Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah Konstitusi ini yang berjudul
Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perselisihan Hasil Pemilu. Makalah ini
dibuat untuk mengupas pemahaman-pemahaman yang berkaitan tentang Perselisihan Hasil
Pemilu yang diuraikan dan disusun secara sistematis agar semua orang dengan mudah dapat
memahaminya.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, diperlukan suatu pemahaman khusus mengenai hal-hal
mendasar yang ada pada konsitusi. Untuk itu, penyusunan makalah ini, diharapkan dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Pembuatan makalah ini dapat terselenggara berkat sumber-sumber referensi yang sangat
membantu mengenai Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perselisihan Hasil
Pemilu dan saya berharap dengan makalah ini dapat membantu atau menambah wawasan
semua orang tentang Hukum Konstitusi.
Saya mohon maaf jika makalah ini banyak kekurangan maka dari itu saya mengharapkan
agar para pembaca makalah ini dapat memberikan saran serta kritiknya untuk perbaikan yang
semestinya.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. 1
B. Rumusan Masalah .. .......2
C. Tujuan Pembuatan Makalah .. ........2

II.

PEMBAHASAN
A. Pelanggaran Pemilu ....... 3
B. Sengketa Pemilu ........ 4
C. Sengketa Hasil Pemilu ...... 5
D. Wewenang MK Dalam Memutus Sengketa Pemilu .........5
E. Proses peradilan MK dlm Memutus Sengketa Pemilu . ...............10
F. Prosedur Pengajuan Perselisihan di MK ...............11

III.

PENUTUP
A. Kesimpulan .. 14
B. Saran......................................................................................................14

IV.

DAFTAR PUSTAKA

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hidup bernegara,kita tidak dapat lepas dari sesuatu yang disebut hukum. Tidak ada
satupun negara tanpa hukum. Secara etimologis antara kata konstitusi, konstitusional,
dan konstitusionalisme inti maknanya sama,namun penggunaan atau penerapannya
berbeda. Konstitusi adalah segala ketetntuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (UndangUndang Dasar, dan sebagainya), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain
segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak
didasarkan atau menyimpangi konstitusi,berarti tindakan(kebijakan) tersebut adalah tidak
konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu suatu paham mengenai
pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.catatn historis
timbulnya negara konstitusional, sebenarnya merupakan proses sejarah yang panjang dan
selalu menarik untuk dikaji. Konstitusi sebagai suatu kerangka kehidupan politik telah
disusun melalui dan oleh hukum,yaitu sejak zaman sejarah yunani, dimana mereka telah
mengenal beberapa kumpulan hukum (semacam kitab hukum). Pada masa kejayaannya
(antara tahun 624-404 SM) Anthena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi.
Koleksi Aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai
negara.
Pemahaman awal tentang konstitusi pada masa itu, hanyalah merupakan suatu
kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Kemudian pada masa Kekaisaran
Roma, pengertian constitutionnes memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan
ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para preator. Termasuk di
dalamnya pernyataan-pernyataan pendapat dari para ahli hukum/negarawan, serta adat
kebiasaan setempat, di samping undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai pengaruh
cukup besar sampai abad pertengahan. Di mana konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate
power) dari para kaisar Roma, telah menjelma dalam bentuk LEtat General di Perancis,
bahkan kegandrungan orang Romawi akan ordo et unitas telah memberikan inspirasi bagi
tumbuhnya paham: Demokrasi Perwakilan dan Nasiomalisme. Dua paham ini merupakan
cika bakal munculnya paham konstitusionalisme modern. Konstitusi modern diharapkan bisa
merupakan jaminan bagi pelaksanaan hak-hak asasi manusia serta paham welfare state,
sekaligus memberikan perlindungan secara yuridis konstiusional.sebagaimana disinyalir oleh
Strong bahwa tujuan pkok dari konstitusi modern adalah: to secure social peace and
progress, safeguard individua rights and promate national well-being.1

1 Dahlan Thalib,2013, Teori dan Hukum Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada,


Jakarta, hal 1-3.

