Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


Kelompok : 10
Disusun Oleh :
Pujiasih
Kusniana
Nurullah Aulia Sugiarti
Lismania Sita Devi
Annisa Fajar Riyani

4401412001
4401412014
4301412024
4301412025
4301412097

Mata Kuliah

: Manajemen Sekolah

Dosen pengampu

: Basuki Sulistio

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


SEMARANG
2013

BAB I
PENDAHULUAN

Diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah, sangat


besar pengaruhnya terhadap pendidikan. Kebijakan yang semula dikendalikan oleh
pemerintah pusat (sentralistik) diserahkan sepenuhnya kepada daerah (desentralistik).
Pengelolaan pendidikan yang diarahkan pada desentralisasi menuntut partisipasi masyarakat
secara aktif untuk merealisasikan otonomi daerah. Karena itu memerlukan kesiapan sekolah
sebagai ujung tombak operasional pendidikan pada level bawah. Pendidikan yang selama ini
dikelola terpusat (sentral) harus diubah sesuai dengan perkembangan sistem yang ada yaitu
sistem desentraliasi. Otonomi daerah sebagai kebijakan politik makro akan memberi imbas
terhadap otonomi sekolah sebagai sub sistem pendidikan.
Fakta yang ada sekarang ini menyatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih
rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Hal ini mempunyai dampak
yang sangat besar bagi majunya kehidupan masyarakat dalam segala aspek bidang kehidupan.
Sehingga pemerintah berinisiatif untuk mencari solusi dalam menangani masalah ini. Untuk
menciptakan masyarakat yang maju maka hal perlu diperhatikan terlebih dahulu adalah
bagaimana mewujudkan pendidikan yang bermutu yang pada akhirnya mencapai tujuan
pendidikan nasional yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat
dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi
manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang
selalu berubah. Hal ini sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional bahwa Depdiknas berhasrat
untuk pada tahun 2025 menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif atau insan
paripurna.
Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan adalah melalui
penerapan Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi
bahwa MBS merupakan pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi
keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara
luas.
Pelaksanan
Manajenen
Berbasis
Sekolah
diimplementasiakn
dengan
tujuan,meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam
mengelola dan memberdayakan sumber dana yang tersedia.Meningkatkan kepedulian warga
sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan
keputusan bersama.
Dengan meliahat pada tujuan Manajemen Berbasis Sekolah bahwa hal itu hanya dapat
dicapai apabila diberdayakan secara maksimal semua sumberdaya pendidikan yang ada di
sekolah. Pemberdayaan semua potensi semua sumberdaya yanng ada di sekoalah secara
maksimal untuk mencapai tujuan sekoalah inilah yang dinamakan kinerja sekolah.

Manajemen Berbasisi Sekolah merupakan suatu kajian yang banyak dibahas untuk mengubah
sistem pendidikan yang sentralistik kearah desentralistik.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Strategi Implementasi MBS


Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien jika didukung oleh
sumber daya manusia yang profesional untuk mengoprasikan sekolah, dana yang cukup agar
sekolah mampu menggaji staff sesuai dengan fungsinya, sarana-prasarana yang memadai,
serta dukungan masyarakat (orang tua) yang tinggi.
Kondisi sekolah di Indonesia bervariasi, dilihat dari segi kualitas, lokasi sekolah, dan
partisipasi masyarakat (orang tua). Kualifikasi sekolah bervariasi dari sekolah yang sangat
maju sampai sekolah yang sangat tertinggal, sedangkan lokasi bervariasi dari sekolah yang
berada di perkotaan hingga sekolah yang terletak di daerah terpencil. Demikian pula
partisipasi orang tua bervariasi dari yang partisipasinya tinggi sampai yang tidak
berpartisipasi sama sekali. Kondisi tersebut akan menjadi permasalahan yang rumit dan harus
diprioritaskan penanganannya. Oleh karena itu, agar MBS dapat diimplementasikan secara
optimal, perlu adanya pengelompokkan sekolah berdasarkan tingkat kamampuan manajemen
masing-masing.
1. Pengelompokkan sekolah
Dalam rangka megimplementasikan MBS, perlu dilakukan pengelompokkan sekolah
berdasarkan kemampuan manajemen, kondisi sekolah, dan kualitas sekolah. Dalam hal ini
akan ditemui tiga kategori sekolah, yaitu sekolah baik, sedang, dan kurang, yang tersebar di
lokasi maju, sedang, dan tertinggal. Kelompok sekolah tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut, yang juga menggambarkan tingkat kemampuan manajemen.

