Anda di halaman 1dari 5

AL ILTIZAM

Tujuan Instruktional
Setelah mendapatkan materi ini, maka peserta mampu:

Memahami iltizam.

Mengokohkan dan melaksanakan iltizam secara konsekuen.

Titik Tekan Materi


Iltizam adalah bentuk ikatan. Iltizam yang kita harapkan adalah yang tumbuh dengan baik yaitu
kesadaran sendiri dari dalam diri seseorang yang dilandasi pengetahuan yang utuh. Untuk itu
seseorang perlu mengetahui ruang lingkup iltizam yang baik, sehingga akan mendapatkan berkah
dari Allah Taala. Iltizam secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu iltizam
dengan syariah dan dengan jamaah. Dari iltizam tersebut diharapkan terbentuk seseorang yang
mempunyai kepribadian yang utuh dan sempurna.
Pokok-Pokok Materi

Pengantar iltizam

Makna iltizam terhadap kualitas amal dalam dakwah.

Membangun iltizam dari dalam diri.

Iltizam dengan syariah: aqidah as shalihah, ibadah salimah, Al-akhlaq Al-hamidah, ad dakwah wal
jihad asy syumul wa tawazun.

Iltizam dengan jamaah: baiah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat, dan taat kepada pemimpin.
Mukadimah

Iltizam adalah suatu komitmen yang lahir dari dalam diri (wayu dzati) dan bukan sesuatu yang
bersifat kamuflase (kepura-puraan)ataupun paksaan.
Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah sebuah komitmen terhadap Islam dari hukum-hukumnya
secara utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir dan sumber hukum dalam
setiap tema pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah Taala dalam, QS. 2:208 agar
seorang muslim masuk ke dalam Islam secara kaffah.
Jika seorang muslim telah menjadikan Islam sebagai titik tolak berfikir dalam segala hal maka
sikap dan perilakunya bukan sekadar dibuat-buat melainkan dilakukan dengan kesadaran.
Dari ilmu dan pemahaman diharapkan menumbuhkan keyakinan dan iman yang kemudian
mensibghah dan pada akhirnya membentuk sikap serta perilaku yang Islami.
Imam syahid Hasan Al-Bana membagi manusia ke dalam tiga kelompok berdasarkan pemahaman
dan tingkatan akidahnya:
Kelompok yang menerima iman Islam secara doktrin atau dogmatis yang tidak disertai ilmu dan
pemahaman yang memadai. Kualitas keyakinannya minim dan biasanya berubah menjadi keraguraguan bila ada hal yang menimbulkan keraguan pada dirinya.
Kelompok yang menerima iman Islam karena sesuai dengan logika dan pemikiran bila
diungkapkan dengan dalil-dalil berupa logika qurani, maka keimanan dan keyakinan semakin mantap
dan bertambah kuat. Hanya saja amalnya masih kurang nampak atau belum terealisir secara baik. Jadi
keyakinannya baru sampai tataran logika.
Kelompok yang menerima iman Islam karena memadukan unsur pikir, pemahaman dan ketaatan.
Jadi semakin yakin ia akan semakin taat melaksanakan amal shaleh dan memperbaiki ibadahnya
hatinya selalu diterangi cahaya Allah.

Indikasi-Indikasi Iltizam
Paling tidak harus ada dua indikator yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki iltizam atau
komitmen:
Ada indikator lahiriah yang jelas dan kongkrit. Misalnya seorang muslim yang shaleh akan hampir
selalu terlihat shalat berjamaah di masjid atau muslimahnya menutup aurat dengan memakai jilbab.
Jadi logikanya tidak bisa dibalik bahwa orang yang shalat di masjid belum atau muslimah berjilbab
belum tentu baik. Hal tersebut di atas memang tidak bisa digeneralisir dan kita sulit mengatakan
seseorang memiliki iltizam jika ia enggan shalat atau enggan ke masjid dan enggan menutup aurat.
Adanya muraqabah dzatiyah. Kita memang tidak boleh hanya mengandalkan mutabaah
zhahiriyah, melainkan juga harus menumbuhkan muraqabah dzatiyah agar amal yang dilakukan tidak
dinodai kepura-puraan, kamuflase, nifaq, dan riya. Artinya di manapun dan dalam situasi dan kondisi
yang bagaimanapun apakah ada orang atau tidak, giat atau malas, suka atau tidak suka, dicaci atau di
puji kita tetap konsisten dalam melakukan amal shaleh. Sebagaimana Rasulullah saw. berpesan kepada
seorang sahabat yang belum mau pulang atau kembali ke daerah asalnya untuk berdakwah.

Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan
perbuatan baik. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.
Urgensi Iltizam
Iltizam merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi seorang muslim apalagi bagi aktivis Islam
atau para dai, karena iltizam merupakan indikasi amal yang sangat diperlukan dalam konteks
kehidupan berjamaah.
Tidak mungkin ahdaful jamaah dapat terealisir tanpa ada junud atau anggota-anggota jamaah yang
akan melaksanakan ahdaf dan beriltizam terhadap uslub untuk mencapai ahdaf tersebut.
Hasan Al-Bana menegaskan bahwa awal kesiapan seseorang untuk memasuki tahapan takwin dan
tanfidz ialah jika ia memiliki at thaat kaamilah atau ketaatan yang sempurna. Oleh karena itu sasaran
atau ahdaf dalam berjamaah tidak akan terwujud tanpa adanya junud yang komit atau berilitizam
dalam melaksanakan uslub untuk mencapai ahdaf.
Padahal jamaah Islam sebagai sebuah harakah yang tertata memiliki ahdaf (tujuan-tujuan) dan
berusaha untuk mencapainya ahdaf yang dimaksud ialah mendapatkan mardhatillah, meninggikan
kalimat Allah, mengibarkan panji-panji Islam kemudian menegakkan Islam di seluruh muka bumi.
Dalam mencapai ahdaf tersebut jamaah memiliki aqayiz dan auzan (kriteria-kriteria dan aturanaturan). Berdasarkan kriteria-kriteria dan aturan-aturan tersebut diseleksilah para dai dan aktivis yang
layak untuk terlibat dalam jamaah. Beberapa di antara kriteria tersebut adalah thaat, iltizam, dan
jiddiah (kesungguh-sungguhan).
Sehingga sekalipun ada seorang ulama yang paling bertaqwa atau wara namun tidak mau komit
atau beriltizam, maka ia tidak layak masuk jamaah dan tidak dianggap sebagai anggota/ adha jamaah,
melainkan sekadar sebagai seorang muslim yang dicintai jamaah.
Kualitas seorang adha dalam jamaah dapat dilihat dari sejauh mana kualitas iltizamnya. Semakin
besar kadar keiltizamannya seseorang berdasarkan kriteria-kriteria tersebut di atas, maka semakin
berbobot pula kualitas dirinya.
Dua Jenis Iltizam
Iltizam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni iltizam terhadap syariat dan
iltizam terhadap jamaah.
Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal
jihad, syumul wa tawazun. Sedangkan iltizam terhadap jamaah melingkupi baiah, ansyitah, wadzifah,
infaq, qararat dan taat kepada pemimpin.
Dimilikinya kedua jenis iltizam tersebut dalam diri seseorang diharapkan akan membentuk
manusia yang utuh (insan mutakamil).
2