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk.
Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau
menyusun dan menyatakan suatu negara.2
Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa
Belandanya Gonwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undangundang, dan grond berarti tanah/dasar. Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris
sebagai bahasa nasional, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut
konstitusi. Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas daripada pengertian
Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu
yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Dalam bahasa latin, kata konstitusi merupaan
gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti
bersama dengan..., sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja
pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere yang mempunyai arti membuat
sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan. Dengan demikian, bentuk tunggal
(constitutio) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak
(constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.3 Sejak adanya pengalihan
kewenangan memutus perselisihan hasil Pemilu dari Mahkamah Agung (MA) pada 2008
silam atau dalam kurun waktu lima tahun, Mahkamah Konstitusi(MK) sudah menerima
sekitar 549 gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Pemilu Kada. Artinya,
hampir semua pelaksanaan Pemilu Kada di Indonesia berujung gugatan di MK.Peran
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang mempunyai kewajiban menjaga
tegaknya konstitusi dan demokrasi semakin penting. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun2003 tentang
Mahkamah Konstitusi jis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentangPerubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu
kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum dan pemilukada. Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
menetapkan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suarapemilihan kepala daerah
2 Ibid., hlm.6.
3 Ibid., hlm.7.

oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusipaling lama 18 (delapan


belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Kemudian pada29 Oktober 2008, Ketua
Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusimenandatangani Berita Acara Pengalihan
Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal236C undang-undang tersebut. Dengan
demikian, secara formil kewenangan MahkamahKonstitusi bertambah, di samping
menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu,Mahkamah Konstitusi juga memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasilpemilukada di Indonesia.Selanjutnya,
dalam rangka melengkapi pengaturan tentang mekanisme persidangan dalampenyelesaian
sengketa/perselisihan Pemilukada itu, Mahkamah Konstitusi kemudianmembentuk Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang PedomanBeracara Dalam Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian, disamping terdapat Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi (sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi) yang menjadi landasan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Pelanggaran Pemilu ?
2. Apa yang dimaksud dengan Sengketa Pemilu ?
3. Apa yang dimaksud dengan Sengketa Hasil Pemilu ?
4. Bagaimana Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan
Sengketa Pemilu ?
5. Bagaimana Mekanisme Prosedur Pengajuan Perselisihan di Mahkamah
Konstitusi ?
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan rumusan masalah, maka tujuan
dibuat makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui arti dari Pelanggaran Pemilu.
2. Untuk mengetahui arti dari Sengketa Pemilu.
3. Untuk mengetahui arti dari Sengketa Hasil Pemilu.
4. Untuk mengetahui Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan
Sengketa Pemilu.
5. Untuk mengetahui Mekanisme atau Prosedur Pengajuan Perselisihan di
Mahkamah Konstitusi.

PEMBAHASAN
A. Pelanggaran Pemilu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang
Pemilu yang dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) pelanggaran yakni pelanggaran
pidana dan pelanggaran administrasi. Pelanggaran pidana adalah tindakan-tindakan
yang menurut Undang-Undang Pemilu ditetapkan sebagai tindakan kriminal dan
berakibat pada hukuman penjara dan/atau denda, sedangkan pelanggaran Administrarif
adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap ketetntuan dan persyaratan yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Pemilu dan tidak didefinisikan sebagai tindakan kriminal dan
tidak berkaitan dengan hukuman dan/atau denda. Konsekwensi dari pelanggaran
Admnistratif adalah tidak diikutsertakannya DPR,DPD,DPRD Provinsi dan DPRD
Kab/Kota sebagai pesreta pemilu. Pelanggaran pemilu diselesaikan oleh Panwaslu atau
KPU sebagai penyelenggara pemilu. Pelanggaran pemilu adalah semua tindakan yang
menurut Undang-Undang pemilu telah keluar dari apa yang telah digariskan oleh
Undang-Undang tersebut. Contoh masalah pelanggaran pemilu Terjadinya pelanggaran
dalam pelaksanaan pemilu 2009 sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi
karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat
dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi
untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu. Sebagai upaya antisipasi, UU 10 Tahun
2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu)
mengaturnya pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan
tambahan ancaman atau sanksi. Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU pemilu
antara lain:
1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU
Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten
Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan
lainnya;
2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD,
tim kampanye;
3.
Pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus
BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan
lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau dalam negeri maupun asing;
6. Masyarakat Pemilih, pelaksana survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut
sebagai setiap orang.
Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis
besar UU Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi:
(1) pelanggaran administrasi pemilu;
(2) pelanggaran pidana pemilu; dan