Kemampuan
sekolah

Kepala Sekolah Partisipasi


dan guru
masyarakat

Sekolah
dengan
kemampuan
manajemen
tinggi

Kepala sekolah
dan
guru
berkompetensi
tinggi (termasuk
kepemimpinan)

Sekolah
dengan
kemampuan
manajemen
sedang

Kepala sekolah
dan
guru
berkompetensi
sedang(termasuk
kepemimpinan)

Sekolah
dengan
kemampuan
manajemen
rendah

Kapala sekolah
dan
guru
berkompetensi
rendah (termasuk
kepemimpinan)

Partisipasi
masyarakat
tinggi
(termasuk
dukungan
dana)
Partisipasi
masyarakat
sedang
(termasuk
dukungan
dana)
Partisipasi
masyarakat
rendah
(termasuk
dukungan
dana)

Pendapatan
daerah dan orang
tua
Pendapatan
daerah dan orang
tua tinggi

Anggaran
sekolah
Anggaran
sekolah diluar
anggaran
pemerintahan
besar

Pendapatan
Anggaran
daerah dan orang sekolah diluar
tua sedang
anggaran
pemerintah
sedang
Pendapatan
Anggaran
daerah dan orang sekolah diluar
tua rendah
anggaran
pemerintahan
kecil
atau
tidak ada

Kondisi di atas mengisyaratkan tingkat kemampuan manajemen sekolah untuk


mengimplementasikan MBS berbeda antara kelompok sekolah yang satu dengan kelompok
sekolah yang lain, sesuai dengan kemampuan setiap sekolah.
2. Pentahapan implementasi MBS
Sebagai suatu paradigma pendidikan baru selain perlu memperhatikan kondisi
sekolah, implementasi MBS juga harus dilakukan secara bertahap. Penerapan MBS secara
menyeluruh sebagai realisasi desentralisasi penddikan memerlukan perubahan-perubahan
mendasar terhadap aspek-aspek yang menyangkut keuangan, ketenagaan, kurikulum, sarana
dan prasarana, serta partisipasi masyarakat. Dengan mempertimbangkan kompleksitas
tersebut, MBS akan dapat dilaksanakan paling tidak melalui tiga tahap, yaitu jangka
pendek(tahun pertama sampai tahun ketiga), jangka menengah(tahun keempat sampai tahun
keenam), dan jangka panjang(setelah tahun keenam).
Pelaksanaan jangka pendek diprioritaskan pada kegiatan yang tidak memerlukan
perubahan mendasar terhadap aspek-aspek pendidikan. Tahap ini strategi yang perlu
dipertahankan pada hal-hal yang bersifat sosialisasi MBS terhadap masyarakat dan sekolah,
pelatihan terhadap sumber daya manusia yang akan melaksanakan MBS, dan mengalokasikan

dana block grant langsung ke sekolah sebagai praktek pengelolaan keuangan dengan prinsip
MBS. Sosialisasi dan pelatihan mempunyai peranan sangat penting karena MBS memerlukan
adanya perubahan sikap dan perilaku tenaga kependidikan dan masyarakat. Apabila sekolah
dan masyarakat telah memahami hak dan kewajiban masing-masing, perubahan-perubahan
mandasar tentang aspek-aspek pendidikan dapat dilakukan, sebagai strategi jangka menengah
dan jangka panjang dalam pelaksanaan MBS. Kegiatan jangka pendek dipilih dengan
mempertimbangkan alasan-alasan berikut:
1) Sekolah maupun masyarakat saat ini belum mengenal prinsip-prinsip MBS secara
rinci. Oleh karena itu MBS perlu disosialisasikan agar mereka memahami hak dan
kewajiban masing-masing.
2) Pengalokasian dana langsung ke sekolah merupakan prioritas utama dalam
pelaksanaan otonomi sekolah. Selama ini sekolah memperoleh dana yang
pengalokasiaannya melalui birokrasi yang kompleks dan mengikat.
3) Pelaksanaan MBS memerlukan tenaga yang memiliki keterampilan yang memadai.
Selama ini tenaga yang ada kurang memiliki keterampilan dalam profesi mereka. Oleh
karena itu perlu adanya pelatihan agar dana yang dialokasikan secara langsung
tersebut mampu dikelola sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
4) Kurangnya otonomi kepala sekolah dalam mengelola keuangan sekolah dan
kurangnya kemampuan manajemen kepala sekolah menjadikan kepala sekolah
sebagai prioritas pertama dalam memperoleh pelatihan.
Fattah(2000) membagi implementasi MBS menjadi tiga tahap, yaitu sosialisasi,
piloting, dan deseminasi.
1) Tahap sosialisasi
Tahapan ini merupakan tahapan penting karena wilayah Indonesia yang luas.
Masyarakat Indonesia pada umumnya tidak mudah menerima perubahan. Setiap
perubahan memerlukan pengetahuan dan keterampilan baru. Dalam mengefektifkan
pancapaian tujuan perubahan, diperlukan kejelasan tujuan dan cara yang tepat, baik
menyangkut aspek proses maupun pengembangan (Whitaks, 1991 dalam Fattah
2000).

