
dan dapat menempel ke endotel vaskuler, akhirnya dilepaskan derivat asam arakhidonat,
enzim lisosom superoksida radikal, sehingga memberikan efek vasoaktif lokal pada
mikrovaskuler yang mengakibatkan terjadi kebocoran vaskuler. Di samping itu sistem
komplemen yang sudah aktif dapat secara langsung menimbulkan meningkatnya efek
kemotaksis, superoksida radikal, ensim lisosom. LBP-LPS monosit kompleks dapat
mengaktifkan cytokines, kemudian cytokines akan merangsang neutrofil atau sel endotel,
sel endotel akan mengaktifkan faktor jaringan PARASIT-INH-1. Sehingga dapat
mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah danDisseminated Intravascular
Coagulation (DIC). Cytokines dapat secara langsung menimbulkan demam, perobahanperobahan metabolik dan perobahan hormonal.
Faktor XII (Hageman factor) akan diaktivasi oleh peptidoglikan dan asam teikot yang
terdapat pada dinding bakteri gram positif. Faktor XII yang sudah aktif akan meningkatkan
pemakaian faktor koagulasi sehingga terjadi DIC. Faktor XII yang sudah aktif akan mengubah
prekallikrein menjadi kalikrein, kalikrein mengubah kininogen sehingga terjadi
pelepasan hipotensive agentyang potensial bradikinin, bradikinin akan menyebabkan
vasodiltasi pembuluh darah. Terjadinya kebocoran kapiler, akumulasi netrofil dan perubahan
perubahan metabolik, perubahan hormonal, vasodilatasi, DIC akan menimbulkan sindroma
sepsis.Hipotensi respiratory distress syndrome, multiple organ failure akhirnya kematian.
Manifestasi Klinis
Karena terdapat banyak jenis syok septik, maka sulit untuk menggolongkan keadaan
tersebut. Beberapa gejala antara lain:
1. Demam tinggi
2. Seringkali vasodilatasi nyata di seluruh tubuh, terutama pada jaringan yang terinfeksi.
3. Curah jantung yang tinggi pada sekitar separuh penderita, disebabkan oleh adanya
vasodilatasi di jaringan yang terinfeksi dan oleh derajat metabolik yang tinggi dan
vasodilatasi di tempat lain dalam tubuh, akibat dari rangsangan toksin bakteri terhadap
metabolisme sel dan dari suhu tubuh yang tinggi.
4. Melambatnya aliran darah, mungkin disebabkan oleh aglutinasi sel darah merah sebagai
respons terhadap jaringan yang mengalami de-generasi.
5. Pembentukan bekuan kecil di daerah yang luas dalam tubuh, keadaan yang disebut
koagulasi intravaskular menyebar. Hal ini juga menye-babkan faktor-faktor pembekuan
menjadi habis terpakai sehingga timbul perdarahan di banyak jaringan, terutama dinding
usus dan traktus intestinal.
Pada tahap dini dari syok septik, biasanya pasien tidak memperlihatkan tanda-tanda kolaps
sirkulasi tetapi hanya tanda-tanda infeksi bakteri. Setelah infeksi menjadi lebih hebat,
sistem sirkulasi biasanya ikut terlibat baik secara langsung ataupun sebagai akibat sekunder
dari toksin bakteri. Akhirnya sampailah pada suatu titik di mana kerusakan sirkulasi menjadi
progresif serupa dengan yang terjadi di seluruh jenis syok lainnya. Tahap akhir dari syok
septik tidak banyak berbeda dengan tahap akhir syok hemoragik, meskipun faktor-faktor
pencetusnya sangat berlainan pada kedua macam syok tersebut.
Diagnosis
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah putih yang banyak atau sedikit, dan
jumlah faktor pembekuan yang menurun. Jika terjadi gagal ginjal, kadar hasil buangan
metabolik (seperti urea nitrogen) dalam darah akan meningkat. Analisa gas darah
menunjukkan adanya asidosis dan rendahnya konsentrasi oksigen. Pemeriksaan EKG
jantung menunjukkan ketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai darah yang tidak
memadai ke otot jantung. Biakan darah dibuat untuk menentukan bakteri penyebab infeksi.
Penatalaksanaan
1.
Memberantas infeksi :
Resiko tinggi infeksi gram negatif kombinasi aminoglikosida dan derivat penisilin
Moxalactam, cefotaxime, ceftazidime dan cephalosporin generasi III untuk infeksi
gram negatif aerob dan anaerob
Jamur Candida dapat diberikan amphotericin B
aureginosa, enterococcus).