(3) perselisihan hasil pemilu.

Contoh Kasus yang telah nyata ada adalah :

1) sengketa antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU tentang
Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah
satu atau beberapa calon peserta pemilu.
2) sengketa antara partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai
pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai
dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.

Akil Mochtar Disuap untuk Kasus Sengketa Pilkada Gunung Mas


Thursday, 03 October 2013, 00:56 WIB

Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK menyita uang dalam belum dolar Singapura senilai
Rp 2-3 miliar dalam penangkapan lima orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) Rabu
(2/10) malam. Satu di antara lima orang yang ditangkap KPK itu adalah Ketua Mahkamah
Konstitusi, Akil Mochtar.
Juru Bicara KPK, Johan Budi membenarkan selain Akil satu orang yang ditangkap adalah
penyelenggara negara. "Ya benar AM dari petinggi MK," kata juru bicara KPK, Johan Budi
SP dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (3/10) dini hari.
Kelima orang ini ditangkap di dua lokasi berbeda pada Rabu (2/10) pukul 22.00 WIB. Lokasi

pertama dilakukan di rumah kediaman Ketua MK, Akil Mochtar, di Kompleks Widya
Chandra, Jakarta Selatan. Penangkapan langsung tiga orang yaitu Akil, anggota DPR dari
Fraksi Golkra, Chairunnisa (CHN) dan seorang pengusaha berinial CN.
Sedangkan di lokasi kedua, penangkapan dilakukan di Hotel Red Top, Jakarta Pusat terhadap
dua orang yaitu Bupati Gunung Mas petahana, Hambit Bintih (HB) dan Dhani (Dhani) yang
diduga bawahan Hambit di Pemkab Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
"Pemberian ini CHN dan CN ini diduga memberikan kepada AM. Setelah proses serah
terima, baru ditindak KPK. Pemberian diduga terkait sengketa pilkada di Kabupaten Gunung
Mas, Kalteng," tegas Johan.
Sebelumnya KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) lima pelaku dugaan
suap, Rabu (2/10) malam. Pelaku ditangkap di kawasan perumahan dinas menteri, di Jalan
Widya Chandra, Jakarta Selatan.
Dugaan ini menyusul datangnya lima mobil penyidik KPK yang menggelandang sekitar lima
orang pada pukul 21.50 WIB. Beberapa tim penyidik datang dengan mobil berlainan. Salah
satu mobil adalah Avanza silver B 1811 UFU yang terlihat membawa seorang pria yang
mengenakan kemeja berwarna putih dan kaca mata. Diduga kuat pria itu adalah Ketua
Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Satu lainnya diketahui anggota DPR dari Fraksi Golkar
berinisial CN.

B. Sengketa Pemilu adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya
perbedaan penafsiran antar pihak Adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih
karena adanya perbedaan penafsiran antar pihak atau suatu ketidaksepakatan tertentu
yang berhubungan dengan fakta kegiatan atau peristiwa hukum atau kebijakan, dimana
suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan
yang berbeda, penghindaran dari pihak yang lain, yang terjadi dalam penyelenggaraan
Pemilu.

