BAB I
PENDAHULUAN
1.1
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Guillain Barre Syndrom
Guillain Barre Syndrom (GBS) didefinisikan sebagai sebuah penyakit
demyelinisasi neurologist. Terjadi secara akut, berkembang dengan cepat. Biasanya
mengikuti pola ascending (merambat ke atas) mengenai akar saraf-saraf spinal dan
perifer. Terkadang mengenai saraf-saraf cranial. Memiliki rangkaian klinis dengan
variabel yang tinggi. (Symposium Guillain BarreSyndrom, di Brussel, 1937).
Guillain Bare Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang
memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi
biasanya paralisis sementara ( Doenges:369).
2.2 Etiologi Guillain Barre Syndrom
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara
lain:
a. Infeksi
b. Vaksinasi
c. Pembedahan
d. Penyakit sistematik
e. Keganasan
f. Systemic lupus erythematosus
g. Tiroiditis
h. Penyakit addison
i. Kehamilan atau dalam masa nifas
2.3 Manifestasi klinis Guillain Barre Syndrom
Sulit dideteksi pada awal kejadian, biasanya : Gejala berupa flu, demam, headache,
pegal dan 10 hari kemudian muncul gejala lemah. Selang 1-4 minggu, sering
muncul gejala berupa :
a. Paraestasia (rasa baal, kesemutan)
b. Otot-otot lemas (pada tungkai, tubuh dan wajah)
c.
Saraf-saraf cranialis sering terjadi patologi, shg ganguan gerak bola mata,
mimik wajah, bicara, d. Gangguan pernafasan (kesulitan inspirasi)
e. Ganggua saraf-saraf otonom (simpatis dan para simpatis)
f. Gangguan frekuensi jantung
g. Ganggua irama jantung
h. Gangguan tekanan darah
i. Gangguan proprioseptive dan persepsi terhadap tubuh diikuti rasa nyeri pada
bagian punggung dan daerah lainnya.
2.4 Klasifikasi Guillain Barre Syndrom
a. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang
paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh
respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
b. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan
bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang
biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias
gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b
dalam 90% kasus.
c.
Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina;
menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini
disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer.
Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati
antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada
AMAN.
d.
Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga
menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan
kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
e.
Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang;
dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan
kardiovaskular dan disritmia.
f.
Ensefalitis batang otak Bickerstaffs (BBE), ditandai oleh onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski
(menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik
ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang
otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun
prognosis BBE cukup baik.
2.5 Fase Guillain Barre Syndrom
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase,yaitu:
a. Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir
klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko
kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta
gejala.
b. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih
ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
c. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase
infeksi.
2.6 Patofisiologi Guillain Barre Syndrom.
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat
mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated
demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah
responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua
saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan
menyebabkan system penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf
perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan
target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system
sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi
oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu
setyelah proses keradangan terjadi
2.7 Pathway Guillain Barre Syndrom
Terlampir
2.8
a.
b.
c.
d.
e.
setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala
klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi.
Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan
dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
a. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf,
antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan
prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal
saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS
yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan
berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal
dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo
CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang
pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna.
Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan
periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya
KHS dan denervasi EMG.
b. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran
ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif
penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju
endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah
salah satu gejala.
b. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat
Dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf
pada kultur jaringan.Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus,
menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya
jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
c. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T
akan mendatar atauinverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang
dijumpai, namun tidak sering.
d. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
2.11 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrom
a. Penatalaksanaan Keperawatan ( Perawatan Supportif)
a). Respirasi
Monitor ketat frekuensi dan pola nafas yaitu monitor oksimetri dan AGD. Pernafasan
mekanik, perawatan pasien dengan ventilator mekanik.
b). Kardiovaskuler : monitor ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR )
dan tekanan darah (blood pressure ).
c). Pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit dan nutrisi.
d). Perawatan secara umum :
- physioterapi
- perawatan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan
- pertahankan ROM sendi
- pertahankan fungsi paru
- kultur urine dan sputum tiap 2 minggu
- pencegahan terhadap tromboemboli
- pemberian antidepressant jika pasien depresi
b. Penatalaksanaan Medis
a). Pengobatan Spesifik
Plasmas exchange (plasmaphoresis) lebih efektif dalam 7 hari dari timbulnya
serangan / gejala. Diperlukan filter khusus yang menyerupai filter pada dialisa
ginjal. Filter ini digunakan untuk menyaring keluar antibodi-antibodi (merupakan
media dari system imun) yang menyerang dan merusak lapisan myelin dan sarafsaraf perifer. Tak ada pedoman yang pasti dalam melakukan tindakan ini,namun
umumnya sekitar 3-5 liter dari plasma pasien disaring keluar dan digantikan pada
waktu yang sama dengan plasma atau plasma + normal saline. Setiap hari setelah
terapi selesai, pasien diberi 4-5 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk
menggantikan factor pembeku darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian
plasma diharapkan dilakukan setiap hari selama 3-5 hari dan biasanya berhasil
dengan sangat baik, namun jika pasien tidak berespon terhadap terapi ini sampai
hari ke lima maka terapi / tindakan ini tidak diulangi. Tindakan penggantian plasma
ini telah terbukti berhasil mencegah pasien menggunakan ventilator atau
mengurangi lamanya pasien menggunakan ventilator.Masalah yang timbul dengan
tindakan penggantian plasma antara lain :
o Biayanya mahal.
o Dapat menyebabkan hipotensi, arythmia, haematoma, thrombus dan komplikasi
yang mengarah terjadinya sepsis.
o Membutuhkan perawat yang trampil.
b). Pemberian immunoglobulin secara intravena yang diberikan dengan dosis 0,4
g/kg selama 5 hari berturut turut.
c). Cairan , elektrolit dan nutrisi.
d). Sedative dan analgetik.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1.
Pengkajian
Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan
Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi /
kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.
2.
Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas
vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan
ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara
turun), fluktuasi suhu badan.
B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun,
konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.
Pemeriksaan FT
Anamnesis
Pendukung
Inspeksi
Aktif
Kekuatan otot
Pasif
Prinsip Penanganan
Pemeliharaan sistem pernapasan
Mencegah kontraktur
Pemeliharaan ROM
Pemeliharaan otot-otot besar yng denervated
Re-edukasi otot
Dilakukan sedini mungkin
Mobilisasi ROM
Diagnosa keperawatan
1.
2.
3.
4.
4. Rencana keperawatan
1. Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek
menelan dan peningkatan produksi saliva
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak
terjadi
Tindakan:
- Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction
- Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau
SpO2 < 95 %
- Monitor status hidrasi
- Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan
- Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab
2. Dx : Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru
sebagai efek adanya atelektasis paru
Tujuan : Setelah dirawat
- BGA dalam batas normal
- Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+
- Cyanosis (-), SpO2 > 95 %
Tindakan:
- Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
- Monitor SpO2 setiap jam
- Monitor respirasi dan cyanosis
- Kolaborasi :
Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
Analisa hasil BGA
3. Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter
dan infus
Tujuan : setelah dirawat diharapkan
- Tanda-tanda infeksi (-)
leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),
Suhu tubuh 36,5-37 oC
Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakan :
BAB 1V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus
yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf
kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari
SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot
ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka
4.2
Saran
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
2.12 Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik.
Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC
2.13 Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan
dan Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC
2.14 Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated
polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226
. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta: EGC
2.15 Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan Gerak, hal
173-179, Badan Penerbit FK UNDIP, Semarang.
2.16 Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-310,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
2.17 Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan Anak,
Jilid II : ha; 883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.
http://cupdate1.blogspot.com/2014/07/askep-gbs-guillain-bare-syndrom.html
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORI
1. Definisi
Guillain Barre Syndrome ialah sindrom yang mempunyai banyak sinonim antara lain
polyneuritis akut pasca infeksi, polyneuritis akut toksik polyneuritis febril, poliradikulopati, dan
acute ascending paralysis yang sering ditemukan pada bagian penyakit saraf yang dicirikan
dengan kelumpuhan otot ekstremitas yang akutt dan progresif, dan biasanya muncul sesudah
infeksi. (Harsono, 1996).
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah terjadinya suatu masalah pada system saraf
yang menyebabkan kelemahan otot, kehilangan reflex, dan kebas pada lengan, tungkai, wajah,
dan bagian tubuh lain. Kasus ini terjadi secara akut dan berhubungan dengan proses
autoimun. (http://xa.yimg.com /Guillaine+Barre+Sindrome.pdf)
Guillain-Barre Syndrome adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan dan
kerusakan myelin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk selubung
pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer. Kerusakan saraf ini dianggap sebagai
hasil dari reaksi kekebalan yang abnormal terhadap mielin sistem saraf perifer. Kelemahan dan
mati rasa di kaki biasanya merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat
menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh.
(http://fk.uwks.ac.id/archieve/jurnal//SINDROGUILLAINBARRE.pdf)
Jadi, GBS merupakan proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang
jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri.
2. Anatomi Fisiologi
a. Organisasi Struktural Sistem Saraf
1) Sistem saraf pusat (SSP). Terdiri dari otak dan medulla spinalis yang dilindungi tulang kranium
dan kanal vertebral.
2) Sistem saraf perifer meliputi seluruh jaringan saraf lain dalam tubuh. Sistem ini terdiri dari saraf
cranial dan saraf spinal yang menghubungkan otak dan medulla spinalis dengan reseptor dan
efektor. Secara fungsional sistem saraf perifer terbagi menjadi sistem aferen dan sistem eferen.
a) Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke SSP
b) Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar. Sistem eferen dari
sistem saraf perifer memiliki dua sub divisi :
i. Divisi somatic (volunter) berkaitan dengan perubahan lingkungan eksternal dan pembentukan
respons motorik volunter pada otot rangka.
ii. Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respon involunter pada otot polos, otot jantung
dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui dua jalur
i)
Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada medulla spinalis
ii)
Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan sacral pada medulla spinalis..
b. Sel-Sel Pada Sistem Saraf
Neuron adalah unit fungsional sistem saraf yang terdiri dari badan sel dan perpanjangan
sitoplasma.