1.
Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat :
1.
Pemberian cairan & pengaturan keseimbangan asam basa :
Obat-obat vasoaktif bila curah jantung tetap rendah walaupun pemberian cairan
sudah adekuat atau bila ada edema paru diberikan:
Ventilasi
Bila terjadi adult respiratory distress syndrome PEEP dan ventilator mekanik
1.
Pengobatan supportif
3.4
Syok Anafilaksis
Adalah suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi. Anafilaksis
merupakan kondisi alergi di mana curah jantung dan tekanan arteri seringkali menurun
dengan hebat.
Etiologi
1.
Makanan : kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
2.
Allergen immunotherapy
3.
Gigitan atau sengatan serangga
4.
Obat-obat : penicillin, sulpha, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID
5.
Latex
6.
Vaksin
7.
Exercise induce
8.
Anafilaksis idiopatik : anafilaksis yang terjadi berulang tapa diketahui penyebabnya
meskipun sudah dilakukan evaluasi/observasi dan challenge test, diduga karena kelainan
pada sel mast yang menyebabkan pengeluaran histamine.
Patofisiologi
Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang disebabkan oleh antigen khusus yang bereaksi
dengan molekul IgE pada permukaan sel mast dan basofil yang menyebabkan pengeluaran
segera beberapa mediator yang kuat. Satu efek utamanya adalah menyebabkan basofil
dalam darah dan sel mast dalam jaringan prekapiler melepaskan histamin atau bahan
seperti histamin. Histamin selanjutnya menyebabkan
(1) Kenaikan kapasitas vaskular akibat dilatasi vena,
(2) Dilatasi arteriol yang mengakibatkan tekanan arteri menjadi sangat menurun, dan
(3) Kenaikan luar biasa pada permeabilitas kapiler dengan hilangnya cairan dan protein ke
dalam ruang jaringan secara cepat. Hasil akhirnya merupakan suatu penurunan yang luar
biasa pada aliran balik vena dan seringkali menimbulkan syok serius sehingga pasien
meninggal dalam beberapa menit.
Mediator ini menyebabkan timbulnya gejala-gejala urtikaria, angioedema, spasme bronkus,
spasme laring, meningkatnya permeabilitas pembuluh darah, vasodilatasi, dan nyeri/kolik
abdomen.
Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap
antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat
pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin,
dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi
kapiler menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan
Manifestasi Klinis
Reaksi timbul dalam beberapa detik atau menit sesudah paparan allergen.
Gejala kardiovaskular
: hipotensi/renjatan
Kulit
Gejala Intestinal
Gejala SSP
Penatalaksanaan
1.
Resusitasi (A B C)
2.
Antihistamin :
1.
Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter, urtikaria persisten, atau angioedema
yang masih menetap setelah fase akut teratasi.
3.5
Syok Neurogenik
Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan
penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels). Syok neurogenik terjadi
karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh.Syok neurogenik
juga dikenal sebagai syok spinal. Bentuk dari syok distributif, hasil dari perubahan resistensi
pembuluh darah sistemik yang diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf (seperti: trauma
kepala, cedera spinal, atau anestesi umum yang dalam).
Etiologi
Penyebabnya antara lain :
1.
2.
melumpuhkan kendali neurogenik sfingter prekapiler dan menekan tonus venomotor. Pasien
dengan nyeri hebat, stress, emosi dan ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena
mekanisme reflek yang tidak jelas yang menimbulkan volume sirkulasi yang tidak efektif
dan terjadi sinkop, syok neurogenik disebabkan oleh gangguan persarafan simpatis
descendens ke pembuluh darah yang mendilatasi pembuluh darah dan menyebabkan
terjadinya hipotensi dan bradikardia.
Penatalaksanaan
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin dan
efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan
vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.
1.
2.
Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat,
penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini
untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi
yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik
dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
3.
Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan.
Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus
secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan
darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
4.
Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif
(adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien).
5.
Pemberian obat-obatan
Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek
serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi. Dosis dopamine yang diberikan
2,5-20 mcg/kg/menit
Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah.
Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal
dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap
tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik
karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung
(palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali.
Dosis pemberian Norepinefrin 0,05-2 mcg/kg/menit.
Epinefrin : Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan
dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan
pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu
bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat
menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik.
Dosis pemberian Epinefrin 0,05-2 mcg/kg/menit.
Dobutamin : Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya
cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi
perifer. Dosis pemberian dobutamin 2,5-10 mcg/kg/menit.
DAFTAR PUSTAKA
1.