Ada beberapa pihak yang ikut terlibat dalam sangketa Pemilu, yaitu
diantaranya adalah:
a. Penyelenggara Pemilu.
b. Partai politik peserta Pemilu, yaitu Dewan Pimpinan Tingkat Nasional,
Dewan Pimpinan Tingkat Propinsi, Dewan Pimpinan Tingkat Kab/Kota,
dst.
c. Peserta Pemilu perseorangan untuk pemilihan anggota DPD.
d. Anggota dan/atau pengurus partai politik peserta Pemilu.
e. Warga Negara yang memiliki hak pilih.
f. Pemantau Pemilu.

Proses penyelesaian sengketa pemilu di Panitia Pengawas Pemilu adalah sebagai


berikut:

a.

Penetapan berkas laporan sebagai sengketa Pemilu oleh Panitia Pengawas


Penerima Laporan.
b. Penyerahan berkas laporan sengketa pemilu oleh Pengawas Pemilu penerima
laporan kepada Pengawas Pemilu yang berwenang.
c. Pengkajian dan pemeriksaan berkas laporan tentang sengketa pemilu oleh
Pengawas Pemilu yang berwenang.
d. Pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa oleh Pengawas Pemilu yang
berwenang.

Apabila pertemuan pihak-pihak yang bersengketa untuk musyawarah dan mufakat


tercapai, maka dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu Secara
Musyawarah dan Mufakat.
a. Apabila tidak tercapai musyawarah dan mufakat, maka Pengawas Pemilu yang
berwenang menawarkan alternatif penyelesaian kepada phak-pihak yang bersengketa,
dan apabila disetujui, maka dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa
Pemilu Melalui Alternatif Penyelesaian Pengawas Pemilu.
b. Apabila tawaran alternatif penyelesaian tidak diterima oleh salah satu atau kedua
belah pihak yang bersengketa, maka Pengawas Pemilu memberikan putusan final dan
mengikat, yang dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu
Melalui Putusan Pengawas Pemilu.
Suatu sengketa pemilu yang ditangani oleh pengawas pemilu telah selesai, apabila:
a. Dicapainya Musyawarah dan Mufakat sebagaimana dimaksud dalam butir 5
(sebagaimana penjelasannya diatas) yang ditandai dengan dibuatnya Berita Acara
Penyelesaian Sengketa Pemilu secara Masyawarah dan Mufakat.
b. Diterimanya Alternatif Penyelesaian dari Pengawas Pemilu oleh pihak-pihak yang
bersengketa sebagaimana dimaksud dalam butir 6 yang ditandai dengan Berita Acara
Penyelesaian Sengketa Pemilu melalui Alternatif penyelesaian Pengawas Pemilu.
c. Diberikannya Putusan Pengawas Pemilu sebagaimana dimaksud dalam angka 7 yang
ditandai dengan Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu melalui Putusan
Pengawas Pemilu.

Adapun tenggang waktu yang Penyelesaian Sengketa Pemilu di Panwaslu ini adalah
sebagai berikut:
a. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama 3 (tiga)
hari setelah laporan diterima.
b. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama 3 (tiga)
hari setelah angka 1 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali dijangkau paling
lama 7 (tujuh) hari setelah angka 1 (satu) dilakukan).
c. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 3 diselesaikan paling lama 3 (tiga)
hari setelah angka 2 dilakukan.
d. Proses sebagaimana yang disebutkan pada angka 4 diselesaikan paling lama 3
(tiga) hari setelah angka 3 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali dijangkau
paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 3 (tiga) dilakukan).
e. Pertemuan sebagaimana yang dimaksud pada angka 5 dilaksanakan paling lama 3
(tiga) hari setelah angka 4 diselesaikan (untuk daerah yang sulit sekali dijangkau
paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 3 (tiga) dilakukan).

f. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 5, 6, dan 7 diselesaikan paling lama


14 (empat belas) hari setelah angka 5 dilakukan.