1. Iltizam terhadap Syariat


Beriltizam atau memiliki komitmen terhadap aqidah shahihah. Yang dimaksud dengan aqidah
salimah ialah akidah yang sehat, bersih dan murni terbebas dari segala unsur nifaq dan kemusyrikan.
Dalam QS 2: 165 disebutkan bahwa ada orangorang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah
sebagai tandingan bagi Allah. Dan mereka mencintai ilah-ilah tandingan tersebut sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat dicintainya kepada Allah, dari ayat tersebut
terlihat bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatu selain Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu yang
dicenderungi, dicintai, disembah dan mendominasi hidup kita. Demikian pula dalam segala hal
prioritas cinta, kita harus meletakkan cinta kepada Allah dan kemudian jihad di jalan-Nya sebagai
prioritas pertama dibanding dengan orang tua, anak, suami/istri, kerabat, harta perniagaan atau rumah
kediaman (QS 9: 24), seperti nampak pada keikhlasan muhajirin meninggalkan segala-galanya yang
ada di Makkah dan keridhaan para sahabat Anshar untuk menolong mereka. Bagi mereka ridha Allah
dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.
Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang salimah dan istimrar (kontinyu). Seorang
adha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah yang shahih terbebas dari segala
bidah dan khurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Qutb pernah mengatakan bahwa
kualitas iltizam seseorang pertama-tama diukur dari komitmennya terhadap shalat baik dari segi
ketepatan waktu maupun kekhusyuannya. Shalahuddin Al-Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds
selalu memantau di malam hari sebelum perang siapa-siapa saja yang tendanya terang karena
menegakkan shalat malam dan tilawah Al-Quran dan mereka itulah yang kemudian diberangkatkan ke
medan jihad keesokan harinya. Dan ada seorang ulama salafus shaleh yang memimpikan Junaid AlBaghdadi setelah ia wafat. ketika ditanya apa yang diperhitungkan oleh Allah terhadapnya. Ia ternyata
menjawab, Hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di waktu
malam. Hal itu menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.
Memiliki komitmen atau beriltiazam kepada akhlaq hamidah (akhlak terpuji). Akhlaq hamidah
jelas harus dimiliki oleh seorang adha yang beriltizam. Dan akhlaq hamidah yang dimaksud tentu
saja akhlak yang Islami dan qurani. Sebagaimana mana Rasulullah diutus untuk menyempurnakan
akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi pekerti agung. (QS 68: 4) Aisyah ra.
Mengatakan bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran
dijabarkan secara konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak tanduk di segala aspek kehidupan, lihatlah
diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan the living quran atau Al-Quran yang hidup. Bila seorang
dai memiliki akhlak yang Islami ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya patut menjadi
teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar
dari fitnah. Rasulullah saw misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila dan sebagainya, tetapi
akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah. Begitu
pula fitnah keji berupa tuduhan zina terhadap ummul mukiminin Aisyah ra yang dikenal dengan
peristwa haditsul ifki. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari Allah dalam surat AnNur.
Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah wa jihad, dakwah dan jihad. Seorang adha yang
memiliki komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu saja harus memiliki iltizam terhadap
dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain seperti dua sisi
mata uang. Dakwah adalah upaya untuk meraih keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru
kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat maruf dengan mencegah yang mungkar (QS 3: 104).
Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak diragukan lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah
bersabda, Barang siapa yang tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat untuk berjihad,
maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah jihad memang dapat dilakukan dengan berbagai bentuk
seperti jihad bil mal, bil lisan, dan lain-lain, namun jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis
ketika seseorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu yang
merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiah takwiniah yang istimrar dan lain-lain.
Berkomitmen atau beriltizam terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil
(integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah (seimbang). Pendek kata Islam
adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah (QS 5:3, 3:19) Sebagaimana alam semesta diciptakan
sempurna, tidak ada kekurangan (QS 67: ) dan dalam harmoni tawazun (keseimbangan) seperti dalam
(QS 55: 7-9), maka manusia pun bagian dari alam semesta diciptakan Allah dalam keadaan sebaikbaik rupa (QS 95: ). Umat Islam juga dikatakan sebagai umatan wasatha (umat pertengahan).
3

Ajaran sarat dengan kesyumuliahan dan ketawazunan. misalnya ajaran Islam menyentuh seluruh aspek
kehidupan mulai dari hal sepele sampai yang paling berat dan kompleks, (syamil). Kemudian Islam
mengajarkan manusia berikhtiar maksimal (QS 13: 11) tetapi juga menyuruh bertawakal (QS 65: ).
Islam melarang manusia kikir, tetapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf ataupun melakukan
kemubadziran. Jadi seorang adha dalam Iltizamnya terhadap syariah harus memiliki komitmen pada
syumuliatul dan ketawazunan Islam.

2. Al-Iltizam Bil Jamaah


a. Iltizam terhadap baiah.



Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli
yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS 9: 111)
Satu-satunya ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah harta dan jiwa, tetapi mendahulukan
jiwa adalah ayat di atas. Dan transaksi jual-beli antara Allah sebagai pembeli dan mukmin sebagai
penjual ini erat kaitannya dengan masalah baiah. Sikap iltizam terhadap baiah yang telah diucapkan
nampak jelas pada tokoh Anshar, Nusaibah binti Kaab dan Habibi bin Zaid. Nusaibah dengan baiah
Aqabah II, bertempur mati-matian melindungi dan menjadi perisai Rasulullah di perang Uhud tatkala
kebanyakan tentara Islam lain kocar-kacir panik terhadap serangan balik mendadak Khalid bin Walid.
Atau Habib bin Zaid yang disiksa Musailamah Al-Kadzab karena tidak mau mengakuinya sebagai
nabi, tidak rela menodai baiah yang telah Habib bin Zaid diucapkannya walaupun untuk itu ia harus
menebusnya dengan nyawa. Tubuhnya dicabik-cabik dan disayat-sayat selagi masih hidup. Sekali kita
mengucapkan baiah seumur hidup kita terikat untuk beriltizam kepadanya.
b. Komit terhadap ansyithah (kegiatan-kegiatan) baik yang kharijiah (eksternal) maupun
dakhiliyah (internal). Seorang adha seyogianya memiliki komitmen terhadap semua ansyithah
(kegiatan) dalam jamaah baik yang bersifat dakhiliyah (internal) maupun kharijiah (eksternal).
Kegiatan internal seperti berusaha selalu hadir dengan tepat waktu dalam acara rutin liqa usari dan
liqa tatsqifi serta daurah-daurah pembekalan dan pengayaan seperti daurah siyasi, daurah murabbi,
jalasah ruhiyah dan lain-lain yang diadakan secara berkala. Kemudian bila jamaah terutama dalam era
hizbiyah/kepartaian ini banyak melakukan manuver-manuver keluar seperti bakti sosial di daerahdaerah bencana, pengerahan logistik berupa nasi bungkus untuk acara muzhaharah, penggalangan
masa atau demo, tentu saja semuanya harus diikuti pula dengan penuh semangat. Intensitas
keterlibatan kita yang tinggi dengan semua kegiatan jamaah insya Allah akan membuat iltizam kita
kepada jamaah semakin kokoh.
c. Beriltizam terhadap wazhifah (tugas-tugas) yang dibebankan jamaah kepadanya. Iltizam atau
komitmen terhadap tugas yang dipikulkan pada kita merupakan aspek yang pokok dan mendasar
dalam hubungan struktural tanzhim, seorang adha harus menyesuaikan diri dengan segala tugas yang
dipikulkan ke pundaknya. Baik tugas itu disukai atau tidak dan baik ia sedang rajin maupun malas.
Bukan tugas atau wadzhifah yang harus disesuaikan dengan kondisi dirinya, melainkan adha tersebut
yang harus menyesuaikan diri dengan tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya. Sikap seorang adha
dalam masalah wadzhifah tanzhimiyah hendaklah bijak. Ia tidak akan pernah mencari-cari atau
meminta jabatan ataupun wadzhifah tanzhimiyah, namun bila kemudian diamanahi, ia tidak boleh
mengelak atau menolak. Seperti Said bin Amir yang dimarahi oleh Umar bin Khathab karena tidak
mau mengemban amanah sebagai gubernur di Himsh (Suriah sekarang). Celaka engkau hai Said, kau
bebankan di pundakku beban yang berat (dibaiah sebagai amirul muminin), tetapi kau tak mau
membantuku Akhirnya barulah Said bin Amir mau menerima amanah tersebut.
d. Iltizam atau komit terhadap infaq, baik yang wajib maupun yang sunnah. Sahabat ada yang
pernah meminta cuti atau dispensasi (keringanan) dalam hal jihad dan infaq. Rasulullah pun menjawab
4