1) Badan sel atau perikarion, suatu neuron mengendalikan metabolisme keseluruhan neuron.
Bagian ini tersusun dari komponen berikut :
2) Neurofibril yaitu neurofilamen dan neurotubulus yang dapat dilihat melalui mikroskop cahaya
jika diberi pewarnaan dengan perak.
3) Dendrit adalah perpanjangan sitoplasma yang biasanya berganda dan pendek serta berfungsi
untuk menghantar impuls ke sel tubuh.
4) Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang dari dendrite. Bagian
ini menghantar impuls menjauhi badan sel ke neuron lain, ke sel lain (sel otot atau kelenjar)
atau ke badan sel neuron yang menjadi asal akson.
5) Sel Schwann
Sel ini mirip lembaran yang tumbuh disekitar sebagian akson(serat) untuk membentuk selubung
myelin.
6) Selubung myelin
Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung Schwann. Selubung myelin merupakan
sruktur berbentuk spiral berisi myelin berlemak yang membantu mempercepat perjalanan dan
mencegah impuls pudar atau bocor. Selubung myelin sebagai isolator listrik, mencegah arus
pendek antara akson, dan mempasilitasi konduksi. Nodus ranvier adalah satu-satunya titik
dimana akson tidak tertutup myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya dan cairan
ekstraseluler. Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier memperkuat potensial aksi
yang dihantarkan sepanjang akson dan ini adalah dasar konduksi saltatori (meloncat).
Klasifikasi Neuron
1) Fungsi.
Neuron diklasifikasi secara fungsional berdasarkan arah transmisi impulsnya.
a) Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari reseptor pada kulit, organ indera
atau suatu organ internal ke SSP.
b) Neuron motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor.
c) Interneuron (neuron yang berhubungan) ditemukan seluruhnya dalam SSP. Neuron ini
menghubungkan neuron sensorik dan motorik atau menyampaikan informasi ke interneuron
lain.
2) Struktur.
Neuron diklasifikasi secara structural berdasarkan jumlah prosesusnya.
a) Neuron unipolar memiliki satu akson dan dua denderit atau lebih. Sebagian besar neuron
motorik, yang ditemukan dalam otak dan medulla spinalis, masuk dalam golongan ini.
b) Neuron bipolar memiliki satu akson dan satu dendrite. Neuron ini ditemukan pada organ indera,
seperti amta, telinga dan hidung.
c) Neuron unipolar kelihatannya memiliki sebuah prosesus tunggal, tetapi neuron ini sebenarnya
bipolar.
3. Etiologi
Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini terungkap
ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan
immunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process.
Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut. Penyebab
terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang
menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Pada sebagian besar
kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus,
coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV. Selain virus,
penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter
Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan ,
Mycobacterium Tuberculosa. Vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B ;
penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis ; kehamilan
terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya
terjadi 2 4 minggu sebelum timbul GBS .
4. Patofisiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin,
material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi
menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama
sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf.
Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
(AIDP).
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang
sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang
tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun.
Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki sel
Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T.
Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi
spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus
dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya
sebagai benda asing.
Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem
imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan
destruksi myelin, bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh
karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan
terjadinya respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan
signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari
otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh Umumnya selsel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem
imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan
akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba
menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa
organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel
sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing.Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang
myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi
melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal
sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin
bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan
maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat
ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya,
yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan
diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin
banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya
antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi
dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit,
sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi
yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil
myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu
bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang
berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan
otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga
mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas,
serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat
sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan
pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis,
merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal.
Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot,
organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer
motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara
pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif,
ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung
myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya
akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini
adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung
myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder;
hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal
saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan
paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah
gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan
waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer
dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga
ikut terlibat.
5. Manifestasi Klinis
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
a. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
1) Terjadinya kelemahan yang progresif
Guillain - Barr Syndrome bisa menjadi gangguan yang menghancurkan karena onset
mendadak dan tak terduga . Selain itu, pemulihan belum tentu cepat. Seperti disebutkan di atas
, pasien biasanya mencapai titik terbesar kelemahan atau kelumpuhan hari atau minggu setelah
gejala pertama terjadi . Gejala kemudian stabil pada tingkat ini untuk jangka waktu hari,
minggu , atau kadang-kadang , bulan . Periode pemulihan mungkin sesedikit beberapa minggu
atau selama beberapa tahun . Sekitar 30 persen dari mereka dengan Guillain- Barr masih
memiliki kelemahan sisa setelah 3 tahun . Sekitar 3 persen mungkin menderita kambuh
kelemahan otot dan sensasi kesemutan bertahun-tahun setelah serangan awal.
2) Hiporefleksi
b. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
1) Ciri-ciri klinis:
a) Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50%
mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
b) Relatif simetris
c) Gejala gangguan sensibilitas ringan
d) Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena
khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati
dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah
progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan.
e) Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala vasomotor.
f) Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
2) Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
a) Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial
b) Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
c) Varian:
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Spinal tap (tusuk lumbalis)/(lumbar puncture)
Prosedur ini melibatkan menarik sejumlah kecil cairan dari kanal tulang belakang di daerah
(lumbar. Cairan cerebrospinal kemudian diuji untuk jenis tertentu perubahan yang biasanya
terjadi pada orang yang memiliki sindrom Guillain-Barre. Yang paling khas adalah adanya
disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai
adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah
total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut
di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Jika
memiliki GBS, tes ini dapatmenunjukkan peningkatan jumlah protein dalam cairan tulang belakangtanpa
tanda infeksi lain.
b. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain
prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau
absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang
dari 60% normal.
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi
aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP
dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan
tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase
penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan
penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih
dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
c. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke
bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada
fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat
meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.Abnormalitas
fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut
atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat
infeksi CMV ataupun EBV.
d. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T akan
mendatar atau invertedpada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun
tidak sering.
e. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
f. Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik
mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang
dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi
wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari
akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi
pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan
sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ
lainnya.
6. Penatalaksanaan
Guillain Barre Syndrome dapat dikatakan tidak adadrug of choice. Yang diperlukan adalah
kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan klinik
yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernapasan. Apa bila terjadi keadaan demikian,
maka penderita segera di rawat di ruang intensif
a. Pengobatan imunosupresan:
1) Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari
sampai sembuh.
2) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a) 6 merkaptopurin (6-MP)
b) Azathioprine
c) cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah,
mual dan sakit kepala.
b. Plasmaferesis untuk beberapa penderita dapat memberi manfaat yang besar,terutama untuk
kasus yang akut. Di negara-negera barat, plasmaferesis mulai sering dilakukan namun
demikian belum diperoleh kesimpulan yang pasti. Dengan cara ini plasma sejumlah 200-
250ml/kgbb dalam 4-6x pemberian selang waktu sehari diganti dengan cairan yang berisi
kombinasi garam dan 5% albumin. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan factor autoantibodi yang beredar.
c. Perawatan umum dan fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama di tujukan pada perawatan sulit,
kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut,faring dan trakea.infeksi paru dan saluaran kencing
harus segera di obati.
Respirasi di awasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas dan gas darah yang
menunjukan permulaan kegagalan pernapasan. Setiap ada tanda kegagalan pernapasan maka
penderita harus segera di bantu dengan pernapasan buatan. Jika pernapasan buatan di
perlukan untuk waktu yang lama maka trakeotomi harus di kerjakan fisioterapi dada secara
teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki lumpuh
mencegah deep voin trombosis spientmungkin di perlukan untuk mempertahankan posisi
anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi di cegah dengan gerakan pasif. Segera
setelah penyembuhan mulai fase rekonfaselen maka fisioterapi aktif di mulai untuk melati dan
meningkatkan kekuatan otot.
d. Roboransia saraf dapat diberikan terutama secara parenteral. apabila terjadi kesulitan
menguyah atau menelan,sebagai akibat kelumpuhan otot-otot wajah dan menelanmaka perlu
dipasang pipa hidung-lambung (nasogastric tube) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan
dan cairan.
e. Manfaat
kortikosteroid untuk
sindrom
guillain-barre
masih
kontroversial.namun
demikian,apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralisis otot-otot pernafasan maka
kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid ini harus diiringi dengan
kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi.
7. Komplikasi
a.
b.
c.
d.
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan atau paralisis pada
otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan
untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang
perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala
sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal.
Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan
permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat. Dengan penatalaksanaan respirasi yang
lebih modern, komplikasi yang lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka
panjang, antara lain sebagai berikut:
Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
Aspirasi
Paralisis otot persisten
Hipo ataupun hipertensi
e.
f.
g.
h.
i.
j.
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a.
b.
1)
a)
b)
c)
d)
2)
3)
4)
5)
Identitas
Pola-pola pengkajian
Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
Keadaan sebelum sakit
Tanyakan mengenai vaksinasi yang di dapatkan pasien, lingkungan, kebiasaan merokok,
pernah melakukan check up klinis sebelumnya, dan upaya yang dilakukan mempertahankann
hygiene.
Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan utama: Kelemahan otot, nyeri, kesulitan bernapas, serta kelumpuhan otot.
Riwayat Penyakit Yang pernah dialami
Tanyakan pada pasien apakah sering mengalami flu atau penyakit lain berhubung dengan
saluran napas, cerna, atau penyakit lain seperti HIV, hepatitis dll.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada keluarga pasien mengidap penyakit serupa.
Pola Nutrisi dan Metabolik
Gejala : Kesulitan dalam menguyah dan menelan.
Tanda : Gangguan pada reflex menelan.
Pola Eliminasi
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan pada otot-otot abdomen, hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan
reflex sfingter.
Pola Aktivitas dan Latihan
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari
ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat ke arah atas. Kesulitan
dalam bernapas, napas pendek menyebabkan sulit beraktivitas. Perubahan tekanan darah
(hipertensi/hipotensi) menganggu latihan.
