Anda di halaman 1dari 4

"TEORI PEMBELAJARAN\nMenurut Ki Hajar Dewantara\n\n\n\n\n\n\n\n\nDisusun

oleh\n\nHono Sungkono ( 1002005 )\n\nIndah Dwi Purnama


( 1002006 )\n\n\nPENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR\nSEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN\nAL ISLAM TUNAS BANGSA\nBANDARLAMPUNG 2011\n\n\nTeori
Pembelajaran Menurut Ki Hajar Dewantara\n*\nPendahuluan\nSejarah Ki Hajar
Dewantara\nKi Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.
Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari
lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat,
saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan
gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat
bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. \nOleh karena
itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang
mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah
seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan,
sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar
(menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di
dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru
sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan
kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.\nPerjuangan Ki Hajar
Dewantara\nPerjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan
pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS
(Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja
sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden
Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.
Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat
komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat
antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia
juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif
di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan
dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.\nSelain itu ia pun ikut
membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus
sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan
Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap
Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri
Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya
untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan
itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was
(Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een
(Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku
Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes
Dekker itu antara lain berbunyi: \nSekiranya aku seorang Belanda, aku
tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita
sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu,
bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander
memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. \nPikiran untuk
menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita
garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau
aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut
mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya
sedikitpun.\nAkibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan,
berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan
menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat
tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes Dekker dan Cipto
Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil.
Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak
Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan

memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena


hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto
Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda
"Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka
bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka
diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari
pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah
pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di
tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan
sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.\nSetelah pulang
dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan
sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini
sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar
mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh
kemerdekaan.\nKi Hajar Dewantara Mengenai Perjuangan Pendidikan Di
Indonesia\nTidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa.
Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan
Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan
memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.\nSementara
itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan
pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat
Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah
seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas
Mansur. Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat
sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki
Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan
pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar
Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.\nDua
tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia
pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian
oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti
Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki
Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki
Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa.
Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah
penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis,
pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam
mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.\nBangsa ini
perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan
bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya,
adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.\nHari lahirnya,
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah
tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa
(di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada
(di depan memberi teladan).\nTeori Pembelajaran Menurut Ki Hajar
Dewantara\nTeori Konsep Pembelajaran\nPahlawan dan sebagai Pendidik asli
Indonesia,Ki Hajar Dewantara melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan
karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya
secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya
saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka
hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya

Para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan
kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga
menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan
kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya
sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator
atau pengajar. \nOleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki
makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang
keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia,
mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan
perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga,
yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.\nSemboyan
dalam pendidikan yang beliau pakai adalah: tut wuri handayani. Semboyan ini
berasal dari ungkapan aslinya Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun
Karsa, Tut Wuri Handayani. Hanya ungkapan tut wuri handayani saja yang
banyak dikenal dalam masyarakat umum. Arti dari semboyan ini secara lengkap
adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa
memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di
antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung
tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh
tindakan baik).\n \tKi Hajar Dewantara juga pernah melontarkan konsep
belajar 3 dinding. Yang dimaksud belajar dengan 3 dinding bukanlah belajar
dikelas dengan jumlah dinding 3 buah ( salah satu dari 4 sisi dinding tidak
ada ), tetapi konsep tersebut mencerminkan tidak ada batas atau jarak
antara di dalam kelas dengan realita di luar. Belajar bukan sekedar teori
dan praktek disekolah, tetapi juga belajar menghadapi realitas dunia.
Sekolah dan Dunia menurut konsep ini berarti tidak terpisah. Dengan itu
diharapkan para guru mengajarkan ilmu teori serta praktek di dunia dan juga
kepada siswa jika tidak sungkan-sungkan menanyakan apa saja hal yang tidak
diketahuinya tentang dunia kepada guru mereka masing-masing. Tujuan dari
konsep ini, agar para lulusan sekolah dapat mampu hidup dan bisa berbuat
banyak setelah lulus dari sekolah. \n\n\n\n\n\nPandangan Ki Hajar Dewatara
Terhadap Pendidikan\nPandangan selanjutnya ialah Pandangan Ki Hadjar
Dewantara Terhadap Pendidikan. Menurut beliau, pendidikan adalah upaya
untuk memerdekakan manusia dalam arti bahwa menjadi manusia yang mandiri
agar tidka tergantung kepada orang lain baik lahir maupun batin. \nAda
beberapa falsafah yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara tentang
pendidikan, yaitu :\nSegala alat, usaha dan juga cara pendidikan harus
sesuai dengan kodratnya.\nKodratnya itu tersimpan dalam adat istiadat
setiap masyarakat dengan berbagai kekhasan, yang kesemuanya itu bertujuan
untuk mencapai hidup tertib dan damai.\nAdat istiadat sifatnya selalu
berubah (dinamis).\nUntuk mengetahui karateristik masyarakat saat ini
diperlukan kajian mendalam tentang kehidupan masyarakat tersebut di masa
lampau, sehingga dapat diprediksi kehidupan yang akan dating pada
masyarakat tersebut.\nPerkembangan budaya masyarakat akan dipengaruhi oleh
unsur-unsur lain, hal ini terjadi karena pergaulan antar
bangsa.\n\nPemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Pendidikan\nPada jaman
kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi
perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi
informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga
melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun
relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam
masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil
dibuatnya, dan lain-lain. Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi
dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka gandrung
teknologi, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan\/barang-barang
baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan
kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan
aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran
hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek

individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai


masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan
kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri
peserta didik
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara
fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh
tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti
keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi,
tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah
membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa
merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan
pada aspek-aspek nasional.\n \tLandasan filosofisnya adalah nasionalistik
dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa
yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun
spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law),
segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya
adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan,
keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang
dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada
kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap
masing-masing anggotanya. \n \tMaka hak setiap individu hendaknya
dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi
merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan
hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan
dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu
tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan;
pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri;
setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan
kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta
didiknya. \n \tPeserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang
berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota
masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan
kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan
ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang
berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love).
Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang
secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu
menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi
Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu educate the head, the
heart, and the hand.\n\u000B \tGuru yang efektif memiliki keunggulan dalam
mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan
peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan
komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait);
segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap
profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan
keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun
suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga
harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani
masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance\/penampilan
seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian,
nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu
adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif
demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.\n\n \tKita perlu
menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda.
Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi,
berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup
sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian."

Anda mungkin juga menyukai