2) Tahap piloting
Tahap ini merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep manajemen
berbasis sekolah tidak mengandung resiko. Untuk mengukur efektifitas model uji

coba memerlukan persyaratan dasar, yaitu akseptabilitas, akuntabilitas, reflikabilitas,


dan sustainabiltas.
Akseptabilitas berarti adanya penerimaan dari para tenaga kependidikan,
khususnya guru dan kepala sekolah sebagai pelaksana dan penanggung jawab
pendidikan

sekolah.

Akuntabilitas

berarti

program

MBS

harus

dapat

dipertanggungjawabkan, baik secara konsep, operasional maupun pendanaannya.


Reflikabilitas berarti model MBS yang diujicobakan dapat direflikasi di sekolah lain
sehingga perlakuan yang diberikan kepada sekolah uji coba dapat dilaksanakan di
sekolah lain. Sustainabilitas berarti program tersebut dapat dijaga kesinambungannya
setelah uji coba dilaksanakan.
3) Tahap diseminasi
Tahap diseminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model MBS yang
telah diujicobakan ke berbagai sekolah agar dapat mengimplementasikannya secara
efektif dan efisien.

3. Perangkat Implementasi MBS


Sekolah memerlukan pedoman-pedoman sebagai pendukung untuk
menjamin

terlaksananya

pengelolaan

MBS

yang

mengakomodasi

kepentingan otonomi sekolah, kebijakan pemerintah, dan partisipasi


rakyat. Implementasi MBS memerlukan seperangkat peraturan dan
pedoman-pedoman (guidelines) umum yang dapat dipakai sebagai
pedoman dalam perencanaan, monitoring dan evaluasi, serta laporan
pelaksanaan. Seperangkat implementasi ini perlu diperkenalkan sejak
pelaksanaan jangka pendek.
Perangkat implementasi ini perlu diperkenalkan sejak awal,melalui
pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan sejak pelaksanaan jangka
pendek. Perangkat pelaksanaan MBS antara lain :

Kesiapan sumberdaya manusa yang terkait dengan pelaksanaan


MBS

Kategori sekolah dan daerah

Peraturan/ kebijakan dan pedoman

Rencana sekolah

Rencana Pembiayaan

Monitoring dan evaluasi internal

Monitoring dan evaluasi eksternal

Laporan hasil
Rencana sekolah merupakan salah satu perangkat terpenting dalam

pengelolaan MBS. Rencana sekolah merupakan perencanaan sekolah


untuk jangka waktu tertentu yang disusun oleh sekolah sendiri bersama
dewan sekolah. Adapun yang dikandung rencana tersebut adalah visi dan
misi sekolah, tujuan sekolah, dan prioritas yang akan dicapai, serta
strategi-strategi untuk mencapainya. Dengan membaca rencana sekolah,
seseorang akan memiliki gambaran lengkap tentang suatu sekolah. Untuk
memotivasi sekolah membuat rencana yang baik perlu disediakan
penghargaan terhadap sekolah yang berhasil mencapai kemajuan, seperti
direncanakan dalam rencana sekolah. Sebaliknya, diberikan sanksi kepada
sekolah yang tidak berhasil melaksanakan sesuai dengan rencana. Sanksi
tersebut dapat berupa pengurungan dana tertentu pada anggaran
berikutnya.
Keberhasilan implementasi manajemen berbasis sekolah sangat
bergantung pada kemampuan dan kemauan politik pemerintah (political
will) sebagai penanggung jawab pendididkan. Kalau kemauan politik
sudah ada, pelaksanannya sangat bergantung pada bagaimana kesiapan
pelaksana dan perumus kebijakan dapat memperkecil kelemahan yang
muncul dan mengeksplorasi manfaat semaksimal mungkin.
Mengingat