dengan sangat tajam, Wa la shadaqah wa la jihadu fiima tadkhulul jannata araan? Tidak mau
bersedekah dan tidak berjihad, jadi dengan apa kalian akan memasuki surga. Keutamaan berinfaq
atau berjuang dengan harta dan jiwa (QS 9: 111, 61:10-11) sangat sering diungkapkan dalam firmanfirman Allah. Bahwa ia akan membalasnya dengan beratus-ratus kali lipat, bahkan dengan surga.
Bahkan contoh-contoh keutamaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Saad bin Abi Waqqash,
Abdurahman bin Auf, Saad bin Raby, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, Aisyah dan Asma binti Abu
Bakar, Zainab binti Jahsy, Khadijah, dan lain-lain terukir indah dalam sejarah Islam. Maka suatu
kewajaranlah bila kita yang telah berbaiat ini terikat untuk memenuhi kewajiban berinfaq, baik yang
wajib maupun yang sunnah.
e. Beriltizam terhadap qararat (keputusan-keputusan) jamaah. Seorang adha yang bukan hanya
beriltizam terhadap syariat tetapi juga pada jamaah seharusnya selalu berada dalam shaf jamaah. Ia
berusaha menjalankan tugasnya sebaik-baiknya di manapun ia diputuskan oleh jamaah untuk
ditempatkan. Bahkan dalam hadits dikatakan, Surga untuk seorang hamba jika ia mendapat bagian
jaga ia berjaga dengan baik. Ia pun akan komit pada kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan jamaah
dalam amal dan uslub dakwah. Ia terikat dengan keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan jamaah
dengan perintah-perintah qiyadah. Sekalipun bertentangan dengan keinginan dan pendapat pribadi.
Hendaknya kita harus selalu berprasangka baik bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat
untuk mendatangkan kemaslahatan. Kita bisa mengambil ibrah dari fiqhus shalat agar senantiasa taat
dan husnuz zhan pada qiyadah. Dalam shalat bila kita sebagai mamum sedang membaca al-fatihah,
tetapi imam sudah takbir akan ruku, kita harus segera mengikuti imam, walaupun kita belum siap atau
belum selesai membaca al-fatihah.
f. Komit terhadap thaatul qiyadah taat terhadap pemimpin. Ketaatan seorang muslim yang
total, utuh dan bulat, memang hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132, 4: 59, 80).
Namun di ayat 4: 59 itu pun disebutkan kewajiban taat kepada pemimpin atau ulil amri yang beriman
sepanjang tidak dalam rangka kemaksiatan dijalan Allah. Karena laa thaata li makhluqin fi masiatil
Khaliq (tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Sang Pencipta).
Seorang adha yang telah mengucapkan baiah untuk taat dalam giat atau malas, suka atau tidak suka
keadaan harus menaati qiyadahnya atau naqibnya sebagai sosok kepemimpinan dalam jamaah yang
terdekat dengannya.
Untuk mengefektifkan iltizam seorang adha baik dalam ruang lingkup syari maupun tanzhimi,
hendaknya seorang adha memiliki pemahaman yang baik tentang perjalanan yang benar dalam
melakukan amal Islam yang kemudian keimanan dan ketakwaan yang senantiasa terjaga.
Iltizam kepada kewajiban-kewajiban syariah membuat seorang muslim menjadi syakhshiyah
muslimah atau pribadi Islami. Segala sikap dan tindaktanduknya tidak akan menyimpang dari koridor
syari.
Dan bila ia kemudian memiliki cita-cita luhur tak hanya ingin menjadi shalih atau shalihah, namun
juga berusaha membuat orang lain menjadi shalih (muslih), maka ia akan berjuang bersama dalam
sebuah jamaah atau gerakan dakwah. Ia bergabung dengan harakah yang bertujuan membebaskan
negeri-negeri Islam, menyadarkan umatnya dalam menyerukan kalimat-Nya di muka bumi.
Bergabungnya ia dengan gerakan dakwah tersebut membuat ia terikat atau beriltizam dengan
kewajiban-kewajiban yang ada dalam jamaah tersebut. Maka jadilah syaksiah harakiah atau pribadi
yang haraki, dinamis bergerak dan berjuang.
Seorang adha yang dalam dirinya terdapat kedua jenis iltizam tadi, maka ia muncul menjadi
syakhshiyah muslimah mutakamilah atau pribadi Islami yang utuh.
Semakin banyak orang yang terbentuk menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah insya Allah
harapan Syahid Sayid Qutb, A- Mustaqbal li haadza dien (Masa Depan Di Tangan Islam) akan dapat
terwujud. Amin
Wallahu alam

Anda mungkin juga menyukai