Tanda : Kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris), cara berjalan tidak mantap. Pernapasan
perut, menggunakan otot bantu napas, tampak sianosis/pucat. Takikardi/bradikardi, distrimia.
Pola Persepsi Kognitif
Gejala : Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya terus naik,
perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu, dan perubahan
dalam ketajaman penglihatan.
Tanda : Hilangnya/menurunnya reflex tendon dalam, hilangnya tonus otot, adanya masalah
dengan keseimbangan. Lalu, adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak
mata. Kehilangan kemampuan untuk berbicara.
6) Pola Peran dan Hubungan Dengan Sesama
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara dan berkomunikasi.
7) Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stress
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi.
Tanda : Tampak takut dan bingung.
2. Diagnosa
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
3. Intervensi
a. Dx1 : Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
Noc : Pola napas efektif
Nic :
1) Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan pernapasan Perhatikan gerakan dada,
penggunaan otot-otot bantu, serta retraksi otot.
2) Catat peningkatan kerja napas dan obervasi warna kulit dan membrane mukosa.
3) Pantau poa pernapasan bradipnea, apnea.
4) Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi bersandar.
5) Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress pernapasan.
6) Berikan terapi suplemetasi oksigen (sesuai indikasi).
7) Berikan obat/bantu tindakan pembersihan pernapasan melalui perksusi dada, drainase postural,
vibrasi.
b. Dx. 2 : Ketidakefektifan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonom.
Noc : Perfusi jaringan efektif
Nic : 1) Ukur tekanan darah. Observasi adanya hipotensi postural. Berikan latihan ketika sedang
melakukan perubahan posisi pasien.
2) Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya distrimia.
3) Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman.
4) Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada lutut/kaki.
5) Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai indikasi.
6) Pemberian heparin sesuai indikasi.
7) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb.
c. Dx 3 : Ganguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
Noc : Mempertahankan fungsi sensori penglihatan
Nic :
1) Kaji lingkungan terhadap kemungkinan bahaya terhadap keamanan
2) Pantau dan dokumentasikan perubahan status neurologis pasien
3) Pantau tingkat kesadaran pasien
4) Tingkatkan penglihatan pasien yang masih tersisa, jika diperlukan jangan memindahkan
barang-barang di dlam kamar pasien tanpa menberitakn pasien
5) Ajarkan pasien untuk secara visual memantau posisi bangian tubuh, jika tedapat kerusakan
propriosepsi
d. Dx. 4 : Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
Noc : Peningkatan keoptimalan mobilitas
Nic : 1) Kaji kekuatan motorik/kemampuan fungsional dengan menggunakan skala 0-5. Lakukan pengkajian
secara teratur sesuai kebutuhan secara individual.
2) Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal, trochanter roll, papan kaki.
3) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif/pasif untuk mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
4) Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi
secara individual.
5) Konfirmasikan dengan rujuk ke bagian terapi fisik.
e. Dx 5 : Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
Noc : Nyeri teratasi
Nic : 1) Evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman dengan menggunakan skala 0-10.
2) Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri tersebut.
3) Berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi pasien secara individual.
4) Ajarkan tehnik relaksasi, atau distraksi.
5) Beri obat analgetik sesuai kebutuhan.
f. Dx 6 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis orofaringeal.
Discharge Planning
Peningkatan asupan nutrisi yang memadai.
Istirahat yang cukup.
Penjagaan terhadap hygiene , sanitasi lingkungan.
Lakukan check-up ketika timbul gejala yang sama.
Teratur konsumsi obat pemulihan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
GBS merupakan proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi;
dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Terjadi kelemahan otot, kehilangan
reflex, dan kebas pada lengan, tungkai, wajah, dan bagian tubuh lain. Kasus ini terjadi secara
akut dan berhubungan dengan proses autoimun. Fokus utama asuhan keperawatan pada
penyakit ini adalah mempertahankan pernapasan, mencegah komplikasi, memberi dukungan
emosional, mengedalikan nyeri, dan memberikan iformasi prognosis penyakit.
B. Saran
Nutrisi, hygiene, dan istirahat yang cukup dapat membantu meningkatkan system imun dari
tubuh penderita yang mengalami masalah pada bagian system imun.
Daftar Pustaka
Wibowo, Samekto & Gofir abdul. 2001. Farmakoterapi Dalam Neurologi. Penerbit Salemba
Medika; Jakarta.
Comer, Sheree. RN. MS. 2005 Critical Care Nursing Care Plans.Delmar Learning Thomson
Asian Edition;
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologis Klinis. Gadjah Mada University Press; Jakarta
Widagdo, Wahyu S.kp. M.Kep. Sp.Kom, dkk. 2008. Askep Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Penerbit Buku Keperawatan dan Kepribadian; Jakarta.
http://xa.yimg.com/kq/groups/23350775/2046214617/name/Guillaine+Barre+Sindrome.pdf
http://staff.unila.ac.id/gnugroho/files/2012/11/ANATOMI-FISIOLOGI-SISTEM-SARAF.pdf
Doenges, Marilynn dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.
http://fk.uwks.ac.id/archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Desember%202010/SINDROM
%20GUILLAIN%20BARRE.pdf
http://diandayen-beanurse.blogspot.com/2013/11/asuhan-keperawatan-guillainbare-syndrom.html
DEFINISI
Sesak napas ialah sukar bernapas secara subyektif, yaitu keluhan pasien,
sedangkan gawat napas ialah sukar bernapas yang dinilai secara obyektif oleh
pemeriksa.
PENANGGULANGAN SEGERA PADA KEADAAN YANG MENGANCAM NYAWA
Pada keadaan yang mengancam nyawa, perlu dengan segera menilai derajat
kegawatannya dan memberikan perawatan yang diperlukan.
Langkah pertama pada penilaian sesak napas atau gawat napas adalah dengan
cepat menilai derajat kegawatan pasien dan keadaan jantung serta laju napas
(Respiration Rate) dan terutama bila timbul dalam waktu singkat (beberapa menit
sampai jam), maka dalam waktu bersamaan lakukan pemeriksaan penilaian
kegawatan dan terapi dengan cepat.
A. INFORMASI DIAGNOSTIK
Setelah oksigen mulai diberikan dan keadaan yang mengancam nyawa teratasi,
lakukan tindakan berikut untuk mencari data kardiopulmoner :
1. Riwayat Trauma
2. Riwayat Asma
3. Riwayat penyakit singkat yang mengarah ke penyakit kardiopulmoner,
berdasarkan lamanya serangan sesak napas.
4. Catat obat-obat yang dipakai yang didapat dengan resep dokter atau tanpa
resep serta dosis obat yang digunaka.
5. Pemeriksaan jantung, paru, abdomen dan lain-lain, sesuai dengan indikasi.
6. Pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, kreatinin serum dan ureum darah dan
elektrolit serum, sesuai dengan indikasi.
7. Analisis gas darah serta pH darah, sesuai dengan indikasi.
8. Foto toraks dan EKG, sesuai dengan indikasi.
B. TINDAKAN YANG SEGERA DILAKUKAN
1. Bebaskan jalan napas (Airway & Breathing)
2. Berikan oksigen (Breathing)
3. Pasang Infus (Circulation)
4. Pantau EKG.
Dari keterangan data diagnostik, biasanya penyebab sesak napas dapat didiagnosa,
dan terapi secara spesifik dapat diberikan.
SIKAP
Segera dirawat untuk pengobatan dan observasi.
ASPIRASI MASIF
DIAGNOSIS
Aspirasi masif ditemukan pada pasien dengan muntah berat, dan pada
pemeriksaan terdapat sisa-sisa makanan dimulutnya.
Bila pasien dalam gawat napas dan memerlukan tindakan dengan segera dalam
keadaan yang mengancam nyawanya, diperiksa analisis gas darah sambil
memberikan tindakan dan pengobatan.
Perlu diketahui tidak ada pemeriksan fisik yang dapat menggantikan penilaian
analisis gas darah untuk menegakkan diaknosis pasti.
Keadaan agitasi dan meracau (delirium), walau bukan merupakan gejala yang khas,
dapat sebagai akibat hipoksia. Penyebab dasar dari hipoksia ini harus diketahui
untuk penanggulangannya.
PENGOBATAN
Setelah jalan nafas dibebaskan berikan oksigen 5 10 liter / menit melalui sungkup
atau kateter hidung sambil menunggu hasil analisis gas darah. Umumnya pasien
dengan sesak napas yang disebabkan penyakit organik akan mengalami hipoksia.
Dalam hal yang demikian perlu diberikan oksigen, terutama bila PaO2 kurang dari
FLAIL CHEST
DIAGNOSIS
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan dada tergirik pasca trauma, biasanya
tampak gerakan paradoksal iga-iga atau sternum (tertekan ke dalam pada waktu
inhalasi dan terdorong ke luar pada waktu ekshalasi).
PENGOBATAN
1. Berikan oksigen tambahan. Gunakan sungkup muka balon untuk membantu
ventilasi pada pasien dengan hipoventilasi berat.
2. Intubasi endotrakea untuk membantu respirasi tidak harus dilakukan, bila hasil
pemeriksaan analisis gas darah cukup memuaskan (PO2 > 65 mmHg dan PCO2 <
44 mmHg). Berikan oksigen sesuai dengan indikasi.
3. Berikan obat analgesia dan awasi tanda depresi napas. Obat analgesia misalkan
morfin 1 4 mg IV, obat ini jangan diberikan bila terdapat ancaman gagal napas.
SIKAP
Semua pasien trauma dengan dada tergirik (flail chest) memerlukan perawatan
dengan segera dan dilakukan fiksasi iga.
KELEMAHAN OTOT PERNAPASAN
DIAGNOSIS
Pasien dengan sesak napas atau gawat napas yang berhubungan dengan penyakit
neuromuskular progresif biasanya mengalami hipoventilasi (analisis gas darah
menunjukkan hipoksia dan hiperkapnea) dan kadang-kadang secara obyektif
terdapat pula kelemahan kelompok otot yang lain. Beberapa kemungkinan
penyebab adalah Sindroma Guillain Barre, Miastenia Gravis, Paralisis Periodik, dan
Botulismus.