Permohonan sengketa penyelesaian sengketa pemilu gugur, apabila:


a. Permohonan gugur bila pemohon atau kuasanya tidak datang dan hadir dalam
pertemuan pertama setelah 3 (tiga) kali dipanggil secara patut oleh Pengawas
Pemilu yang berwenang dalam Berita Berita Acara Gugurnya Sengketa.
b. Permohonan penyelesaian sengketa pemilu dapat dicabut kembali setelah
pertemuan pertama, yang dituangkan dalam Berita Acara Pencabutan
Permohonan Penyelesaian Sengketa Pemilu.
c. Permohonan yang gugur dapat diajukan kembali paling lama 7 (tujuh) hari setelah
terjadinya sengketa.

C. Sengketa Hasil Pemilu


Dalam sejarah kehidupan ketatanegeraan Indonesia, Bangsa Indonesia telah
melakukan 10 (sepuluh) kali Pemilihan Umum (1945-2010), dimana pemilihan umum
itu merupakan salah bentuk dari pesta demokrasi. Dalam waktu yang relatif cukup
panjang tersebut, segala bentuk kecurangan dan/atau manipulasi yang berujung pada
sengketa Pemilu, yang merupakan persoalan yang cukup mendasar dan menjadi
perhatian serius kita semua, mengingat asas Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas dan
Rahasia (LUBER) serta Jujur dan Adil (JURDIL) selalu saja diciderai dengan
tindakan-tindakan curang oleh Partai Politik tertentu yang menimbulkan pelanggaran
atau sengketa dalam menjalankan Pemilu tersebut.
Sengketa hasil pemilu adalah merupakan sengketa antar lembaga Negara yang
berkaitan dengan hasil Pemilu, dimana terjadinya salah penafsiran atau manipulasi
pada hasil pemilu.
Penyelesaian tentang perkara sengketa hasil pemilu merupakan salah satu wewenang
Mahkamah Konstitusi. Dimana wewenang itu telah diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945.
D. Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau
dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK
sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk
lembaga ini. Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 [3] menetapkan
bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga
negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya,
seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang
terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY) . Mahkamah Konstitusi (MK)
merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan
agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan
penyelenggaraan Negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait

dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan


tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola
secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara
hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga
Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The
Constitution.

Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
a. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
b. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci
sebagai berikut:
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Dalam beberapa wewenang tersebut diatas, Mahkamah Konstitusi memberikan
putusan setelah melakukan pengujian atas gugatan dan juga perkara yang masuk
dalam buku registrasi Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi akan
mengeluarkan putusan selambat-lambatnya tiga hari setelah perkara tersebut
masuk dalam buku registrasi Mahkamah Konstitusi.
Kewajiban dari Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela yang dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

E. Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu


Pada Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memerintahkan
penyusunan dengan segera Undang-undang organik tentang Mahkamah Konstitusi
yang mengatur hal-hal yang bersifat teknis, administratif yang meliputi antara lain:
prosedur pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara Mahkamah

Konstitusi dan Ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi.


Menurut ketentuan Pasal 24 C ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang
selengkapnya menyatakan, sebagai berikut:

Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan


lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-undang.
Para pihak yang dapat berperkara atau legal standing untuk dapat mengajukan
permohonan perselisihan hasil pemilihan umum, yang berada dalam kewenangan
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1)
UU No. 24 tahun 2003 sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004, ditentukan sebagai berikut:
Pemohon adalah: (i) Perorangan warga Negara Indonesia calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) Peserta Pemilihan Umum, (ii) Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, (iii) Partai
Politik pserta Pemilihan Umum, Sedangkan selain dari 3 (tiga) pihak diatas, maka
tidak memiliki legal standing dan tentunya tidak berhak untuk mengajukan
permohonan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, akan tetapi
tidak semua sengketa yang berkaitan dengan pemilihan umum berada dalam
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Karena bisa jadi sengketa Pemilu tersebut masuk
dalam kewenangan panitia pengawas Pemilu. Permohonan sengketa pemilu yang
dapat diajukan kehadapan Mahkamah Konsitusi, adalah hanya dapat diajukan
penetapan hasil pemilihan umum yang ditetapkan secara nasional oleh Komisi
Pemilihan Umum, yang dapat mempengaruhi; (i) Terpilihnya calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), (ii) Penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta
terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk menjadi Presiden dan
Wakil Presiden, (iii) Perolehan kursi yang dimenangkan oleh partai politik peserta
pemilihan umum disuatu Daerah Pemilihan. Tiga poin yang dapat mempengaruhi
penetapan hasil pemilihan umum secara nasional diatas, merupakan materi
permohonan dan tentunya harus dipenuhi oleh setiap pemohon, sehingga sengketa
hasil pemilihan umum tersebut dapat dibawa kedepan persidangan Mahkamah
Konstitusi, dan apabila ke- 3 (tiga) poin tersebut tidak terpenuhi, maka permohonan
tersebut akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun posisi Komisi Pemilihan
Umum dalam hal ini, adalah menjadi pihak termohon.
F. Prosedur Pengajuan Perselisihan di Mahkamah Konstitusi
Para pihak atau yang disebut sebagai pemohon yang memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagaimana yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat mengajukan permohonan
tersebut yang secara administrasi ditujukan kepada bagian kepeniteraan Mahkamah
Konstitusi, yang memeriksa kelengkapan administrasi, misalnya keterangan lengkap
dari pemohon, yang ditulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon
atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang
menjadi dasar permohonannya dan hal-hal lain yang diminta untuk diputuskan.
Untuk kepentingan itu, sebagaimana dijelaskan lebih rinci oleh pasal 5 ayat (4)
Peraturan Mahkamah Konstitusi No.04/PMK/2004. tentang Pedoman Beracara dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa:

Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau
kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh: (i) calon anggota
Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum atau kuasanya, (ii) pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum dan kuasanya, (iii) Ketua
umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan sejenisnya dari pengurus pusat partai
politik atau kuasanya.

Permohonan diatas harus memuat antaranya:


a. Identitas pemohon, yang meliputi: nama, tempat tanggal lahir/umur, agama,
pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telepon/faksimili/telepon
seluler/email. Yang dihampiri dengan alat-alat bukti yang sah, antara lain meliputi;
foto copy KTP, terdaftar sebagai pemilih yang dibuktikan dengan kartu pemilih,
terdaftar sebagai peserta Pemilihan Umum (bagi partai politik dan perseorangan
calon anggota DPD).
b. Permohonan yang diajukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat
dilakukan melalui faksimili atau e-mail dengan ketentuan permohonan asli
sebagaimana dimaksud diatas sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi
dalam jangka waktuu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat.
c. . Uraian yang jelas tentang; (i) Kesalahan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar
menurut pemohon, (ii) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil
penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
d. Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung
permohonan tersebut, antara lain alat bukti surat, misalnya foto copy sertifikat
hasil penghitungan suara, foto copy sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
suara dalam setiap jenjang penghitungan, atau foto copy dokumen-dokumen
tertulis lainnya dalam rangkap 12 (dua belas) setelah 1 (satu) rangkap dibubuhi
materai cukup dilegalisasi. Apabila pemohon berkehendak mengajukan saksi
dan/atau ahli, daftar dan curriculum vitae saksi dan/atau ahli dilampirkan
bersama-sama permohonannya.