kompleksnya

permasalahan

yang

dihadapi

dalam

pendidikan di Indonesia, pelaksanaan model ini perlu dilakukan secara


bertahap serta secara matang dan profesional. Model ini suatu jawaban
dari semua permasalahan pendidikan yang dihadapi namun dapat
menjadi

jawaban

terhadap

kebekuan

dan

kekakuan

manajemen

pendidikan yang berlaku selama ini. Pelaksanaan MBS tentu saja akan
menghadapi berbagai benturan yang tidak dikehendaki karena mengubah
kebiasaan masyarakat yang telah sekian lama melekat dan mendarah
daging

tidaklah

mudah.

Tahap

awal

yang

perlu

diambil

adalah

mempublikasi model ini melalui media massa untuk mendapatkan

tanggapan dan dukungan dari berbagai pihak secara luas. Hal ini penting
dilakukan terutama untuk meminimalisasi anggapan masyarakat tentang
pola pendidikan yang selalu berubah-ubah, tanpa adanya hasil yang
bermanfaat.

Hal

yang

lebih

penting

lagi

ditumbuhkannya

kesan

dikalangan masyarakat

bahwa setiap perubahan yang dilakukan adalah menuju pada perbaikan


dan kemajuan yang disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan dan
masyarakat.
B. Model Manajemen Berbasis Sekolah
Prospek Gaji Guru dalam Manajemen Berbasis Sekolah Guru merupakan pemeran
utama proses pendidikan yang sangat menentukan tercapai tidaknya tujuan. Dalam
menjalankan tugasnya, guru memerlukan kepastian karir dan insentif sebagai imbalan atas
pekerjaannya. Sehubungan dengan itu, dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi
pendidikan, perlu dididentifikasi urusan-urusan yang harus ditangani oleh pusat dan
dilimpahkan ke daerah.
Hal ini perlu dilakukan secara bertahap dan seselektif mungkin dengan
mempertimbangkan secara arif kepentingan-kepentingan berikut :
1). Alokasi jatah guru yang diangkat di tiap daerah berdasarkan formasi secara
nasional sesuai dengan anggaran yang tesedia.
2). Penggajian guru yang bersumber dari RAPBN meengacu pada sistem penggajian
pegawai negeri disertai tunjangan profesionalnya.
3). Mutasi guru antar propensi.
4). Pembuatan rambu-rambu (guide lines) yang berisi syarat-syarat minimal tentang
kualifikasi minimal calon guru, sistem rekrutmen, sistem pembinaan mutu, sistem
pengembangan karier, serta penempatan dan mutasi guru antar propensi
5). Evaluasi dan monotoring terhadap pelaksanaan standar-standar nasional oleh
daerah beserta sangsinya.
Sedangkan urusan-urusan yang dilimpahkan ke daerah , dengan berpedoman kepada
standar nasional yang disusun oleh pusat, adalah sebagai berikut:
a). Rekrutmen dan seleksi calon guru yang akan diangkat sebagai PNS

b). Rekrutmen dan peningkatan calon guru untuk memenuhi kebutuhan khusus ( guru
kontrak, guru bantu, guru pengganti sementara) yang anggarannya menjadi beban
daerah atau proyek-proyek khusus yang didanai oleh pusat.
c). Penempatan atau mutasi guru dalam lingkup daerah yang bersangkutan.
d). Penilaian kinerja guru dalam rangkakenaikan pangkat, promosi jabatannya, dan
pemberian tunjangan atas dasar prestasinya.
e). Penetapan jumlah dan pemberian tunjangan daerah sesuai dengan kemampuan
daerah yang bersangkutan (di luar gaji/ tunjangan sebagai PNS) f. Pembinaan mutu
guru melalui pelatihan, penataran serta wahana-wahana lainnya.
Memperhatikan uraian di atas, dapat diperkirakan kemampuan daerah untuk menggaji
guru yang bertugas di daerahnya. Untuk membebankan gaji guru kepada daerah perlu
memperhatikan hal-hal sebagi berikut :
a). Pendapatan asli daerah (PAD).
b). Jumlah guru yang ada didaerah tersebut.
c). Sumber daya alam apa bisa diandalkan untuk menambah PAD dari dana
perimbangan pusat daerah.
Sebagai contoh yaitu pendapatan kabupaten sumedang pada tahun anggaran
1994/1995 sebelum gaji diserahkan pada kabupaten dan kota , baik PAD subsidi pusat , dan
bagi hasil pajk mencapai 31,413 milyar rupiah,kebutuhan belnja pembangunan sebesar
16,939 milyar rupiah,dan belanja rutin sebesar 12,849 milyar rupiah sehingga tersisa 1,625
milyar rupiah. bila kabupaten sumedang terdapat 5.678 guru dan rata2 gaji guru
Rp.500.000,00 bulan, dana yang harus desediakan sebesar 2,839 milyar rupiah per bulan
sedangkan dana yang tersisa 1,625 milyar rupiah, dengan kekurangan dana tersebut bisa
terjadi beberapa kemungkinan besar gaji disesuaiakan dengan dana yang ada, besar gaji tetap
tetapi ada pengurangan guru, mencari sumber lain untuk menutupi kekurangn, dan
mengalihkan sebagian kegiatan belanja rutin atau pembangunan untuk membayar gaji guru.