PENGOBATAN DAN SIKAP
Keluhan sesak napas pasien diperhatikan dan evaluasi keadaan inspirasi dengan
memeriksa analisis gas darah dan uji fungsi paru (misalnya pemeriksaan kapasitas
vital dan usaha inspirasi maksimal). Intubasi tidak harus dilakukan bila hasil analisis
gas darah cukup baik. Terapi spesifik harus difokuskan pada penyakit
neuromuskular yang menyebabkan kelemahan otot pernapasan. Pasien harus
segera dirawat.
PNEUMOTORAKS
DIAGNOSIS
Pasien dengan pneumotoraks, sering datang dengan nyeri dada dan gawat napas
berat, pada perkusi terdengar nyaring (hipersonor atau timpani) di sisi paru yang
terkena, dan pada auskultasi didapatkan suara napas melemah atau hilang sama
sekali di sisi paru yang terkena. Tingkat sesak napas atau gawat napas tergantung
pada besarnya kolaps paru dan besarnya tekanan (terutama pada tension
pneumothorax). Pada foto toraks tampak jaringan paru kolaps dan didalam rongga
pleura terdapat udara. Sejumlah kecil cairan mungkin juga terdapat dalam rongga
pleura (Fluidopneumothorax). Tension Pneumothorax menunjukkan gejala yang
sama dan pada foto toraks sering tampak rongga mediastinum yang terdorong dari
sisi yang terkena.
PENGOBATAN
Pada pneumotoraks bilateral atau tension pneumothorax (pneumotoraks tekan)
unilateral, merupakan indikasi untuk melakukan torakostomi dengan segera,
walaupun pasien tampaknya stabil, karena selalu mungkin terjadi perburukan yang
mendadak. Torakostomi dilakukan dengan cara menusukkan jarum 14 16 F di sela
iga II di garis klavikula tengah (mid-claviculair).
Pada pasien dengan pneumotoraks simpel yang unilateral (bukan tension
pneumothorax) lebih baik sebelum dirawat dipasang dulu pipa torakostomi (WSD)
di IGD. Pasien dengan pneumotoraks ringan, pipa torakostomi/WSD dipasang
secara elektif. Bila pneumotoraks tidak luas, resolusi dapat terjadi secara spontan.
SIKAP
I. Pasien yang mendapat pipa atau jarum torakostomi, termasuk pasien dengan
tension pneumothoraks atau pneumotoraks bilateral segala jenis, perlu segera
dirawat.
II. Pasien dengan pneumotoraks ringan, ukuran kecil sampai sedang, diobservasi
untuk beberapa hari tanpa pipa torakostomi/WSD untuk melihat apakah
keadaannya stabil atau telah mendapat perbaikan.
terjadi pada kecelakaan (trauma tumpul ataupun trauma tajam toraks). Pada
keadaan ini terdapat hipersonor pada hemitoraks yang terkena, dengan suara
napas yang melemah atau bahkan hilang sama sekali, hipotensi serta vena leher
melebar. Bila waktu memungkinkan, diagnosis klinis dapat dipertegas dengan
membuat foto toraks, tampak trakea terdorong dan jaringan paru yang kolaps.
Dalam hal ini foto toraks sudah cukup untuk diagnosis.
PENGOBATAN
1. Berikan oksigen melalui sungkup muka atau kateter hidung.
2. Pasang pipa torakostomi / WSD. Untuk tindakan torakostomi segera, bila alat
untuk memasang pipa torakostomi belum tersedia, gunakan jarum besar dengan
ukuran No. 14 16. Resiko pemasangan pipa torakostomi tanpa pemeriksaan foto
toraks haruslah dipertimbangkan terhadap beratnya gawat napas dan kepastian
diagnosa klinis. Bila tindakan itu dilakukan dengan tepat, resiko pemasangan
torakostomi sangat rendah, walaupun pada pasien tanpa pneumotoraks.
SIKAP
Pasien segera dirawat.
ATELEKTASIS MASIF
DIAGNOSIS
Atelektasis paru adalah kolapsnya alveolus yang tidak disebabkan oleh
pneumotoraks atau hidrotoraks. Pada sisi yang terkena gerakan dada berkurang,
perkusi pekak, dan suara napas melemah atau hilang. Sesak napas, takikardia dan
sianosis mungkin ada. Secara radiologik kelainan tampak berupa peningkatan
densitas pada paru yang kolaps dengan volume berkurang dari hemitoraks yang
terkena, penyempitan sela iga, hemidiafragma meninggi, dan mediastinum tertarik
ke sisi yang terkena.
PENGOBATAN
Pada kasus atelektasis masif jarang terjadi gagal napas. Bila tidak ada gagal napas,
tidak diberikan oksigen sampai ada hasil analisis gas darah. Bila terdapat gagal
napas maka diperlukan pemberian oksigen yang biasanya juga dengan bantuan
ventilasi. Tindakan ini harus sudah mulai diberikan di IGD.
SIKAP
Perawatan diperlukan, kecuali bila diketahui bahwa proses penyakit adalah kronik
atau nonprogresif.
EDEMA PARU
DIAGNOSIS
Pasien dengan edema paru mengalami sesak napas, yang pada kasus berat sering
terdapat batuk dengan sputum berbusa berwarna merah muda. Pada pemeriksaan
auskultasi terdapat ronki, dan selalu terdapat infiltrat bilateral pada foto toraks.
Jarang sekali demam. Pada edema paru kardiak, gejala lain dari dari gagal jantung
biasanya ada, yaitu ortopnea, takikardia, vena leher melebar (peningkatan JVP),
reflek hepatojugular, edema perifer, kardiomegali, atau gallop ventrikuler. Mengi
(wheezing) mungkin ada, menandakan adanya asma kardial.
Edema paru non kardiak dapat disebabkan oleh overdosis obat (terutama heroin),
inhalasi asap atau gas beracun, bakterimia, syok dan uremia.
PENGOBATAN
1. Berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan
2. Pengobatan lain (kausatif) tergantung pada diagnosisnya, edema paru kardiak
atau non kardiak. Pengobatan untuk mengurangi edema paru biasanya dengan
menggunakan diuretik.
SIKAP
Pasien dengan sesak napas oleh karena edema paru akut memerlukan perawatan.
Pasien dengan edema paru kronik, ringan dan rekuren (biasanya kardiak) dapat
diobati dengan cara rawat jalan.
PNEUMONIA
DIAGNOSIS
Pasien dengan pneumonia umumnya dengan riwayat demam dan batuk. Sesak
napas merupakan gejala sekunder atau lanjut. Biasanya terdapat sputum purulen
dan nyeri dada pleuristik. Pada anak, demam dan batuk merupakan gejala yang
tetap.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat pasien panas dengan pemeriksaan paru
didapatkan perkusi pekak dan ronki terlokalisasi. Tanda ini ada hubungannya
dengan tanda konsolidasi.
Pada foto toraks terdapat satu atau lebih infiltrat paru, kecuali pada pasien dengan
pneumonia pada stadium dini. Pada pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan
leukopenia.
PENGOBATAN
Berikan antibiotik yang sesuai dengan keadaan klinik dan hasil pemeriksaan
mikrobiologik sputum dengan pewarnaan gram. Antipiretik dan mucolitik dapat
diberikan sesuai kebutuhan.
SIKAP
Rawat semua pasien yang sakit berat, yaitu pasien yang berusia sangat muda atau
sangat tua, pasien yang menderita juga penyakit berat lainnya dan pasien dengan
pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya.
Pasien remaja dan dewasa muda dengan penyakit virus ringan, mikoplasma atau
pneumonia pneumokokus dapat diobati dengan rawat jalan.
3. Bronkodilator
4. Fisioterapi untuk mengeluarkan mukus.
SIKAP
Pasien dengan sesak napas berat, atau berubah menjadi lebih berat dengan cepat
dan pasien yang tidak ada perbaikan pada pengobatan selama di IGD, harus
dirawat.
ASMA BRONKIAL
Pada Asma bronkial terdapat periode spasme bronkus dan hipersekresi mukus
dengan diselingi oleh masa bebas serangan. Pada masa bebas serangan pasien
merasa sehat kembali.
Selama serangan, spasme bronkus dan hipersekresi mukus terjadi bersama-sama,
sehingga menyebabkan sumbatan jalan napas dan udara terperangkap didalam
paru.
Berbagai keadaan dapat merupakan faktor penyebab serangan asma, seperti
adanya infeksi saluran napas, obat-obatan(aspirin, antiinflamasi nonsteroid),
makanan, kegiatan fisik yang berlebihan, stres emosi, terhirup zat yang
merangsang, pekerjaan yang menyebabkan polusi (debu), gas dan lain-lain.
DIAGNOSIS
Gejala yang biasa ditemukan ialah sesak napas dan batuk. Bila sudah sering terjadi
serangan asma. Terdapat bunyi mengi (wheezing) ketika bernafas.
Berdasarkan beratnya serangan, asma bronkial dibagi atas asma ringan, sedang
dan berat.
Pasien sesak nafas dan gelisah. Pada asma berat terdapat juga takikardi dengan
denyut jantung lebih dari 120 per menit. Pada keadaan yang lebih berat lagi
terdapat juga pulsus paradoksus yang lebih dari 10 mm Hg. Hal ini menunjukan
adanya uasah yang intensif.
Biasanya terdengar ekspirasi yang memanjang serta mengi, meskipun tanfa
stetoskope. Bila terdapat hiperkapnia yang berat akan terdapat sianosis.
PENGOBATAN
Pengobatan sama dengan penyakit obtruksi jalan napas lain:
1. Pemberian Oksigen
2. Obat simpatomimetik : epinefrin. Pada pemberian epinefrin harus berhatihatipada orang tua yang umurnya lebih dari 50 tahun, pasien dengan penyakit
jantung koroner dan pada pasien dengan takikardi. Epinfrin diberikan pada asma
ringan dan sedang.