Permohonan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3X24 jam (tiga kali dua
puluh empat) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan
umum secara nasional. Pasal 74 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 jo Pasal 5 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004. Namun, karena jangka waktu pengajuan
permohonan yang sangat singkat itu, maka cara pengajuannya juga dimudahkan yaitu dapat
melalui faksimili atau e-mail, dengan ketentuan bahwa permohonan aslinya sudah harus
diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak
habisnya tenggat waktu. Permohonan yang masuk diperiksa persyaratan dan kelengkapannya
oleh Panitera Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 UU tahun 2003, dimana
dalam pasal tersebut, diatur bagaimana tata tertib beracara di Mahkamah Konstitusi dan
bagaimana mengajukan perkara oleh para pemohon yang ingin mengajukan permohonan,
baik dalam kasus yang bersifat konstitusional maupun kasus sengketa kewenangan antar
lembaga Negara yang diatur dalam UUD 1945. Dalam pelaksanaan wewenangnya sebagai
lembaga Negara yang memutuskan perkara ditingkat awal dan pada tingkat akhir yang
putusannya bersifat final dan mengikat, Mahkamah Konstitusi.

PENUTUP
Kesimpulan :
Pelanggaran Pemilu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang
Pemilu yang dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) pelanggaran yakni pelanggaran
pidana dan pelanggaran administrasi. Sengketa Pemilu Adalah perselisihan antara dua
pihak atau lebih karena adanya perbedaan penafsiran antar pihak atau suatu
ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan dengan fakta kegiatan atau peristiwa
hukum atau kebijakan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak
mendapat penolakan, pengakuan yang berbeda, penghindaran dari pihak yang lain,
yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu. Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam
Menyelesaikan Sengketa Pemilu Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan
agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan
penyelenggaraan Negara dan kehidupan politik. Proses Peradilan Mahkamah
Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu Para pihak yang dapat berperkara
atau legal standing untuk dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan
umum, yang berada dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang
diatur dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 sebagaimana yang
dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004,
ditentukan sebagai berikut:
Pemohon adalah: (i) Perorangan warga Negara Indonesia calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) Peserta Pemilihan Umum, (ii) Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, (iii) Partai
Politik pserta Pemilihan Umum,
Prosedur Pengajuan Perselisihan di Mahkamah Konstitusi
Permohonan diatas harus memuat antaranya:
a. Identitas pemohon, yang meliputi: nama, tempat tanggal lahir/umur, agama,
pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telepon/faksimili/telepon
seluler/email.
b. Permohonan yang diajukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat
dilakukan melalui faksimili atau e-mail dengan ketentuan permohonan asli
sebagaimana dimaksud diatas sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam
jangka waktuu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat.
c. Uraian yang jelas tentang; (i) Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan
oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon,
(ii) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar
menurut pemohon.

d. Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung


permohonan tersebut, antara lain alat bukti surat, misalnya foto copy sertifikat hasil
penghitungan suara, foto copy sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dalam
setiap jenjang penghitungan, atau foto copy dokumen-dokumen tertulis lainnya dalam
rangkap 12 (dua belas) setelah 1 (satu) rangkap dibubuhi materai cukup dilegalisasI.
Saran : Sebagai negara kesatuan Indonesia sebaiknya kebijakan pemerintah harus
sesuai dengan nilai-nilai pancasila khusus nya tentang pemilu dan kita sebagai
generasi penerus bangsa Indonesia kedepannya harus menerapkan nilai-nilai pancasila
daam kehidupan sehari-hari. Serta harus menciptakan pemerintahan yang adil dan
bijaksana. Jadi, negara dan pemerintahannya dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Thaib, Dahlan, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2013, cet ke-11

http://www.wikipwdia.com
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/10/03/mu1z6s-akil-mochtar-disuapuntuk-kasus-sengketa-pilkada-gunung-mas

TUGAS MAKALAH HUKUM KONSTITUSI


WEWENANG MAHKMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS
PERSELISIHAN HASIL PEMILU

OLEH :
NAMA

: VICKY NOVAL P.S

NIM

: B1A012420

REGULER

: B

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
TAHUN 2014/2015

Anda mungkin juga menyukai