Untuk lebih memperdalam pemahaman terkait Implementasi MBS, berikut macammacam jenis MBS Menurut Nurkolos (2006) yang disajikan dalam tabel.
No

Nama Negara

Penekanannya

Hongkong

Inisiatif sekolah

Kanada

Pengambilan keputusan pada tingkat sekolah

Amerika Serikat

Pengelolaan sekolah di tingkat sekolah

Inggris

Pengelolaan dana pada tingkat sekolah

Australia

Kewenangan sekolah dalam hal kurikulum

Perancis

Partisipasi yang besar pada badan pengelola


sekolah

Nikaragua

Sekolah otonom

SelandiaBaru

anggaran yang berbasis di sekolah

El Salvador

melibatkan orang tua siswa dan masyarakat

10

Madagaskar

Dengan melibatkanmasyarakat

11

Indonesia

Mutu yang dikenal dengan MPMBS.

Penjabaran dari beberapa macam MBS diatas, antara lain sebagai berikut:
1. Model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Hongkong
Di Hongkong MBS disebut The School Management Initiative (SMI) atau manajemen
sekolah inisiatif. Problem pendidikan di Hongkong yang mendorong munculnya MBS adalah
struktur dan proses manajemen yang tidak memadai, peran dan tanggung jawab masingmasing pihak kurang dijabarkan secara jelas dan inisiatif datang dari atas. Model MBS

Hongkong menekankan pentingnya inisiatif dari sumber daya di sekolah sebagai pengganti
inisiatif dari atas yang selama itu diterapkan.Inisiatif yang diberikan kepada sekolah harus
dibarengi dengan diterapkannya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan
pendidikan.Transparansi di sini juga menuntut kejelasan tugas dan tanggungjawab masingmasing pihak yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan di sekolah.Transparansi dan
akuntabilitas tidak hanya dituntut dalam penggunaan anggaran belanja sekolah, tetapi juga
dalam hal penentuan hasil belajar siswa serta pengukuran hasilnya.
Ada lima kebijakan pokok yang menjadi ciri khas pelaksanaan MBS di Hongkong
(SMI) yaitu 1) peran dan hubungan-hubungan baru bagi Departemen Pendidikan, 2) peranperan baru bagi komiten menajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala
sekolah, 3) kelenturan yang lebih besar dalam pengelolaan keuangan sekolah, 4) partisipasi
dalam pembuatan keputusan dan 5) kerangka kerja pertanggungjawaban para pihak.
2. Model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Kanada
Menurut Nurcholis (2003:18), kemunculan MBS di Kanada didasari oleh adanya
kelemahan manajerial pendekatan fungsional yang mengontrol dan membatasi partisipasi
bawahan. Bawahan diabaikan kekuatannya sehingga terjadi ketidakseimbangan kekuasaan.
Agar kekuatan bawahan menjadi suatu kekuatan nyata maka perlu dilembagakan, dalam
bentuk MBS. School Site Decision Making dapat dilihat sebagai a) solusi bagi
ketidakseimbangan kekuatan (kekuasaan) antara atasan dan bawahan; dalam konteks sosial,
b) alternatif baru bagi sistem administrasi yang sentralistis; dan c) strategi administratif untuk
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan sekolah.
Sebelum diterapkannya MBS di Kanada, kondisi awalnya adalah semua kebijakan
ditentukan dari pusat. Model MBS di Kanada disebut School Site Decision
Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. MBS di
Kanada sudah dimulai sejak tahun 1970. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah
alokasi sumber daya bagi staf pengajar dan administrasi, peralatan dan pelayanan. Menurut
Sungkowo (2002)16, ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut: penentuan alokasi sumber
daya ditentukanoleh sekolah, alokasi anggaran pendidikan dimasukkan kedalam anggaran
sekolah, adanya program efektivitas guru dan adanya
Program pengembangan profesionalisme tenaga kerja. Setiap tahun survey pendapat
dilakukan oleh para siswa, guru, kepala sekolah, staf kantor wilayah dan orang tua yang