3. Aminopilin, biasanya diberikan pada asma sedang dan berat. Obat ini diberikan
dalam bonlus 5-6 mg/kg BB IV dalam 100 ml dekstrose 5 % . diberikan perlahanlahan selama 30 menit, bila pasien tidak meminum obat teofilin atau derivatenya
Refrensi :
1. Isnandar N. Pertolongan pertama pada penanggulangan benda asing. Dalam
Tjoronegoro A. ed. Kedauratan dan kegawatan medik II FKUI 1982:59
2. Iskandar N, Hermani B, Oka IB. Cedera pada laring dan trakea dalam :
Tjokronegoro A, ed Kedaruratan dan kegawatan Medik II FKUI 1982 : 51.
3. Milis J. Dyspnea & Respiratory Distress. In: Mills J, Ho MT, Trunkey DD Curren
Emergency Diagnosis & treatment. USA: Lange Medical Publications:1983 :45.
http://stikesmbbaksos.blogspot.com/2010/04/cute-respiratory-insufisiensi.html
HIPOKALEMIA
A. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi,
mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien baik
fisik, mental, sosial, dan lingkungan. (Nasrul Effendy, 1995)
1.
2.
Sirkulasi
Tanda :
Hipotensi
3.
Eliminasi
Tanda :
Nokturia, poliuria bila faktor pemberat pada hipokalemia meliputi GJK atau
DM.
Distensi abdomen.
4.
Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia, mual, muntah.
5.
Neurosensori
Gejala : parestesia
Tanda :
Distensi abdomen
6.
Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri / kram otot
7.
Pernapasan
Tanda : hipoventilasi / menurun dalam pernapasan karena kelemahan atau paralisis otot
diafragma.
(Marilyn E. Doenges 2002 hal 1048)
B. Diagnoasa Keperawatan
Diagnosa yang sering ditemukan pada pasien hipokalemia secara teoritis adalah sebagai
berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
serebral atau dari seluruh sistem pembuluh darah otak (Doengoes, 2000: 290).
Penyebab dari stroke adalah 1) trombosis, 2) embolisme serebral (3/4 kasus stroke), dan 3) perdarahan
baik intra serebral maupunn subarachnoid (1/4 kasus stroke) (Hudak & Gallo, 1996: 254).
Cedera serebrovaskular atau stroke meliputi awitan tiba-tiba defisit neurologis karena insufisiensi suplai
darah ke suatu bagian dari otak. Insufisiensi suplai darah disebabkan oleh trombus, biasanya sekunder
terhadap arterisklerosis, terhadap embolisme berasal dari tempat lain dalam tubuh, atau terhadap
perdarahan akibat ruptur arteri (aneurisma) (Lynda Juall Carpenito, 1995).
Menurut WHO stroke adalah adanya defisit neurologis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi
otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. (Hendro Susilo, 2000)
2. Anatomi Fisiologi
a. Otak
Berat otak manusia sekitar 1400 gram dan tersusun oleh kurang lebih 100 triliun neuron. Otak terdiri dari
empat bagian besar yaitu serebrum (otak besar), serebelum (otak kecil), brainstem (batang otak), dan
diensefalon. (Satyanegara, 1998)
Serebrum terdiri dari dua hemisfer serebri, korpus kolosum dan korteks serebri. Masing-masing hemisfer
serebri terdiri dari lobus frontalis yang merupakan area motorik primer yang bertanggung jawab untuk
gerakan-gerakan voluntar, lobur parietalis yang berperanan pada kegiatan memproses dan mengintegrasi
informasi sensorik yang lebih tinggi tingkatnya, lobus temporalis yang merupakan area sensorik untuk
impuls pendengaran dan lobus oksipitalis yang mengandung korteks penglihatan primer, menerima
informasi penglihatan dan menyadari sensasi warna.
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap
tenda yaitu tentorium, yang memisahkannya dari bagian posterior serebrum. Fungsi utamanya adalah
sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus dan
kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan sikap tubuh.
Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medula oblongata, pons dan mesensefalon (otak
tengah). Medula oblongata merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung, vasokonstriktor,
pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur dan muntah. Pons merupakan mata rantai
penghubung yang penting pada jaras kortikosereberalis yang menyatukan hemisfer serebri dan
serebelum. Mesensefalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi aquedikus sylvius,
beberapa traktus serabut saraf asenden dan desenden dan pusat stimulus saraf pendengaran dan
penglihatan.
Diensefalon di bagi empat wilayah yaitu talamus, subtalamus, epitalamus dan hipotalamus. Talamus
merupakan stasiun penerima dan pengintegrasi subkortikal yang penting. Subtalamus fungsinya belum
dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus akan menimbulkan hemibalismus yang
ditandai dengan gerakan kaki atau tangan yang terhempas kuat pada satu sisi tubuh. Epitalamus
berperanan pada beberapa dorongan emosi dasar seseorang. Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan
rangsangan dari sistem susunan saraf otonom perifer yang menyertai ekspresi tingkah dan emosi. (Sylvia
A. Price, 1995)
b. Sirkulasi darah otak
Otak menerima 17% curah jantung dan menggunakan 20% konsumsi oksigen total tubuh manusia untuk
metabolisme aerobiknya. Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri yaitu arteri karotis interna dan arteri
vertebralis. Da dalam rongga kranium, keempat arteri ini saling berhubungan dan membentuk sistem
anastomosis, yaitu sirkulus Willisi.(Satyanegara, 1998)
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteria karotis komunis kira-kira setinggi rawan tiroidea.
Arteri karotis interna masuk ke dalam tengkorak dan bercabang kira-kira setinggi kiasma optikum,
menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada strukturstruktur seperti nukleus kaudatus dan putamen basal ganglia, kapsula interna, korpus kolosum dan
bagian-bagian (terutama medial) lobus frontalis dan parietalis serebri, termasuk korteks somestetik dan
korteks motorik. Arteri serebri media mensuplai darah untuk lobus temporalis, parietalis dan frontalis
korteks serebri.
Arteria vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteri vertebralis
memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua
arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris, arteri basilaris terus berjalan sampai setinggi otak tengah,
dan di sini bercabang menjadi dua membentuk sepasang arteri serebri posterior. Cabang-cabang sistem
vertebrobasilaris.
Ini memperdarahi medula oblongata, pons, serebelum, otak tengah dan sebagian diensefalon. Arteri
serebri posterior dan cabang-cabangnya memperdarahi sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitalis
dan temporalis, aparatus koklearis dan organ-organ vestibular. (Sylvia A. Price, 1995)
Darah vena dialirkan dari otak melalui dua sistem: kelompok vena interna yang mengumpulkan darah ke
vena galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang terletak di permukaan hemisfer otak
yang mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis lateralis, dan seterusnya ke
vena-vena jugularis, dicurahkan menuju ke jantung. (Harsono, 2000)
Sirkulasi Willisi adalah area dimana percabangan arteri basilar dan karotis internal bersatu. Sirkulus
Willisi terdiri atas dua arteri serebral, arteri komunikans anterior, kedua arteri serebral posterior dan kedua
arteri komunikans anterior. Jaringan sirkulasi ini memungkinkan darah bersirkulasi dari satu hemisfer ke
hemisfer yang lain dan dari bagain anterior ke posterior otak. Ini merupakan sistem yang memungkinkan
sirkulasi kolateral jika satu pembuluh mengalami penyumbatan. (Hudak & Gallo, 1996: 254)
3. Faktor Resiko Stroke
a. Hypertensi, faktor resiko utama
b. Penyakit kardiovaskuler
c. Kadar hematokrit tinggi
d. DM (peningkatan anterogenesis)
disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemi
sensorik, afasia, dll). (Simposium Nasional Keperawatan Perhimpunan Perawat Bedah Syaraf Indonesia,
Siti Rohani, 2000).
Pecahnya arteri dan keluarnya darah keruang subarakhnoid mengakibatkan tarjadinya peningkatan TIK
yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehinga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula
dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatam TIK yang
mendadak juga mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran.
Perdarahan subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral. Vasospasme ini
seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat
menghilang setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan
yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis dengan pembuluh arteri di ruang
subarakhnoid. Vasispasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan
kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia danlain-lain).
Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan
didalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan O2 jadi
kerusakan, kekurangan aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian
pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%
karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa
tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala disfungsi serebral.
Pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik anaerob, yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.
Tabel 1. Perbedaan perdarahan Intra Serebral (PIS) dan Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)
Gejala
PIS
PSA
Timbulnya
Nyeri Kepala
Kesadaran
Kejang
Tanda rangsangan Meningeal.
Hemiparese
Gangguan saraf otak
Dalam 1 jam
Hebat
Menurun
Umum
+/-
++
+
1-2 menit
Sangat hebat
Menurun sementara
Sering fokal
+++
+/+++
Disadur dari Laporan Praktik Klinik Keperawatan Medical Bedah di Ruang Syaraf
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Tabel 2. Perbedaan antara CVA infark dan CVA Bleeding sebagai berikut:
Gejala (anamnesa)
Infark
Perdarahan
Permulaan (awitan)
Waktu (saat serangan)
Peringatan
Nyeri Kepala
Kejang
Muntah
Kesadaran menurun
Sub akut/kurang mendadak
Bangun pagi/istirahat
+ 50% TIA
+/-
Kadang sedikit
Sangat akut/mendadak
Sedang aktifitas
+++
+
+
+++
Koma/kesadaran menurun
Kaku kuduk
Kernig
pupil edema
Perdarahan Retina
Bradikardia
Penyakit lain
Pemeriksaan:
Darah pada LP
X foto Skedel
Angiografi
CT Scan
Opthalmoscope
Lumbal pungsi
Tekanan
Warna
Eritrosit
Arteriografi
EEG
+/hari ke-4
Tanda adanya aterosklerosis di retina, koroner, perifer. Emboli pada ke-lainan katub, fibrilasi, bising
karotis
+
Oklusi, stenosis
Densitas berkurang
(lesi hypodensi)
Crossing phenomena
Silver wire art
Normal
Jernih
< 250/mm3
oklusi
di tengah
+++
++
+
+
+
sejak awal
Hampir selalu hypertensi, aterosklerosis, HHD
+
Kemungkinan pergeseran glandula pineal
Aneurisma. AVM. massa intra hemisfer/ vaso-spasme.
Massa intrakranial densitas bertambah.
(lesi hyperdensi)
Perdarahan retina atau corpus vitreum
Meningkat
Merah
>1000/mm3
ada shift
shift midline echo
Disadur dari Makalah Simposium Sehari Peran Perawat dalam Kegawat Daruratan dalam Rangka
Dirgahayu PPNI XIX di Tirta Graha Lantai V Jl. Myjen Prof. Dr. Moestopo No. 2 Surabaya (Gedung PDAM
Kotamadya Surabaya yang diselenggarakan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia Dewan
Pimpinan Daerah Tingkat II Kotamadya Suarabaya.
Aneurisma
PD pecah
Perdarahan
Oksipital
Ssefalgia mata ipsilateral, hemianopia
Temporalis kiri
Nyeri telinga homolateral, disfasia, hemianopia, kuadranopia
Parietalis
Nyeri homolateral, defisit sensorik kontralateral, hemipares ringan
Frontal
Hemiparese kontralateral, sefalgia bifrontal
Gg. rasa nyaman (nyeri), Gg. Istirahat, intoleransi aktivitas, defisit perawatan diri (sindroma), Gg.
Komunikasi/bicara, ketergantungan, Gg.persepsi sensori, Gg. Perfusi jaringan, Gg. Mobilitas fisik, Gg.
Konsep diri, Gg. Menelan, integritas kulit, Gg. Nutrisi, resiko injury, dll
Thalamus
Perdarahan
Subthalamus & mesensefalon dorsal
Pupil mengecil
Reaksi terhadap cahaya lambat
Hemisfer dominan
Afasia
anomia berat dg pemahaman & repetisi lumayan
Hemisfer non dominan
Anosognosia
Kapsula interna
Hemiparese
hemiplegia kontralateral
substansia alba
hemianopia
Subtalamik diensefalon
Bola mata melirik ke bawah-dalam dg paralisis gerakan ke atas & posisi kedua bola mata melihat ujung
hidung
Pons
Nyeri kepala
Rigiditas deserebri
Hemiplegia kontralateral
Paralisis fasia homolateral
Defiasi mata
Putamen
Hemiplegia
Sefalgia
Muntah
Kedasaran
Defek hemisensorik
Gg.Grk bola mata
Koma mendadak
Mati
Mesensefalon
Paralisis okulomorius ipsilateral
Koma
TIK
Medula oblongata
Gg. Jantung
Gg. Pernafasan
Refleks telan
Muntah
Hypersalivasi
Gg. Sistem syaraf simpatis
Hemisfer
Frontalis
Gg. motorik
Parietalis
Gg. proses & integrasi informasi sensorik
Temporalis
Gg. pendengaran
Oksipitalis
Gg. penglihatan & sensori warna
Serebelum
Gg. Okulomotor
Gg. Keseimbangan
Nistagmus
Muntah terus-menerus
Singultus
TIK
gg. komunikasi verbal, integritas kulit, mobilitas fisik, perawatan diri, intoleransi aktivitas, konsep diri,
ketergan-tungan, dll
gg. rasa nyaman (nyeri)
gg. Istirahat/tidur
kejang
resiko injury
gg. Perfusi jaringan
kebutuhan oksigen
integritas kulit
mobilitas fisik
perawatan diri
intoleransi aktifitas
gg. Sensori persepsi
Gg. sensori penglihatan
TIK
gg. perfusi jaringan
gg. Sirkulasi
bersihan jalan nafas tidak efektif
resti aspirasi
gg. Eliminasi uri & alvi
gg. Pola nafas tak efektif
gg. Nutrisi kurang dari kebutuhan
rasa nyaman
kebersihan mulut, dll
gg. perfusi jaringan, defisit volume cairan, pola nafas tak efektif, resiko perubahan suhu tubuh, resiko
infeksi, resiko cedera, resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan, bersihan jalan nafas tak efektif
GANGGUAN KESADARAN
A. PENGERTIAN KESADARAN
Kesadaran merupakan kemampuan individu mengadakan hubungan dengan lingkungan serta dirinya
sendiri (melalui panca inderanya) dan mengadakan pembatasan (limitasi) terhadap lingkungan dan
dirinya sendiri (melalui perhatian). Bila kesadaran baik, maka akan terjadi orientasi (waktu, tempat dan
orang), pengertian yang baik serta pemakaian informasi yang masuk secara efektif (melalui ingatan dan
pertimbangan). (Maramis, 1994: 101).
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter paling mendasar dan paling penting yang harus
ditentukan dan dikaji untuk menentukan status kerusakan pada sistem persyarafan khususnya pada
kasus stroke. Tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif
untuk disfungsi sistem persyarafan (Hudak & Gallo, 1996: 160)
B. JENIS KESADARAN
a. Isi Kesadaran
a) Kognitif
b) Afektif
b. Derajat/tingkat kesadaran (Aurosal) (Juwono, 1993: 1)
C. BENTUK KESADARAN
Kesadaran Menurun
Kesadaran menurun adalah keadaan dengan kemampuan persepsi, perhatian dan pemikiran yang
berkurang secara keseluruhan (secara kuantitatif), kemudian muncullah amnesia sebagian atau total.
Beberapa tingkat dalam menurunnya kesadaran yaitu:
a) Apati
Mulai mengantuk, acuh-tak acuh terhadap stimulus, untuk menarik perhatiannya diperlukan stimulus yang
sedikit lebih keras
b) Somnolen
Sudah mengantuk, untuk menarik perhatiannya dibutuhkan stimulus yang lebih keras
c) Sopor
Ingatan, orientasi dan pertimbangan sudah hilang. Hanya berespon dengan rangsangan yang keras
d) Subkoma dan koma
Tidak ada respon terhadap stimulus yang kuat/keras, pupil melebar, reflek muntah hilang. (Maramis,
1996: 101)
Kesadaran Meninggi
Kesadaran meninggi adalah keadaan dengan respon yang meninggi terhadap stimulus, biasanya
disebabkan pengaruh berbagai zat yang menstimulus otak (psikosimultan) atau oleh faktor psikologi.
(Maramis, 1996: 102)
Selain kesadaran menurun, terdapat beberapa sistem yang digunakan untuk membuat peringkat
perubahan dalam keawasan dan keterjagaan, istilah-istilah tersebut antara lain: (Hudak & Gallo, 1996:
160)
a) Terjaga: normal
b) Sadar
Dapat tidur lebih dari biasanya atau sedikit bingung saat pertama kali terjaga, tetapi berorientasi
sempurna ketika bangun.
Dapat berorientasi dan berkomunikasi
c) Letargi/somnolen
Mengantuk tetapi dapat mengikuti perintah sederhana ketika dirangsang
d) Stupor
Sangat sulit dibangunkan, tidak konsisten dapat mengikuti perintah sederhana atau berbicara satu kata
atau frase pendek. Menjawab secara refleks terhadap rangsangan nyeri. Pendengaran dengan suara
keras dan penglihatan kuat. Non verbal dengan menganggukkan kepala.
e) Semikomatosa
Gerak bertujuan ketika dirangsang; tidak mengikuti perintah atau berbicara koheren
f) Koma
Dapat berespon dengan postur secara refleks ketiak distimulasi atau dpat tidak berespon pada setiap
stimulus.
Berdasarkan kwalitas kesadaran, yaitu pengkajian mutu mental seseorang terhadap dunia luar: (Catatan
Ruang Tropik Wanita, 1998)
a) Composmentis
Bereaksi secara adekuat
b) Abstensia/kesadaran tumpul/drowsky
Tidak tidur dan tidak megitu waspada, perhatian terhadap sekeliling berkurang, cenderung mengantuk
c) Bingung/confused
Disorientasi waktu, tempat dan orang
d) Delirium
Mental dan motorik kacau, ada halusinasi dan bergerak sesuai dengan kekacauan pikirannya
e) Apatis
Tidak tidur, tak acuh, tidak bicara dan pandangan hampa
D. GANGGUAN KESADARAN
Gangguan Isi Kesadaran
a) Gangguan Kognitif
Y Afasia
Y Gangguan persepsi
Y Gangguan berfikir
Y Gangguan daya ingat
b) Gangguan Afektif
Y Apatis
Y Agitasi
f) Locked-in syndrome:
Y Tidak ada penurunan kesadaran
Y Kelumpuhan keempat ekstremitas dan syaraf otak bawah
Y Pergerakan bola mata ke atas dan berkedip masih ada
g) Mati otak
Fungsi korteks, subkortikal dan batang otak secara permanen sudah tidak ada. (Juwono, 1993: 1-4)
E. PROSES PATOLOGIS PENYEBAB GANGGUAN KESADARAN
Keadaan yang secara luas dan langsung menekan fungsi hemisfer serebri (biasanya pada waktu
bersamaan juga mengenai struktur batang otak)
Kelainan yang menekan atau merusak substansia grisea (diencepalon, mesenchepalon dan pons atas).
F. CARA PENGUKURAN TINGKAT KESADARAN
Glasgow Coma Scale (GCS)
a) Respon Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap bicara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada respon 1
b) Respon Verbal
Terorientasi 5
Percakapan yang membingungkan 4
Penggunaan kata-kata yang tidak sesuai 3
Suara mengguman 2
Tidak ada respon 1
c) Respon Motorik
Mengikuti perintah 6
Menunjuk tempat rangsangan 5
Menghindar dari stimulasi 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
Tidak ada respon 1
Penilaian:
Nilai 3 : kesadaran terburuk
Nilai 3-5 : koma yang dalam
Nilai 6-10 : gangguan kesadaran intermediate
Nilai 11-14 : kesadaran lebih baik
Nilai 15 : terbaik
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis.