memungkinkan mereka merangking tingkat kepuasan mereka tentang pengelolaan dab hasil
pendidikan (Caldwell dan Spinks (1992) dalam Ibtisam Abu Duhou (2002).

3. Model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Amerika Serikat


Sistem pendidikan di AS, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (state)
bertanggunjawab terhadap pelaksanaan pendidikan. MBS di AS disebut Side-Based
Management (SBM) yang menekankan partisipasi dari berbagai pihak. Menurut Wirt (1991)
yang dikutip oleh Ibtisam Abu Duhou, model MBS di Amerika Serikat walaupun ada
perbedaan di Negara-negara federal,
Strategi restrukturisasi yang paling populer yang diimplementasikan oleh belasan
sekolah negeri mulai dari Boston sampai ke Los Angeles di AS adalah MBS, yang
memberikan lebih banyak kewenangan-kewenangan yang secara tradisional dikelola oleh
badan pendidikan pusat kepada sekolah-sekolah.Strategi ini didasarkan pada kepercayaan
bahwa birokrasi yang berbelit-belit menghambat inovasi dan melemahkan semangat
pengambilan resiko.
Gagasan restrukturisasi kedua yang berkembang adalah pemberian kebebasan orang
tua untuk memilih lembaga pendidikan bagi anaknya. Para penggagas berpendapat bahwa
hukum semacam itu akan mendorong sekolah untuk memperbaiki diri karena mereka akan
bersaing untuk mendapatkan siswa.
Gerakan restrukturisasi ketiga yang utama mencakup usaha-usaha untuk memperbaiki
pengajaran dengan meningkatkan standar-standar, peningkatan gaji Guru, dan pemberian
wewenang lebih kepada para Guru. Gaji guru ditingkatkan lebih tinggi dari laju inflasi dan
mencapai puncaknya pada tahun 1990. Dewan Nasional Standar Profesional Guru mulai
mengembangkan cara-cara baru untuk mengukur ketrampilan para Guru. Tes tertulis yang
selama ini digunakan, seperti Ujian Guru Nasional, dikritik sebagai alat ukur yang tidak
memadai untuk mengukur guru yang baik. Asesmen terbaru mencakup pengamatan terhadap
Guru dalam situasi yang dikontrol maupun dalam memecahkan masalah kehidupan nyata ada
dua ciri utama reformasi pendidikan di Amerika Serikat sebagai implementasi dari MBS,

yakni : desentralisasi administratif, di mana pejabat departemen pendidikan pusat merancang