(b) Keluhan utama
Didapatkan keluhan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan tidak dapat
berkomunikasi. (Jusuf Misbach, 1999)
(c) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan
aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping
gejala kelumpuhan separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. (Siti Rochani, 2000) Sedangkan
stroke infark tidak terlalu mendadak, saat istirahat atau bangun pagi, kadang nyeri copula, tidak kejang
dan tidak muntah, kesadaran masih baik.
(d) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi
oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan.
(Donna D. Ignativicius, 1995)
(e) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes militus. (Hendro Susilo, 2000)
(f) Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan
perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi
stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga.(Harsono, 1996)
(g) Pola-pola fungsi kesehatan
Y Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat kontrasepsi oral.
Y Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya gejala nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut, kehilangan sensasi (rasa kecap)
pada lidah, pipi, tenggorokan, disfagia ditandai dengan kesulitan menelan, obesitas (Doengoes, 2000:
291)
Y Pola eliminasi
Gejala menunjukkan adanya perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urine, anuria. Adanya
distensi abdomen (distesi bladder berlebih), bising usus negatif (ilius paralitik), pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.(Doengoes, 1998 dan Doengoes, 2000: 290)
Y Pola aktivitas dan latihan
Gejala menunjukkan danya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralise/ hemiplegi, mudah lelah.
Tanda yang muncul adalah gangguan tonus otot (flaksid, spastis), paralitik (hemiplegia) dan terjadi
kelemahan umum, gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran (Doengoes, 1998, 2000: 290)
Y Pola tidur dan istirahat
Biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang otot/nyeri otot
Y Pola hubungan dan peran
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara.
Y Pola persepsi dan konsep diri
Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak kooperatif.
Y Pola sensori dan kognitif
Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan/ kekaburan pandangan, perabaan/sentuhan
menurun pada muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif biasanya terjadi penurunan memori
dan proses berpikir.
Y Pola reproduksi seksual
Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti
kejang, anti hipertensi, antagonis histamin.
Y Pola penanggulangan stress
Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan
kesulitan berkomunikasi.
Y Integritas ego
Terdapat gejala perasaan tak berdaya, perasaan putus asa dengan tanda emosi yang labil dan
ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira, kesulian mengekspresikan diri (Doengoes, 2000: 290)
Y Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan
pada salah satu sisi tubuh. (Marilynn E. Doenges, 2000)
(h) Pemeriksaan fisik
Y Keadaan umum
Kesadaran: umumnya mengelami penurunan kesadaran
Suara bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara
Tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
Y Pemeriksaan integumen
Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit kan
jelek. Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien stroke hemoragik harus bed rest 2-3 minggu
Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
Rambut : umumnya tidak ada kelainan
Y Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala : bentuk normocephalik
Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi
Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998)
Y Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun suara nafas
tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan, adanya hambatan jalan
nafas. Merokok merupakan faktor resiko.
Y Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang terdapat kembung.
Y Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
Y Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
Y Pemeriksaan neurologi
Pemeriksaan nervus cranialis: Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central.
Penglihatan menurun, diplopia, gangguan rasa pengecapan dan penciuman, paralisis atau parese wajah.
Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan pada salah satu sisi tubuh,
kelemahan, kesemutan, kebas, genggaman tidak sama, refleks tendon melemah secara kontralateral,
apraksia
Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi, hilangnya rangsang sensorik kontralteral.
Pemeriksaan refleks
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks
fisiologis akan muncul kembali didahuli dengan refleks patologis.
Sinkop/pusing, sakitkepala, gangguan status mental/tingkat kesadaran, gangguan fungsi kognitif seperti
penurunan memori, pemecahan masalah, afasia, kekakuan nukhal, kejang, dll (Jusuf Misbach, 1999,
Doengoes, 2000: 291)
2) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan radiologi
(1) CT scan: didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ventrikel, atau menyebar ke permukaan
otak. (Linardi Widjaja, 1993), edema, hematoma, iskemia dan infark (Doengoes, 2000: 292)
(2) MRI: untuk menunjukkan area yang mengalami hemoragik. (Marilynn E. Doenges, 2000: 292)
(3) Angiografi serebral: untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.
(Satyanegara, 1998) atau membantu menenukan penyebab stroke yang lebih spesifik seperti perdarahan
atau obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau ruptur (Doengoes, 2000: 292)
(4) Pemeriksaan foto thorax: dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran
ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita
stroke. (Jusuf Misbach, 1999), menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah berlawanan
dari massa yang meluas (Doengoes, 2000: 292)
b) Pemeriksaan laboratorium
(1) Pungsi lumbal: pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif,
sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari
pertama. (Satyanegara, 1998). Tekanan normal biasanya ada trombosis, emboli dan TIA. Sedangkan
tekanan yang meningkat dan cairan yang mengandungdarah menunjukkan adanya perdarahan
subarachnoid atau intrakranial. Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan
proses inflamasi (Doengoes, 2000: 292)
(2) Pemeriksaan darah rutin
(3) Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai
250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali. (Jusuf Misbach, 1999)
(4) Pemeriksaan darah lengkap: unutk mencari kelainan pada darah itu sendiri. (Linardi Widjaja, 1993)
b. Prioritas Keperawatan
1. Meningkatkan perfusi dan oksigenasi serebral yang adekuat
2. Mencegah/meminimalkan komplikasi dan ketidakmampuan yang bersifat permanen
3. Membantu pasien untuk menemukan kemandiriannya dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4. Memberikan dukungan terhadap proses koping dan mengintegrasikan perubaahan dalam konsep diri
pasien
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosisnya dan kebutuhan tindakan/rehabilitasi
c. Tujuan Pemulangan
1. Fungsi serebral membaik/meningkat, penurunan fungsi neurologis dapat diminimalkan/dapat
didtabilkan
2. Komplikasi dapat dicegah dan diminimalkan
3. Kebutuhan pasien sehari-hari dapat dipenuhi oleh pasien sendiri atau dengan bantuan yang minimal
dari orang lain
4. Mampu melakukan koping dengan cara yang positif, perencanaan untuk masa depan
5. Proses dan prognosis penyakit dan pengobatannya dapat dipahami
d. Diagnosa keperawatan
1) Perubahan perfusi jaringan otak (serebral) berhubungan dengan perdarahan intracerebral, edema
serebral, gangguan oklusi (Marilynn E. Doenges, 2000: 293)
2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, parastesia, hemiparese/hemiplagia (Donna
D. Ignativicius, 1995, doengoes, 2000: 295)
3) Gangguan persepsi sensori : perabaan yang berhubungan dengan penekanan pada saraf sensori,
penurunan penglihatan (Marilynn E. Doenges, 2000)
4) Gangguan/kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah otak,
kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus otot fasial, kelemahan umum (Donna D. Ignativicius, 1995,
Doengoes, 2000: 298)
5) Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat
sesuai kebutuhan
d) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukannya atau keberhasilannya
e) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi
Rasional
a) Membantu dalam mengantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual
b) Meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha terus-menerus
c) Klien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan
bermanfaat dalam mencegah frustasi, adalah penting bagi klien untuk melakukan sebanyak mungkin
untuk diri-sendiri untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan
d) Meningkatkan perasaan makna diri dan kemandirian serta mendorong klien untuk berusaha secara
kontinyu
e) Memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan mengidentifikasi
kebutuhan alat penyokong khusus
Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah
dan menelan
Tujuan: Tidak terjadi gangguan nutrisi
Kriteria hasil
Berat badan dapat dipertahankan/ditingkatkan
Hb dan albumin dalam batas normal
Rencana tindakan
a) Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk
b) Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah makan
c) Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual dengan menekan ringan diatas
bibir/dibawah dagu jika dibutuhkan
d) Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu
e) Berikan makan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang
f) Mulailah untuk memberikan makan peroral setengah cair, makan lunak ketika klien dapat menelan air
g) Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan
h) Anjurkan klien untuk berpartisipasidalam program latihan/kegiatan
i) Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan ciran melalui iv atau makanan melalui selang
Rasional
a) Untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien
b) Untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi
c) Membantu dalam melatih kembali sensori dan meningkatkan kontrol muskuler
d) Memberikan stimulasi sensori (termasuk rasa kecap) yang dapat mencetuskan usaha untuk menelan
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Wendra, 1999, Petunjuk Praktis Rehabilitasi Penderita Stroke, Bagian Neurologi FKUI /RSCM, UCB
Pharma Indonesia, Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Depkes RI, 1996, Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan, Diknakes,
Jakarta.
Doenges, M.E., Moorhouse M.F.,Geissler A.C., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,
Jakarta.
Engram, Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3, EGC, Jakarta.
Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi 1, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hudak C.M., Gallo B.M., 1996, Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Edisi VI, Volume II, EGC,
Jakarta.
Ignatavicius D.D., Bayne M.V., 1991, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach, An HBJ
International Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.
Ignatavicius D.D., Workman M.L., Mishler M.A., 1995, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process
Approach, 2nd edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.
Islam, Mohammad Saiful, 1998, Stroke: Diagnosis Dan Penatalaksanaannya, Lab/SMF Ilmu Penyakit
Saraf, FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
Juwono, T., 1993, Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek, EGC, Jakarta.
Lismidar, 1990, Proses Keperawatan, Universitas Indonesia, Jakarta.
Mardjono M., Sidharta P., 1981, Neurologi Klinis Dasar, PT Dian Rakyat, Jakarta.
Price S.A., Wilson L.M., 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, Buku II, EGC,
Jakarta.
Rochani, Siti, 2000, Simposium Nasional Keperawatan Perhimpunan Perawat Bedah Saraf Indonesia,
Surabaya.
Satyanegara, 1998, Ilmu Bedah Saraf, Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Susilo, Hendro, 2000, Simposium Stroke, Patofisiologi Dan Penanganan Stroke, Suatu Pendekatan Baru
Millenium III, Bangkalan.
Widjaja, Linardi, 1993, Patofisiologi dan Penatalaksanaan Stroke, Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf, FK
Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
http://em-apriel.blogspot.com/2011/04/askep-cerebro-vascular-disease.html
BAB II
PEMBAHASAN
Pasien syok
Syok merupakan suatu sindrom klinik yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama, yaitu curah
jantung, volume darah, dan pembuluh darah. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan
faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Pada syok juga terjadi hipoperfusi
jaringan yang menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolism sel sehingga seringkali menyebabkan kematian
pada pasien.
7. Post pembedahan coronary arteri baypass
Coronary Artery Bypass Graft adalah terjadinya suatu respon inflamasi sistemik pada derajat
tertentu dimana hal tersebut ditandai dengan hipotensi yang menetap, demam yang bukan
disebabkan karena infeksi, DIC, oedem jaringan yang luas, dan kegagalan beberapa organ tubuh.
Penyebab inflamasi sistemik ini dapat disebabkan oleh suatu respon banyak hal, antara lain oleh
karena penggunaan Cardiopulmonary Bypass (Surahman, 2010).
8. Resusitasi cardiac arrest
Penyebab utama dari cardiac arrest adalah aritmia, yang dicetuskan oleh beberapa
faktor,diantaranya penyakit jantung koroner, stress fisik (perdarahan yang banyak, sengatan
listrik,kekurangan oksigen akibat tersedak, tenggelam ataupun serangan asma yang berat),
kelainan bawaan, perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup atau otot jantung) dan obatobatan.Penyebab lain cardiac arrest adalah tamponade jantung dan tension pneumothorax.
Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran
darahmencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai
berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau
ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas
normal.Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan
selanjutnyaakan terjadi kematian dalam 10 menit. Jika cardiac arrest dapat dideteksi dan
ditangani dengansegera, kerusakan organ yang serius seperti kerusakan otak, ataupun kematian
mungkin bisa dicegah.
C. Kontra Indikasi Analisa Gas Darah
1.
2.
Denyut arteri tidak terasa, pada pasien yang mengalami koma (Irwin & Hippe, 2010).
Modifikasi Allen tes negatif , apabila test Allen negative tetapi tetap dipaksa untuk dilakukan
pengambilan darah arteri lewat arteri radialis, maka akan terjadi thrombosis dan beresiko
mengganggu viabilitas tangan.
3. Selulitis atau adanya infeksi terbuka atau penyakit pembuluh darah perifer pada tempat yang
akan diperiksa
4. Adanya koagulopati (gangguan pembekuan) atau pengobatan denganantikoagulan dosis
sedang dan tinggi merupakan kontraindikasi relatif.
D. Alat dan Bahan untuk Pengambilan Darah Arteri
Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pengambilan darah arteri antara lain :
1. Disposible Spuit 2,5 cc, jarum ukuran 23 G/ 25 G
2. Penutup jarum khusus atau gabus
Mencegah kontaminasi dengan udara bebas. Udara bebas dapat mempengaruhi nilai O2 dalam
AGD arteri.
3.
Nierbeken/Bengkok
Digunakan untuk membuang kapas bekas pakai.
4. Anticoagulant Heparin
Untuk mencegah darah membeku.
5. Alcohol swabs ( kapas Alkohol )
Merupakan bahan dari wool atau kapas yang mudah menyerap dan dibasahi dengan antiseptic
berupa etil alkohol. Tujuan penggunaan kapas alkohol adalah untuk menghilangkan kotoran yang
dapat mengganggu pengamatan letak vena sekaligus mensterilkan area penusukan agar resiko
infeksi bisa ditekan.
6. Plester
Digunakan untuk fiksasi akhir penutupan luka bekas plebotomi, sehingga membantu
proses penyembuhan luka dan mencegah adanya infeksi akibat perlukaan atau trauma
akibat penusukan.
7.
Kain pengalas
Untuk memberi kenyamanan pada pasien saat plebotomis melakukan pengambilan darah vena.
8. Tempat berisi es batu
Bila laboratorium jauh, maka specimen darah arteri harus dimasukkan kedalam tempat berisi es
batu sebab suhu yang rendah akan menurunkan metabolism sel darah yang mungkin merubah
nilai pH, PCO2, PO2, HCO3-.
9. Tempat sampah khusus needle
Tempat untuk membuang needle yang sudah dipakai untuk mengurangi kontaminasi pasien satu
dengan pasien yang lain.
E. Antikoagulan yang Digunakan
Antikoagulan yang digunakan dalam pengambilan darah arteri adalah heparin. Pemberian
heparin yang berlebiham akan menurunkan tekanan CO 2.Antikoagulan dapat mendilusi
konsentrasi gas darah dalam tabung. Sedangkan pH tidak terpengaruh karena efek penurunan
CO2 terhadap pH dihambat oleh keasaman heparin.
F. Alat Perlindungan Diri (APD) untuk Petugas
Alat Perlindungan Diri (APD) yang harus digunakan seorang petugas (Plebotomis) yaitu
(Rohani, 2008) :
1. Jas Laboratorium
2.
a.
b.
c.
3.
4.
5.
6.
Pemakaian utama dari jas laboratorium adalah untuk melindungi pakaian petugas pelayanan
kesehatan. Jas laboratorium diperlukan sewaktu melakukan tindakan, bila baju tidak ingin kotor.
Sarung Tangan (Handscoon)
Alat ini merupakan pembatas fisik terpenting untuk mencegah terjadi infeksi, tetapi harus diganti
setiap kontak dengan satu pasien ke pasien yang lainnya untuk mencegah kontaminasi silang.
Sarung tangan harus dipakai kalau menangani darah, duh tubuh, sekresi dan eksresi (kecuali
keringat). Petugas kesehatan (Plebotomis) menggunakan sarung tangan untuk tiga alasan, yaitu:
Mengurangi resiko petugas kesehatan terkena infeksi dari pasien.
Mencegah penularan flora kulit petugas kepada pasien.
Mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan mikroorganisme yang dapat
berpindah dari satu pasien ke pasien lain.
Masker
Masker digunakan untuk menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan atau petugas
bedah berbicara, batuk, bersin, dan juga mencegah ciprtan darah atau cairan tubuh yang
terkontaminasi masuk ke dalam hidung atau mulut petugas kesehatan.
Sepatu Laboratorium
Alas kaki/sepatu laboratorium dipakai untuk melindungi kaki dari perlukaaan oleh benda tajam
atau dari cairan yang jatuh atau menetes kaki. Sepatu bot dari karet atau kulit lebih melindungi,
tapi harus bersih dan bebas dari kontaminasi darah atau cairan tubuh lainnya.
Kap (penutup rambut)
Dipakai untuk menutup rambut dan kepala, tujuan utamanya adalah melindungi pemakainya dari
ciprtan darah dan cairan tubuh lainnya.
Pelindung Mata
Pelindung mata melindungi petugas kesehatan dari cipratan darah atau cairan tubuh lainnya
yang terkontaminasi dengan pelindung mata.
tekanan dilepas, tangan tetap pucat, menunjukkan test allens negatif. Jika pemeriksaan negative,
hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang lain.
2. Arteri Dorsalis pedis
merupakan arteri pilihan ketiga jika arteri radialis dan ulnaris tidak bisa digunakan.
3. Arteri Brakialis
Merupakan arteri pilihan keempat karena lebih banyak resikonya bila terjadi obstruksi pembuluh
darah. Selain itu arteri femoralis terletak sangat dalam dan merupakan salah satu pembuluh
utama yang memperdarahi ekstremitas bawah.
4. Arteri Femoralis
merupakan pilihan terakhir apabila pada semua arteri diatas tidak dapat diambil. Bila terdapat
obstruksi pembuluh darah akan menghambat aliran darah ke seluruh tubuh / tungkai bawah dan
bila yang dapat mengakibatkan berlangsung lama dapat menyebabkan kematian jaringan. Arteri
femoralis berdekatan dengan vena besar, sehingga dapat terjadi percampuran antara darah vena
dan arteri.
Selain itu arteri femoralis terletak sangat dalam dan merupakan salah satu pembuluh utama yang
memperdarahi ekstremitas bawah.
Arteri Femoralis atau Brakialis sebaiknya jangan digunakan jika masih ada alternative lain
karena tidak memiliki sirkulasi kolateral yang cukup untuk mengatasi bila terjadi spasme atau
thrombosis. Sedangkan arteri temporalis atau axillaris sebaiknya tidak digunakan karena adanya
resiko emboli ke otak.
DAFTAR PUSTAKA
Pratiwi Anggi (2010). Pemeriksaan Gas Darah Arteri (Analisa Gas Darah). Diambil
dari http://www.scribd.com//. 6 Oktober 2012
Afri (2009). Analisa Gas Darah. Diambil dari http://www.scribd.com// . 6 Oktober 2012
http://ijahijonk.blogspot.com/2013/04/bab-i-pendahuluan-analisagas-darah-agd.html
Pathway
GBS (
GUILLAIN
SYNDROME), GBS merupakan
sebuah
BARRE
penyakit
demyelinisasi
neurologist.
Terjadi
secara
akut,
berkembang dengan cepat. Biasanya mengikuti pola
ascending (merambat ke atas) mengenai akar saraf-saraf
spinal dan perifer. Terkadang mengenai saraf-saraf
cranial. Memiliki rangkaian klinis dengan variabel yang
tinggi. (Symposium Guillain BarreSyndrom, di Brussel,
1937).
Berikut adalah penjelasan pathway GBS ( GUILLAIN
BARRE
SYNDROME)
berawal dari autoimun yang menghancurkan myelin
( selaput yang mengelilingi akson) sehingga impuls saraf
akan terhambat maka akan terjadi GBS ( GUILLAIN
BARRE
SYNDROME).
1. jika terjadi gangguan pada fungsi saraf kranial iii, iv, v,
vi, viii, ix dan xi maka akan terjadi paralisis pada okular,
wajah dan otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah
dan
menelan
2. jika terjadi gangguan pada syaraf perifer dan
neuromuskular maka akan terjadi parastesia, kelemahan
otot
kaki,
otot
pernafasan
3. jika terjadi disfungsi otonom maka akan terjadi
gangguan frekuensi, ritme dan tekanan jantung