sejumlah tugas yang kemudian dilaksanakan oleh kepala sekolah dan para guru di sekolah.
Dalam hal ini pejabat pusat mendelegasikan kewenangan terbatas kepada bawahan, namun
sekolah juga tetap bertanggungjawab ke pusat; manajemen berbasis situs/lokasi, (site-based
management) yang berintikan pada pemberdayaan orangtua siswa, guru dan kepala sekolah di
masing-masing sekolah dalam menentukan prioritas mereka, mengalokasikan anggaran
sesuai kebutuhan, menjalankan kurikulum dan untuk mengangkat dan memberhentikan
personil sekolah. Disini kewenangan mengambil keputusan ada di sekolah dan
pertanggungjawaban diberikan ke masyarakat yang dilayani sekolah bukan ke pihak atasan.
4. Model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Inggris
Reformasi pendidikan di Inggris berupaya untuk mendorong kompetisi antar sekolah
dalam memenuhi tuntutan pasar (market demands). Perwujudan dari reformasi ini adalah
model Local School Management (LSM). LSM pada dasarnya adalah kebijakan MBS yang
memindahkan manajemen pendanaan dan sumber daya dari kewenangan pemerintah lokal ke
dewan penyelenggara atau pengelola dan staf sekolah.Sekolah didanai berdasarkan jumlah
siswa yang terdaftar.Hal ini menimbulkan persaingan antar sekolah untuk mendapatkan
murid sehingga membuat mereka bersaing dalam hal peningkatan mutu sekolah.
Mekanisme untuk mempertahankan akuntabilitas sekolah meliputi pengawasan,
publikasi catatan siswa dan prestasinya, kartu laporan siswa, dan laporan tahunan siswa.
Sekolah yang gagal mencapai standar yang dapat diterima oleh Lembaga Standar Pendidikan
dianggap sebagai sekolah bermasalah. Sekolah seperti ini akan dibina oleh kelompok ahli
(tim kecil) yang bertugas memperbaiki standar pendidikan. Apabila upaya tersebut tetap tidak
membuahkan hasil yang memuaskan, maka sekolah itu akan ditutup.
Ada enam perubahan structural guna memfasilitasi pelaksanaan MBS di Inggris,
yakni: 1) kurikulum nasional untuk mata pelajaran inti yang ditentukan oleh pemerintah
(Whitehall); 2) ada ujian nasional bagi siswa kelas 7, 11, 14 dan 16; 3) MBS dibentuk untuk
mengembangkan otoritas pendidikan local agar dapat memperoleh bantuan dana dari
pemerintah; 4) adanya pembentukan sekolah lanjutan teknik kejuruan; 5) kewenangan Inner
LondonEducation dilimpahkan kepada tiga belas otoritas pemerintah; 6) skema manajemen
sekolah local dibentuk dengan melibatkan beberapa pihak terkait, seperti: a) peran serta
secara terbuka padamasing-masing sekolah dalam otoritas pendidikan local, b) alokasi
sumber daya dirumuskan oleh masing masing sekolah, c) ditentukan prioritas oleh masing-

masing sekolah dalam membiayai kegiatnnya, d) memberdayakan badan pengelola pada


masing-masing sekolah dalam menentukan dana untuk guru dan staf, dan e) memberikan
informasi kepada orangtua mengenai prestasi guru.
Di Inggris penerapan MBS dilindungi dan dikondisikan dengan adanya komitmen
politik serta undang-undang pendidikan yang mengatur penetapan kurikulum, pelaksanaan
ujian nasional, dan pengelolaan pendidikan yang melibatkan berbagai unsur masyarakat luas.
5. Model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Indonesia
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS).MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi
lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara
langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.26MPMBS
merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS).
Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan
nasional yang berlaku. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk
mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana
warga sekolah di dorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan
yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Sehingga diharapkan sekolah
akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi, adaptif,
antisipatif, dan proaktif, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber
dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada
dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
6. Model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Australia
Negara Australia terbagi menjadi 6 (enam) negara bagian, dan 2 (dua) wilayah yang
masing-masing memiliki kebijakan pendidikan yang ditetapkan secara mandiri.Sampai awal
tahun 1970an, hampir semua negara bagian dan wilayah Australia menjalankan model
birokrasi sentralistis dalam pengelolaan pendidikan.Namun sejak tahun 1973, berkembang
gerakan kearah sistem persekolahan dengan pendidikan yang lebih efektif, merata dan
bermutu. Gerakan itu berawal dari dipublikasikannya laporan Komisi Sekolah Australia yang
berjudul Seolah di Australia yang kemudian lebih dikenal sebagai The Karmel Report

karena Komisi itu diketuai oleh Karmel. The Karmel Report tahun 1973 mengenukakan
tiga isu pokok yaitu persamaan hak, devolusi kewenangan dan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan pendidikan.
Laporan itu menekankan bahwa berkurangnya kontrol pusat terhadap pengelolaan
sekolah-sekolah amat diperlukan untuk menjamin efektivitas dan pemerataan atau keadilan
dalam pendidikan sekolah.Pemerintah menganjurkan semua sekolah di setiap negara bagian,
untuk membuat perencanaan yang lebih sistematik baik yang bersifat jangka panjang maupun
jangka pendek. Istilah yang digunakan di setiap negara bagian dapat berbeda, misalnya di
Tasmania disebut strategic school plan, di Australia Selatan disebut school development
plan dan school action plans.
Ciri utama pelaksanaan MBS di Australia adalah bahwa pengembangan dan
pelaksanaan reformasi pendidikan didasarkan pada konsultasi ekstensif (terus-menerus) pada
masyarakat yang melibatkan para kepala sekolah dan akademisi dari perguruan tinggi.
MBS dibangun dengan memperhatikan kebijakan dan panduan dari pemerintah
Negara bagian disatu pihak dan partisipasi masyarakat di pihak lain. Perpaduan dari dua
kepentingan ini dituangkan dalam dokumen (1) School policy (yang membuat visi, misi,
sasaran, pengembangan kurikulum, dan prrioritas program) (2) School Planning Review
(untuk jangka waktu 3 tahun ), (3) School planning quality assurance, dan accountability
dilakukan melalui kegiatan yang disebut eksternal dan internal monitoring.

Aspek pelaksanaan

Aspek kewenangan dalam MBS ini meliputi :


1. Menyusun serta mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk
meningkatkan hasil belajar siswa bersama-sama dengan SC dan P&G, sekolah
menyusun kurikulum dengan tetap memperhatikan curriculum statement dan
curriculum profile yang dikeluarkan oleh pemerintah.
2. Melakukan pengelolaan sekolah
3. Membuat perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban; pelaksanaan MBS
tidak lepas dari accountability yang dapat dilihat dari perencanaan sekolah dan
pencapaiannya.
4. Menjalin dan mengusahakan sumber daya (human and financial); dalam MBS di
praktekan apa yang disebut dengan resources fleksibility

yang mencakup

dukungan untuk (1) mengajarkan dan kepemimpinan, (2) dukungan sekolah (3)
lingkungan sekolah.

Jenis Pengorganisasian MBS


a. Standar Flexibility Option (SO)
Dalam benruk ini peran dan dukungan kantor distrik lebih besar. Kepala
sekolah hanya bertanggung jawab terhadap penyusunan rencana sekolah dan
pelaksanaan pelajaran. Kantor distrik bertanggung jawab terhadap pengesahan
dan monitoring serta bertindak sebagai penasehat dalam menyusun school
planning overview sekolah untuk tiga tahun, school annual planning, dan
school annual report.
b. Enhanced Flesibility Option (EO1)
Dalam bentuk ini sekolah bertanggung jawab untuk menyusun rencana strategi
sekolah(school planning interview) untuk tiga tahun, school annual planning,
dan school annual report dengan bimbingan dan pengesahan dari kantor distrik
(superintendent). Dalam posisi in, peran kantor distrik adalah (1) memberikan
dukungan kepada kepala sekolah dalam pelaksanaan monitoring internal; (2)
menandatangani/membenarkan isi rencana sekolah(rencana strategi dan
tahunan). Sementara itu, peran kantor pendidikan pemerintah Negara bagian
mengembangkan dan menetapkan prioritas program yang akan disajikan
sumber penyusunan perencanaan sekolah.
c. Enhanced Flesibility Option (EO2)
Disini keterlib atan disrtik sangat kurang, hanya berperan sebagai lembaga
konsultasi.Kantor distrik hanya memberikan dokumen yang disusun dan
disahkan oleh sekolah bersama school council berupa scholl planning
overview, school annual planning, dan scholl annual report.Kantor pendidikan
Negara bagian menyiapkan isi kurikulum inti (core curiculum), menerbitkan
dokumen silabus, dan mengkoordinasikan test standart, serta melakukan
school overview.
Dengan memperhatikan alternative penyelenggaraan MBS seperti
dijelaskan diatas, Implementasi praktek bergantung pada kondisi berikut :
1) Partipasi dan komitmen dari ornag tua dan penduduk masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak.
2) Program Quality-Assurance dan Accountability yang dipahami dengan
baik oelh semua pihak dalam jajaran departemen pendidikan.

3) Pelaksaan Basic skill test memungkinkan kantor pendidikan Negara


bagian, distrik, dan sekolah memeperoleh informasi tentang kinerja
sekolah.
4) Adanya school planning overview yang merupakan perencaan strategi
sekolah, memungkinkan sekolah untuk memahami visi, misi, dan
sasarn prioritas pengembangan sekolah.
5) Pelaksaan MBS ini pun didukung oleh adanya school annual report
yang menggambarkan pencapaian perencanaan tahunan sekolah.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian
sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok
kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional.
Tujuan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah secara umum adalah untuk
memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi)
kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola
sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai